Topik 1: Dzalika Al-Kitabu


Topik 30: Latihan Al-Fatihah ayat 7 - KKT 8



Yüklə 1 Mb.
səhifə3/13
tarix26.10.2017
ölçüsü1 Mb.
#14177
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   13
Topik 30: Latihan Al-Fatihah ayat 7 - KKT 8

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillah. Kita akan masuki surat Al-Fatihah Ayat 7.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ

Shiraatha alladziina an'amta 'alayhim

غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ

Ghoiri al-maghdhuubi 'alayhim

وَلاَ الضَّالِّينَ

wa laa adh-dhoolliin

Ayat 7 diatas terdiri dari 3 potongan kalimat. Pada penutup topik 29, dikatakan kita akan menunda pembahasan shiraath al-mustaqiim. Baiklah kita bahas pada topik ini.

Kata صراط - shiirath artinya jalan. Jamaknya shuruth صرط . Sedangkan al-mustaqiim المستقيم artinya benar atau lurus. Akar kata al-mustaqiim itu adalah قام - qooma, yang artinya berdiri. Kemudian kata ini mendapatkan tambahan alif sin ta, ingat bahwa tambahan alif sin ta ini menjadikan kata tsb menjadi KKT 8 (Kata Kerja Turunan bentuk ke 8).

Akar kata قام

KKT-8 استقام istaqooma, artinya berdiri atau menjadi lurus.

Ingat lagi salah satu aturan dari KKT 8, jika satu kata kerja menjadi KK 8, maka tambahan alif sin ta, dapat diartikan "minta sesuatu".

Contoh: غفر - ghafara mengampuni

KKT 8: استغفر - istaghfara minta ampun

Jika kita terapkan pada kata qooma قام artinya berdiri, maka KKT-8 "bisa" kita asosiasikan dengan "minta berdiri". Nah kok istaqooma artinya berdiri atau menjadi lurus? Bukannya minta berdiri?

Memang secara umum (dikebanyakan kasus) tambahan alif sin ta itu (KKT 8) artinya minta sesuatu. Akan tetapi bisa juga arti KKT 8 itu sama dengan arti akar kata nya.

Tapi kalau dipikir-pikir, "minta berdiri" sangat dengan artinya dengan "berdiri" atau "menjadi lurus" kan? [Badan orang yang berdiri tegak, biasanya lurus kan ya???]. Oh ya perlu diingat disini bahwa KKT 1 s/d 8 kadang-kadang artinya sama dengan arti Kata Kerja Dasar (KKD) nya, atau hanya berbeda sedikit saja, atau bisa berbeda jauh. Dari mana tahunya? Ya tahunya,,, dari kamus. Kita harus rajin-rajin melihat kamus.

Kata al-mustaqiem sendiri, adalah kata bentukan dari KKT 8. Insya Allah selesai topik surat Al-fatihah ini kita akan bahas kata bentukan dari sebuah kata kerja. Kata al-mustaqiem ini merupakan kata bentukan dari استقام istaqooma, yaitu apa yang disebut isim faa'il (kata benda pelaku).

Singkat cerita: الصراط المستقيم - ashshiraata al-mustaqiima artinya Jalan yang lurus.

Oke kita masuk ke ayat 7.

Dalam ayat ini, kata shiraat al-mustaqiim itu diberi penjelasan. Jalan yang lurus yang spt apa?

Yaitu:


صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ

Shiraatha (jalan) alladziina (yang) an'amta (Engkau telah beri nikmat) 'alayhim (atas mereka)

غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ

Ghoiri (bukan) al-maghdhuubi ((jalan) orang yang dimurkai) 'alayhim (atas mereka)

وَلاَ الضَّالِّينَ

wa laa (dan tidak (pula)) adh-dhoolliin ((jalan) orang-orang yang sesat)

Ada beberapa point disini yang perlu kita bahas agar semakin mengerti yaitu, kata:

انعمت - an 'am ta (Engkau telah beri nikmat)

المغضوب - al maghdhuub (orang yang dimurkai)

الضالين - adh dhoolliin (orang yang sesat)

Untuk an'amta Insya Allah dibahas pada topik ini, sedangkan 2 terakhir Insya Allah dibahas ditopik minggu depan.

Baiklah kita lihat kata an'amta انعمت - Engkau telah beri nikmat. Kata ini adalah kata kerja turunan 1 (KKT 1), yaitu انعم - an'ama. Adanya kata تَ diakkhir kata انعم menunjukkan pelaku, yaitu Engkau. Sekaligus peletakan ta ت diakhir tsb, menandakan ini adalah kata kerja lampau (KKL), sehingga diterjemahkan Engkau telah.

KKT 1 nya adalah انعم an'ama. Apa KKD (kata kerja dasarnya)? Gampang. Buang saja alif diawal (ingat KKT 1 dibentuk dengan menambahkan alif pada KKD). Kalau alif dibuang menjadi:

نعم - na'ama. Di kamus arti na'ama itu adalah senang hidupnya. Diberi contoh:

نعم الرجل - na'ama ar-rajul (laki-laki itu senang hidupnya)

Dapat dilihat bahwa kata "senang" ini jika kita buat KKT1 menjadi "menyenangkan" atau "memberi kesenangan". Dengan demikian kata:

انعم - an'ama dapat diartikan: dia telah memberi kesenangan

انعمت - an'amta dapat diartikan: Engkau telah memberi kesenangan

Sehingga kata انعمت عليهم - an'amta 'alayhim dapat diartikan: (jalan yang) Engkau telah beri kesenangan kepada mereka.

Di Quran terjemahan biasanya dikatakan : Engkau telah beri nikmat atas mereka.

Demikian kita akhiri dulu topik 30 ini. Insya Allah akan dilanjutkan.

Diposkan oleh Rafdian Rasyid di 8/20/2007

http://arabquran.blogspot.com/2007/08/topik-30-latihan-al-fatihah-ayat-7-kkt.html

Topik 31: Latihan Al-Fatihah ayat 7 - Al Maghdhub

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillah. Kita akan menyudahi pembahasan surat Al-Fatihah. Pada topik 30, ada 3 pembahasan yang perlu dibahas, yaitu an'amta, al-maghdhuub, ad-dhoolliin. An'amta telah dibahas. Berarti topik 31 ini kita akan bahas sisanya.

Baiklah, kita akan membahas 2 kata:

al-maghdhuub المَغضُوبِ - orang yang dimurkai

ad-dhoolliin الضَّالِّينَ - orang yang sesat

KATA BENTUKAN : ISIM FAA 'IL

Apa itu ISIM FAA 'IL اسم الفاعل?

Isim Fa'il adalah kata benda bentukan dari sebuah kata kerja. Misalkan dalam bahasa Indonesia:

Kata Kerja: membunuh -- to kill

Pelaku: pembunuh (orang yang membunuh) -- the one who kills (the killer)

Penderita: terbunuh (orang yang dibunuh) -- the one who get killed

Dalam bahasa Arab, seperti dalam bahasa Indonesia atau Inggris, demikian juga halnya, pola ini bisa diterapkan. Contoh: Pembunuh itu membunuh seekor kucing:

قَتلَ القاتلُ القطّةَ- qatala (membunuh) al-qootilu (pembunuh) al qithtoh (seekor kucing)

Dalam kalimat diatas, terlihat salah satu cara membentuk kata benda pelaku adalah dengan menyisipkan alif di Kata Kerja Dasarnya.

Jadi:

Kata Kerja Dasar: membunuh قتل - qotala = membunuh. Pembunuh? Gampang sisipkan alif setelah huruf pertama, sehingga menjadi قاتل - qaatilun = pembunuh.



KATA BENTUKAN: ISIM MAF 'UL

Apa itu isim maf'ul اسم المفعول?

Isim maf'ul adalah kata benda penderita, yaitu kata yang dibentuk dari sebuah kata kerja. Contohnya membunuh, pelakunya disebut pembunuh, korbannya disebut yang dibunuh. Apa bahasa arabnya orang (sesuatu) yang dibunuh?

قتل - qotala = membunuh

قاتل - qootilun = pembunuh

مقتول - maqtuulun = (orang/sesuatu) yang dibunuh

Dalam contoh kalimat diatas:

Pembunuh membunuh seekor kucing

قَتلَ القاتلُ القطّةَ - qotala al-qootilu al-qiththoh

Kata Kucing Bisa saya ubah menjadi "sesuatu yang dibunuh":

Pembunuh membunuh sesuatu yang dibuhuh

قَتلَ القاتلُ المقتول - qootala al-qootilu al-maqtuul

OKE,,,, kembali ke LAP TOP,,,...

Dengan memperhatikan pola diatas maka kata al-maghdhuub, adalah ISIM MAF'UL (kata benda penderita), dari apa? Dari kata kerja غضب - ghodhoba (murka). Sehingga, didapat pola sbb:

Kata Kerja Dasar: غضب - ghodhoba = murka

ISIM FA'IL : غاضب - ghoodhobun = orang yang murka

ISIM MAF'UL: مغضوب - maghdhuubun = orang yang dimurkai.

Demikian telah kita bahas tentang al-maghdhuub. Karena sudah terlalu panjang, penjelasan Ad-Dhoolin (orang yang sesat) kita bahas pada topik berikutnya, Insya Allah.

Diposkan oleh Rafdian Rasyid di 8/22/2007

http://arabquran.blogspot.com/2007/08/topik-31-latihan-al-fatihah-ayat-7-al.html

Topik 32: ASAL-USUL KURSI

Kata "karosi" dalam bahasa Minang artinya "kursi". Misalkan dalam kalimat "karosi tu ampuak bana" (kursi itu empuk banget). Kata "kursi" dan "karosi" dua-duanya diserap ke dalam bahasa Minang dan bahasa Indonesia dari bahasa Arab. Kata "kursi" dalam bahasa Arab maknanya tepat sama dengan "kursi" dalam bahasa Indonesia. Sedangkan jamaknya "kursi" dalam bahasa Arab adalah "karosi". Menarik. Bahasa minang mengambil jamaknya (yaitu "karosi"), sedangkan bahasa Indonesia mengambil tunggalnya ("kursi").

Apa sebabnya? Mungkin karena struktur bahasa Indonesia tidak terlalu "peduli" dengan bentuk jamak. Sebagai contoh, "ulama" dalam bahasa Arab artinya adalah orang-orang yang mempunyai ilmu. Sedangkan satu orang yang memiliki ilmu dalam bahasa Arab disebut "alim". Kedua kata tsb yaitu "alim" dan "ulama" dua-duanya diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hanya saja, terjadi penyempitan makna pada kata "ulama", dan terjadi pergeseran makna pada kata "alim".

Satu orang yang berilmu (khususnya ilmu agama), sering disebut orang di Indonesia ini dengan istilah "ulama". Padahal di bahasa Arab, kata "ulama" itu dipakai untuk sekumpulan orang yang berilmu. Jadi terjadi penyempitan makna (dari kata untuk banyak orang, menjadi untuk satu orang). Seperti disebutkan: " para ulama sepakat bahwa membunuh itu dosa besar". Kata "para ulama" dalam kalimat diatas maksudnya "beberapa ulama". Kalau mau konsisten dengan kaidah bahasa Arab, semestinya kalimatnya berbunyi "para alim sepakat bahwa membunuh itu dosa besar".

Kata "alim" sendiri, yang dalam bahasa Arab adalah bentuk tunggal dari kata "ulama". Di Indonesia kata "alim" ini telah bergeser maknanya. Misal dalam kalimat "dia orangnya alim banget ya…". Maksud "alim" disini adalah "soleh" atau "rajin beribadah". Padahal dalam bahasa Arab, kata "alim" ini artinya "orang yang berilmu".

Ada lagi kata serapan dari bahasa Arab, bentukan dari "alim" ini, yaitu "mu’allim" atau kadang hanya dibaca "mualim". Sewaktu saya naik kapal ferry di selat Sunda, biasanya disebutkan, "dalam pelayaran ini kapal ini dikomandani oleh Mualim kapal [sebuah nama disebutkan]". Kata "mu'allim" atau kadang dibaca "mualim" oleh kita, dalam bahasa Arab artinya "orang yang mengajarkan sebuah ilmu" atau "guru". Tampaknya kata "mualim" dalam kasus ini bergeser artinya menjadi "nahkoda kapal".

Orang Indonesia, mungkin terkenal dengan kesabarannya. Sesuatu yang sedikit dianggap banyak. Contohnya, kata "kalimat" dalam bahasa Arab artinya "sebuah kata". Lalu orang kita menyerap kata tersebut dan "membanyakkan" artinya. Jadilah dalam bahasa kita, kata "kalimat" yang di bahasa Arab artinya "satu kata" di Indonesia artinya susunan "banyak kata".

Sama halnya dengan "seseorang yang punya ilmu" orang kita menyebut "ulama (kumpulan orang berilmu)". Mungkin kita telah menganggap "satu orang yang berilmu" setara dengan "orang-orang yang berilmu". Jadilah kita menyebut "ulama" walau untuk itu hanya untuk satu orang. Dan orang Minang mungkin menganggap: walau baru punya satu kursi, tapi tetap merasa punya "karosi" (banyak kursi).

Asal-usul Asli

Kata "asal-usul" diserap dari bahasa Arab "ushuul" yang artinya pondasi, asal, atau pokok-pokok. Seperti dalam istilah “Ushul Fiqih” yang artinya landasan/dasar-dasar fiqih, atau pokok-pokok fiqih. Dalam bentuk lain (bentuk mufrod atau tunggalnya) kata "ushul" ini menjadi "ashl" yang diserap menjadi "asal". Sedangkan kata "ushuul" diserap menjadi "usul". Oleh orang kita, kedua kata ini diserap dan digandengkan, menjadilah dia “asal-usul”. Mengenai ini mungkin dulu orang-orang kita sewaktu belajar bahasa Arab, cara mereka mengingat adalah dengan mengingat kata tunggal dan jamaknya sekaligus: ashl - ushuul (atau asal-usul). Di kebanyakan tempat pembelajaran Bahasa Arabpun saat ini sepertinya metode ini sering digunakan (yaitu menghafalkan kata tunggal dan digandeng dengan jamaknya sekaligus).

Kata "ashl" jika nasab menjadi "ashli" yang oleh kita diserap menjadi "asli". Kadang kita suka berkata : "aslinya rumah ini bersih lho…" ketika mengatakan sebuah rumah yang jorok tidak terurus karena ditinggalkan pemiliknya. Disini makna "asli" mirip dengan kata Arabnya yaitu "ushl" atau "ashl", yaitu asalnya atau pokok dari rumah itu bersih, karena ditinggalkan jadilah dia kotor.

'Iffah


Orang tua kita kadang kreatif. Kata " 'afaf " artinya "pengendalian diri", seperti dalam doa "Allahumma inna nasalukal huda wattuqo... wal 'afaafa wal ghinaa" yang bermakna: "Ya Allah berilah kami petunjuk, taqwa, pengendalian diri dan kekayaan". Kata " 'afaafa" atau "afaf" yang berarti pengendalian diri diambil jadi nama anak. "Afif" untuk anak laki-laki, "afifah" untuk anak perempuan. Teman saya dari Palembang namanya "apip", ini sama saja dengan "afif". Mungkin orang tuanya dulu berharap dia menjadi orang yang bisa mengendalikan diri.

Mengani doa diatas, saya jadi ingat nasehat orang-orang alim zaman dulu. “Nak... mintalah kekayaan yang banyak ke Allah, tapi jangan lupa dapatkan dulu Afif”. Maksudnya pastilah, bukan “dapatkan dulu suami bernama Afif”, tapi dapatkan dulu kekuatan untuk mengendalikan diri. Dari sini terkandung hikmah yang besar dari doa tsb, mengapa minta “Afaafaa” (pengendalian diri) lebih didahulukan daripada minta harta. Apalah artinya harta banyak, kalau diri tidak bisa dikendalikan?

Kata bentukan yang serupa maknanya dangan “afaf” adalah " 'iffah" yang artinya "menjaga kehormatan diri”. Sifat " 'iffah" ini dalam sejarah ditunjukkan oleh sahabat Abdurrahman bin Auf, sewaktu menolak dengan lembut, tawaran diberikan harta, rumah atau istri dari sahabat Anshor pasca hijrah, untuk membantu perekonomian kaum Muhajirin. Dengan sangat halus dia berkata : "... terima kasih wahai saudaraku atas tawaranmu. Sesungguhnya aku ini pedagang, maka tunjukkanlah aku dimana pasar". Sikap ini mencerminkan sikap yang tidak mentang-mentang, tidak ingin merepotkan orang lain, dan ingin bertumpu pada kekuatan sendiri. Sikap menjaga kehormatan diri ini disebut " 'iffah".

Di beberapa daerah di Indonesia, dialek lokal dicampurkan pada kata " 'iffah" sehingga menjadi "ipah" di Sumatera atau "ipeh" kata orang Betawi. “Ipeeeh… ini Nya’ Babe cariin laki si Apip yee…”

Allahu a ’lam bish-showwab

Cibubur, 3 September 2007

Diposkan oleh Rafdian Rasyid di 9/03/2007

http://arabquran.blogspot.com/2007/09/topik-32-asal-usul-kursi-kata-karosi.html

Topik 33: Mu'jizat

Bismillahirrahmanirrahim

Secara bahasa mu'jizat معجزة akar katanya adalah عجز - 'ajiza yang artinya lemah dan kata turunannya pertama (KKT-I)nya adalah اعجز - a'jaza artinya melemahkan. Sedangkan kata bentukan dari KKT-I itu, yaitu kata benda pelakunya adalah معجز - mu'jizun atau معجزة - mu'jizat (sesuatu yang melemahkan).

Al-Quran disebut mu'jizat bagi manusia karena dia "melemahkan manusia". Salah satu tafsir dari "melemahkan manusia" tidak berarti manusia menjadi lemah, akan tetapi Al-Quran memberitahukan kepada manusia, apa kelemahan-kelemahannya. Salah satu caranya, Al-Quran menantang manusia membuat yang serupa dengan Al-Quran. Dan pasti manusia tidak bisa, karena kelemahan yang terdapat padanya. Di banyak ayat lain, Al-Quran juga mejelaskan bagaimana sifat "lemah" manusia, spt tidak akan mampu menghindari bencana, pasti akan mati, bersifat tergesa-gesa, keluh kesah, dll.

Mu'jizat yang diturunkan kepada Nabi-nabi juga berfungsi untuk "melemahkan" musuh. Karena kata mu'jizat sendiri berasal dari KKT-I (artinya kata kerja yang perlu objek - fi'il muta'addi), maka ada juga pendapat bahwa mu'jizat itu ada, kalau objeknya ada. Salah satu objek mu'jizat Nabi Musa adalah Fir'aun. Sedangkan objek Al-Quran (sebagai mu'jizat) lebih luas lagi yaitu manusia semuanya.

Mengenai mu'jizat Al-Quran, salah satu "teman virtual saya", seorang yang sudah sepuh berasal dari Madura, Bpk. Ruslan Kailani, mengatakan sbb (saya kutip dari Email dia yang dikirimkan ke saya 29 Agustus 2007):

"Sebagian ulama berpendapat bahwa mu’jizat Al-Qur’an terletak pada ketepatan dan keindahan bahasanya, dlm struktur yg terjalin rapat (closely-knit unit) dan maknanya yg sangat tinggi/dalam. Ahli bahasa/sastera Arab abad ke-5H/11M, Abd Al-Qahir Al-Jurjani (lahir di kota Jurjan, Persia sekarang) menulis buku yg khusus membicarakan gaya bahasa AQ, menunjukkan kehebatannya yg tak tertandingi, yg telah membuat para penyair/sasterawan di masa Rasulullah Saw terpukau, sedangkah mereka dikenal mempunyai cita rasa sastera yg sangat tinggi. Judul bukunya “Dala’il Al-I’jaz”, sekaligus mendukung tantangan AQ (seperti yg dikutip mas Rafdian), dgn memberikan semacam tolok ukur, standar, bagi mereka yg mungkin meng-klaim bisa membuat ayat yg serupa dgn AQ.

Al-Jurjani memberikan contoh2 penggunaan kata dan susunan kalimat dari AQ yg mengagumkan, misalnya:

Al-Baqarah:179, “wa lakum fi al-qisasi hayatun”, kata “hayatun” tidak memakai “AL” (definite article), karena yg diselamatkan oleh adanya hukum qisas itu bukan seluruh hidupnya (usianya), melainkan sisanya. Misalnya seseorang yg berpotensi hidup 60 tahun, lalu dibunuh orang pada umur 40, berarti dia kehilangan hidup 20 th. Yg 20 th ini yg diselamatkan oleh hukum qisas (karena pembunuh jadi takut melakukan pembunuhan). Kalau dikatakan “al-hayatun” akan tidak akurat, karena menunjuk pada keseluruhan umurnya (60 th).

Huud:44, “wa qila ya ardu ibla’I ma’aki”, setelah itu disebutkan “wa ghida al-ma”. Kata Al-Jurjani secara tepat dan mengagumkan AQ menggunakan bentuk pasif, “maka airpun di-serap”, yg menunjukkan konsistensinya dgn perintahNya kepada bumi agar menyerap airnya, dan bentuk pasif itu menunjukkan dilakukannya (oleh bumi) perintah tsb. Makna dan konsistensi ini tidak akan muncul kalau kalimatnya dlm bentuk aktif “maka airpun menyerap”. -- Demikian kutipan email Pak Ruslan.

Allahu a'lam bish-showwab

Diposkan oleh Rafdian Rasyid di 9/07/2007

http://arabquran.blogspot.com/2007/09/topik-33-mujizat-bismillahirrahmanirrah.html

Topik 34: Erosi Makruh dan Sunnah

Bismillahirrahmanirrahim.

Jika direnungi, masyarakat kita sekarang terkadang telah meng-erosikan makna Makruh dan Sunnah. Kalau tidak boleh meng-klaim masyarakat, setidaknya saya mengakui dalam diri saya sendiri, bahwa selama ini saya meng-erosikan kedua makna kata tsb. Semoga Allah mengampuni saya.

Makruh

Kata makruh mungkin telah banyak orang yang meng-erosi-kan maknanya. Waktu saya SD, dikatakan bahwa makruh itu artinya sesuatu hal yang jika dikerjakan tidak berdosa, jika ditinggalkan mendapat pahala. Diberi contoh makan sambel jengkol atau pete. Dalam konteks ini, merokok oleh sebagian tokoh Islam dianggap makruh, dan oleh sebagian ulama mutaakhirin (kontemporer), merokok dianggap haram, mengingat penelitian mutakhir yang menjelaskan jenis-jenis racun yang dikandung rokok, berikut dampak-dampak buruk yang ditimbulkannya baik untuk si pengisap maupun untuk lingkungannya.



Secara bahasa kata "makruh" مكروه artinya: yang dibenci. Akar katanya adalah "karuha" كره yang artinya benci. Sebelum belajar bahasa Arab, saya pribadi merasa kata "makruh" itu sesuatu yang ringan-ringan saja ditelinga... Padahal secara bahasa artinya sungguh berat, yaitu sesuatu yang dibenci. Dibenci oleh siapa? Ya dibenci oleh agama ini. Semestinya orang-orang para penikmat rokok (walau mereka sekarang masih "berpegang" pada pendapat bahwa itu perbuatan makruh), sadar bahwa sebenarnya seringan-ringannya pendapat bahwa rokok itu makruh, tetap saja perbuatan itu adalah perbuatan yang dibenci (oleh agama ini).

Dalam Al-Quran surat Al-Mu'min ayat 14, Allah SWT berfirman:

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

-- maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepadaNya, walaupun orang-orang kafir membencinya.

Diayat tsb kata karuha atau kariha yang artinya "membenci" dipakai. "Walau kariha al-kaafirrun" - walau orang-orang kafir membencinya. Terlihat disini, kata karuha atau kariha كره dipakai sebagai bentuk "perlawanan" orang-orang kafir atas perintah beribadat kepada Allah SWT. Terasa berat sekali makna kata karuha/kariha disini. Semestinya kata makruh yang artinya sesuatu yang dibenci, juga kira rasakan dengan "berat".

Kalau dilihat di kamus arti lain dari karuha - selain benci, juga berarti perbuatan keji, atau buruk. Artinya makruh itu sama juga dengan melakukan perbuatan keji, atau buruk.

Jadi mulai sekarang, sebaiknya kita tidak meng-erosi-kan makna "makruh".

Sunnah


Kata sunnah pun mungkin kita telah banyak erosi-kan. Waktu saya SD, kata sunnah itu disempitkan menjadi sesuatu hal yang jika dikerjakan berpahala, jika ditinggalkan berdosa. Ya itu benar. Itu adalah defisini fiqih. Sunnah kebalikan dari Makruh, secara defisini fiqih. Akibat dari peng-erosi-an tsb, begitu mendengar kata-kata perbuatan sunnah, orang yang mendengarnya yaaa... alakadarnya saja menanggapi...

Padahal sunnah dalam ilmu hadist disebutkan sebagai sesuatu hal dari Rasulullah SAW yang meliputi perkataan, perbuatan, sifat, dan taqrir (kebolehan) dari Rasulullah SAW. Dalam Al-Quran dikatakan: "laqod kaana lakum fii rasulullahi uswatun hasanan" (sungguh telah ada pada diri Rasulullah contoh teladan yang baik bagi kalian). Artinya semua perbuatan, perkataan, sifat dan taqrir dari Rasulullah itu adalah Sunnah, dan itu adalah contoh yang baik untuk ditiru. Artinya dia bukan hal yang "ringan-ringan" saja. Bahkan para Sahabat RA diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk memegang teguh Sunnah-Sunnah beliau. "Gigitlah Sunnahku dengan gigi gerahammu", demikian Rasulullah perintahkan kepada para Sahabat RA, dengan menggunakan penekanan "dengan gigi gerahammu", ini menggambarkan betapa pentingnya mengerjakan hal-hal yang Sunnah-Sunnah itu.

Secara bahasa kata Sunnah atau Sunnat سنة artinya jalan, tabiat, atau peri kehidupan. Sunnah Rasul artinya jalan yang ditempuh Rasulullah SAW, atau tabiat-tabiat dan peri kehidupan yang ditampilkan Rasulullah SAW. Kata Ahlus-Sunnah, artinya golongan orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah SAW. Sesuai hadist Rasulullah, perkara yang paling minimal untuk kita laksanakan adalah: tidak membenci Sunnah nya. Itulah yang minimal. Kalau tidak bisa atau belum bisa melaksanakan Sunnah, minimal jangan membencinya. Rasulullah SAW bersabda "fa man raghiba 'an sunnatii fa laysa minnii" (barang siapa yang membenci sunnah ku, niscaya dia bukanlah dari golongan ku). Berita paling buruk manalagi bagi seorang muslim, jika seandainya di Yaumil Mahsyar nanti, sewaktu orang-orang berkumpul, lalu kita "diusir" dari Jamaah Rasulullah... "Tidak... engkau bukan jamaah Rasulullah SAW, karena semasa didunia engkau membenci Sunnah nya"... Allahu Akbar... pastilah pada saat itu kesedihan, penyesalan yang luar biasa akan terjadi...?

Allahu a'lam bish-showwab

-- dalam perjalanan Cibubur - Sunter, 10 September 2007

Diposkan oleh Rafdian Rasyid di 9/10/2007

http://arabquran.blogspot.com/2007/09/topik-34-erosi-makruh-dan-sunnah.html

Topik 35: Tarhib dan Targhib Ramadhon

Bismillahirrahmanirrahim.

Malam ini (11 September 2007), Insya Allah ormas-ormas Islam termasuk Departemen Agama RI, akan melaksanakan ru'yatul hilal. Jika nanti malam hilal terlihat, maka sesuai hadist, Ramadhon akan dimulai besok. Jika tidak maka Ramadhon akan kita mulai tanggal 13 September 2007. Berdasarkan analisis banyak pihak, Ramadhon akan kita laksanakan tanggal 13 September 2007. Hal ini pun sudah saya tulis dalam artikel:

http://arabquran.blogspot.com/2007/08/idul-fitri-2007-akankah-kita-berbeda.html

Penyambutan, Pengancaman, dan Pe-cintaan

Saat ini dimana-mana masjid alhamdulillah, acara-acara menyambut Ramadhon semakin marak. Banyak masjid yang mengadakan acara tarhib ramadhon. Ya, Ramadhon adalah tamu agung, yang harus disambut. Telah banyak diceritakan dalam hadist-hadist shohih bahwa shalafus sholih, minimal mempersiapkan Ramadhon jauh-jauh hari sebelum Ramadhon datang. Telah mashyur dikalangan kita doa menyambut Ramadhon sejak dari bulan Rajab dan Sya'ban : "Allahumma baariklana fii Rajaab wa Sa'ban, wa balighnaa Romadhon" (ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhon).

Acara-acara penyambutan ramadhon biasa kita sebut Tarhib Ramadhon. Tapi jangan salah mengucapkan kata Tarhib. Yang benar itu mengucapkan Tarhib dengan "ha pedes" (ح) bukan dengan "ha tebal" (هـ), sebab jika salah artinya bertolak belakang.

Kata Tarhib ترحيب dengan "ha pedes" adalah kata dasar (masdar) dari kata rahhiba رحب (menyambut). Sehingga arti tarhib (dengan "ha pedes") sendiri karena harus bersifat kata benda, dapat dikatakan sebagai "penyambutan". Tapi bacanya pakai "ha pedes".

Kata Tarhib ترهيب dengan "ha tebal" adalah kata dasar (masdar) dari kata rahhiba رهب (mengancam). Sehingga arti tarhib (dengan "ha tebal") adalah pengancaman atau ancaman. Tarhib Ramadhon jika dibaca dengan "ha tebal" artinya Ancaman Ramadhon, artinya sesuatu yang membuat orang takut terhadap Ramadhon. Tentulah bukan ini yang dimaksud.


Yüklə 1 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   13




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin