Fakultas ilmu sosial jurusan ilimu agama islam universitas negeri jakarta



Yüklə 133,39 Kb.
tarix09.03.2018
ölçüsü133,39 Kb.
#45250


LAFAZH DAN DALALAHNYA

straight connector 2straight connector 3straight connector 4

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS INDIVIDU YANG DIWAJIBKAN OLEH DRS.DJAELAN HUSNAN,M.Ag. BAGI SETIAP MAHASISWA JURUSAN ILMU AGAMA ISLAM YANG MENGAMBIL MATA KULIAH USHUL FIQH PADA SEMESTER PERTAMA.

DISUSUN OLEH :

NAMA : TRIYA ANDANI

NO.REG : 4715116750

FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN ILIMU AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA



KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji bagi Allah SWT, zat penguasa seluruh alam jagat raya. Teriring pula shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Amin.

Sebagai wujud ikhtiar untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan mahasiswa di Universitas Negri Jakarta jurusan ilmu agama islam.

Penulis menyusun makalah ini berdasarkan pengetahuan yang Penulis dapat dari berbagai sumber-sumber dan literature-literatur yang dijamin kebenarannya. Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu untuk terselesainya makalah ini.

Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca yang budiman sangat Penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini pada masa yang akan datang.

Demikian pentingnya mata kuliah ushul fiqh bagi mahasiswa ilmu agama islam, maka perlu diadakan makalah yang mampu merangsang kreativitas para mahasiswa.

Semoga kehadiran makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dalam menjalankan aktivitas belajar mengajar.

Jakarta, Desember 2011

Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………………….2

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………3

BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………..4

A.LATAR BELAKANG………………………………………………………………………………………..4

B.TUJUAN PENULISAN……………………………………………………………………………………..5

BAB II : PEMBAHASAN…………………………………………………………………………….………..6

1.MUJMAL DAN MUBAYAN…………………………………………………………………………….…..6

2.LAFADZ AMM DAN KHAS………………………………………………………………………….….….7

3.MUTHLAQ DAN MUQOYYAD……………………………………………………………………..……..8

4.MANTUQ DAN MAFHUM……………………………………………………………………….………..13

5.AMR DAN NAHYI………………………………………………………………………………………….19

6.DALALAH………………………………………………………………………………………….………..21

BAB III : PENUTUP…………………………………………………………………………………………..25

A.KESIMPULAN……………………………………………………………………………………..……….25

B.SARAN………………………………………………………………………………………………………25

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………..26

BAB I

PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG MASALAH/ DASAR PEMIKIRAN

Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan  menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Di antara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut, ada empat point penting yang keduanya harus diketahui secara mendalam oleh seorang calon Mujtahid. Dua hal itu adalah tentang lafadz ‘am ,  khas, Amr, Nahi serta dalalahnya. Insya Allah dalam makalah sederhana ini keempatnya akan dibahas.       Setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syari’at Islam harus berpijak atas        Al-Qur’an al-karim dan sunnah nabi. Dengan demikian, dalil syar’iy ada dua bentuk yaitu; Nash dan Ghoirun Nash (bukan Nash). Dalil-dalil yang tidak termasuk dalam katagori Nash seperti Istihsan dan Qiyas pada dasarnya digali, bersumber dan berpedoman pada Nash. Seorang Mujtahid harus mengetahui prosedur cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari Nash. Dalam ilmu ushul fiqh, hal tersebut dibahas dalam metodologi khusus yang tidak akan dijabarkan secara luas di sini.

Cara penggalian hukum dari Nash ada dua macam pendekatan, yaitu:


  1. pendekatan makna

  2. pendekatan lafadz

pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada Nash secara langsung, seperti menggunakan metode Qiyas, Istihsan, Mustalah, Dzara’i dan lain sebagainya. Sedangkan pendekatan lafadz dalam penerapannya membutuhkan beberapa paktor pendukung yang di antaranya adalah:

*  Penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafaz Nash serta konotasinya dari segi khusus dan umum.

*  Mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi atau menggunakan mafhum yang diambil dari konteks kalimat.

*  Mengerti batasan-batasan (qoyyid) yang membatasi ibarat-ibarat Nash. Dan lain-lain.

