DARI KAWASAN BEBAS INTERNET (Internet-Free Zone) MENUJU
KE KAWASAN INTERNET GRATIS (Free-Internet Zone)1
oleh:
Rhiza S. Sadjad2
rhiza@unhas.ac.id
http://www.unhas.ac.id/~rhiza/
Yth. Bapak Gubernur/Kepala DT I Provinsi Sulawesi Selatan
Yth. Bapak Bupati/Kepala DT II Kabupaten Takalar
Yth. Bapak Walikota serta Muspida Kotamadya Makassar
Yth. Bapak Kepala Divisi Regional VII PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA
Yth. Bapak Ketua Yayasan Pendidikan Dipanegara Makassar
Yth. Bapak Ketua dan segenap civitas academica STMIK Dipanegara
Yth. Para Pemateri Seminar
Yth. Pimpinan dan anggota TSC-STMIK Dipanegara Makassar
Yth. Para Undangan dan Peserta Seminar yang kami muliakan,
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, pertama-tama marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Rabbi, karena hanya berkat izin dan perkenan-Nya sajalah, kita dapat berkumpul pada hari ini untuk mencoba membahas bersama 2 (dua) perkara yang menjadi issue penting dalam kehidupan kita akhir-akhir ini, yaitu otonomi daerah dan teknologi informasi, khususnya jaringan komputer dan Internet. Bagi kebanyakan orang, termasuk kami sendiri pada awalnya, kedua issue itu mungkin seolah-olah merupakan dua hal yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Insya Allah, seusai seminar ini nanti, akan jelas terbukti, bukan saja di atas kertas, melainkan juga dengan kenyataan di lapangan, bahwa teknologi informasi memang selayaknya berperan penting sebagai sarana pendukung pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana yang dimestikan oleh undang-undang yang berlaku di negeri ini.
Panitia Seminar Nasional Jaringan Komputer II ini telah meng-amanah-kan kepada kami untuk menyampaikan suatu uraian pembuka dalam bentuk Keynote Speech. Uraian sederhana ini kami beri judul: "DARI KAWASAN BEBAS INTERNET (Internet-Free Zone) MENUJU KE KAWASAN INTERNET GRATIS (Free-Internet Zone)".
Kami ingin menghaturkan banyak terimakasih atas kepercayaan yang diberikan kepada kami dan semoga kiranya apa yang akan kami uraikan ini bermanfaat, utamanya bagi diri kami pribadi mau pun untuk memberi semangat dan motivasi kepada seluruh peserta seminar dalam mengikuti materi-materi yang akan diuraikan para pembicara dalam sesi-sesi yang telah direncanakan oleh panitia di sepanjang hari ini. Kami yakin bahwa seluruh materi yang akan disajikan nanti amatlah penting untuk kita simak dan kita kaji bersama dalam rangka menyusun upaya-upaya pembangunan masa kini dan masa depan khususnya di kawasan Sulawesi Selatan ini.
