Bab I pendahuluan oleh: L. Andriani & Rukiyati standar kompetensi matakuliah pendidikan pancasila


Arti dan Makna Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia



Yüklə 0,84 Mb.
səhifə4/12
tarix26.10.2017
ölçüsü0,84 Mb.
#14095
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   12

Arti dan Makna Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Beberapa pokok pikiran yang perlu dipahami antara lain:

  • Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat

  • Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing

  • Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya.

Keadilan berarti adanya persamaan dan saling menghargai karya orang lain. Jadi seorang itu bertindak adil apabila orang memberikan sesuatu orang lain sesuai dengan haknya, misalnya seseorang berhak memperoleh X, sedang ia menerima X, maka perbuatan itu adil.

Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat. Dinamis dalam arti diupayakan lebih tinggi dan lebih baik. Hal ini berarti peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran yang lebih baik. Seluruh kekayaan alam tidak dikuasai oleh sekelompok orang, tetapi harus untuk kesejahteraan semua orang, kepentingan bersama menurut potensinya masing-masing. Dalam masyarakat ada orang-orang yang berkedudukannya lemah, kemungkinan potensi, bakat tidak tinggi dibanding dengan kelompok lain, maka mereka ini dilindungi, agar dapt bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing. Jadi sesuatu yang diberikan kepada orang-orang yang sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan potensinya itulah yang disebut adil.


Visualisasi Keadilan

Masyarakat


1 2

Individu Individu
3

Dalam skema di atas, tampak disatu pihak masyarakat sebagai entitas, di lain pihak terdapat individu-individu dalam masyarakat. Jika manusia pribadi dihubungkan dengan keseluruhan masyarakat, setidak-tidaknya terlihat tiga macam keadilan:



  1. Keadilan legalis

  2. Keadilan _istributive

  3. Keadilan komutatif

  1. Keadilan Legalis artinya keadilan yang arahnya dari pribadi ke seluruh masyarakat. Manusia pribadi wajib memperlakukan perserikatan manusia sebagai keseluruhan sebagai anggota yang sama martabatnya. Manusia itu sama dihadapan hukum, tidak ubahnya dengan angggota masyarakat yang lain. Contoh: warga negara taat membayar pajak, mematuhi peraturan berlalu lintas di jalan raya.. Jadi, setiap warga negara dituntut untuk patuh pada hukum yang berlaku.

  2. Keadilan _istributive adalah keseluruhan masyarakat wajib memperlakukan manusia pribadi sebagai manusia yang sama martabatnya. Dengan kata lain, apabila ada satu hukum yang berlaku maka hukum itu berlaku sama bagi semua warga masyarakat. Pemerintah sebagai representasi negara wajib memberikan pelayanan dan mendisitribusikan seluruh kekayaan negara (asas pemerataan) dan memberi kesempatan yang sama kepada warga negara untuk dapat mengakses fasilitas yang disediakan oleh negara (tidak diskriminatif). Contoh:.tersedianya fasilitas pendidikan untuk rakyat, jalan raya untuk transportasi umum, termasuk untuk penyandang cacat dan lanjut usia.

  3. Keadilan komutatif. Hal ini khusus antara manusia pribadi yang satu dengan yang lain. Artinya tak lain warga masyarakat wajib memperlakukan warga lain sebagai pribadi yang sama martabatnya. Ukuran pemberian haknya berdasar prestasi. Orang yang punya prestasi yang sama diberi hak yang sama. Jadi sesuatu yang dapat dicapai oleh seseorang harus dipandang sebagai miliknya dan kita berikan secara proposional sebagaimana adanya. Contoh: Saling hormat-menghormati antar-sesama manusia, toleransi dalam pendapat dan keyakinan, saling bekerja sama.

DAFTAR PUSTAKA
Heru Santoso, dkk. 2002. Sari Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kaelan. 2001. Pendidikan Pancasila. Jogjakarta:Penerbit Paradigma.


Notonagoro . 1973. Filsafat Pendidikan Nasional Pancasila, FIP IKIP YOGYAKARTA.
__________. 1967. Pancasila Dasar Filsafat Negara RI .Yogyakarta : UGM.
Pranarka, AMW. 1985. Sejarah Pemikiran Pancasila. Jakarta: CSIS.
Sjafroedin Bahar, dkk.(ed.)1995. Risalah Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Soerjanto Poepowardojo .1989. Filsafat Pancasila : Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta : Penerbit PT Gramedia.


BAB V

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

Oleh:

L. Andriani Purwastuti

Kompetensi Dasar


  1. Menjelaskan hubungan antara filsafat dan ideologi

  2. Mendeskripsikan berbagai ideologi-ideologi besar dunia

  3. Membandingkan Pancasila dengan liberalisme dan komunisme

  4. Menganalisis Pancasila sebagai ideologi terbuka

  5. Menjelaskan Pancasila sebagai ideologi terbuka merupakan prasyarat terwujudnya Indonesia Baru yang dilandasi semangat toleransi



  1. Hubungan Antara Filsafat dan Ideologi

Pengertian filsafat secara etimologis berasal dari kata Yunani philosophia (dari philein berarti mencintai, atau philia berarti cinta, dan sophia berarti kearifan, kebenaran) yang melahirkan kata Inggris “philosophy”, yang biasanya diartikan dengan “cinta kearifan”. Pada awalnya sophia tidak hanya berarti kearifan, tetapi berarti pula kerajinan sampai kebenaran utama, pengetahuan yang luas, kebajikan intelektual, pertimbangan yang sehat, dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang praktis. Jadi filsafat asal mulanya merupakan kata yang sangat umum untuk menyebut usaha mencari keutamaan mental (Encyclopaedia Britannica, dalam The Liang Gie, 1979, 6).

