... wal maw ‘izhotil hasanah ...
Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya, dan nasihat adalah semahal-mahalnya pemberian. Akan tetapi menasihati seseorang adalah sesuatu yang paling sulit dilakukan karena kebenaran itu pahit. Menjelaskan kesalahan itu sama saja dengan membuka aib. Di lain pihak sifat manusia itu sendiri suka menentang dan sangat cinta pada diri sendiri. Jadi menurut saya suatu nasihat akan mendatangkan hasil yang baik jika kita mampu menyampaikannya dengan cara yang baik pula.
Berdakwahlah sebaik-baiknya dengan cara yang baik. Penjelasan mengenai value dan content dakwah kita dengan jelas dan tegas sudah Allah turunkan melalui Al Qur’an dan Hadits. Tinggal bagaimana cara kita sebagai aktivis dakwah kampus membahasakannnya dengan cara dan media yang tepat. Metode yang tepat akan mempercepat proses penyampaian hidayah. Sedangkan metode yang kurang pas bisa berdampak kontraproduktif pada dakwah yang dilakukan.
Dalam Al Qur’an Allah telah berfirman,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali ’Imran: 159)
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44)
Dari kedua ayat ini sudah jelas bahwa memang dakwah itu harus dilakukan dengan bahasa yang lemah lembut. Bisa juga diterjemahkan dengan “bahasa yang tepat”. Pemilihan diksi, pemenggalan ayat, serta media yang digunakan, haruslah benar-benar berdasarkan kebutuhan objek dakwah, bukan berdasarkan keinginan mereka.
Proses dakwah itu pada dasarnya sama dengan proses komunikasi:
Gambar tersebut mencoba memberikan gambaran bagaimana proses dakwah berjalan, dan bagaimana cara yang baik yang dapat dilakukan aktivis dakwah dalam melaksanakan setiap proses yang ada.
Satu: Pesan yang akan disampaikan
Cobalah betul-betul selektif dalam menentukan pesan yang akan disampaikan kepada objek dakwah. Sering kali lembaga dakwah memberikan konten yang terlalu “tinggi” sehingga tidak cocok dengan kebutuhan objek dakwah saat ini. Penyesuaian pesan haruslah benar-benar tepat. Penggunaan survei atau kuesioner sederhana untuk melihat bagaimana kebutuhan dari objek dakwah bisa digunakan sebagai landasan untuk menentukan isi pesan yang akan disampaikan.
Dua: Media atau fasilitas yang digunakan dalam proses dakwah
Apakah media dakwah yang digunakan berupa SMS, selebaran, pamflet, baliho, poster, pemanfaatan jejaring sosial, ta’lim, outbound, survival, travelling, atau permainan? Media dan penataan isi pesan dakwah akan sangat menentukan keberterimaan pesan tersebut kepada objek dakwah. Cobalah gunakan cara pandang seorang seller dan marketer yang mampu berpikir dari sudut pandang consumer-nya (dalam hal ini objek dakwah). Berikanlah apa yang objek dakwah butuhkan, bukan apa yang kita—sebagai subjek dakwah—inginkan.
Tiga: Penerima pesan
Pastikan penerima pesan berada dalam keadaan siap untuk menerima pesan. Jika mereka dalam keadaan sedang tidak ingin diganggu, atau pun sedang tidak siap menerima dakwah, bisa jadi tindakan kita justru akan menimbulkan masalah. Misalnya saat kita memaksa mengadakan ta’lim sebelum waktu ujian, atau diklat panjang di jam kuliah. Kita pun bisa memanfaatkan momen seperti bulan Ramadhan sebagai penunjang pembentuk suasana dakwah.
Empat: Penyampai pesan
Sebagai seorang penyampai pesan, seorang aktivis dakwah perlu menunjukkan i’tikad dan niatan yang tulus dalam berdakwah. Merujuk kembali ke buku “Bagaimana Menyentuh Hati”, cara yang paling baik agar seorang aktivis dakwah bisa menjalankan peran sebagai pendakwah adalah dengan memastikan bahwa dirinya memiliki kebersihan hati. Dengan kebersihan hati, maka seseorang akan lebih mudah berkomunikasi dengan hati objek dakwah. Di situlah pintu hidayah akan lebih mudah dibuka.
Sebagai tambahan, seorang aktivis dakwah juga perlu memahami cara-cara dakwah yang lemah lembut namun persuasif, serta menunjukkan antusiasme bahwa memang ia serius dan bersungguh-sungguh mengajak objek dakwah untuk mengikuti ajaran Islam dengan baik. Ditambah dengan faktor keteladanan yang dimiliki oleh pendakwah, maka kombinasi ini Insya Allah akan menghasilkan keefektifan gerakan dakwah baik secara personal maupun komunal.
... hatta yakfuruu bithaghuti wa yu’minuu billah ...
Dakwah bertujuan agar manusia meninggalkan thagut atau kesyirikan dan beriman kepada Allah. Thagut pada zaman jahiliyah dikenal dengan hubal, latta, dan uzza’. Mereka adalah spiritualis pada zamannya. Masyarakat Mekkah memuat patung mereka sebagai media untuk berdo’a kepada Tuhan. Pada saat Futuh Mekkah, salah satu simbol penaklukan kota adalah merusak patung-patung tersebut. Kejadian ini menjadi simbol kemenangan aqidah bagi masyarakat Kota Mekkah. Jelas dalam masa kenabian Muhammad, tujuan dakwah adalah membuat masyarakat jahiliyah meninggalkan Tuhan selain Allah azza wa jalla.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS. Al-Baqarah: 30)
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. Adz-Dzariat: 5)
Pada kedua ayat diatas, jelas Allah menegaskan bahwa tiada Tuhan selain-Nya. Prinsip tauhid inilah yang menjadi arus utama gerak dakwah Islam. Peran kita sebagai khalifah di bumi Allah haruslah kita optimalkan sedemikian rupa agar manfaat Islam sangat terasa di muka bumi ini.
Imam Syahid Sayyid Qutb dalam buku fenomenalnya “Petunjuk Jalan” mengatakan, “Umat manusia sekarang ini berada di tepi jurang kehancuran. Keadaan ini bukanlah berasal dari ancaman maut yang sedang tergantung di atas ubun-ubunnya. Ancaman maut itu adalah satu gejala penyakit dan bukan penyakit itu sendiri”.
Merujuk pada perkataan beliau, bentuk thagut masa kini semakin berkembang dan lebih bervariasi. Tidak lagi sekedar berbentuk penyembahan terhadap patung. Penyembahan thagut kini telah berkembang menjadi samar dan menjurus pada syirik. Thagut masa kini bisa berbentuk harta, tahta atau jabatan, wanita atau kesenangan dunia lainnya, dan ramalan. Bahkan fasilitas jejaring sosial juga bisa menjadi thagut bila digunakan secara berlebihan hingga manusia lalai akan kewajibannya terhadap Allah. Sering kali memang manusia tidak sadar bahwa ia telah lebih mencintai sesuatu yang ada di dunia ini sampai-sampai “menyembah” benda itu dengan cara lebih memprioritaskannya, atau lebih sering memikirkannya.
Dengan demikian, proses pendekatan yang perlu dilakukan dalam aktivitas dakwah perlu menjadi semakin variatif. Aktivis dakwah kampus harus mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk thagut yang ada disekitar objek dakwahnya dan membuat siasat anti-thagut yang bisa melawan thagut semu yang merajalela itu.
Inilah tantangan dakwah kita di masa kini. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman yang baik dari setiap aktivis dakwah untuk mampu berdialektika dengan objek dakwah agar dapat memberikan pencerahan untuk beriman kepada Allah.
Hakikat beriman kepada Allah merujuk pada karya Syaikh Muhammad ibn Sholih Al ‘Utsaimin dalam bukunya “Syarh Tsalatsatul Ushul”. Dalam buku tersebut beliau menekankan pentingnya memahami hakikat beriman kepada Allah agar seorang muslim tidak sekedar ikut-ikutan (taklid) dalam beramal. Beliau menuliskan bahwa dalam keimanan kepada Allah terkandung empat unsur yang saling berkaitan.
Pertama, keimanan kepada wujudullah (adanya Allah). Maka jelas batillah pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak ada. Bahkan keberadaan Allah jelas nyata, baik secara fitrah, akal, syar’i dan secara indrawi.
“Engkau beriman
kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman dengan takdir, yang baik dan
yang buruk.”
-HR Muslim-
Kedua, keimanan kepada sifat rububiyah Allah, yaitu kita mengimani bahwa hanya Allah-lah rabb semesta alam dan tidak ada satupun sekutu bagi-Nya. Hanya bagi-Nya-lah hak untuk mencipta, menguasai, dan memerintah. Tidak ada seorang pun yang mengingkari sifat rububiyah Allah ini kecuali orang-orang yang sombong dan meragukan perkataan mereka sendiri.
Ketiga, keimanan kepada sifat uluhiyah Allah, yaitu mengimani bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah dan tidak ada satu pun sekutu bagi-Nya. Allah berfirman, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 163)
Keempat, seorang muslim wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau Sunnah Rasul-Nya, tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, tamtsil dan tafwidh. Allah berfirman dalam surat Al-A’raaf, “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al A’raaf: 180)
Dostları ilə paylaş: |