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan saudara-saudari hadirin yang kami muliakan,
Ketika kami kembali ke daerah ini pada pertengahan tahun 1995, kami mendapati kawasan ini hampir-hampir merupakan suatu kawasan yang "bebas Internet" (Internet-Free Zone), suatu blank-spot besar di dunia maya yang agak "memalukan", mengingat pada masa itu hampir seluruh pelosok dunia ini sudah mendapat akses Internet sejak bertahun-tahun sebelumnya. Seorang rekan kami ketika itu, Ir. H. Tahir Ali, tengah asyik ber-eksperimen dengan NOS (suatu sistem operasi yang biasa digunakan oleh para pegiat Radio Amatir) yang sudah dimodifikasi oleh mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB yang dikader oleh DR. Onno W. Poerbo dan sistem komunikasi satelit yang sudah kadaluwarsa, yaitu sistem SCPC Analog dalam mode loopback bantuan dari PT. TELKOM Divisi Regional VII, Divisi Regional VI dan Divisi Network, serta akses ke Internet melalui jalur Dikti-IptekNet/BPPT (yang dimungkinkan atas gagasan original dari - antara lain - DR. Marwah Daud Ibrahim). Tujuan eksperimen ini adalah untuk memperkenalkan Internet ke seluruh Kawasan Timur Indonesia, khususnya kalangan Perguruan Tinggi Negeri, yang sudah terjaring dalam suatu Sistem Pendidikan Jarak Jauh Melalui Satelit (SISDIKSAT) sejak tahun 1983. Perguruan Tinggi Negeri di Kawasan Timur Indonesia ini sudah sejak lama tergabung dalam suatu Badan Kerjasama yang disebut BKS-PTN-INTIM. Suatu kebahagiaan tersendiri ketika menyaksikan teman-teman dari Jayapura, Manokwari sampai ke Samarinda bisa "chatting" ke "negeri khayalan" buah karya rekayasa DR. Budi Rahardjo, yaitu suatu sistem MUD (Multi User Dungeon) bernama "Negeri Isnet". Sejak saat itulah, lebih-lebih ketika tak lama kemudian, IDOLA dengan jaringan Lintas Artha-nya mulai meluncurkan ISP (Internet Service Provider) pertama di Makassar, diikuti oleh Mega-Net, Wasantara-Net dan lain-lain, Kawasan Timur Indoneia tidak lagi bisa disebut sebagai kawasan "bebas Internet".
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan saudara-saudari hadirin yang kami muliakan,
Saat ini, Kawasan Timur Indonesia, terutama di ibukota-ibukota Propinsi, bahkan sampai ke kabupaten-kabupaten, sudah terjangkau oleh Internet, berkat upaya besar-besaran yang dilakukan oleh utamanya PT. Pos Indonesia dengan Wasantara-Net-nya dan PT. Telkom dengan Telkom-net-nya. Hanya saja untuk sebagian masyarakat kita, akses ke Internet masih terasa sebagai suatu fasilitas mahal, yang baru dinikmati oleh kalangan tertentu saja yang mampu merogoh kocek-nya lebih dalam. Biaya akses dan biaya pulsa masih terlalu tinggi dibandingkan dengan kemampuan daya-beli masyarakat, terlebih-lebih di tengah krisis seperti sekarang. Padahal, justru di tengah-tengah segala krisis yang melanda, kebutuhan akan ketersediaan informasi malah semakin meningkat, sebab masyarakat tentu semakin memerlukan celah-celah peluang yang baru dalam mengupayakan hajat hidup mereka. Inovasi Warung Internet atau WARNET barangkali merupakan salah satu solusi yang ditawarkan saat ini, tapi dalam visi jangka-panjang-nya, tetap kita harus menuju ke suatu keadaan yang ideal, yaitu ketika akses Internet menjadi gratis untuk setiap orang sebagaimana gratis-nya rata-rata orang sekarang menonton siaran Televisi, mendengarkan siaran Radio dan meminjam buku di Perpustakaan Umum. Mengapa demikian? Sebab informasi adalah hak asasi setiap orang, dan kita harus memperjuangkan agar setiap orang bisa mendapatkan hak-nya. Marilah kita sama-sama membayangkan bahwa Kawasan Timur Indonesia ini, atau setidaknya khusus di wilayah propinsi Sulawesi Selatan, suatu hari kelak pada masa depan, kita akan jadikan sebuah kawasan Internet gratis atau Free-Internet Zone.
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan saudara-saudari hadirin yang kami muliakan,
Memang sulit membayangkan bagaimana akses Internet bisa gratis, terutama di negeri ini - sedangkan untuk buang air di WC umum saja mesti membayar tip pada penjaganya, apalagi untuk minum air. Memang ada sedikit kesalahan sejarah dengan Internet di negeri ini. Ketika pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1993, Internet sudah mulai bersifat komersial. Padahal selama bertahun-tahun sebelumnya, Internet merupakan suatu sarana akademis, suatu fasilitas yang digunakan oleh para pakar dan peneliti yang bekerja di berbagai lembaga penelitian, lalu diikuti oleh para mahasiswa, dosen serta professor di dunia pendidikan tinggi. Memang ada juga beberapa perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi informasi dan komputer - seperti DEC (Digital Equipment Corporation) misalnya, yang sejak awal merupakan perintis-perintis dari penggunaan Internet, tapi terbatas hanya untuk sarana komunikasi intern perusahaan mereka saja. Yang jelas, karena merupakan fasilitas yang berkaitan dengan lingkup pekerjaannya, maka dengan sendiri-nya Internet digunakan secara gratis oleh penggunanya.
Dunia komersial, yang memperkenalkan Internet ke negeri ini, telah merubah citra Internet yang semula merupakan sarana akademis - yang gratis atau setidaknya "murah-meriah" - menjadi komoditi perdagangan berupa pelayanan jasa - khususnya "hiburan" - yang "mahal" dan "wah", bahkan telah menjadi suatu simbol status lebih daripada nilai fungsional-nya, sejajar dengan pelayanan teknologi informasi lainnya seperti sarana hand-phone, multi-media dan VCD. Kesalah-kaprahan ini diperkuat oleh ketidak-siapan kalangan akademisi, pakar dan peneliti di negeri ini, serta kalangan penyedia infrastuktur telekomunikasi, dalam meng-antisipasi perkembangan penggunaan Internet di kalangan mereka sendiri. Ditambah lagi dengan mental aparat birokrasi yang cenderung untuk mem-"proyek"-kan segala sesuatu, maka jadilah Internet, sebagaimana yang kita fahami di negeri ini sekarang.
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan saudara-saudari hadirin yang kami muliakan,
Mustahil rasanya untuk memutar balik roda sejarah! Yang dapat dilakukan adalah kembali ke dasar, back to basic. Informasi - pada dasarnya - adalah hak azasi setiap warga masyarakat. Karena Internet adalah sarana untuk mendapatkan informasi, maka pada dasarnya, setiap warga masyarakat berhak mendapatkan akses ke Internet, gratis!
Sedikitnya ada dua bidang pelayanan pada masyarakat yang sangat potensial untuk mendapatkan akses Internet gratis, yaitu dunia pendidikan (e-education atau e-learning) dan dunia pemerintahan (e-government). Para pelaku di dua dunia ini mestinya mendapatkan Internet sebagai fasilitas gratis, sebagaimana mereka saat ini mendapatkan fasilitas listrik, air-bersih, telepon, peribadatan, bahkan kendaraan dan rumah-tinggal, demi pelaksanaan tugas-tugas mereka. Jadi akses Internet mestinya gratis di seluruh perguruan-tinggi dan sekolah, demikian juga di kantor-kantor pemerintahan. Sedikitnya dua dunia itulah, menurut hemat kami, yang suatu saat kelak harus bisa kita deklarasi-kan sebagai kawasan Internet gratis (Free-Internet Zone).
Bagaimana bisa?
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan saudara-saudari hadirin yang kami muliakan,
Dalam jaman yang sangat materialistis, serba komersial dan serba-ekonomis ini, memang sulit menemukan sesuatu yang bisa diperoleh secara gratis. Secara teknis, penyediaan link komunikasi untuk Internet misalnya, bisa diupayakan dari optimisasi time-slot dan frequency-slot infrastruktur telekomunikasi yang ada, yang tidak pernah mencapai 70%. Bukankah rata-rata sepertiga dari waktu kita hidup di dunia ini kita manfaatkan untuk istirahat, untuk tidur? Pada saat semua kita sedang tidur, tentu semua link komunikasi juga menganggur. Tapi selain itu, sedikitnya ada 3 (tiga) hal yang memungkinkan mendukung peng-gratis-an suatu fasilitas. Yang pertama adalah semangat ke-sukarelawan-an atau semangat volunterisme yang didukung oleh idealisme tinggi. Biasanya semangat ini tumbuh di kalangan orang-orang muda, para pelajar dan mahasiswa. Kalau kita mempelajari sejarah, kita tahu bahwa perjalanan sejarah ummat manusia di muka bumi ini banyak sekali ditentukan oleh semangat ke-sukarelawan-an kaum muda. Uang dan materi memang penting, tapi tentu bukan segala-galanya. Di kalangan para pegiat dan pelaku teknologi informasi dan jaringan komputer, semangat ke-sukarelawan-an ini antara lain misalnya dicontohkan oleh para pegiat dan pengguna sistem operasi komputer LINUX yang di Makassar di-organisasi-kan oleh kelompok LUGU (Linux User Group Ujungpandang). Dengan kegiatan mereka yang didasari oleh semangat ke-sukarelawan-an, mereka berusaha untuk melawan "big-businesses" dalam teknologi informasi di satu sisi, dan sekaligus juga memerangi pembajakan di sisi yang lain.
Yang kedua yang juga bisa mendukung peng-gratis-an fasilitas Internet adalah upaya-upaya sponsorship dan promosi usaha komersial. Bisnis "portal" yang banyak menyediakan berbagai fasilitas Internet gratis bagi para pengguna menggunakan konsep ini. Kami kira ini sudah merupakan hal yang lumrah dalam dunia usaha, di satu fihak ada yang memerlukan sarana untuk mem-promosi-kan produknya atau untuk memperbaiki citra-nya di masyarakat, di fihak lain ada yang memerlukan dana untuk membiayai kegiatannya. Dari kerjasama yang saling menguntungkan inilah muncul konsep sponsorship. Diakui bahwa sering terjadi "tabrakan" kepentingan, misalnya kegiatan olahraga di-sponsor-i oleh industri rokok, atau kegiatan pelestarian lingkungan di-sponsor-i oleh pabrik pupuk atau pestisida yang mencemari lingkungan, dan seterusnya. Dalam penyediaan jasa Internet "tabrakan" kepentingan seperti ini bisa saja terjadi. Misalnya yang seolah-olah terjadi antara peng-gratis-an fasilitas Internet di kampus-kampus dan sekolah-sekolah, dengan usaha penyediaan jasa Internet oleh para Internet Service Providers (ISP) dan WARNET-WARNET. Diketahui bahwa sebagian besar dari pelanggan ISP dan WARNET adalah kalangan kampus dan sekolah. Kalau Internet gratis di kampus dan sekolah, tentu para pelanggan ini akan lari semua. Tapi bukankah para pengguna Internet di sekolah dan kampus itu tidak selamanya dan seumur-hidupnya ada di sekolah dan di kampus? Berapa banyak kita tahu mantan pejabat yang membeli mobil pribadi, setelah mobil dinas mereka ditarik kembali selesai masa jabatan. Selain itu mereka tentu juga memerlukan privacy dalam menggunakan Internet, bukan? Fasilitas yang gratis tentu punya banyak restriksi, demikian juga Internet yang gratis.
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan saudara-saudari hadirin yang kami muliakan,
Hal ketiga yang juga mendukung peng-gratis-an Internet untuk kepentingan pendidikan dan pemerintahan adalah alokasi anggaran dan penetapan prioritas. Ini khususnya berlaku di negara yang "padat-birokrasi" seperti negeri kita ini. Selalu ada anggaran untuk membayar rekening listrik, membayar rekening telepon, membeli kendaraan dinas, membeli kupon bensin, meng-instalasi sistem pendingin ruangan, membeli kertas dan tinta, mengapa tidak tersedia anggaran untuk Internet? Para pakar mengenai keadaan masa depan sudah sejak lama meramalkan akan tibanya suatu era baru yang disebut era informasi. Pada era tersebut akan terbentuklah masyarakat baru yang disebut masyarakat informasi (information society). Untuk meng-antisipasi ini, ada baiknya kita mengingatkan para perencana dan mereka yang berwenang atas penetapan prioritas dan alokasi anggaran agar setidaknya mulai memikirkan penerapan teknologi informasi, khususnya dalam bidang pendidikan dan pemerintahan, sebagai salah satu titik perhatian yang penting.
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan saudara-saudari hadirin yang kami muliakan,
DR. Onno W. Poerbo dalam salah satu tulisannya pernah mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) komponen yang membangun Internet, yaitu yang disebutnya sebagai 3-C: "Computer", "Communication" dan "Content"3. Pada kesempatan ini kami ingin mengemukakan 2 lagi C, yaitu "Commitment" dan "Care", yang pada dasarnya adalah "kepedulian". Kepedulian yang kami maksudkan di sini bukanlah "kepedulian" yang hanya berupa retorika semata, yang manis dan hangat di kata-kata yang terukir dalam berbagai makalah dan presentasi saja, melainkan kepedulian yang wujud dalam 3 (tiga) hal yang telah kami sebutkan tadi, yaitu: ke-sukarelawan-an, sponsorship dan anggaran. Mereka yang mempunyai waktu, tenaga dan fikiran lebih, silakan mewujudkan kepedulian mereka dalam kerja nyata ke-sukarelawan-an, bukan hanya mencari-cari kesempatan mendapatkan proyek saja. Mereka yang punya kelebihan dana, silakan bergiat menjadi penyandang dana atau sponsor. Dan, last but not least, mereka yang punya akses ke penyusunan anggaran, baik di instansi-instansi pemerintahan, lembaga-lembaga pendidikan dan BUMN, sisihkanlah anggaran yang memadai untuk pengembangan teknologi informasi - khususnya Internet - di tempat mereka bekerja masing-masing. Siapa tahu masa depan kita ada di sana.
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan saudara-saudari hadirin yang kami muliakan,
Insya Allah, dengan upaya kita bersama, wilayah Sulawesi Selatan ini, atau bahkan seluruh wilayah Kawasan Timur Indonesia, dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, sejak tahun 1995, akan berubah dari kawasan yang "bebas Internet" (Internet-Free Zone) - suatu blank-spot di dunia maya yang memalukan - menjadi kawasan yang menyediakan akses Internet gratis (Free-Internet Zone), paling tidak untuk para pelaku di dunia pendidikan dan pemerintahan. Semoga harapan ini benar-benar akan terwujud menjadi kenyataan pada masa depan yang tidak terlalu lama lagi.
Demikianlah sekedar penyampaian kami, semoga bermanfaat bagi kita semua, lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.
Wabillahittaufiq wal hidayah, wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Makassar, 15 Mei 2001
BIODATA
Rhiza S. Sadjad was born in Bogor (1957) and completed his elementary and intermediate education there. He received his first degree (S1, Insinyur) from the Department of Electrical Engineering, Bandung Institute of Technology (ITB) in 1981. He has been with the Department of Electrical Engineering, Hasanuddin University (UNHAS) Makassar since 1983. Before moving to Makassar in 1983, he held a teaching position at the Faculty of Electrical Engineering, Satya Wacana Christian University (UKSW), Salatiga for two years. In 1987 he continued his study in the United States of America and received the M.S.E.E (1989) and the Ph.D. (1994) in the area of Automatic Control Systems from the University of Wisconsin-Madison. Currently, besides teaching at the UNHAS Graduate Programs of the Faculty of Engineering and Faculty of Social and Political Sciences and several private universities and colleges, including STMIK Dipanegara, he also serves as the Head of Control Systems and Instrumentation Laboratory at UNHAS Department of Electrical Engineering, Local Coordinator of SISDIKSAT BKS-PTN-INTIM and chairs the Division of Computer and Information Systems at UNHAS Research Center.
Dostları ilə paylaş: |