B.TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:


1. Untuk mempelajari tentang mujmal dan mubayyan,amm dankhas,muthlaq dan muqoyyad,mantuq dan mafhum,amr dan nahyi,dan dalalah alfadz
2. Mendapatkan pemahaman tentang ‘mujmal dan mubayyan,amm dankhas,muthlaq dan muqoyyad,mantuq dan mafhum,amr dan nahyi,dan dalalah alfadz

BAB II

PEMBAHASAN



1.MUJMAL DAN MUBAYAN

a.Pengertian Mujmal dan Mubayan

Untuk menggali hukum terutama hukum syariah,tidak terlepas dari pembahasan kebahasaan karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menggunakan lafadz.Sebenarnya,lafadz-lafadz yang mengandung hukum harus jelas dan tegas agar tidak membingungkan para pelaku hukum terlebih pelaku hukum yang awam.namun dalam kenyataannya petunjuk (dilalah) lafadz-lafadz yang terdapat nash syara’ itu beraneka ragam.Bahkan,ada yang kurang jelas (khafa).Mujmal ialah suatu lafadz yang cocok untuk berbagai makna,tetapi tidak ditentukan makna yang dikehendakinya (makna global) dan masih membutuhkan bayan atau penjelasnya..Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam ta’yinnya : Firman Alloh ta’ala :

والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قرء

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Al-Baqoroh : 228)

 Quru’ (القرء) adalah lafadz yang musytarok (memiliki beberapa makna, pent) antara haidh dan suci, maka menta’yin salah satunya membutuhkan dalil.

Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan sifatnya: Firman Alloh ta’ala :



واقيمواالصلاة....................

“Dan dirikanlah sholat” (Al-Baqoroh : 43)

Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui (hanya dengan ayat ini, pent), membutuhkan penjelasan.

Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan ukurannya : Firman Alloh ta’ala :



الزَّكَاةَ وَآَتُوا

“Dan tunaikanlah zakat” (Al-Baqoroh : 43)

Ukuran zakat yang wajib tidak diketahui (hanya dengan ayat ini, pent), maka membutuhkan penjelasan.

Sedangakan.kebalikan daripada mujmal ialah mubayan,yakni suatu lafadz yang sudah jelas arti dan maksudnya meskipun tidak ada penjelasnya karena sudah sangat jelas dan rinci serta tidak dapat dipalingkan kepada makna yang laindan masyarakat pun tidak ada yang berikhtilaf.Contohnya pada surat Al-Maidah ayat 3 :

…….اللَّهِ غَيْرِ لِ أُهِلَّ وَمَا الْخِنْزِيرِ وَلَحْمُ وَالدَّمُ الْمَيْتَةُ عَلَيْكُمُ حُرِّمَتْ

Dalam ayat tersebut,sudah sangat jelas apa saja yang diharamkan untuk dimakan tanpa membingungkan pelaku hukum untuk mengerti maksud ayat tersebut. lafadz mubayan memiliki ciri yng khas yaitu kalimatnya yang rinci dan tegas (lafadz hurrimat untuk nahi dan furidho untuk amr).



2.LAFADZ UMUM (’AMM) DAN LAFADZ KHUSUS (KHAS)

a.Pengertian Lafadz Umum (‘Amm)

Pembahasa lafadz ‘amm dalam ilmu ushul fiqh mempunyai kedudukan tersendiri,karena lafadz ‘amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat para ulama dalam menetapkan hukum.Di lain pihak,sumber hukum islam pun,Al-Quran dan As-Sunnah,dalam banyak hal memakai lafadz umum yang bersifat universal.

Seperti disimpulkan Muhammad Adib Shaleh,lafadz umum ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.

Banyak kata yang menunjukan makna umum,salah satunmya:

Dalam surat Hud ayat 6 :

………….رِزْقُهَا اللهِ عَلَى الا رْضِ اِلا فِى دَآبَّةٍ مِنْ وَمَا *

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,….”