Pengertian filsafat secara konsepsional adalah definisi filsafat sebagai mana dikemukakan oleh para filsuf. The Liang Gie (1979:6-15) mengatakan terdapat sekurangnya terdapat 30 macam definisi tentang filsafat. Beberapa contoh pengertian filsafat dapat disebutkan di bawah ini:

Konsepsi Plato berkaitan dengan metode dialektikanya. Secara etimologis istilah “dialektika” berarti seni berdiskusi. Filsafat harus berlangsung dengan mengkritik pendapat-pendapat yang berlaku, Jadi kearifan atau pengertian intelektual diperoleh melalui suatu proses pemeriksaan secara kritis, diskusi dan penjelasan gagasan-gagasan.

Konsepsi Aristoteles dapat dilacak dalam bukunya Metaphysics. Filsafat diartikan sebagai ilmu yang menyelidiki tentang hal ada sebagai hal ada yang berbeda dengan bagian-bagiannya yang satu atau lainnya.

Konsepsi Cicero menyebut filsafat sebagai “ibu dari semua seni”. Ia juga mendefinisikan filsafat sebagai arts vitae (seni kehidupan). Konsepsi filsafat ini menguasai pemikiran orang-orang terpelajar selama zaman Renaissance.

Filsafat sebagai pandangan hidup dinyatakan oleh J.A. Leighton. Filsafat mencari suatu totalitas dan keserasian dari pengertian yang beralasan mengenai sifat dasar dan makna dari semua segi pokok dari kenyataan. Suatu filsafat yang lengkap mencakup suatu pandangan dunia atau konsepsi yang beralasan mengenai seluruh kosmos, dan suatu pandangan hidup yang berisi ajaran tentang nilai-nilai, makna-makna, dan tujuan-tujuan dari hidup manusia.

Filsafat sebagai perbincangan yang kritis dikemukakan oleh John Passmore. Filsafat merupakan suatu bentuk perbincangan kritis dan demikian pula halnya dengan ilmu, yakni sebagai bentuk yang paling maju dari perbincangan kritis. Keistimewaan filsafat terletak pada kedudukannya sebagai suatu perbincangan kritis mengenai perbincangan kritis.

Damarjati Supadjar mengatakan bahwa filsafat merupakan refleksi menyeluruh tentang segala sesuatu yang disusun secara sistematis, diuji secara kritis demi hakikat kebenarannya yang terdalam serta demi makna kehidupan manusia di tengah-tengah alam semesta ini. Filsafat dengan demikian mempunyai arti sebagai suatu hasil dari perenungan yang mendalam tentang segala sesuatu.

Walaupun terdapat banyak definisi filsafat, tetapi jika ditelusuri kesemuanya diperoleh dari hasil berpikir filsafat yang mempunyai kesamaan dengan ciri-ciri radikal, sistematis, dan bersifat universal. Radikal berarti berpikir sampai pada akarnya (radix). Artinya berpikir secara mendalam samapi pada akar-akarnya, atau berpikir untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Berpikir tentang segala sesuatu sampai pada hakikatnya. Sistematis, artinya berpikir secara logis selangkah demi selangkah dan menunjukkan suatu kerangka pemikiran yang konsisten dan utuh (kebulatan). Universal, artinya berpikir secara umum menyeluruh tidak terikat ruang dan waktu. Oleh karena berpikir filsafat mempunyai ciri-ciri ini, maka Sidi Gazalba mendefinisikan filsafat sebagai sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil dari berpikir secara radikal, sistematik, dan universal.

Filsafat sebagai hasil berpikir dapat dipakai acuan, orientasi, atau dasar dalam kehidupan pribadi ataupun kelompok karena ia meyakini kebenaran yang terkandung di dalam pemikiran filsafat tersebut. Filsafat yang demikian ini secara umum diartikan sebagai ideologi.



Dalam ensiklopedi Politik dan Pembangunan (1988) dijelaskan bahwa istilah ideologi berasal dari kata Yunani idein yang artinya melihat dan logia yang berarti kata, ajaran. Istilah ideologi pertama kali diperkenalkan oleh A. Destult de Tracy untuk menyebutkan suatu cabang filsafat, yaitu science des idees, sebagai ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain, misalnya pedagogi, etika dan politik. Pengertian ideologi pada awalnya berarti ilmu tentang terjadinya cita-cita, gagasan atau buah pikiran. Arti yang demikian ini kemudian diubah oleh Marxisme sehingga pengertian ideologi berkonotasi negatif.

Menurut Marxisme, ideologi diartikan sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial. Ideologi bagi Karl Marx (pencetus Marxisme) diartikan sebagai Uberbau atau “bangunan atas” yang didirikan di atas basis ekonomi yang menentukan coraknya. Oleh karena didirikan di atas basis ekonomi ini, maka kebenaran ideologi bersifat relative dan semu serta mengandung kebenaran hanya menurut golongan tertentu (yang berkuasa).

Ideologi secara praktis diartikan sebagai sistem dasar seseorang tentang nilai-nilai dan tujuan-tujuan serta sarana-sarana pokok untuk mencapainya. Jika diterapkan untuk negara, maka ideologi diartikan sebagai kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya, baik sebagai individu, sosial maupun dalam kehidupan bernegara.

Ideologi merupakan suatu “belief system” dan karena itu berbeda dengan ilmu, filsafat maupun theologi yang secara formal merupakan suatu “knowlegde system” yang bersifat reflektif, sistematis dan kritis (Pranarka, 1985). Oleh karena terdapat beberapa pengertian mengenai ideologi, maka pemahaman makna ideologi hendaknya selalu dikaitkan dalam pembicaraan tertentu sehingga pemahaman yang salah dapat dihindari.
B. Perbandingan Antara Ideologi Liberalisme, Komunisme dan Pancasila.

  1. Liberalisme

John Locke (1632-1704) merupakan orang pertama yang meletakkan dasar-dasar ideologi liberal. Liberalisme muncul sebagai reaksi terhadap filsafat Filmer yang mengatakan bahwa setiap kekuasaan bersifat monarkhi mutlak dan tidak ada orang yang lahir bebas (Magnis Suseno, 1994). Dengan kata lain, ciri-ciri liberalisme adalah sebagai berikut: a) memiliki kecenderungan untuk mendukung perubahan, b0 mempeunyai kepercayaan terhadap nalar manusiawi, c) bersedia menggunakan pemerintah untuk meningkatkan kondisi manusiawi, d) mendukung kebebasan individu, e) bersikap ambivalen terhadapa sifat manusia (Lyman Tower Sargent, 1986:96).

Walaupun di atas telah disebutkan ciri-ciri yang menggambar-kan keunggulan liberalisme, kecuali sifat ambivalennya terhadap sifat manusia, namun liberalisme mempunyai kelemahan-kelemahan. Kelemahannya, yaitu liberalisme buta terhadap kenyataan, bahwa tidak semua orang kuat kedudukannnya dan tidak semua orang sama cita-citanya; oleh karena itu, kebebasan yang hampir tanpa batas itu dengan sendirinya dipergunakan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok yang kuat untuk semakin memperluas kegi\atan dan pengaruhnya, sedangkan kemungkinan ini bagi pihak yang lebih lemah semakin kecil. Akibatnya tanggung jawab sosial seluruh masyarakat ditolak oleh liberalisme sehigga melahirkan “binatang ekonomis” artinya manusia hanya mementingkan keuntungan ekonomisnya sendiri.

Bertitik tolak dari pandangan di atas, jika dibandingkan dengan ideologi Pancasila yang secara khusus norma-normanya terdapat di dalam Undang-ndang Dasar 1945, maka dapat dikatakan bahwa hal-hal yang terdapat di dalam liberalisme terdapat di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi Pancasila menolak liberalisme sebagai ideologi yang bersifat absolutisasi dan determinisme. Absolutisasi diartikan sebagai adanya proses ,memutlakkan hal-hal yang pada hakikatnya tidak mutlak. Determinisme adalah ajaran bahwa sesuatu itu secara mutlak telah ditentukan dan dibatasi oleh faktor-faktor tertentu (Pranarka, 1985: 404).

Sebagaimana diketahui bahwa liberalisme merupakan paham yang pertama kali menyuarakan hak-hakl azasi manusia , yaitu hak-hak yang melekat pada manusia karena kemanusiaannya sendiri,yang diberikan kepadanya oleh Sang Pencipta dan oleh karena itu tidak dapat dirampas oleh siapapun juga termasuk negara. Undang-undang Dasar 1945 memuat sebagian dari hak-hak azasi manusia, antara lain kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pikiran, kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat, serta hak-hak azasi yang lain. Perubahan Kedua UUD 1945 tahun 2000 telah ditambahkan pula secara hampir terperinci hak-hak azasi manusia yang belum dimasukkan di dalam UUD 1945. Walaupun demikian Undang-Undang Dasar 1945 tidak bersifat absolutisasi dan determinisme sebagaimana ideologi liberal-isme, yang memberi penekanan pada kebebasan individu, sehingga kesejahteraan sosial bukan menjadi tanggung jawab negara. Kaum sosialis Marxisme mengkritik negara seperti ini sebagai negara yang melndungi kepentingan “kaum borjuis”.

Undang-undang Dasar 1945 tidak hanya menekankan hak-hak azasi manusia, tetapi juga kewajiban-kewajiban, misalnya kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan, ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Negara berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan sosial bagi warga negaranya, misalnya pasal 27, 31, 34 UUD 1945.

Undang-undang Dasar 1945 menolak sistem ekonomi liberal yang berdasarkan persaingan bebas dan penyakralan hak milik pribadi. Hak milik pribadi tidak dihilangkan, tetapi ditempatkan secara proporsional. Hak milik pribadi dipergunakan sepanjang tidak bertentangan dengan kesejahteraan sosial. Pasal 33 UUD 1945 menyuratkan dan menyiratkan hal ini.


2. Komunisme

Tiga ciri negara komunis adalah: 1) berdasarkan ideologi Msrxisme–Leninisme, artinya bersifat materialis, ateis dan kolektivistik; 2) merupakan sistem kekuasaan satu partai atas seluruh masyarakat; 3) ekonomi komunis bersifat etatisme (Magnis-Suseno, 1988:30). Ideologi komunisme bersifat absolutisasi dan determinis-men, karena memberi perhatian yang sangat besar kepada kolektivitas atau masyarakat; kebebasan indiviud, hak milik pribadi tidak diberi tempat dalam negara komunis. Manusia dianggap sebagai “sekrup” dalam sebuah kolektivitas (Magnis Suseno, 1988:31).

Setelah membandingkan ketiga ciri di atas dengan paham negara RI yaitu Pancasila, maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila sebagai ideologi memberi kedudukan yang seimbang kepada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pancasila bertitik tolak dari pandangan bahwa manusia secara kodrati bersifat monopluralis, yaitu manusia yang satu tetapi dapat dilihat dari berbagai dimensi dalam aktualisasinya. Manusia secara kodrati terdiri dari susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat yang harus diwujudkan secara seimbang. Secara susunan kodrat manusia tidak hanya dipandang sebagai raga atau materi saja tetapi juga mempunyai jiwa dan harus diaktualisasikan secara seimbang antar-keduanya. Secara sifat kodrat, manusia adalah manusia berusaha menyeimbangkan hidupnya dalam mengaktualisasikan sifat individual dengan sifat sosial. Demikian pula, dalam hidup manusia haruslah disadari bahwa secara kodrati ia mempunyai kedudukan sebagai makhluk otonom yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, sekaligus sebagai makhluk Tuhan yang bertanggung jawab pula terhadap Tuhannya atas segala potensi dan karunia yang telah diberikan kepadanya.

Undang-undang Dasar 1945 sebagai penjabaran secara yuridis formal dari ideologi Pancasila menunjukkan adanya ide keseimbangan itu. Undang-undang Dasar 1945 tidak bersifat absolut dalam memandang manusia dan kehidupan bernegara. Maka, baik ciri komunisme yang bersifat totaliter tidak terdapat di dalamnya. Demikian pula kelemahan liberalisme yang cenderung menutup mata akan adanya dampak dari individualisme dan persaingan dicoba untuk diantisipasi dengan adanya pasal-pasal yang menjamin akan kebebasan sekaligus perlindungan terhadap hak-hak yang menyangkut hajat hidup warga negara secara umum.

Pasal-pasal yang menunjukkan adanya sarana kontrol yang dapat mencegah kekuasaan satu partai misalnya pasal 1, 27, 28, 29. Sebaliknya, pasal 33 yang menyiratkan adanya penguasaan ekonomi oleh negara, tetapi bukan berarti ekonomi bersifat etatisme. Hanya cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai negara sehingga milik pribadi dan hak atas usaha pribadi diakui sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial berdasarkan azas kekeluargaan.
C. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

Dalam hubungan dengan negara, ideologi diartikan sama dengan Weltanshauung. Selain itu dikenal pula istilah philosophische grondslag sebagaimana dipakai oleh Ir. Soekarno pada usulannya tentang dasar-dasar Indonesia merdeka pada pada pidatonya di depan anggota sidang BPUPKI yang pertama tanggal 1 Juni 1945 (Bahar, 1995). Weltanschauung atau pandangan dunia diartikan sebagai konsensus mayoritas warga negara sebagai warga bangsa tentang nilai-nilai dasar yang ingin diwujudkan dengan mengadakan negara merdeka. Nilai-nilai dasar itu berbeda-beda tetapi ada pula persamaannya antara bangsa satu dengan bangsa yang lain. Negara Perancis mendasarkan pada nilai-nilai: liberte, egalite, fraternite (Revolusi Perancis 1791), Amerika Serikat mendasarkan pada kemerdekaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab (1796), Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila (1945).

Pancasila merupakan hasil berfikir secara kefilsafatan, suatu hasil pemikiran yang mendalam dari para pendiri negara Indonesia, yang disyahkan sebagai dasar filsafat negara pada tanggal 18 Agustus 1945. Dengan demikian Pancasila merupakan konsensus filsafat yang akan melandasi dan memberikan arah bagi sikap dan cara hidup bangsa Indonesia.

Beberapa pemikir mengatakan bahwa Pancasila merupakan :



  1. Driyakarya dalam tulisannya Pancasila dan Religi (1957) berpendapat bahwa Pancasila berisi dalil-dalil filsafat.

  2. Soediman Kartohadiprodjo, dalam bukunya Beberapa Pekiraan Sekitar Pancasila (1980) mengemukakan bahwa: Pancasila itu adalah filsafat bangsa Indonesia. Kelima sila itu merupakan inti-inti, soko guru dari pemikiran yang bulat.

  3. Notonagoro, dalam berbagai tulisannya berpendapat bahwa kedudukan Pancasila dalam negara RI sebagai dasar negara dalam pengertian filsafat. Sifat kefilsafatan dari dasar negara tersebut terwjudkan dalam rumusan abstrak umum universal dari kelima sila Pancasila.

  4. Dardji Darmodihardjo, mengemukakan bahwa Pancasila dapat dikatakan sebagai filsafat yang idealistis, theis, dan praktis.

Idealistik artinya dalam Pancasila berisi nilai-nilai atau fikiran terdalam tentang kehidupan yang dipandang baik.

Theis, artinya dalam Pancasila berisi filsafat yang mengakui adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Praktis, artinnya dalam Pancasila bukan hanya berisi kebenaran teoritis, tetapi dititikberatkan pada pelaksanaannya.

  1. Soerjanto Poespowardojo, mengemukakan bahwa Pancasila sebagai orientasi kemanusiaan, bila dirumuskan negatif adalah:

a. Pancasila bukan materialisme.

Manusia menurut materialisme tidak berbeda dengan objek-objek lainnya. Subjektivitas manusia itu tidak masuk akal. Kepribadian manusia itu nonsens (tidak berguna), karena pada dasarnya yang menentukan segal-galnya adalah benda atau materi. Masalah ini akan menjadi sangat serius, jika manusia terjebak dalam scientisme, yaitu suatu bentuk mengagungan terhadap iptek. Para filsuf filsafat modern telah menunjukkan akibat fatal dari paham ini. Erik Fromm mengatakan bahwa dalam masyarakat modern, manusia telah teralienasi (terasing) dari diri sendiri dan lingkungannya. Manusia tidakbebas, karena harus tunduk pada irama kehidupan teknologi. Teknologi diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk teknologi.



b. Pancasila bukan pragmatisme.

Pragmatisme merupakan paham yang menitikberatkan atau meletakkan kriteria tindakan manusia pada pemanfaatan atau kegunaan. Pandangan pragmatisme kalau ditarik lebih jauh akan bermuara pada tindakan-tindakan yang inhuman. Baik dan buruk tidak ditentukan secara objektif lagi. Pancasila jelas tidak tidak menganut ideologi pragmatisme. Hal ini bukan berarti Pancasila menolak tindakan-tindakan yang pragmatis dalam kehidupan bernegara, tetapiyang ditolak adalah ideologinya. Ideologi pragmatisme merupakan paham yang bersifat absolutisasi, dan determinisme. Absolutisasi artinya, ada upaya ke arah memutlakan guna atau manfaat dalam kehidupan manusia. Mereka meletakan nilai guna atau manfaat sebagai nilai yang tertinggi. Determinisme, artinya satu-satu faktor yang menentukan segala kehidupan adalah guna atau manfaat. Pancasila mengakui manusia sebagai pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri (instrinsik) dan tidak boleh direduksikan ke bawah kriteria manfaat atau kegunaan saja.



c. Pancasila bukan spiritualisme.

F.W Hegel merupakan filsuf pertama yang memperkenalkan paham spiritualisme. Hegel mengatakan bahwa realita seluruhnya adalah perwujudan roh (spirit). Paham ini ternyata dalam kenyataan telah dipakai untuk melegitimasi tindakan otoriter dan tidak demokratis dari penguasa. Penguasa dapat saja memberi pembenaran terhadap tindakan yang sewenang-wenang sebagai tindakan roh yang sedang mewujudkan diri dalam realita atau kenyataan.Pancasila tentu saja menolak paham spiritualisme, tetapi tetapi mengakui adanya hal-hal yang bersifat rohani. Hal ini bermuara pada landasan ontologis Pancasila, yaitu manusia yang bersifat monodualisme (Notonagoro), khususnya dari susunan kodratnya, sebagai makluk yang terdiri dari jiwa dan raga. Spiritualisme pada akhirnya bermuara pada tindakan-tindakan otoirter, mengekang kebebasan manusia. Hal ini berarti sudah tidak manusiawi lagi.



Sedangkan jika dirumuskan positif, Pancasila mempunyai ciri-ciri: integral, etis, dan religius.

Integral dalam arti pancasila mengajarkan ajaran kemanusiaan yang integral. Manusia adalah individualitas dan sekaligus sosialitas. Manusia itu masing-masing otonom dan korelatif. Pranarka mengatakan bahwa manusia berada dalam dua tegangan dialektik antara sifat kodrat yang individual dan sosial, makluk pribadi dan berhubungan dengan sesamanya. Pandangan ini berarti menolak pandangan Liberalisme. Liberalisme mengajarkan manusia adalah individu yang bebas, tidak boleh dikekang kebebasannya oleh kekuatan-kekuatan luar, khususnya oleh negara. Akibat negatif dari pandangan ini bagi kemanusiaan sudah terbukti sejak jaman kapitalisme kuno (tradisional sebagai disampaikan oleh John Locke), dimana harkat martabat manusia direndahkan oleh kebebasan sebagian kecil individu yang kuat. Kapitalisme kuno mengakibatkan tindakan eksploitatif dari klas pemilik modal (borjuis) yang sifatnya menindas kepada klas proletar (buruh). Pancasila juga menolak sosialisme otoriter. Sosialisme otoriter merupakan paham yang memberi kritik, atau reaksi terhadap liberalisme-kapitalisme, sehingga pandangannya menolak sisi individualitas manusia dan mengakui humanisme kolektivitas; manusia adalah makluk sosial. pandangan ini berat sebelah, karena tidak mengahrgai kebebasan individu manusia. Dalam perjalanan sejarah sosialisme otoriter telah terbukti mengakibatkan etatisme (pengaturan ekonomi semua ditangan negara) dengan segala implikasi negatifnya seperti timbulnya kelas fungsional negara, birokrasi dalam arti negatif, karena negara demikian mendonimasi segala kehidupan manusia sebagai individu.

Etis berasal dari kata etika, yaitu filsafat yang berkaitan dengan tindakan manusia yang dapat dikenai ukuran baik atau buruk. Baik dan buruknya tindakan manusia berhubungan dengan moral. Dari aspek etika, tindakan manusia dibedakan menjadi dua, yaitu actus hominis (tindakan-tindakan manusia yang juga dilakukan oleh makluk hidup yang lainnya baik fisik, alamiah, biologis) dan actus humanus (tindakan, kegiatan, perbuatan, aksi reaksi manusia sebagai makhluk intelektual, kultural, dan memiliki kehendak bebas). Actus humanus merupakan tindakan yang khas manusiawi, yaitu tindakan-tindakan yang berlandaskan pada moral dan sosio-kultural. Pancasila ditetapkan sebagai dasar falsafah negara, dengan demikian berarti kehidupan kenegaraan (khususnya aspek perundangan) pada dasarnya harus taat kepada norma-norma yang selras dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila menjadi kriteria (batu pengukur) praktis kehidupan ketatanegaraan dan ketatapemerintahan negara RI. Dengan kata lain, Pancasila merupakan kualifikasi etis bagi penyelenggaraan kenegaraan RI. Pancasila menjadi kaidah nilai baik-buruk. Dengan pandangan etis yang jelas ini, maka Pancasila menolak machiavellianisme, suatu paham yang membenarkan cara-cara immoral untuk mencapai tujuan politik dengan semboyan terkenalnya: tujuan menghalalkan segala cara. Pancasila sebagai paham yang etis dengan demikian menolak semua paham yang berwajah immoral. Kesemuanya ini tercermin dalam semua produk peraturan perundangan negara. Produk hukum negara RI harus memiliki karakteristik (ciri khas), yaitu taat asas kepada nilai-nilai Pancasila.

Religius merupakan hal yang berkaitan dengan yang adikodrati yang bersifat supranatural dan transedental. Adikodrati berarti di atas yang kodrat, di atas yang natural yang mengatasi segala sesuatu. Pengakuan adanya kekuatan, kekuasaan yang mengatasi segala sesuatu yang dipahami oleh bangsa Indonesia sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama pancasila menegaskan religiusitas sebagai sesuatu yang menyatu (inheren) pada hakikat manusia, karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk yang otonom (bertanggung-jawab pada dirinya sendiri), sekaligus makhluk Tuhan (tindakan, perbuatannya diyakini dalam kehidupan keabadian dipertanggung-jawabkan juga kepada Tuhan yang Maha Esa). Dengan demikian paham kemanusiaan pancasila adalah paham humanisme religius. Mengingkari Tuhan sebagai pencipta dan sumber dari segala yang ada berarti mengingkari eksistensi dirinya sendiri. Pancasila dengan sendiri menolak ateisme, dan juga bukan negara agama dan sekaligus bukan negara sekular. Negara agama (theokrasi) adalah negara yang dalam seluruh penyelenggaraan negara berdasarkan pada hukum agama tertentu. Hukum agama menjadi hukum negara. Negara sekuler adalah negara yang memisahkan dengan tegas antara negara dan agama. Agama mempunyai tugas dan wewenang untuk mengatur dunia “sana” (keabadian), dan negara bertugas untuk mengatur urusan dunai “sini” (kefanaan). Agama tidak dapat turut campur dalam pengambilan kebijakan publik yang dilakukan oleh negara. Agama dianggap sebagai lembaga swadaya masyarakat yang berada di luar negara (pemerintah), yang demikian dibebaskan untuk hidup, tetapi tidak pernah didukung atau disokong oleh negara. Pancasila mengakui dan menjadikan nilai-nilai Ketuhanan sebagai sumber nilai, sumber motivasi dan inspirasi semua kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat Indonesia.

Nilai-nilai dasar ini dipakai sebagai dasar negara yang diartikan sebagai kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya, baik yang individual maupun sosial., termasuk hidup bernegara (Ensiklopedi Politik dan Pembangunan,1988). Politik merupakan penerapan ideologi dalam kehidupan kenegaraan. Cara berpolitik diwarnai oleh aliran ideologinya. Ideologi bersifat asasi, sedangkan politik merupakan realisasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah. Ideologi tidak dapat disamakan dengan politik, karena nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan dan pedoman hidup kenegaraan bersifat tetap, yang berubah-ubah adalah cara berpolitiknya; realisasi dari nilai-nilai dasar itu.

Pancasila sebagai ideologi negara berisikan ajaran mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoneisa. Nilai-nilai itu berpangkal dari alam pikiran budaya Indonesia dan terkait dengan perjuangan bangsa (Pranarka, 1985). Pancasila sebagai ideologi berarti suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah manusia, masyarakat dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia;oleh karena itu Pancasila dalam pengertian ideologi ini sama artinya dengan pandangan hidup bangsa atau biasa disebut falsafah hidup bangsa.

Falsafah negara itu merupakan norma yang paling dasar untuk mencek apakah kebijakan-kebijakan legislatif, dan eksekutif negara sesuai dengan persetujuan dasar masyarakat atau tidak. Pancasila sebagai ideologi memuat nilai-nilai dasar yang belum bersifat operasional. Untuk operasionalisasi ini setiap generasi harus memaknai kembali falsafah negara ini dan mencari apa implikasi sesuai dengan konteks zaman. Falsafah negara tidak pernah membelenggu kebebasan dan tanggung jawab masyarakat, melainkan justru memberi peluang untuk memperkembangkan masyarakatnya (Magnis Suseno, 1994). Adalah tanggung jawab setiap generasi untuk merealisasikan nilai-nilai dasar ini dalam kehidupan nyata baik sebagai individu, sebagai warganegara serta diaktualisasikan dalam segala bentuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pancasila jika dilihat dari nilai-nilai dasarnya, dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka. Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar, bersifat tetap dan tidak berubah. Oleh karenanya ideologi tersebut tidak langsung bersifat operasional, masih harus dieksplisitkan, dijabarkan melalui penafsiran yang sesuai dengan konteks jaman. Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki dimensi-dimensi idealistas, normatif, dan realitas.

Pancasila dikatakan sebagai ideologi terbuka memiliki dimensi idealitas karena memiliki nilai-nilai yang dianggap baik, benar oleh masyarakat Indonesia.pada khususnya dan manusia pada umumnya sebagaimana dikatakan oleh para ahli di atas.

Rumusan-rumusan Pancasila sebagai ideologi terbuka bersifat umum, universal sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 45. Pancasila memiliki dimensi normative, artinya nilai-nilai dasar tadi dijabarkan dalam norma-norma atau aturan-aturan sebagaimana tersusun dalam tata aturan perundangan yang berlaku di Indonesia dari yang tertinggi sampai yang terendah. Dimensi realitas artinya ideologi Pancasila mencerminkan realitas hidup yang ada di masyarakat, sehingga Pancasila tidak pernah bertentangan dengan tradisi, adat-istiadat, kebubudayaan, dan tata hidup keagamaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Jogjakarta:Penerbit Paradigma.
Magnis Suseno. 1998. Etika Politik. Jakarta: Gramedia
Pranarka, AMW. 1985. Sejarah Pemikiran Pancasila. Jakarta: CSIS.
Soerjanto Poepowardojo .1989. Filsafat Pancasila : Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta : Penerbit PT Gramedia.

BAB VI

UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Oleh:

Dina Dwikurniarini

T. Sulistyono

Kompetensi Dasar:


  1. Menjelaskan arti dan makna alinea Pembukaan UUD 1945

  2. Menjelaskan keterkaitan antara Pembukaan UUD 1945 dengan Proklamasi dan Pasal-pasal UUD 1945

  3. Mendeskripsikan alasan terjadinya perubahan UUD 1945 setelah reformasi

  4. Mengklasifikasikan isi Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen

  5. Mengidentifikasi berbagai macam lembaga negara sesuai dengan UUD 1945 setelah Amandemen

  6. Menganalisis hasil-hasil peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem politik (demokrasi) di era reformasi.

  7. Memberikan berbagai contoh peraturan perundangan yang bertentangan dengan semangat keadilan dan toleransi.



  1. Pembukaan UUD 1945

  1. Arti dan Makna Alinea-alinea Pembukaan UUD 1945

Secara yuridis, Pancasila terletak dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini dibuktikan dengan kata-kata “dengan berdasar kepada” yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Secara lengkap, bunyi Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:

PEMBUKAAN

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan Rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah daerah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, pedamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemedekaan kebangsaan Indoensia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulan Rakyat, dengan berdasar kepada : ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “
Pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat bagian atau alinea. Secara rinci isi tiap bagian atau alinea tersebut adalah sebagai berikut.


  1. Alinea Pertama

Alinea pertama merupakan pernyataan hak segala bangsa akan kemerdekaan. Pada bagian ini terdapat dua asas pikiran yaitu perikemanusiaan dan perikeadilan. Adanya dua asas pikiran ini mengandung dua konsekuensi, yaitu konsekuensi positif dan konsekuensi negatif. Yang positif adalah bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Yang negatif adalah bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Yang perlu mendapat perhatian adalah :

  1. Dalam pengertian yang bagaimana hak akan kemerdekaan itu ?

  2. Bagaimana kedudukan perseorangan/individu dalam hal hak akan kemerdekaan ?

  3. Apakah konsekuensi dari hak kemerdekaan ini ?

Dalam pengertian ini, hak akan kemerdekaan tidak diambil dalam arti realita, tetapi diambil dalam arti yang abstrak dan hakekat. Jadi, kemerdekaan merupakan hak kodrat. Hal ini terbukti dari perkataan “Bahwa sesungguhnya” kemerdekaan itu …. Kecuali itu tidak diambil dalam arti hak hukum, tetapi dalam arti hak moril.

Yang mempunyai hak kodrat dan hak moril akan kemerdekaan adalah segala bangsa (yang mengakui manusia sebagai makhluk sosial), sehingga membedakan dengan pernyataan hak kemerdekaan bangsa Barat (misalnya Inggris, Amerika Serikat, dan Perancis) yang menggunakan asas hak kebebasan perseorangan atau individu. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa di Indonesia, individu/perse-orangan tidak mempunyai tempat. Individu/ perseorangan ditempatkan dalam hubungannya dengan bangsa, dalam kedudukan-nya sebagai anggota bangsa dan sebagai manusia dalam kedudukannya sebagai spesimen atas dasar sama-sama lingkungan jenis (genus), yaitu perikemanusiaan. Bersama-sama dengan itu, manusia juga merupakan diri sendiri dan pribadi. Dengan demikian, maka negara Indonesia adalah negara monodualis yang sekaligus bersama-sama mengakui manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

Karena ada hak, timbullah kewajiban. Hak kodrat dan hak moril akan kemerdekaan dari suatu negara yang terjajah, menimbulkan kewajiban kodrat dan moril bagi penjajah untuk memberi kemerdekaan atau membiarkan supaya negara yang terjajah itu menjadi merdeka.

Atas dasar uraian tersebut di atas, bagian pertama Pembukaan UUD 1945 dapat disimpulkan sebagai berikut :



  1. Tiap-tiap bangsa sebagai kesatuan golongan manusia yang merupakan diri dan berdiri pribadi, mempunyai hak kodrat dan hak moril untuk berdiri pribadi atau hidup merdeka.

  2. Jika ada bangsa yang tidak merdeka, berarti bertentangan dengan kodrat hakekat manusia. Karena itu ada wajib kodrat dan wajib moril bagi penjajah untuk menjadikan merdeka atau membiarkan menjadi merdeka kepada yang bersangkutan.




  1. Alinea Kedua

Alinea kedua Pembukaan UUD 1945 mengandung pernyataan tentang berhasilnya perjuangan pergerakan kemerdekaan Rakyat Indonesia. Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu :

  1. Bahwa penjajah tidak memenuhi kewajiban kodrat dan kewajiban moril.

2). Negara yang dicita-citakan.

Pertama, setelah ternyata pihak penjajah (Belanda) tidak memenuhi kewajiban kodrat dan kewajiban morilnya tersebut, terpaksa bangsa Indonesia berjuang menentukan nasibnya sendiri atas kekuatan sendiri supaya merdeka. Dalam hal ini dinyatakan telah berhasil.

Kedua, berhasilnya perjuangan bangsa Indonesia, perlu dipelihara dengan sungguh-sungguh dengan diberi sifat-sifat tertentu, karena menyusun negara atas kekuatan sendiri adalah suatu kewibawaan bagi bangsa Indonesia. Adapun sifat-sifat itu adalah merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Merdeka artinya bangsa Indonesia itu bebas atau tidak terikat oleh siapapun dan bebas melakukan sesuatu. Bersatu, mengandung tiga kemungkinan arti :



  1. Bahwa bangsa Indonesia harus merupakan satu negara (negara kesatuan) bukan Negara Federasi.

  2. Bahwa negara mengatasi segala faham golongan, mengatasi segala faham perseorangan (mengikuti aliran pengertian Negara Persatuan atau integralistis sebagaimana dikatakan oleh Supomo). Jadi bukan negara individualisme dan klassestaat. Negara Republik Indonesia menggunakan dasar kekeluargaan, gotong royong, tolong menolong atau keadilan sosial.

  3. Bahwa seluruh Bangsa Indonesia termasuk di dalam lingkungan daerah negara. Tidak ada sebagian bangsa Indonesia yang berada di luarnya. Tidak ada negara di dalam negara kesatuan RI.

Berdaulat, artinya berkuasa dan kekuasaan negara Indonesia itu nampak baik keluar maupun ke dalam. Adil, artinya memberikan sebagai wajibnya segala sesuatu yang menjadi hak orang lain dan hak diri sendiri.

Makmur, adalah sautu keadaan yang di dalamnya seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmaniah maupun kebutuhan rokhaniah, sesuai atau layak bagi kemanusiaan. Makmur ini hendaknya ditafsirkan atas dasar sifat bersatu dan adil, sehingga seluruh bangsa dan setiap orang Indonesia dalam nisbah yang adil dapat mencapai keadaan sejahtera atas dasar keadilan sosial, layak bagi kemanudiaan. Adil disini berarti juga bahwa setiap orang akan menerima bagian sesuai dengan darma baktinya masing-masing.

Isi alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dapat disimpulkan sebagai berikut : Bahwa Bangsa Indonesia dari dalam terpaksa berjuang untuk merealisir hak kodrat dan hak morilnya akan kemerdekaan, atas kekuatan sendiri, berhasil membentuk Negara Indonesia yang dicita-citakan, mempunyai sifat-sifat tertentu sebagai berikut :


  1. Negara sungguh bebas baik di dalam negeri sendiri maupun terhadap negara-negara lain, berdiri pribadi dengan menguasai seluruh dirinya sendiri.

  2. Negara berdasarkan persatuan, baik dalam bentuknya maupun dalam keutuhan bangsa, yaitu meliputi seluruh bangsa dalam batas-batas daerah negara, didukung oleh seluruh rakyat dan memelihara kepentingan seluruh rakyat dalam pertalian kekeluargaan atau kerjasama, gotong royong, dengan berdasarkan atas sifat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial keduanya-duanya.

  3. Negara berpedoman dan melaksanakan keadilan dalam seluruh lingkungan dan tugas negara baik di dalam negara maupun terhadap dunia luar.

  4. Negara menjadi tempat hidup bagi seluruh rakyat, yaitu bahwa tiap-tiap orang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang ketubuhan maupun yang kerokhanian, layak bagi kemanusiaan.




  1. Alinea Ketiga

Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 merupakan pernyataan kemerdekaan rakyat Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian:

Dalam pembukaan disebutkan bahwa pernyataan kemerdekaan terjadi atas berkat Rahmat Tuhan (Allah) Yang Maha Kuasa. Hal ini tidak terdapat dalam Proklamasi. Hanya pada akhir pidato yang menyertai Proklamasi diucapkan doa : “ Insya Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu “. Dengan demikian ditegaskan bahwa Proklamasi bukan hanya berhasil atas usaha manusia belaka, tetapi juga berdasarkan atas karunia Tuhan.

Bahwa Proklamasi Kemerdekaan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Jadi berdasarkan asas moril yang tinggi dan merupakan tindakan saleh dan suci.

Dalam Pembukaan yang menyatakan Kemerdekaan adalah Rakyat Indonesia dan yang dinyatakan kemerdekaannya adalah Rakyat Indonesia (nya). Dalam Proklamasi yang menyatakan kemerdekaan adalah Bangsa Indonesia dan yang dinyatakan adalah Indonesia. Dengan demikian maksudnya adalah untuk memperkuat tentang dukungan pernyataan kemerdekaan oleh seluruh rakyat, untuk kepentingan dan kebahagiaan seluruh rakyat. Kecuali itu, kekuasaan tertinggi bagi bangsa dan Negara Indonesia ada pada seluruh Rakyat sendiri.

Mengenai isi alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 ini sebenarnya telah termasuk juga pada pertanggungjawaban dan penegasan di atas. Di dalamnya terdapat dua asas yang dalam, yaitu asas religius (atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa) dan asas etik (dengan didorongkan oleh suatu keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas). Atas dasar dua asas yang dalam inilah rakyat / bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Isi bagian ketiga ini dapat disimpulkan, bahwa Bangsa Indonesia menyatakan Kemerdekaan Indonesia itu atas kekuatan bangsa Indonesia sendiri, didukung oleh seluruh Rakyat. Lagi pula merupakan tindakan kerokhanian yang saleh dan suci, karena melaksanakan hak kodrat dan hak moril akan kemerdekaan. Segala sesuatu itu dimungkinkan karena diridhoi / dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa.




  1. Alinea Keempat

Alinea keempat Pembukaan berisi pokok kaidah negara yang fundamental. Berisi hal-hal yang sangat mendasar bagi keberadaan negara Indonesia, yang meliputi tujuan negara, ketentuan akan adanya UUD, bentuk negara, dan dasar negara Pancasila.

    1. Hal tujuan negara, yaitu :

a). Membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

b). Memajukan kesejahteraan umum.

c). Mencerdaskan kehidupan bangsa.

d). Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.



Tujuan yang tersebut dalam angka (1), (2), (3) adalah tujuan negara yang bersifat nasional (intern), sedangkan tujuan yang tersebut dalam angka (4) adalah tujuan negara yang bersifat internasional (ekstern).

    1. Hal ketentuan diadakannya Undang-Undang Dasar, terdapat dalam kata-kata “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.”

    2. Hal bentuk negara, terdapat dalam kata-kata “ yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.”

    3. Hal dasar kerokhanian (filsafat) negara, yang terdapat dalam kata-kata “ Ke Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”

Jika isi Pembukaan Undang-Undang Dasar alinea keempat ini dikemukakan dalam hubungan kesatuan dan tingkat kedudukan dari unsur yang satu terhadap unsur yang lain, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Pancasila merupakan asas kerohanian (filsafat, pendirian dan pandangan hidup bangsa).

  2. Pancasila menjadi basis bagi asas kenegaraan (politik) berupa bentuk republik yang berkedaulatan rakyat.

  3. Kedua-duanya menjadi basis bagi penyelenggaraan kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang dicantumkan dalam peraturan pokok hukum positif termuat dalam suatu Undang-Undang Dasar.

  4. Adapun Undang-Undang Dasar sebagai basis berdirinya bentuk susunan pemerintahan dan seluruh peraturan hukum positif, yang mencakup segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dalam kesatuan pertalian hidup bersama, kekeluargaan dan gotong royong.

  5. Segala sesuatu itu untuk mencapai tujuan Bangsa Indonesia yaitu kebahagiaan nasional dan internasional baik rohani maupun jasmani.

Dengan demikian seluruhnya merupakan kesatuan yang bertingkat, dan seluruh kehidupan bangsa dan negara berdiri di atas dan diliputi asas kerohanian Pancasila, sebaliknya pengertian, penjelasan dan pelaksanaan Pancasila berisikan dan terikat pada serta tertuju pada kebahagiaan nasional dan internasional. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar, rangka dan suasana kehidupan Bangsa, Negara dan tertib hukum di Indonesia.


  1. Yüklə 0,84 Mb.

    Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   12




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin