Tujuan pendekatan komunikasi terhadap pengajaran bahasa adalah untuk mengembangkan kerangka teoretis bagi rancangan dan evaluasi kurikulum berikutnya dalam program L2. Ada empat komponen kemampuan komunikasi yang diidentifikasi dalam kerangka ini, yaitu kemampuan tata-bahasa, kemampuan sosiolinguistik, kemampuan wacana, dan kemampuan strategi. Keempat kemampuan tersebut menunjukkan kemampuan komunikasi sebagai basis rancangan kurikulum dan praktek ruang kelas.
Sumber Acuan:
Savignon, Sandra J. 1983. Communicative Competence: Theory and Practice. London: Addison Wesley Publishing Company inc.
RAGAM BAHASA PERS
Dr. Achmad Tolla, M.Pd.
A. Sifat Ragam Bahasa Pers
Ragam bahasa pers atau ragam bahasa jurnalistik memiliki beberapa sifat yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain. Rosihan Anwar (1976) merinci sifat-sifat ragam bahasa pers Indonesia sebagaimana yang dikemukakan kembali berikut ini.
1. Singkat
Istilah singkat dalam konteks komunikasi ada dua macam, yaitu (1) waktu dengan acuan detik, menit, jam, dan (2) penggunaan bahasa dengan acuan struktur kalimat dan kosakata. Penggunaan bahasa secara singkat mengacu kepada jumlah kosakata yang digunakan dalam sutu kalimat. Makin banyak kosakata dalam suatu kalimat yang digunakan mendeskripsikan sutu ide, makin rumit kalimat itu dan makin sulit pula dipahami.
Perhatikan contoh berikut.
Akses kepada lembaga keuangan merupakan isu pokok dan klasik bagi dunia usaha, sementara hal ini merupakan hal yang sangat penting karena menyangkut pengembangan UKM sendiri (Fajar, 24 April 2004:2).
Bandingkan dengan:
Akses (keberadaan) lembaga keuangan merupakan isu pokok yang
sangat penting karena menyangkut pengembangan unit kegiatan
masyarakat (UKM).
2. Padat
Bahasa yang padat mengacu kepada penggunaan kalimat secara efektif. Suatu ide dapat dikemukakan dengan kalimat singkat, tetapi pembaca memahami ide itu sama atau hampir sama dengan pemahaman penulisnya. Pemahaman demikian dapat dicapai apabila penggunaan kosakata dan struktur kalimat tidak longgar. Artinya, jika suatu konsep dapat dipahami dengan hanya satu kata atau istilah, tidak perlu diberi keterangan tambahan yang justru akan membuat pembaca menjadi bosan. Demikian pula, jika dengan satu kalimat suatu konsep dapat dipahami, maka kalimat itu tidak perlu diberi kalimat penjelas.
Hal yang sama juga sering dijumpai dalam paragraf. Banyak (?) paragraf dalam surat kabar hanya terdiri atas satu kalimat. Kalimat-kalimat yang membangun paragraf itu sesungguhnya hanyalah kalimat penjelas dari kalimat topik pada paragraf sebelumnya. Paragraf demikian lebih baik digabung menajdi satu paragraf yang lebih lengkap.
Perhatikan contoh berikut.
Meski perlakuan pemain oilar Persik kediri Hamka ‘Riri’ Hamzah terhadap istrinya, merupakan urusan intern rumah tangga, pihak keluarga Feby berniat mengadukan persoalan ini ke Ketua Umum PSSI Nurdin Halid.
Mereka akan meminta kepada PSSI untuk menindak mantan pemain nasional U-20 yang kini membela tim nasional senior Pra Piala Dunia 2006 itu sehubungan dengan perilaku buruk yang ditunjukkan belum lama ini. Hamka masioh sempat bermain memperkuat Persik dalam pertandingan melawan PSSI Semarasng, Minggu (25/4) (Fajar, 27-4-2004:15).
Paragraf kedua kutipan di atas masih bagian dari paragraf pertama. Paragraf kedua itu adalah penjelasan atas frase …pihak keluarga Feby beniat mengadukan persolan ini ke Ketua Umum PSSI Nurdin Halid. Jadi, kutipan di atas seharusnya:
Meski perlakuan pemain pilar Persik kediri Hamka ‘Riri’ Hamzah terhadap istrinya, merupakan urusan intern rumah tangga, pihak keluarga Feby berniat mengadukan persoalan ini ke Ketua Umum PSSI Nurdin Halid. Mereka akan meminta kepada PSSI untuk menindak mantan pemain nasional U-20 yang kini membela tim nasional senior Pra Piala Dunia 2006 itu sehubungan dengan perilaku buruk yang ditunjukkan belum lama ini. Hamka masih sempat bermain memperkuat Persik dalam pertandingan melawan PSSI Semarasng, Minggu (25/4) (Fajar, 27-4-2004:15).
Selain itu, ada beberapa kesalahan pada parafraf tersebu. Kesalahan yang dimaksud menyakut ejaan, penggunaan kata/frase yang tidak diperlukan, dan kaliat yang tidak padu dengan pokok pikiran. Dengan demikian, paragraf itu akan menjadi benar dan komuinikatif jika direvisi seperti berikut ini.
Meskipun perlakuan pemain pilar Persik kediri, Hamka ‘Riri’ Hamzah, terhadap istrinya merupakan urusan intern rumah tangga, namun pihak keluarga Feby berniat mengadukan persoalan ini kepada Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid. Mereka akan meminta PSSI untuk menindak mantan pemain nasional U-20 yang kini membela tim nasional senior Pra Piala Dunia 2006 itu dengan tegas.
3. Sederhana
Istilah atau kata yang masih terasa asing atau belum dikenal secara umum oleh masyarakat hendaknya dipertimbangkan oleh wartawan. Istilah atau kata seperti itu boleh digunakan dengan tujuan mempropagandakan penggunaannya, tetapi perlu ada catatan di dalam kurung tentang arti istilah atau kata itu dan lebih sering digunakan. Selain itu, struktur kalimat juga harus sederhana agar pembaca lebih mudah memahaminya.
Perhatikan contoh berikut.
Secara fantastis, Wiranto mengandaskan harapan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung pada konvensi partai yang berlambang pohon beringin tersebut. Untuk bisa mengalahkan Akbar yang dikenal licin bak belut, jelas mensyaratkan adanya sebuah tim yang solit dengan kerja efektif (Fajar, 22-4-2004:1).
Bandingkan dengan:
Secara meyakinkan, Wiranto mematahkan harapan Ketua Partai Golkar pada konvensi partai tersebut. Keberhasilan ini adalah hasil kerja keras sebuah tim yang kuat dan bekerja secara efektif.
4. Lancar
Umumnya, orang yang berbicara dalam bahasa asing atau bahasa kedua dengan fasih biasa diberi julukan berbicara dengan lancar. Julukan ini dianggap kurang tepat diberikan kepada penulis. Penulis biasanya diberi julukan pandai atau terampil menulis. Anggapan ini sudah menjadi pengetahuan umum orang-orang awam. Akan tetapi, orang terpelajar memahmi istilah itu sebagai keterampilan berbahasa, baik lisan maupun tulisan.
Menulis dengan lancar berarti mengemukakan ide, pendapat, konsep atau yang lain secara runtutut, kronologis/antikronologis dengan tidak melompat-lompat. Tulisan yang lancar akan memudahkan pembaca untuk memahami pikiran penulis yang tersurat dan yang tersirat. Sebaiknya, tulisan yang melompat-lompat, pembaca sulit memahaminya dengan baik karena pikiran, ide, atau kosep di dalam tulisan itu tidak utuh kesinambungannya; pemahaman pembaca terpotong-potong. Tulisan seperti itu, jika diujikan, peserta ujian tidak akan mampu menjawab pertanyaan bacaan dengan optimal.
Perhatikan contoh berikut ini.
Sebelum memilih jadi politisi, H Muh Ramli Taba, dikenal sebagai seorang pengacara dan konsultan hukum. Sekain itu, Ramli, demikian dia biasa disapa, juga dikenal sebagai seorang aktivis yang gigih.
Perjanan politiknya dimulai pada tahun 1998 ketika gaung reformasi mengemuka. Dirinya bahkan termasuk satu di antara sekian inisiator terbentuknya Partai Amanat Nasional (PAN) di tingkat SulseL (Fajar, 27-4-2004:29).
Kutipan di atas tergolong tulisan lancar. Namun, pada kutipan itu masih terdapat kesalahan ejaan dan penataan paragraf yang sangat mengganggu. Kutipan itu akan menjadi lebih baik jika direvisi seperti berikut ini.
Sebelum memilih jadi politisi, H. Muh. Ramli Taba dikenal sebagai seorang pengacara dan konsultan hukum. Selain itu, Ramli, demikian dia biasa disapa, juga dikenal sebagai seorang aktivis yang gigih. Perjanan politiknya dimulai pada tahun 1998, ketika gaung reformasi mengemuka. Dirinya, bahkan, termasuk satu di antara sekian inisiator terbentuknya Partai Amanat Nasional (PAN) di tingkat Sulawesi Selatan.
5. Jelas
Ada beberapa faktor kebahasaan yang biasanya menyebabkan suatu tulisan kurang atau tidak jelas.
-
Paragraf yang tidak memiliki kalimat topik. Paragraf seperti ini kalimat topiknya tersirat di dalam semua kalimat yang membangun paragraf itu. Karya sastra berupa cerpen, novel, atau roman banyak memiliki paragraf yang tidak memiliki kalimat topik. Wartawan diharapkan menghindari paragraf seperti itu.
-
Paragraf yang memiliki kalimat topik, tetapi kalimat topik itu tidak dikembangkan dengan kalimat-kalimat penjelas dan tidak didukung ide yang dikemukakan pada paragraf berikutnya. Perhatikan contoh berikut.
Bupati Jeneponto Rajamilo patut berbangga. Di tengah kesibukannya bertarung memenangkan konvensi calon presiden di Jakarta 20 April nanti, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Akbar Tanjung hadir menjadi saksi pada pesta putri keempat Rajamilo, Zainatunnahar.
Dengan 28 pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) kabupaten/kota, Golkar Sulsel cukup diperhitungkan di Jakarta. Dalam konvensi suara Beringin di sini terbagi antara Wiranto, Akbar, Surya Palloh, Bahkan Aburizal Bakri (Tribun Timur, 18-4-2004:1).
Ketidakjelasan kutipan di atas terletak pada kelemahan penulis dalam menerapkan prinsip pengembangan kalimat topik, penggunaan ejaan, dan kesinambungan ide antarparagraf. Kutipan itu akan menjadi jelas jika ditata seperti berikut ini.
Bupati Jeneponto, Rajamilo, patut berbangga. Di tengah kesibukannya bertarung memenangkan konvensi calon presiden di Jakarta, 20 April nanti, dia masih sempat melangsungkan pernikahan putrinya yang keempat, Zainatunnahar. Pada pesta pernikahan ini, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Akbar Tanjung hadir menjadi saksi..
Dalam konvensi itu, ada 28 Pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) kabupaten/kota Partai Golkar Sulsel cukup diperhitungkan di Jakarta. Dalam konvensi itu, suara beringin akan terbagi kepada Wiranto, Akbar, Surya Palloh, dan Aburizal Bakri.
-
Paragraf yang dibangun di atas kalimat-kalimat yang di dalamnya ada kata bermakna konotasi atau istilah/kata-kata baru yang belum umum penggunaannya. Perhatikan contoh berikut.
Rekapitulasi perolehan suara tingkat provinbsi terancam melenceng dari jadwal yang sudah ditetapkan, yakni Sabtu mendatang. Penyebabnya, KPU Sulsel mengakui kesulitan mencari lokasi untuk menggelar rekap (Fajar, 22-4-2004:29).
Masyarakat awam kesulitan memahami kutipan di atas. Sumber kesulitan itu adalah penggunaan istilah/kata-kata yang dicetak tebal itu. Kutipan itu dapat disederhanakan sehingga menjadi lebih jelas dengan cara mengganti istilah/kata-kata tersebut. Dengan demikian revisinya seperti berikut.
Ringkasan penghitungan perolehan suara tingkat provinbsi terancam berubah dari jadwal yang sudah ditetapkan, yakni Sabtu mendatang. Penyebabnya, KPU Sulsel mengakui kesulitan mencari tempat untuk menggelar kegiatan itu.
Hasil revisi ini lebih mudah dan lebih jelas untuk semua pembaca dari tingkat pendidikan apa pun.
6. Lugas
Lugas berarti hal yang mengenai pokok-pokok saja. Jika pengertian ini diterapkan ke dalam tulisan, maka suatu tulisan harus mengungkapkan hal-hal yang pokok saja. Prinsip ini sangat penting diperhatikan oleh wartawan dalam melaporkan beritanya. Peranan bahasa sangat besar dalam mengungkapkan berita apa adanya. Pilihan kata, struktur kalimat, dan gaya bahasa menjadi media utama untuk mengantarkan pembaca pada masalah inti yang dikemukakan oleh penulis. Jika bahasa cukup jelas, maka pembaca akan tiba pada pemahaman yang sama dengan pemahaman penulis sendiri. Contoh berikut sebagai ilustrasi berita yang tidak jelas.
Ketika itu, sekitar pukul 09.30 pagi, sebagaimana kebiasaan penduduk, mereka sedang menikmati sarapan pagi sambil mengisap rokok di rumah masing-masing. Tidak pernah terbetik dalam pikiran mereka bahwa pagi itulah yang menjadi pagi kehidupan terakhir bagi mereka. Tiba-tiba terdengar ledakan dahsyad yang diikuti oleh gulungan tanah di atas perkampungan mereka. Bersamaan dengan itu, di bekas perkampungan itu sudah tidak ada kehidupan lagi.
Paragraf di atas merupakan contoh berita yang tidak lugas. Paragraf itu akan menjadi lugas jika direvisi seperti berikut ini.
Sekitar pukul 09.30 pagi, ketika penduduk sedang menikmati sarapan pagi, tiba-tiba terdengar ledakan dahsyad yang diikuti oleh gulungan tanah di atas perkampungan mereka. Bersamaan dengan itu, di bekas perkampungan itu sudah tidak ada kehidupan lagi.
7. Menarik
Berita yang menarik tergantung pada paling tidak dua hal, yaitu (1) materi berita, dan (2) gaya bahasa berita. Materi berita yang hangat umumnya menarik perhatian pembaca. Bahkan, berita yang kurang hangat pun dapat menjadi menarik perhatian pembaca apabila diungkapkan dengan gaya bahasa yang tepat dan lancar. Gaya bahasa yang dimaksud di sini bukan gaya bahasa seperti dalam karya sastra yang cenderung mengungkapkan penglaman imajinatif penulis, melainkan gaya bahasa populer yang dapat dipahami oleh semua lapisan masyarakat pembaca berita koran atau majalah.
Salah satu cara yang efektif untuk menjadikan bahasa jurnalistik menarik ialah dengan denggunakan pola kalimat aktif dan kalimat pasif secara bervariasi. Penggunaan kata-kata bersinonim di dalam kalimat sama pentingnya dengan variasi pola kalimat. Perhatikan contoh berikut.
Pendistribusian kursi dilakukan berdasarkan bilangan pembagi pemilih BPP) maupun berdasarkan peringkat sisa suaras. Sekedar diketahui, BPP adalah jumlah total suara sah yang diperoleh seluruh parpol di suatu daerah pemilihan dibagi jatah kursi yang tersedia.
PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri untuk sementara meraup kursi terbanyak, yaitu 44 kursi. Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung membayangi dengan 31 kursi. Posisi sementara ketiga diduduki oleh PKB pimpinan Alwi Sihab dengan 24 suara (Fajar, 27-4-2004:1).
Kutipan di atas memperlihatkan variasi penggunaan pola kalimat pasif dan aktif yang seimbang. Variasi penggunaan kalimat itu yang menyebabkan beritta tersebut terasa hidup.
8. Dinamis
Tidak satu pun ragam bahasa yang memiliki sifat dinamis seperti yang dimiliki ragam bahasa pers. Ragam bahasa pers setiap saat berkembang tanpa dibatasi oleh prinsip-prinsip disiplin ilmu, teknologi, seni, dan sosial. Ragam bahasa pers merupakan perpaduan semua perbedaharaan bahasa yang dimiliki oleh suatu bahasa. Dengan demikian, pers adalah profesi yang tidak pernah berpihak kepada salah satu isme, ideologi, agama, politik, sosial dan sebagainya, tetapi pers menggunakan semua isme itu sebagai lahan untuk memperoleh perbedaharaan bahasa bagi kepentingan pemberitaan. Itulah sebabnya, pers percaya bahwa bahasa adalah jembatan dunia.
Sifat dinamis ragam bahasa pers secara langsung telah memberikan sumbangan yang amat besar bagi perkembangan bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia. Bahkan, wadah pemasyarakatan bahasa Indonesia yang paling luas dan efektif adalah ragam bahasa pers. Sejak tahun 1980-an, pemerintah Orde Baru mencanangkan program Koran Masuk Desa. Tujuan utamanya ialah untuk mengentaskan “tiga-buta”, yaitu buta pengetahuan dasar, buta aksara, dan buta bahasa Indonesia. Sejak itu pula, jumlah penduduk Indonesia yang terjebak dalam kondisi tiga-buta secara berangsur-angsur berkurang dari tahun ke tahun.
B. Ciri-ciri Ragam Bahasa Pers
Sejalan dengan uraian sifat-sifat ragama bahasa pers yang dikemukakan di atas, ciri-ciri ragam bahasa pers pun tampaknya lebih mementingkan pihak pembaca daripada mempertahankan tradisi sendiri sebagai sebuah profersi. Berikut dikemukakan butir-butir ciri ragam bahasa pers yang juga diilhami oleh Rosihan Anwar (1976).
-
Tingkat kesulitan kata/istilah yang digunakan disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan berbahasa pembaca
-
Penggunaan kata-kata kompleks disesuaikan dengan pengetahuan bahasa pembaca
-
Struktur kalimat tidak terlalu kompleks; tidak lebih dari tiga kalimat tunggal yang digabung menjadi satu
-
Penalaran kalimat bersifat kronologis
-
Kalimat taksa (ambigu) dihindari
-
Informasi yang diwadahi kalimat-kalimat itu menarik perhatian pembaca
C. Judul Berita
-
Judul bukan kalimat, melinkan proposisi
-
Judul terdiri atas kata, istilah berupa kata kunci yang mencerminkan isi tulisan
-
Judul bukan singkatan atau akronim yang belum lazim
-
Judul memiliki daya pikat yang tinggi sehingga pembaca
tertarik.
D.. Gejala Kerancuan Kalimat
-
Pernyataan yang tidak mengandung unsur subjek:
-
Dengan demikian akan memudahkan para mahasiswa untuk menyelesaikan studinya.
-
Oleh karena itu disebut sebagai biang kekerasan dan kerusuhan di Poso.
Seharusnya:
-
Dengan demikian, bantuan itu akan memudahkan para mahasiswa untuk menyelesaikan studinya.
-
Oleh karena itu, ia disebut sebagai biang kekerasan dan kerusuhan di Poso.
-
Pernyataan yang tidak mengandung unsur predikat:
-
Di samping itu pula Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan di mana seluruh lembaga-lembaga pemerintah berkantor.
-
Tertinggi di rayon C sedang yang terendah di rayon A.
Seharusnya:
-
Di samping itu, Jakarta merupakan pusat pemerintahan tempat semua lembaga pemerintah berkantor.
-
Prestasi itu tertinggi di rayon C, tetapi terendah di rayon A.
-
Pernyataan berupa anak kalimat pengganti predikat:
-
Sehingga keyakinan tersebut cukup kuat untuk tetap mendorongnya berjuang terus.
-
Sebab tahap seleksi penerimaan polisi telah rampung.
Seharusnya:
-
Kita perlu memberi keyakinan hidup sehingga keyakinan tersebut cukup kuat untuk mendorongnya berjuang terus.
-
Latihan fisik sudah dapat direncanakan sebab tahap seleksi penerimaan polisi telah rampung.
Gejala ini ditandai dengan penggunaan kata hubung pada
awal kalimat, seperti:
sehingga, sebab, karena, agar, supaya, bila, apabila,
meskipun, walaupun.
-
Pernyataan yang hanya berupa keterangan penjelas atau keterangan tambahan:
-
Karena kondisi lahannya yang berkadar kapur tinggi sehingga kurang baik untuk pertanian.
-
Terutama terkonsentrasi pada muara Sungai Jeneberang.
Seharusnya:
-
Daerah itu tidak dapat dikembangkan menjadi daerah pertanian karena kondisi lahannya berkadar kapur tinggi.
-
Beberapa hari terakhir pengerukan terutama terkonsentrasi pada muara Sungai Jeneberang.
-
Pernyataan yang berupa frase preposisi:
-
Bagi seorang wartawan, sebagai pedoman penulisan berita.
-
Mengenai jumlah calon anggota DPD yang terindikasi sebagai anggota partai.
Seharusnya:
-
Kode etik sangat berguna bagi seorang wartawan sebagai pedoman penulisan
berita.
-
Rapat itu membicarakan mengenai jumlah calon anggota DPD yang terindikasi sebagai anggota partai.
-
Pernyataan yang dimulai dengan kata hubung setara:
-
Dan unit-unit kecil tersebut lebih muda untuk dipetikemaskan.
-
Atau pada waktu bertutur dengan ragam bahasa formal, tiba-tiba diselipkannya ragam bahasa informal.
Seharusnya:
-
Unit-unit kecil tersebut lebih mudah dipetikemaskan.
-
(Pada) waktu bertutur dengan ragam bahasa formal, tiba-tiba diselipkannya ragam bahasa informal.
E. Penerapan Kaidah Ejaan yang Disempurnakan
-
penulisan huruf
-
huruf kapital
-
huruf miring
-
penulisan kata
-
kata dasar
-
kata bentukan
-
kata gabung
-
kata serapan
(5) kata asing
3) pemenggalan kata
-
kata dasar
-
kata bentukan
-
penulisan lambang bilangan
-
ukuran
-
takaran
-
timbangan
-
simbol ilmiah
-
penulisan singkatan
-
singkatan
-
akronim
-
penggunaan dan penulisan tanda baca:
-
tanda baca perhentian mutlak (titik, tanda tanya, tanda seru)
-
tanda koma (,)
-
tanda titik dua (:)
-
tanda titik koma (;)
-
tanda petik satu (‘)
-
tanda petik dua (“)
-
tanda penyingkat (‘)
-
tanda garis miring (/)
-
tanda hubung (-)
-
tanda pisah (--)
-
tanda kurung ( )
Singkatan dan Akronim
Singkatan terdiri atas huruf atau deretan huruf yang umumnya diambil dari huruf awal kata.
Contoh:
-
Gelar kesarjanaan:
Drs. : Drs. Fardilahuddin
M.A. : Usman Jafar, M.A.
M.Sc. : Kumalasari, M.Sc.
Ph.D. : Jamaluddin, M.A., Ph.D.
S.H. : Irhanuddin, S.H.
M.B.A. : Fajaruddin, M.B.A.
M.T. : Sirajuddin, M.T.
M.Sn. : Novita, M.Sn.
dst.
-
Lembaga pemerintah: MPR, DPR, MA, DPA, dst.
-
Singkatan umum:
a.n. : atas nama (bukan an., An.)
u.b. : untuk beliau (bukan ub., Ub.)
dll. : dan lain-lain
d.a. : dengan alamat (bukan d/a)
Jl., Jln. : Jalan Cenderawasih 34 (Jln. Cenderawasih No. 34)
sda. : sama dengan di atas
dst.
Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis atau dilafalkan sebagai kata yang wajar.
Andal : analisis dampak lingkungan
Ampera : Amanat Penderitaan Rakyat
Armed : Artileri Medan
Bakopda : Badan Koordinasi Pembangunan Daerah
Babinkumnas Badan Pembinaan Hukum Nasional
PRAGMATIK SEBAGAI ANCANGAN ANALISIS
Dr. Achmad Tolla, M. Pd.
a. Latar Belakang Sejarah Pragmatik
Istilah pragmatik digunakan dalam linguistik sejak tahun 1938 yaitu ketika Charles Morris mengembangkan linguistik semiotik. Charles Morris mengemukakan bahwa dalam semiotik dibedakan tiga cabang kajian yaitu, (1) semantik yang mempelajari hubungan formal antara tanda yang satu dengan yang lain, (2) semantik yang, memperlajari hubungan antara tanda dengan obyek yang ditandai, dan (3) pragmatics yang mempelajari hubungan antara tanda dengan pemakaiannya. Dalam kajian semiotik ini, bahasa juga termasuk dalam sistemtanda. Pengertian semantik yang dikemukakan oleh Charles Morris ini menyarankan cakupan kajian yang luas. Dalam pengertian dengan teori semantik behaviorisme. Dikatakannya bahwa untuk memahami pengertian dan ciri-ciri pragmatik secarra mendalam perlu diketahui bahwa pragmatik mengkaji fenomena-fenomena psikologi, biologi, dan sosiologi bahasa. Dengan demikian, linguistik terapan yang kita kenal sekarang ini yakni psikolinguistik, sosiolinguistik, dan neurolinguistik termasuk dalam kajian pragmatik. Pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Charles Morris ini merupakan dasar bagi pengembangan pragmatik lebih lanjut oleh ahli-ahli ilmu bahasa yang lain (Syafi’ie, 1989;70).
Soemarrmo (1988) menuliskan bahawa pragmatik pada tahun 1930-an merupakan bidang linguistik yang dianaktirikan, terutama oleh para linguis di Amerika. Dengan munculnya karya filsafat oleh Austin (1962), Searle (1969), dan Grice (1967) beberapa linguis sudah mulai mengintegrasikan pragmatik kedalam teori tata bahasa mereka. Perhatian terhadap bidang pragmatik juga dipercepat dengan perkembangan di bidang sosiolinguistik, psikolinguistik, inteligensi artifisal, dan ilmu kognitif pada umumnya.
Verhaar (1980) menuliskan pula bahwa pragmatik sebagai salah satu cabang linguistik mulai berkumandang dalam percaturan dunia linguistik Amerika sejak tahun 1970-an. Pada tahun-tahun sebelumnya khususnya tahun 1930-an, linguistik dianggap hanya mencakup fonetik, morfologi, dan era Bloomfield, kajian sintaksis dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan makna di kesampingkan karena dianggapnya terlampau sulit untuk diteliti dan dilibatkan dalam proses analisis.
Dengan berkembangnya teori linguistik oleh Chomsky pada tahun 1960-an, sintaksis mulai mendapatkan tempatdi dalam linguistik, linguis yang berlatar belakang filsafat ini menegaskan bahwa sintakksis merupakan bagian linguistik yang sifatnya sentral. Gagasan ini kemudian melahirkaan paradigma di dalam dunia linguistik. Sekalipun linguistik Chomsky sering dianggap relatif lebih maju dibandingkan dengan linguistik era sebelumnya, bagi tokoh ini masalah makna asih diangapnya suit dilibatkan dalam proses analisis (Raharddi;2000;44).
Pada awal tahun 1970-an, pragmatik mulai bruandang di belahan bumi Amerika. Para linguis yang bernuansa transformasi generatif seperti Ross dan Lakoss menyatakaan bahwa kajian sintaksiss tidak dapat meemisahkan diri dengan konteksnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan munculnya tokoh-tokoh tersebut, tertanda runtuhnya dan teori bahasa yang berkembang di masa-masa. Maka pada masa inilah sosok pragmatik mulai mendapat tepat di bumi linguistik (Purwo, 1990:10).
Lain halnya di belahan bumi Eropah, kegiatan menelaah bahasa dengan mempertimbangkan makna dan situasi (misalnya aliran Praha, aliran Firth) sudah berkembang sejak tahun 1940-an. Aliran Firth tersebut dikenal dengan nama FirthianLinguistics dengan basis di Inggris yang ditopan aliran Praha (Prague School) dengan basis di Chekozlovakia. Aliran Praha ditokoohi oleh Matheus, Trubetzoy, Roman Jakbsoon, Vachek, dan beberapa kawan lainnya. Pada tahun 1960-an, M.A.K. Halliday mengembangkan teori sosial mmengenai bahasa, maka semakin jelaslah bahwa linguistik tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dengan segala latar belakang sosiokultural yang mewadahi dan melatarbelakanginya (Rahadi, 2000:44-45).
Firth mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi, pelibat (partisipants), tindakan pelibat (baik tindak tutur maupun bukan tindak tutur), ciri-ciri stuasi yang lain yang relevan sepanjang hal itu mempunyai sanggkut paut tertentu dengan hal sedang berlangsung, dan dampak-dampak tindak tutur yang diwujudkan dengan bentuk-bentu perubahan yang ditimbuulkan oleh hal-hal yang dituturkan oleh pelibat dalam situasi (Halliday dan Hasan,1994:11).
Perhatian terhadap bidang kajian ini diresmikan pada tahun 1977 dengan timbulnya sebuah majalah “Journal of Pragmatics” yang menerbitkan karya-karya tulis bernuansa pragmatik. Pada saat itu terbentuk pula suatu organisasi IPRA (International Pragmatics Association) dan konperensi yang membahas soal pragmatik juga mulai timbul. Namun, majalah dan koperensi-konperensi itu tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bidang kajian yang termasuk penelitian pragmatik (Soemarmo, 1988:160).
b. Batasan Pragmatik
Istilah pragmatik sebagai bidang kajian di dalam ilmu linguistik diberi batasan yang berbeda-beda oleh para pakar linguistik. Beberapa batasan yang relevan dipaparkan pada bagian ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pragmatik.
Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari hubungan antara bahasa dengan konteksnya yang ditatabahasakan atau dikodekan dalam struktur pemakaian bahasa. Verhaar (1996:9) menegaskan bahwa pragmatik mempelajari hal yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antar penutur dan mitra tutur serta sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstra linguistik.
Leech (1983:8) berpendapat bahwa pragmatik adalah studi tentang makna bahasa dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujaran (Speech situations). Morris (dalam Syafi’ie, 1987:70) memberikan batasan bahwa pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda dengan pemakainya.
Parker (dalam Wijana, 1996:2) menjelaskan bahwa semantik dan pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan linguistik. Perbedaannya, semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Adapun yang dimaksud dengan hal itu adalah bagaimana satuan linguistik tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Menurutnya pula, studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks sedangkan studi pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks. Berdasarkan hal itu studi tata bahasa dapat dianggap sebagai studi yang bebas konteks (konteks independent). Sedangkan studi pemakaian tatabahasa dalam komuniksi yang sebenarnya mutlak dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakanginya. Studi bahasa yang demikian ini dapat disebut sebagai studi yang terikat konteks (context dependent).
Tidak jauh berbeda dengan batasan yang disampaikan para tokoh di atas, Soemarmo (1988:169) berpendapat bahwa semantik berhubungan dengan makna internal (harfiah), sedangkan pragmatik berhubungan dengan makna konotaatif, (kiasan). Gunarwan(1992:10) mengemukakan bahwa makna dalam semantik ditentukan oleh koteks (co-tex), sedangkan makna di dalam pragmatik ditentukan oleh kontek (contex). Koteks di sini dimaksudkan sebagai lingkungan fisik yang berkaitan dengan tuturan, sedangkan konteks merupakan lingkungan sosial yang berkaitan dengan tuturan. Wijana (1996:11) lebih memperjelas maksud konteks yakni segala latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur.
Selanjutnya, Purwo (1990:16) mempertegas batas antara semantikdan pragmatik yang tergambar pada batasan berikut. Pragmatik adalah telah mengenai segala aspek makna yagn tidak tercakuup di dalam teori semantik. Artinya, yang ditelaah dalam pragmatik adalah makna kalimat (sentence), sedangkan pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterance). Kalimat adalah abstrak (entites) seperti yang didefinisikan dalam teori tata bahasa dan tuturan adalah pengujaraan kalimat pada konteks yang sesungguhnya. Dengan demikin semantik menggeluti makna kata atau klausa, tetapi makna yang bebas konteks (context-independent), sedangkan pragmatik menggeluti makna yang terikat konteks (kontext-independen).
Terikat dengan hal di atas, Wijana (1996:3) mempertegas bahwa makna yang dikaji oleh semantik bersifat diadis artinya makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat “Apa makna X itu?” Makna yang ditelaah dengan pragmatik berrsifat triadis artinya makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat “Apakah yang kau maksud dengan berkata x itu?”.
Dari berbagai batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah bidang ilmu bahasa yagn mengakaji penggunaan bahasa berdasarkan konteks yagn melatarbelakanginya. Konteks yang dimaksud mencakup dua hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yagn bersifat sosietal (societal). Konteks sosial dapat diartikan sebagai konteks yang timbul sebagai akibat dari adanya interaksi antara anggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Adapun yang dimaksud dengan konteks sosietal adalah konteeks yang faktor penentuannya adalah kedudukan anggota dalam masyarakat dalam institusi-institusi sosial dan budaya tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menurut pakar ini dasar dari munculnya kontekssosietal adalah adanya kekuasaan (poower), sedangkan dasar dari konteks sosietal adalah adanya solidaritas (solidarity).
Selanjutnya, pragmatik mengkaji makna yagn dimakssudkaan penutur dalam menuturkan suatu bahasa tertentu pada sebuah bahasa. Karena yang dikaji didalam pragmatik adalah makna, maka pragmatik dalam banyak hal sejajar dengan semantik juga mengkaji soal makna. Perbedaan antar keduanya adalah bahwa pragmatik mengkaji makna bahasa secara eksternal sedangkan semantik mengkaji makna bahasa secara internal. Makna dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks sedangkan makna yagn dikaji dalam semantik bersifat bebas konteks. Makna yang dikaji dalam semantik bersifat diadik sedangkan makna dikaji dalam pragmatik bersifat triadik. Pragmatik mengkaji bantuk bahasa untuk memahami maksud penutur sedangkan semantik mengkaji bentuk bahasa untuk memahami makna satuan bahasa terssebut.
c. Konteks Situasi Tutur
Pada bagian terdahulu telah dipaparkan bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang mendasarkan analisanya pada konteks. Konteks yang dimaksud disini adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang mendasari atau yang mewadahi sebuah pertuturan. Wijana (1996:10-11) menyatakan bahwa konteks yang demikian itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur (speech situational contex). Konteks situasi tutur menurutnya mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
1. Penutur lawan penutur
2. Konteks tuturan
3. Tujuan tuturan
4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
5. Tuturansebagai produk tindak verbal
Secara singkat kelima aspeek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penutur dan lawan penutur dapat berarti pembicaraan dan pendengar atau mitra tutur. Konsep ini dapat juga mencakup penulis dan pembaca pada ragam bahasa tulis.
2. Konteks tuturan mencakup aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula berarti semua latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur secara bersama-sama.
3. Tujuan tuturan berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Hal ini berarti bahwa turan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan. Olehnya itu secara pragmatik, satu bentuk tuturan dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian pula sebaliknya, satu maksud dan tujuan tuturan yang mendasari perbedaan antara pragmatik yangbeorientasi fungsional dengan tatabahasa yagn berorientasi formal atau structtural.
4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan lahan garapan pragmatik. Karena pragmatik berhubungan dengan tindakan verbal yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam kaitan ini, pragmatik menangani bahasa yang bersifat kongkret karena jelas penutur dan lawan tuturnya, serta watu dan tempat penuturannya.
5. Tuturan sebagai produk tindak verbal. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya tuturan yang ada di dalam sebuah penuturan adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan seegala pertimbangan konteks yang meendasari dan melingkupinya.
d. Fenomena Pragmatik
Purwo (1990:17) mengatakan bahwa fenomena yang merupakan kajian pragmatik yang telah disepakati hingga kini mencakup empat hal pokok yani, (1) deiksi, (2) praanggapan (Presupposition), (3) tindak tutur (spech act) dan (4) implikatur perrcakapan (conversational implicature).
Pragmatik sebagai topik yagn melingkupi diksis, praanggapan, tindaktutur, dan implikatur percakapan, makalazim diberi definisi sebagai telaah mengenai hubungan antara lambang dengan penafsiran. Yang dimaksud dengan lambang di sini adalah satuan ujaran berupasatu kalimat atau lebih yang membawa makna tertentu berdasarkan hasil penafsiran pendengar.
Sebuah satuan ujaran dapat dipahami pendengar dengan baik apabila deiksisnya jelas, praanggapannya diketahui, tindak tutur dan implikatur percakapnnya dipahami. Keempat fenomena pragmattik itu dibicarakan di bawah ini.
1. Deiksis.
Istilah deiksis berasal dari bahasa Yunani yang arrtinya penunjukan (Idat, 1994:59). Lyons (1977:637) mengatakan bahwa deiksis berkaitan dengan lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalamhubungannya dengan dimensi ruang dan waktu pada saat dituturkan oleh penuttur.
Chaer dan Agustina (1995:755) meemberi batasan bahwa deiksis adalah hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Kata-kata yang refennya bisa menjadi tidak tetap ini diseebut kata-kata deiktis. Kata-kata tersebut meliputi kata-kata yang berrkanaan dengan persona, tempat, dan waktu.
Sejalan dengan pendapaat di atas, Idat(199:59) menegaskan bahwa fenomena deeiksis merrupakan cara yang palingg jelas untuk mengambarkan hubungan antara bahasa dan konteks di dalam struktur bahasa itu sendiri. Deiksis berdasarkan prototipe adalah penggunaan pronomina demonstratif, pronomina persona, kala, temporal khusus dan lokasi, dan termask ciri-cirri gramatikal yagn terkait langsung di dalam situasi tuturan. Menurutnya pula upaya deiksis dapat berupa, 1) pronmina persona, nam diri, demonstrati, 2) kala (tense), 3) keaspekan (ciri graamatikaal/leksikal waktu).
Purwo (1990) menandaskan bahwa deiksis adalah perubahan makna kata-kata atau kalimat karena perubahan konteks. Jadi, kalau salah satu segi makna dari kata-kata atau kalimat berganti kaarena pergantian kontteks, makaa kata atau kalimat itu meempunyai makna deiksis. Sehingga Soemmarrmo (1988:170) menyatakaan bahwa pengaruh konteks itulah yang menyebabkan penyelidikan deiksis diangap bidang kajian pragmatik.
Bertolak dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa deiksis adalah suatu cara yang dilakukan dalam bertutur untuk mengacu kehakikat makna tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi oleh konteks pembicaraan. Hal ini menyiratkan makna bahwa sebagian kata dalam bahasa tidak dapat ditafsirkn sama sekali apabila konteks penutur tidak diketahui. Kata-kata itu contohnya di sini, di sana, ini, itu, seekarang, kemarin, dan pronominaseeperti saya, kamu, kalian dan sebaginya.
Ada kalanya kalimat-kalimat dalam bahasa indonesia tidak dapat dimengerti apabila tidak diketahui siapa yang mengatakan, tentang apa, di mana dan kapan. Misalnya “Dia harus mengembalikan buku itu sekarang”, sebab saya akan ulangan besok. Apabila tidak diketahui konteksnya, tentu maknanya sangat kabur. Kalimat itu mengandung deiksis ( dia, itu, sekarang, besok ) yang maknanya terganttung pada konteks penuturan.
Nababan (1987:40) mengklaasifikasikan deiksis dalam lima bagianyaitu deiksis dengan orang, deiksis tempat, deiksis akttu, deiksis sosial, dan deiksis wacana. Kelima jenis deiksis ittu diuraikan secara jalas dalam Cahyono (1995:218-219) sebagai berikut.
a. Deiksis orang; mengacu kepada peran partisipan yang terlibat dalam peristiwa bahasa. Dalam deiksis oorang ini dikenal pronominaa persona atau kata ganti orang yang meliputi, (1) kata ganti orang pertama misalnya saya, kita, dan kami, (2) kata ganti orang kedua misalnhya, kamu, kalian, saudara, dan (3) kata ganti orang ketiga misalnya dia dan mereka.
b. Deiksis tempat; mengaccu kepada lokasi tertentu yang berhubungan dengan pertisipan dalam situasi berbahasa, misalnya di sini, di sana, ini, itu.
c. Deiksis waktu; mengacu kepada pengungkapan bentuk rentang waktu dipandang dari waktu ujaran tersebut diucapkan misalnya, sekarang, kemarin.
d. Deiksis sosial; misalnya mengacu kepada perrubahan-perubahan makna ujaran.
e. Deiksis wacana, mengacu kepaada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan ataau sedang dikembangkan.
2. Praanggapan (Presupposition)
Kridalaksana (1982:137) mendefinisikan praanggapan sebagai suatu syarat yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat. Hal ini menyiratkan makna bahwa sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapkan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipraanggapkan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempraangapkan tidak dapat dikatakan.
Sebuah kalimat memperangggapkan dan mengimplikasikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (yang diperanggapkan) mengakibatkan kalimat yang pertama (yang memperanggapkan) tidak dapat dikatakan banar atau salah (Wijana, 1996:37). Untuk jelasnya, kedua pernyataan di atas, dapat diperhatikan sebuah tuturan yang berbunyi “Orang kaya di desa itu, sombong sekali.” Tuturan ini memperanggapkan adanya seseorang yang sangat kaya. Apabila dalam kenyataannya memang ada seseorangg yang sangat kaya di desa itu, tuturan di atas dapat dinilai benar salahnya. Sebaliknya apabil di desa itu tidak ada seseorang yang sangat kaya, tuturan tersebut tidak dapat ditentukan benar-salahnya.
Brown dan Yule (1983:260) membedakan antara praanggapan leksikon dengan praanggapan pragmatis. Menurutnya, praanggapan leksikon sebuah tuturan tidak perlu tunjang oleh konteks tuturan. Sedangkan praanggapan pragmatis membutuhkan konteks untuk memaknakannya secara tepat. Selanjutnya ditegaskan bahwa praanggapan pragmarris ditentukan batas-batasnya berdasarkan anggapan-anggapan pembicaraan mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa penolakan.
Menurut Purwo (1993:31) bahwa penggunaan praanggapan oleh pembicara hanyalah ditujukan kepada pendengar yang menurut pembicara pendengar juga memiliki pengalaman dan pengetahuan seperti yang dimiliki pembicara. Jadi, menurutnya praanggapan merrupakan pengetahuan bersama antara pembicara dan pendengar sehingga tidak perlu diutarakan. Pembicaralah yang beranggapan bahwa pendengar memahami apa yang dipraanggapkan dan yang menjadi sumber praanggapan adalah pembicara.
3. Implikatur Percakapan (Conversational Implicature).
Di dalam penuturan sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka memiliki kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dibicarakan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa hal yang sedang dipercakapkan itu dapat saling dimengerti. Grice (dalam Wijana, 1996:37) mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan. Tuturan yang berbunyi “Pak guru datang, jangan ribut!” tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa pak guru sudah datang. Si penutur bermaksud memperringatkan mitra tutur bahwa Pak Guru yang bersikap keras dan tegas itu akan melakukan sesuatu terhadapnya apabila ia masih terus ribut. Dengan perkataan lain, tuturan itu mengimplikasikan bahwa Pak Guru adalah orang yang keras, tegas, dan sering marah pada siswa yang sedang ribut. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak. Maksud tuturan harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut.
Sejalan dengan hal di atas, Allan (1986) menegaskan bahwa bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial. Kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta tutur terlibat aktif di dalam proses bertutur tersebut. Apabila terdapt satu atau lebih pihak yang tidak terlibat akttif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu tidak dapat berjalan lancar.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa agar proses komunikasi antara penutur dan mitra tutur dapat berjalan lancar, mereka harus dapat saling bekerja sama. Kerja sama yang baik dalam proses bertutur itu dapat dilakukan dengan berprilaku sopan kepada pihak lain. Berprilaku sopan itu dapat dilakukan dengan cara mempertimbangkan “muka” si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.
Rahardi (2000:50) menegaskan bahwa agar pesan (message) dapat sampai dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip berrikut : (1) prinsip kejelasan (clarity), (2) prinsip kepadatan (conciseness), dan (3) prinsip kelangsungan (direstness). Prinsip-prinsip ini secara lengkap dituangkan dalam prinsip kerja sama Grice. Prinsip kerja sama Grice (dalam Levinson, 1983:101-102) meliputi empat maksim yang satu per satu dapat dijelaskan sebagi berikut :
a. Maksim kualitas (The maxim of quality)
Di dalam percakapan, berusahalah menyatakan sesuatu yang benar.
-
Jangan menyatakan sesuatu yang Anda percaya bahwa hal itu tidak benar.
-
Jangan menyatakan sesuatu yang tidak ada buktinya atau yang buktinya kurang cukup.
b. Maksim kuantitas (The maxim of quantity)
-
Berilah keterangan yang secukupnya
-
Janganlah menyatakan sesuatu yang tidak diperlukan.
c. Maksim relevan (The maxim of relevace)
-
Katakanlah hanya yang berguna atau yang relevan.
d. Maksim cara (The maxxim of manner)
Berbicaralah dengan jelas, khususnya :
-
Jangan mengatakan sesuatu yang tidak jelas;
-
Jangan mengatakan sesuatu yang ambigu;
-
Berbicaralah dengan singkat;
-
Berbicaralaah secara khusus.
4. Tindak Tutur (Speect Act)
Istilah teori mengenai tindak tutur pertama-tama dimunculkan oleh Austin, seorang guru besar di Univeristas Harvard pada tahun 1956. Teori yang bersumber dari bahan kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O Urmson pada tahun 1965 dengan judul “How to do Thing With Word?” Namun, teori tersebut baru terkenal dalam dunia linguistik setelah Searle pada tahun 1969 menerbitkan buku dengan judul “Speech Act: And Essay in The Philosophy of Language.”
Searlee (1969:23-244) mengemukakan bahwa secara pragmatis terdapat setidaknya tiga macam lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionarry act), dan tindakperlokusi (perlocutionary act).
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu, dengan kata, frase, dan kallimat sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan penutur. Jadi tuturan “Saya Lapar”, hanya semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa penutur sedang dalam keadaan lapar, tanpa bermaksud meminta makanan.
Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu. Jadi, tuturan, “Saya Lapar”, yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu mitra tutur bahwa pada saat dituturkan tuturan itu penutur sedang lapar, namun lebh dari itu, dimaksudkan pula untuk meminta makanan.
Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang mengacu ke efek yang ditimbulkan penutur dengan mengatakan sesuatu kepada mitra tutur. Tuturan “Saya Lapar” dapat berfungsi sebagai perlukosi jika diucapkan oleh seseorang untuk menumbuhkan pengaruh rasa takut kepada anak-anak kecil. Rasa takut itu munccul karena yang menuturkan tuturan itu pada kesehariannya sering menakut-nakuti anak kecil.
Selanjutnya, Searle (1969) mengklasifikasikan tindak tutur ilokasi dalam lima jenis. Kelima jenis tutur itu dapat dijelaskan sebagai berkiut: (1) aserif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturanya pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya: menyatakan, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan; (2) direktif, yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar si mitra tuturr melakukan tindakan yangg disebutkan di dalam tuturan itu, misalnya; menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, menantang; (3) ekspresif, yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penuturr terhadap suatu keadaan, misalnya: berterima kasih, memuji, mengeluh, meminta maaf; (4) komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya: berjanji, bersumpah, mengancam; dan (5) deklaratif, yaitu tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal yang baru, misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengankat, dan menghukum.
Suatu hal yang perrlu dicatat dari pengklarifikasian tindakk tutur di atass, bahwa ternyata satu tindakan tutur dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Pakar lain ternyata satu tindak tutur dapat mempunyai leebih dari satu fungsi. Pakar lain seperti Blum-Kulka (dalam Gunarwan, 1994:86) justru menyaatakan hal lain seperti sebaliknya, yakni bahwa satu maksud atau satu fungsi bahasa dapat dinyatakan dengan bentuk tuturan yang bermacam-macam. Menyuruh misalnya, dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk tuturan sperti: (1) dengan kalimat bermodus imperatif (“Pindahkan kotak ini”), (2) dengan kalimat performatiff eksplisit (“Saya minta Saudara memindahkan kotak ini!), (3) dengan kalimat performatif berpagar (“Saya sebenarnya mau minta Saudara memindahkan kotak ini”), (4) dengan pernyataan keharusan (“Saudara harus memindahkan kotak ini”), (5) dengan pernyataan (“Saya ingin saudara memindahkan kotak ini”), (6) dengan rumusan saran (“Bagaimanaa kalau kotak ini dipindahkan?”), (7) dengan persiapan pernyataan (“Saudara dapat memindahkan kotak ini?”), (8)dengan isyarat kuat (“Dengan kotak ini di sini, ruangan ini kelihatan sesak.”), (9) dengan isyarat halus (“Ruangan ini Kelihatan sesak.”).
Berangkt dari berbagai macam cara mengungkapkan suruhan pada uraian di atas, dapat digarisbawahi dua hal pokok, yakni adanya (1) tuturan langsung, dan (2) tuturan tidak langsung. Derajat kelangsungan tindak tutur itu dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh yang diambil oleh sebuah tuturan. Maksudnya, jarak antara titik ilokusi yang berada dalam benak penutur dengan titik tujuan ilokusi yang berada dalam benak mitra tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya, semakin tidak langsunglah tuturan itu. Demikian pula sebaliknya, semakin dekat jarak tempuhnya semakin langsunglah tuturan itu.
Selain dari pada itu, derajat kelangsungan tindak tutur dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatiknya. Kerjasama pragmatik yang dimaksudkan di sini adalah kehelasan maksud atau daya ilokusi sebuah tuturan. Semakin tembus pandang maksud sebuah tuturan akan semakin langsunglah maksud tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tidak tembus pandang maksud sebuah tuturan akan semakin tidak langsunglah maksud tuturan itu.
Jadi, apabila kejelasan pragmatik itu dikaitkan dengan kesantunan maka dapat disimpulkan bahwa semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tidak tembus pandang maksud sebuah tuturan akan meenjadi semakin santunlah tuturan ittu. Dengan penggolongan tindak tutur ke dalam bentuk-bentuk tutur akan memungkinkan teridentifikasinya peringkat kesantunan tuturan dalam kegiatan bertutur.
e. Teori Kesantunan Berbahasa
Gunarwan, (1994:87) menuliskan bahwa ada beberapa pakar yang telah mengkaji masalah kesantunan berbahasa yakni, Lakoff (1972), Brown dan Levinson (1986), dan Leech (1983). Teori mereka itu pada prinsipnya bertolak dari pengamatan yang sama yaitu, bahwa di dalam berkomunikasi yang sebenarnya, penutur tidak selamanya mematuhi prinsip-prinsip kerja sama Grice, yang terdiri atas maksim-maksim. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang mereka wujud kaidah kesantunan (kaaidah sosial).
Lakoff (1972) berpendapaat bahwa ada tiga kaidah yang perrlu dipatuhi agar tuturan dapat terdengar santunan oleh pendengar atau mitra tutur. Ketiga kaaidah kesantunan itu adalah (1) formalitas (formality), (2) ketaktegasan (hesitency), dan (3) persamaan atau kesekawanan (equality or camaradirie). Jika dijabarkan lebih lanjut, yang pertama itu berarti jangan memaksa atau jangan angkuh (aloof), yang kedua berarti buatlah sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihan (option); dan yang ketiga mengandung makna, bertindaklah seolah-olaah Anda dan mitra tutur sama atau sejajar, dengan kata lain buatlah ia merasa senang. Dengan demikian, menurut Lakoff, sebuah tuturan dapat dikatakan santun apabila tuturan itu bersifat formal, tidak memaksa, dan tidak terkesan angkuh, terdapat pilihan tindakan bagi mitra tutur, dan tuturan tersebut hendaklah maampu membuat mitra tutur merasa sama, bersahabat, merasa gembira, dan sejajar dengan penutur.
Fraser (1990) menjelaskan bahwa ujaran yang santun adalah ujaran yang tidak melampaui hak atau tidak mengingkari kewajiban penutur. Hal yang perlu dicatat mengenai definisi kesantunan Frase itu adalah (1) kesantunan itu adalah bagian dari ujaran, bukan ujaran itu sendiri, (2) pendengarlah yang menentukan santun tidaknya sebuah tuturan, (3) kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta tutur, artinya sebuah tuturan terdengar santun atau tidak, dapat diukur berdasarkan: pertama, apakah penutur tidak melampaui haknya kepada mira tuturnya, dan kedua, apakah penutur memenuhi kewajibaannya kepada mitra tuturnya itu.
Selanjutnya, dikatakn bahwa kewajiban pendengar atau mitra tutur adalah menjawab prtanyaan pembicaraan atau penutur. Tindakan tidak menjawab pertanyaan lawan tutur termasuk tindakan tidak santun. Jadi, yang termasuk ke dalam hak dan kewajiban penutur dan mitra tutur itu adalah menyangkut apa yang boleh diujarkan sserta cara menganjurkannya.
Lain halnya dengan Brown dan Levinson (1987), yang berdasarkan teori kesantunannyaa pada nosoi muka (face) yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif menunjuk kepada citra diri setiap orang yng ingin dihargai dengan cara membiarkannya bebas melakukan tindakaan atau bebas dari keharusan mengerjaakan sesuatu. Muka positif merujuk kepada citra diri setiap orang ingin agar hal yang dilakukannya, hal yang dimilikinya atau hal yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang meenyenangkan, yang patut dihargai, dan sebagainya.
Menurutnya, sebuah tindak tutur dapat merupakaan ancaman terhadap muka yang ia ssebut sebagai “face-threatening act” (FTA). Untuk mengurangi ancaman itulah sehingga di dalaam berkomunikasi tidak selalu harus mematuhi maksim-maksim Grice, tetapi perlu mempertimbangkan penggunaan sopan santun berbahasa. Mengingat ada dua sisi muka yang terancam yakni muka negatif dan muka positif, maka kesantunanpun dibagi menjadi dua yakni untuk menjaga muka negatif, sedangkan kesatuan positif dimaksudkaan untuk menjaga positif (brown dan Levinson, 1987).
Di dalam kesantunan Brown dan Levinson (1987) terdapat tiga skala peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga kala tersebut ditentukan secara konsektual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala-skaala berikut.
1. Skala peringkat jarak sosial antara penuturr dan mitra tutur (social distance between speaker and heaver) yang ditentukan oleh paremeter perbedaan umur., jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Berdasarkan kenyataan di masyarakat lazim didapatkan bahwa semakin tua umur seseorang, semakin tinggi peringkat kesantunannya dalam bertutur. Sebaliknya, semakin muda umur seseorang cenderung memiliki peringkat kesantunan yang rendah di dalam bertutur. Wanita lazimnya memilki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan pria. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa wanita cenderung lebih banyak bersentuhan dengan sesuatu yang bernilai estetika dalam kesehariannya. Sebaliknya, pria cenderung banyak bersentuhan dengan kerja dan pemakaian logika dalam kesehariannya. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat cenderung memilki peringkat kesantunan lebih tinggi dibanding dengan masyarakat biasa.
2. Skala peringkat perbedaan kekuasaan antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) didasarkan pada kedudukan yang tidak sejajar antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh yang dapat dikemukakan bahwa di dalam kelas, seorang dosen memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibanding dengan mahasiswa.
3. Skala peringkat status relatif jenis tindak tutur di dalam kebudayaan yang bersangkutan (the degrr of imposition associated with the required expenditure of goods or services). Hal ini didasarkanatas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya, artinya ada tindak tutur yang di dilam suatu kebudayaan dianggap tidak terlalu mengancam muka.
Berbeda dengan Brown dan Levinson, yang mendasarkan kesantunan pada nosi muka, Leech (dalam Gunarwan, 1994:91) mendasarkan kesantunan berbahasa pada nosi-nosi: (1) biaya (coast) dan keuntungan (benefit), (2) kesetujuan (agreement), (3) pujian (approbation), dan (4) simpati/antipatu. Keempat noosi ini dipakai oleh Leech untuk menyusun “prinsip-kesantuna” (politeness principle), yang dijabarkan menjadi enam maksim. Keenam maksim itu diterjemahkan oleh Tarigan (1990:82-83) secara berturut-turut sebagai berrikut.
1. Maksim kebijaksanaan
-
Kurangi kerugian orang lain
-
Tambahin keuntungan pada orang lain
2. Maksim kedermawanan
-
Kurangi keuntungan diri sendiri
-
Tanbahi pengorbanan diri sendiri
3. Maksim penghargaan
-
Kurangi cacian pada orang lain
-
Tambahi pijian pada orang lain
4. Maksim kesederhanaan
-
Kurangi pujian pada diri sendiri
-
Tambahi cacian pada diri sendiri
5. Maksim permufakatan
-
Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain
-
Tangkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain
6. Maksim simpati
-
Kurangi antipati antara dirri sendiri dengan orang lain
-
Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
Blum-Kulka (dalam Gunarwan, 1992:1992:191) mencatat sembilan tipe tuturan imperatif yang dapat digunakan sebagai bertutur diuraikan berikut kesantunan. Kesembilan tuturan tersebut secaa berturut-turutt diuraikan berikut ini.
1. Modus inperatif (perintah) artinya kalimat perintah yang dinyatakan dngan rumusan perintah.
Contoh : “Bukakan jendela itu!”
2. Performatif artinya kalimat perintah dengan rumusan pernyataan.
Contoh: “Saya minta Saudara membuka jendela itu”
3. Performatif berpagar artinya kalimat perintah dengan rumusan pernyataan berpagar.
Contoh: “ Saya mau minta Saudara membuka jendela itu.”
4. Pernyataan keharusan artinya kalimat perintah dengan rumusan pernyataan keharusan.
Contoh: “Saya ingin jendela itu dibukakan”
5. Pernyataan keinginan artinya kalimat perintah dengan rumusan pernyataan keingina.
Contoh: “Saya ingin jendela itu dibukakan.”
6. Formula saran artinya kalimat perintah dengan rumusan saran.
Contoh: “Bagaimana kalau jendela itu saya bukakan?”
7. Pernyataan artinya kalimat perintah dengan rumusan pernyataan.
Contoh: “Saudara dapt membukakan jendela itu?”
8. Isyarat kuat artinya kalimat perintah dengan tumusan isyarat yang kuat.
Contoh: “Dengan jendela itu tertutur, ruangan ini sangat panas.”
9. Isyarat halus artinya kalimat perintah dengan menggunakan rumusan isyarat halus.
Contoh: “Wah, pengat sekali ruangan ini.”
PENULISAN BUKU AJAR
Dr. Achmad Tolla, M.Pd
Klarifikasi
Wujud asli makalah ini (dari halaman 1—8) ditulis oleh Prof. Dr. Kamaruddin, M.A. untuk memenuhi permintaan Panitia SP4 Jurusan Bahasa Indonesia. Tulisan yang saya siapkan untuk tujuan yang sama berjudul “Pengembangan Silabus dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Berbasis Kompetensi”. Setelah memperoleh permintaan dari Panitia SP4 Jurusan Bahasa Jerman, makalah ini saya modifikasi seperlunya untuk memenuhi permintaan tersebut. Andaipun saya menulis makalah untuk materi yang sama, paparannya juga akan sama dengan makalah ini karena referensi yang beliau gunakan juga akan saya gunakan. Namun, karena perbedaan gaya bahasa, di sana sini saya melakukan modifikasi dan penyesuaian gaya bahasa sehingga gaya bahasa tulisan ini lebih mencerminkan gaya bahasa saya.
Dostları ilə paylaş: |