Yang dimaksud dengan binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum,mencakup seluruh jenis binatang tanpa terkecuali,karena diyakini bahwa setiap yang melata dipermukaan bumi adalah allah yang memberi rizkinya.

b.Lafadz Khusus (Khas)

Seperti dikemukakan Adib Shalih,lafadz khas adalah lafadz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertaian yang terbatas. Para ulama Ushul Fiqh sepakat.seperti yang disebutkan Abu Zahrahbahwa lafadz khas dalam nash syara’ menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara qath’I (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat qath’i (pasti) selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain.

Contoh lafdz khas adalah ayat 89 Surat al-Maidah :

……………..مَسَٰكِينَ عَشَرَةِ إِطْعَامُ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓٱلْأَيْمَٰنَ عَقَّدتُّمُ بِمَا يُؤَاخِذُكُم وَلَٰكِن أَيْمَٰنِكُمْ فِىٓبِٱللَّغْوِ ٱللَّهُ يُؤَاخِذُكُمُ لَا

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin

‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh,tidak lebih dan tidak pula kurang.Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tanpa ada kemungkinan pengertian lain.begitulah dipahami setiap lafadz khas dalam Al-Quran,selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain seperti makna majazi (metafora).

Jika terdapat indikasi yang menunjukan bahwa yang dimaksud bukan makna hakikatnya,tetapi makna majazinya,maka terjadilah apa yang dinamakan ta’wil,yaitu pemalingan arti lafadz dari makna hakiki-nya kepada makna majazi,seperti akan dijelaskan nanti bahwa dalam lafadz khas ada lafadz yang muthlaq dan juga ada lafadz yang muqayyad



3.LAFADZ MUTHLAQ DAN MUQOYYAD

a.Lafadz Muthlaq

Muthlaq adalah lafadz yang menunjukan suatu hakikat tanpa adanya qayyid (batasan).Jadi ia hanya menunjuk pada suatu individu tidak tertenu dari hakikattersebut.Lafadz muthlaq ini pada umumnya bersifat nakiroh dalam konteks kalimat positif.Contohnya: lafadz raqabah (seorang budak) dalam ayat “fatahriru raqabah” (maka [wajib atasnya] memerdekakan budak seorang budak)

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا (المجادلة:3)

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”

Pernyatan ini meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak,baik yang mu’min maupun yang kafir.Lafadz “raqabah” adalah nakiroh dalam konteks positif.Karena itu pengertian ayat ini ialah wajib atas seseorang untuk memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun tanpa adanya batasan (qayyid).

b.Lafazd Muqayyad

Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayyid (batasan).Jadi ia hanya menunjuk pada suatu individu tertentudari hakikat tersebut.Contohnya: kata “raqabah” yang dibatasi dengan”iman” dalam ayat “fatahriru raqabatin mu’minatin” (maka[hendaklah pembunuh itu ] memerdekakan budak yang beriman)

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:93)

Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.

Pernyatan ini meliputi pembebasan seorang budak yang dibatasi bahwa hanya budak yang mu’min saja yang dibebaskan atau dimerdekakan,tidak selain itu.


Membawa Hukum Mutlaq kepada Muqayyad

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:

1.Sebab dan hukumnya sama ,seperti hukum darah.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة :3)

Kata ad-dam (darah)dalam ayat tersebut disebut secara muthlaq tanpa membedakan antara darah yang mengalir dan darah yang masih tinggal dalam daging sembelihan.Karna ,jika semua darah diharamkan maka hati(hewan semisal ayam,sapikerbau) pun haram untuk dimakan sebab,pada dasarnya hati adalah darah beku yang tak mengalir. Namun,lafadz dam dalam ayat yang lain disebut secara muqoyyad,seperti dalam ayat 145 surat al-anam :

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir (damman masfuuhan) .Hukum yang dijelaska dua ayat tersebut adalah sama,yaitu haramnya darahdan sebab diharamkannya juga sama,yaitu mendatangkan mudhorot.Oleh karena sama dalam berbagai sisi.para ulama Ushul fiqh sepakat bahwa sifat darah yang disebut secara mthlaq itu disamakan dengan lafadz dam (darah) yang disebut muqoyyad.Dengan demikian,darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir dari binatang sembelihan,bukan yang masih tinggal dalam daging atau hati.

2. Sebab sama namun hukumnya beda,seperti kata tangan dalam wudhu dan tayamum.

Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.
Contoh:

a.       Ayat mutlaq :

Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:

....فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ....( المائدة:6)

Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah..

Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.

b.       Ayat Muqayyad:

Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:



  1. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ  ...(المائدة:6)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku...”

Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.

Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku.

Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.


3.Sebab berbeda tetapi sama hukumnya.

Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;

a. Mutlaq

Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ...(المجادلة:3)

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
b . Muqayyad

Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan)  yang tidak sengaja, yaitu :

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:92)

dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman.  Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.

4.Sebab berbeda dan hukumnya pun berbeda,seperti tangan dalam berwudhu dan dalam pencurian.

Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.

Contoh:


a. Mutlaq

Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ( المائدة:38)

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”

Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
b. Muqayyad

Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (المائدة:6)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”

Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku.

Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama  berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.



4.MANTUQ DAN MAFHUM

PENGERTIAN MANTUQ DAN MAFHUM

Mantuq adalah sesuatu (hukum) yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan (tersurat). Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan.

Sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat). Jadi mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut.1[2] Seperti firman Allah SWT;



فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا (الإسراء:23)

"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanla hkepada merekaperkataan yang mulia". (Q.S Al-Isra’ ayat 23)

Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum. Pengertian mantuq yang tersurat dalam ayat tersebut adalah, diharamkanya berkata-kata yang tidak baik kepada orang tua (mendesah, membentak, dan mencaci maki). Sedangkan pengertian mafhum yang tersirat adalah tidak diperbolehkan (haram) memukul dan menyiksa orang tua.



PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM

A. MANTUQ

Dalam hasanah ilmu ushul fiqh mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:



  1. Nash; yaitu suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya dan tidak mungkin di ta’wilkan atau diarahkan ke dalam pengertian lain. Seperti contoh dalam firman Allah SWT;

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا. (البقرة:175)

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S Al-Baqarah:175)

Kata al-bai' (jual beli) atau al-riba adalah suatu lafadz yang jelas pengertianya yang mana untuk memahami kata tersebut tidak membutuhkan ta'wil (asumsi).



  1. Dhahir, yatiu suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya, namun masih menimbulkan asumsi makna (pengertian) lain yang derajatnya di bawah makna aslinya (majaz). Seperti firman Allah SWT

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء. ( النساء:43)

"Atau menyentuh perempuan". (An-Nisa':43)

Lafadz "al-lams" dalam ayat tersebut mempunyai dua pengertian. Secara dhahir (haqiqi) lafadz "al-lams" mempunyai arti "menyentuh" dengan tangan. Jadi hukum menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu merupakan proses dari dhahir sebuah dalil.

Namun dalam sisi yang lain lafadz "al-lams" apa bila dilihat dari majaznya mempunyai arti "jima". Artinya, berdasarkan ayat tersebut yang membatalkan wudlu bukan menyentuh perempuan akan tetapi men-jima' perempuan yang diambil dari pengertian secara majaz.2[3]

Seperti contoh lain dikatakan; "Saya melihat harimau". Secara dhahir (haqiqi), kata harimau mempunyai arti "hewan buas yang suka memangsa". Namun kata harimau juga mempunyai arti majaz yaitu "seorang pemberani".3[4]



B. MAFHUM

Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:



1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan hukum yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya "membentak".

Mafhum Muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:

a). Fahwal Khitab

Yaitu apabila hukum yang dipahamkan lebih utama (berat) daripada yang diucapkan. Seperti "memukul" orang tua haram hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari haramnya "membentak" orang tua. Bahkan "memukul" dapat dikatakan lebih tidak diharamkan karena tidak hanya dapat menimbulkan sakit hati, namun lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka fisik.

b). Lahnal Khitab

Yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti contoh "membakar" harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum dari memakan harta anak yatim dengan dhalim, sebagaimana firman Allah SWT:



إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا [النساء: 10]

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". (Q.S. An-Nisa: 10)

Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa memakan harta anak yatim dengan dzalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul hukum haram "membakar" harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara "memakan" yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan "membakar" yang dihasilkan dari kefahaman, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.4[6]



2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian hukum yang dipahami berbeda daripada ucapan (mantuq), baik dalam istbat (menetapkan) maupun nafi (mentiadakan). Seperti firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)

Ayat di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat jum'at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum.



SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH

Karena mafhum mukhalafah adalah proses hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq, maka diperlukan beberapa syarat agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih. Untuk syahnya mafhum mukhalafah diperlukan empat syarat:

1. Mafhum Mukhalafah harus tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:

وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق [الإسراء :31]

Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin­an”. (Q.S. Isra’ ayat 31).

Ayat tersebut di atas secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena "takut muskin". Mafhum mukhalafah-nya berarti "membunuh anak tidak karena takut miskin". Dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain yaitu;

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ. [الإسراء :33]

Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran". (QS. Isra’:33)”

Berdasarkan dalil mantuq di atas, baik takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin (mafhum) tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak.

Contoh mafhum mukhalafah yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:



فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ. (الإسراء:23)

"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)

Berdasarkan ayat di atas secara mantuq disebutkan tidak boleh berkata-kata kasar terhadap orang tua. Apa bila difahami dengan mafhum mukhalafah berarti selain berkata-kata kasar seperti memukul diperbolehkan. Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) seperti ini tidak dibenarkan karena bertentangan mafhum muwafaqahnya, yaitu "tidak boleh memukul".

2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh;

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ. (النساء. 23)

"Dan anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri". (QS. An-Nisa':23)

Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa "anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh dinikahi". Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah mengatakan "yang kamu pelihara" hanya berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.5[7]

3. Lafadz yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Seperti contoh;

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البحارى)

Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". (HR. Bukhari)

Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti "muslim" lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu "diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim". Sebab perkataan "muslimun" hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.

4. Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam Al-Baqarah;187:

Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)

Dalil di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya



5.AMR DAN NAHYU

A.Amar
1.Pengertian Amar


Perintah (amar) adalah permintaan lisan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukanya lebih rendah.1 Perintah menurut pengertian ini berbeda dari permohonan (do’a) dan ajakan (iltimas). Karen a yang disebut pertama merupakan permintaan dari orang yang kedudukanya lebih rendah kepada orang yang kedudakanya lebih tinggi. Sementara ajakan permintaan diantara orang yang seterusnya sejajar/ hampir sejajar. Perintah lisan menimbulkan makna yang berbeda-beda yaitu wajib, sunnah bahkan mubah. Ada yang berpendapat bahwa amar hanya mencakup dua diantara tiga konsep tersebut, yaitu wajib dan sunnah. Sedangkan ada pendapat untuk melakukan sesuatu dan ini makna amr yang paling luas yang sama dengan ketiga konsep diatas.
Adapun arti amar (arti yang pokok dalam amru adalah menunjukkan wajib) wajibnya perbuatan yang di perintahkan atau lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan

2.Hukum Amar

-Wajib : (al-baqoroh:3)

……….واقيممواالصلاة

-Sunnah : (al-baqoroh:282)

B.Nahi
1.Pengertian Nahi
Nahi adalah lafal yang menunjukkan tuntutan untuk meningggalkan sesuatu (tuntutan yang masih dikerjakan) dari atasan kepada bawahan6. Atau nahi adalah ungkapan yang meminta agar sesuatu perbuatan dijauhi yang dikeluarkan oleh orang yang kedudukanya lebih tinggi kepada orang yang kedudukanya lebih rendah.
Larangan seperti halnya perintah, membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna pokok dari nahi adalah keharaman, atau tahrim tetapi nahi juga digunakan untuk sekedar menyatakan ketercelaan (karohiyah) / tuntutan (irsyad) atau kesopanan (ta’dib) dan permohonanan (do’a). Oleh karena itu nahi membawa berbagai makna, maka para ulama’ berbeda pendapat tentang manakah diantara makna – makna ini yang merupakan makna pokok (hakiki) sebagai lawan dari makna sekedar atau makna metaforisnya8. Adapun tujuan dari suatu larangan adalah adalah perbuatan maka tidak diperbolehkan mengguakan sifat yang tidak berhubungan dengan esensi dari perbuatan itu.

2.Hukum Nahi

-Haram : (al-isra:32)

……………..سَبِيلًا وَسَاءَ فَاحِشَةً كَانَ إِنَّهُ الزِّنَا تَقْرَبُوا وَلَا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,” (QS. Al-Isra’: 32).

-makruh : (al-jumuah:9)

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk melakukan shalat jum’at maka bersegeralah kamu pada mengingat allah dan tinggalkanlah jual beli.Yang cemikian itu lebih baik bagmu jika kamu mengetahui.



6.DALALAH

DALALAH

AQLIYAH WADHIYAH

GHOIRU LAFDZIYAH LAFDZIYAH

HANAFI SYAFI’I

TEKSTUAL IBAROH NASH MANTUQ

ISYAROH NASH MAFHUM

KONTEKSTUAL DALALAH NASH MUWAFAQOH MUKHOLAFAH

IQTIDA’ NASH

1.DALALAH IBAROH

Dalalah ibaroh ialah lafadz yang dipahami melalui teksnya saja.Seperti pada firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqoroh : 275



وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا. (البقرة:175)

Pengertian: a.halal jual beli

b.haram riba’

2.DALALAH ISYAROH

Dalalah isyaroh ialah lafadz yang dipahami dari ungkapan nash bukan dari teks (tersirat).Seperti firman Allah dalam surat

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةُ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودُُلَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآءَاتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرُُ {233}

 

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233)

Pengertian: suami wajib memberi nafkah pada istri

3.DALALAH NASH

Dalalah nash ialah lafadz yang dipahami dari jiwa nash atau illat nash.Seperi firman Allah dalam surat

فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ. (الإسراء:23)

"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)

Pengertian : Secara teks hanya ‘uh’ atau ‘ah’ saja yang tidak boleh dilakukan.Namun dalam segi konteks,jika ‘ah’ saja tidak boleh apalagi memukul ataupun berkata kasar lainnya.

4.DALALAH IQTIDA’ NASH

Dalalah iqtida’ nash ialah lafadz yang dipahami dari satu dalil yang tidak sesuai dengan dalilnya (hal ini yang disebut tidak logis).Seperti dalam sabda nabi :

رفع القلام عن ثلاث عن النائم حتى يستيقظ عن المجنون حتى يفيق وعن الصبي حتى يبلغ..............................

Pengertian : Yang dimaksud “qolam” disini bukanlah qolam yang biasa kita pahami.Qolam disini diartikan bebas hukum.Yakni bebasnya hukum apabila dilakukan oleh ketiga orang yang disebutkan dalam ayat tersebut.



  • Sedangkan Syafi’I membagi dalalah menjadi dua : 1. Mantuq

2. Mafhum

Mantuq ialah ma’na yang disimpulkan sesuai teks seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.Sedangkan mafhum terbagi menjadi dua:

*Mafhum muwafaqoh.

Ma’na yang disimpulkan masih sesuai teks

Contoh : فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ. (الإسراء:23)

"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)

*Mafhum mukholafah.

Ma’na yang disimpulkan bertentangan dengan bunyi teks.

Contoh


:

Lafadz alhli kitab dalam ayat tersebut diartikan sebagai berikut:

اوتواالكتب

Mantuq: Leleki islam halal Mafhum mukholafah: Perempuan

menikah dengan perempuan haram menikah dengan

ahli kitab (non muslim). lelaki ahli kitab (non muslim).

BAB III

PENUTUP


A.KESIMPULAN

Ketetapan hukum Sar’iy yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa di pertanggung jawabkan. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.

Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.

B.SARAN


Penulis berharap dengan terselesaikannya makalah ini dapat bermanfaat kelak dan agar para mahasiswa lebih bersemangat lagi untuk terus menggali dan haus akan ilmu.Salah satunya ilmu ushul fiqh yang mencakup segala aspek tentang hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Syafe’I,Rachmat,ILMU USHUL FIQH untuk UIN,STAIN,PTAIS,Bandung:CV PUSTAKA SETIA.2010.

M.Zein,Satria Effendi,USHUL FIQH,Rawamangun:PRENADA MEDIA,2005.Cet I.

Sumber internet :

Sururuddin,wordpress.com

Almukmin-ngruki.com

www.slideshare.net



1



2



3



4



5




Yüklə 133,39 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin