Melintas yang Sepintas ; Intelektualitas
Proyek Masyarakat Intelektual
Oleh: Muhammad Taufiqurrohman
Selama ini ada semacam kesepakatan tentang dikotomi intelektual dan non-intelektual. Kesepakatan ini tumbuh begitu saja di masyarakat. Bahkan obrolan di kalangan ”intelektual” sendiri, kesepakatan tersebut mendapatkan legitimasinya. Ada semacam kesepakatan opini, bahwa kalangan masyarakat tertentu bisa dianggap intelek, tidak intelek -atau setidaknya kurang intelek.
Ada banyak pengertian tentang intelektual. Pengertian lama tentang intelektual mestinya bisa kita bongkar. Seperti yang dipahami oleh masyarakat tentang mitos intelektual, misalnya intelektual adalah mereka yang lulus dari pergguruan tinggi. Hanya mereka yang bergelar sarjanalah yang dianggap intelek. Mereka yang berada diluar lingkaran itu, seberapapun hebat produksi pengetahuan dan kontribusi nyatanya pada masyarakat sekitar, tidak dianggap kaum intelektual. Seorang petani yang turut mempelopori penghijauan di desanya tidak kita anggap intelektual, begitu juga seorang seniman tamatan SMP yang menulis puisi dan kerap mewarnai kegiatan kesenian di daerahnya. Alangkah naifnya jika alasannya hanya karena mereka tidak menyandang gelar sarjana.
Bertolak dari kesadaran yang dibawa oleh posmodernisme, bahwa ilmu pengetahuan tidak berhak dihegemoni oleh satu pihak saja (dalam hal ini kaum sarjana), atau Falsafah Jawa menyebutnya ”lintas tutur”. Seorang intelektual bisa seorang guru, seniman, petani, nelayan, dosen, professor hingga pensiunan. Dengan ini definisi intelektual adalah siapa saja yang masuk menyelam ke dalam realitas kehidupan masyarakatnya dan kemudian memproduksi pengetahuan dari lokus keberadaannya dan memberikan kontribusi nyata berdasarkan pengetahuannya tersebut di bidangnya masing-masing tadi. Kata-kata ”di bidangnya masing-masing” hanya menekankan pada segi fokus atau orientasi kerja masing-masing person, bukan pada tertutupnya kemungkinan adanya fusi dengan bidang lain. Justru, karena lintas tuturlah maka produksi pengetahuan memungkinkan fusi antarbidang (cross-field understanding). Seorang seniman, misalnya, bisa bekerjasama dengan seorang dosen seni lukis dalam upaya mengembangkan kesenian di desanya. Aktivis politik yang berfusi dengan para sastrawan dalam rangka melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat. Dan masih banyak contoh yang bisa diusahakan sesuai kepentingannya masing-masing.
Demikianlah, maka orientasi utama proyek masyarakat intelektual adalah pengetahuan dan masyarakat. Pengetahuan merupakan suatu dambaan tentang apa yang sejati. Apa yang sesungguhnya ada. Dambaan tersebut hampir selalu lahir di setiap masyarakat. Entah di kota ataupun di desa. Sedangkan masyarakat merupakan sekelompok manusia yang tinggal di suatu wilayah dengan realitasnya sendiri. Satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya tentu saja mempunyai realitas yang tidak sama (meskipun tidak selalu berbeda). Realitas yang mungkin berbeda inilah yang melahirkan pengetahuan yang juga mungkin berbeda. Pengetahuan tentang ilmu pertanian di daerah Jepara, misalnya, pasti tidak sama persis dengan di daerah Kalimantan. Hal ini dikarenakan realitas iklim, realitas tanah dan alam yang berbeda. Atau contoh sederhananya, bagaimana cara kita mengajar seorang anak berumur enam dan tujuh belas tahun pastilah tidak sama karena realitas masing-masing anak yang berbeda.
Lalu bagaimanakah implementasi kongkret proyek masyarakat intektual? Adalah jika setiap kita, pada bidangnya masing-masing kembali menyelami realitas masyarakat di mana dan kapan kita berada, yaitu di ruang kita berada, disini (here) dan sekarang (now).
To Change!
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman
“To change something in the minds of people-that is the role of an intellectual”
-Michel Foucault-Truth, Power, Self: An Interview with Michael Foucault
Sebenarnya saya hanya ingin menulis beberapa kata ini. Kita punya masalah bersama soal intelektualisme; baik mikro maupun makro. Secara mikro, anda bisa melihat dalam kegiatan sehari-hari; kuliah hanya untuk ijazah dan kerja, dosen hanya cuap-cuap nggak penting, rektor dan dekan yang tidak pernah menulis, perselingkuhan intelektual dengan korporasi dan politik, dsb. Secara makro, kita tahu, liberalisme pendidikan adalah sebuah hasil globalisasi yang bukan perkara mudah, sebab anda harus jadi presiden dulu agar Indonesia tidak mau diintervensi oleh IMF, Amerika, WTO, dsb.
Bagi saya, musuh kita saat ini bukanlah mengubah sistem dan merebut sistem. Bagi saya, yang paling berat adalah mengubah kesadaran manusia (termasuk kesadaran kita sendiri).
Persoalan demikian akut dan ruwet, dan soalnya adalah; kita mulai dari mana? Bisakah hanya dengan semalam kita merubah kesadaran manusia? Apakah hanya dengan wacana dan konsep? Ataukah semua memang memerlukan keringat dan tenaga kita meski tanpa mendapatkan imbalan materi apa-apa? Lalu mau apa? Ini soal saya, yang ingin saya bagikan pada anda.
Pengantar
(Beberapa paragraf di bawah ini hanya pengantar yang boleh untuk tidak anda baca.)
Ada beberapa seminar yang saya ikuti seminggu ini. Saya senang. Sebanarnya anda tahu seminar dimana-mana sama saja. Tidak ada yang istimewa. Namun, yang terpenting bagi saya dari beberapa seminar itu adalah bukan jawaban-jawaban atas kegelisahan saya. Justru saya sangat bahagia sebab seminar-seminar itu telah menegaskan kegelisahan-kegelisahan itu. Yah, beberapa profesor telah meneguhkan kegelisahan saya (sekali lagi, sebuah kegelisahan yang jamak) tentang beberapa hal; sekaratnya intelektualisme dan suramnya intelektualisme mahasiswa.
Ada empat seminar (sebenarnya bukan seminar tentang teoti-teori keilmuan, melainkan hanya seminar refleksi oleh Dewan Guru besar FIB UI tentang intelektualisme kampus dalam rangka HUT FIB UI); pertama, seminar ”Ilmu Pengetahaun Budaya sebagai Paradigma Keilmuan” di FIB UI. Prof Soerjanto Poespowardojo dari Departemen Filsafat dan Prof Sapardi Djoko Damono dari Departemen Sastra didaulat sebagai pembicara, dan Prof Melani Budianta dari Departemen Sastra didaulat sebagai moderator. Khusus kepada Prof Melani saya perlu memberikan catatan; bahwa iklim seperti inilah yang mestinya ditiru ketika seorang profesor yang sudah sangat disegani di bidangnya berkenan sengan segala kerendahan hatinya untuk hanya menjadi seorang moderator.
Ada beberapa hal yang penting dari seminar ini. Pertama, tentang paradigma ilmu pengetahuan. Perubahan nama dari Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya mestinya benar-benar dirasakan secara kongkret. Alasan perubahan sebenarnya adalah karena nama Sastra (meskipun sebenarnya memang berarti tidak hanya pada karya sastra melainkan sebagai kebudayaan secara luas) berimplikasi pada hanya jurusan-jurusan sastra, misalnya sastra jepang, sastra, Inggris, sastra Arab, dll. Padahal, di dalamnya terdapat juga jurusan sejarah, arkeologi, filsafat, dll. Faktor yang juga penting adalah perubahan paradigma ilmu pengetahun kontemporer yang menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia dan kemanusiaan mulai dari ekonomi, politik, sastra, budaya dan sebagaiya adalah kebudayaan. Makna kebudayaan menjadi sesuatu yang jauh lebih luas. Di luar negeri kita mengenalnya sebagai Faculty of Humanism.
Bahwa sesungunya ilmu pengetahuan adalah lintas disipliner, itu semua anda tahu. Saya kira ini memang bukan hal yang baru bagi semua. Persoalannya adalah ketika dalam prakteknya (level tindakan) tidak ada perekat ilmiah antar departemen, antar displin, untuk mengembangkan keilmuan dan akhirnya bisa memberikan jawaban-jawaban yang kongrket bagi kegelisahan sosial budaya masyarakat. Sebagai ilmu pengetahuan, tentu Ilmu Pengetahuan memerlukan metodologi. Dan kita bisa menggunakan metodologi yang sudah sangat cair seperti misalnya femomenologi, hermeneutika, strukturalisme, poststrukrturalisme, semiotika (sosial), teori kritis, postmodernisme, psikoanalisa, dialektika dan lain sebagainya.
Sebenarnya anda semua tahu bahwa memang inilah kegelisahan kita bersama. Sekali lagi, sebenaenya semua ini tidak begitu menarik bagi saya. Namun, saya merasa tetap penting untuk mencatatnya.
Kedua, seminar ”Kode Kehormatan (Honor Code) di Perguruan Tinggi”. Yang berbicara di seminar ini adalah Prof Riris Sarumpaet dan Prof Benny H Hoed (beliau adalah salah satu pakar semiotika terbaik Indonesia). Kode kehormatan adalah semacam kode etik jurnalistik di bidang media massa. Lahirnya kode ini sebenarnya merupakan suatu tanggapan dari sesuatu yang sudah sangat menjijikkan (ini bahasa saya sendiri) dalam dunia akademik kita. Anda bisa mencatatnya; proyek-proyek penelitian jangka pendek, perselingkuhan intelektualisme dengan korporasi dan politik, plagiarisme, profesor palsu, prodi fiksi, dan bertumpuk-tumpuk masalah dalam dunia akademik kita. Ini semua adalah masalah besar dalam dunia akademik kita. Sekali lagi, seminar ini sesungguhnya hanya meneguhkan kegelisahan-kegelisahan saya.
Dan ini yang saya tunggu; rekomendasi. Anda tahu rekomendasi dari para dewa tersebut. “Hanya”; 1. Kelompok/lingkaran studi (lintas dispilin) 2. Diskusi-diskusi non-formal (di kantin-kantin, cafe, jagongan, di warung kucing, dsb) 3. Networking (jejaring informal, seperti menyambangi komunitas-komunitas lain, silaturahmi ke tokoh-tokoh, datang ke seminar-seminar, dll). Anda tahu; semua itu adalah juga jawaban-jawaban yang pernah kita rumuskan bersama.
Ketiga, seminar “Strategi Kebudayaan Indonesia”. Saya lebih suka menyebut seminar ini sebagai kampanye. Yang diundang Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Dr Bambang Wibawarta (Dekan FIB). Seperti anda tahu, Sultan memang sedikit berbeda dari beberapa tokoh nasional yang akan maju manjadi Presiden. Proposal yang ditawarkannya memang agak lain, yaitu Restorasi pemerintaham dari kontinental (pedalaman) menjadi maritim. Memang cukup segar dan baru. Namun, saya kira kita tak perlu boros dalam berharap.
Pertanyaan besar saya untuk Sultan adalah, jika mau restorasi, Sultan sudah mempunyai kongsi-kongsi di lapisan bawah berapa yang tersebar di seluruh Indonesia? Ini yang penting dari seminar ini. Sebab saya adalah orang yang tidak percaya bahwa perubahan besar hanya akan terjadi jika hanya ada seorang pahlawan di atas singgasana kekuasaan.
Keempat, seminar ”Asia Renaissance” oleh Dr. Anwar Ibrahim (Ketua Partai Oposisi Malaysia). Saya suka Anwar justru bukan sebagai seorang politisi tetapi sebagai seorang intelektual. Pengetahuan yang luas dan kekuataan tekad dalam perjuangannya, saya kira adalah tamparan bagi kita yang muda tapi loyo. Anda tahu apa yang disarankannya bagi generasi muda adalah ”hanya”; belajarlah dan terus belajar! Tidak ada yang baru bukan?
Lalu mau apa?
Nilai Politik dan Mimbar Akademik
Oleh : Giyanto
Kurang lebih dua minggu blog Komunitas Embun Pagi terbit, terhitung dari ketika tulisan ini diketik, tetapi saya masih merasa kesepian. Tidak seperti ketika saat diskusi rutin yang selama ini kita lakukan bersama anggota komunitas lainnya (seminggu sekali) sepertinya kita lebih bersemangat. Pikiran saya sedikit was-was mengenai produktivitas teman-teman di Embun Pagi. Dua hal agaknya yang mungkin menjadi alasan kuat minimnya produktifitas menulis di Komunitas Embun Pagi selama ini, adalah kendala teknis dan rasa kurang percaya diri untuk mengungkapkan gagasan kita. Yakni ketika pada kenyataannya kita mesti berhadapan dengan ”para pemilik kebenaran”, orang-orang yang memiliki otoritas intelektual, yakni yang diakui secara akademik dengan sederet gelar di depan dan belakang nama mereka, yang seolah-olah apapun yang keluar dari mulutnya adalah ”kebenaran” tak terbantahkan.
Kambing hitam yang bisa saya salahkan sementara ini, mungkin budaya kita, entah itu budaya apa. Atau nilai-nilai tertinggi dalam hidup kita, dan itu pun nilai apa, dan yang tahu tak lain ialah pribadi kita masing-masing. Begini saja, kita dalam mengungkapkan gagasan di sini setidaknya adalah sebuah proses mencari kebenaran, bukan pembenaran. Di blog Embun Pagi setidaknya kita memiliki cukup banyak kesempatan untuk saling belajar, berbagi, bertinteraksi, ataupun berkorespondensi, dan harapan sangat tinggi saya pertaruhkan di pundak teman-teman untuk mengeluarkan semua gagasan-gagasannya demi mewarnai kehidupan sosial dan pribadi kita.
Menarik untuk mengomentari hasil poling bulan ini (Januari), tentang perlunya membuat partai mahasiswa sebagai penyalur aspirasi di Parlemen. Dari pilihan pertanyaan, sangat jelas bahwa kita memang lebih banyak tertarik dengan kajian politik, walaupun dalam setiap tulisan tidak semuanya mengkaji politik. Akan tetapi wacana-wacana yang sering kita lontarkan lebih banyak didominasi “wacana kritik kuasa”. Artinya, dalam frame berfikir, kita selalu mengacu pada persoalan politik. Seolah-olah setiap situasi, kesalahan terletak pada interaksi antara yang kuasa dan yang dikuasai. Saya tidak bermaksud menyalahkan kerangka berfikir yang demikian, akan tetapi apakah tidak ada alternatif cara berfikir yang lain?
Kedua, barangkali kita memang hidup di kampus yang memelihara budaya bahwa nilai politik lebih tinggi daripada nilai-nilai ilmiah—semisal kebebasan berpendapat yang menghargai inovasi-inovasi atau gagasan-gagasan kritis. Patut disayangkan, banyak guru besar yang duduk di ruang senat tidak memiliki patokan-patokan yang jelas mengenai seorang rektor yang “ideal”. Yang menurut kriteria saya minimal bisa baca tulis. Hal ini menyebabkan rektor terpilih, yang bukan hasil pilihan elemen dasar universitas—seperti representasi mahasiswa dan segenap sivitas akademika lainnya— menjadi kurang peka terhadap realitas kampus.
Dostları ilə paylaş: |