Mas Goen, Jawablah Pertanyaan-Pertanyaanku Jika Kau Mencintaiku
(Surat buat Goenawan Mohamad)
Oleh: Muhammad Taufiqurrohman
Mas Goen,
Akhir-akhir ini aku meresahkan sesuatu. Di zaman yang sulit ini aku masih berharap sastra dapat berfungsi membantu menghadapi krisis. Yah, sastra dapat membantu orang mendapatkan makan, harga BBM yang terjangkau, pendidikan yang baik, angkot yang murah, dan kesehatan yang terjangkau. Atau paling tidak ia dapat menjadi tumpahan batin mereka yang tertindas. Intinya sastra dapat berfungsi bagi sebanyak-banyak manusia, bukan hanya pada mereka yang rajin mengunjungi gedung kesenian dan kolom puisi akhir pekan di koran-koran itu. Mengapa tiba-tiba aku menginginkannya? Mungkin kamu mengganggap keresahanku ini sebagai keresahan yang terlalu mengharap, kekanak-kanakan. Kukira-kira jawabanmu, sastra mesti universal. Sastra tidak bertendens. Sastra adalah tempat dimana daun-daun yang bergugurun layak dirayakan dan juga kesepian malam yang tak bertepi. Aku membayangkan kamu menulis puisi liris itu dengan begitu romantis di temani buku-buku dan lampu itu. Tetapi bayangan akan anak-anak di gerbong kereta Bogor-Jakarta itu tak mau pergi dariku. Ia tak mau pergi.
Lalu mas Goen,
Aku teringat bayangan-bayangan masa laluku. Yah, aku adalah seorang pembaca setia Pram. Tentu kau tidak akan pernah lupa orang ini bukan? Dengan mata tanpa pejam, tiga hari tiga malam aku khatamkan tetralogi Pulau Buru di masa SMA dulu. Di pesantren, malam harinya dini harinya, di sebelah deretan kitab-kitab kuning itu kubaca habis Pram. Aku terbawa oleh semangat kemanusiaannya. Sebagai seorang anak desa dari kampung yang jauh, yang tak akan pernah mendapatkan bacaan macam ini di desanya, aku adalah orang rakus. Yah, aku masih ingat buku itu kupinjam tidak dari perpustakaan sekolah atau kabupaten. Sebab, disana tak ada karya-karya Pram dipajang. Aku pinjam dari mas-nya temenku yang kebetulan datang jauh dari sekolah di UI, beli di Kwitang katanya. Masa-masa itu harus kuakui aku tidak mengenalmu. Meski puisi-puisimulah yang diajarkan di buku-buku resmi sastra Indonesia yang baik dan benar.
Sebagai seorang bocah, kami diajari untuk menafsirkan puisi-puisi surealis yang abstrak. Tahukah kamu, itu adalah pelajaran termuak selama karirku sebagai seorang siswa. Melebihi kemuakanku pada matematika. Sebab, matematika masih bisa kumengerti alasan tentang logika, dan lain-lain. Tetapi, menafsirkan kata-kata yang tidak jelas maksud tujuannya ditulis. Pekerjaan yang aneh. Pertanyaan itu selalu meliputiku; mengapa aku harus mengerti kata-kata yang disimpan oleh penulisnya sendiri dengan sengaja? Mengapa sebuah puisi yang hanya ingin merayakan sesuatu (yang kelak aku tahu Alain Badiaou mengatakannya sebagai event atau peristiwa dalam bahasamu) harus kami baca dan tafsirkan? Dan setelah aku belajar sastra, hingga sekaranag aku masih tidak mengerti mengapa kami harus bersusah payah menafsirkan kata-kata yang begitu tersembunyi maknanya? Sebab, bukankah kau dan aku ada di ruang yang begitu berjarak. Sebab, bukankah puisi sudah tidak berada lagi di dalam kamar sehingga kau bisa menikmati sendiri sambil mendengarkan John Lennon. Aku tambah tidak mengerti kemudian ketika kulongok puisi-puisi di koran-koran. Mengapa macam puisi sepertimu yang hanya ditampilkan di koran-koran?
Sebagai anak SMA dan kini setelah lulus dari sebuah perguruan tinggi jurusan sastra, aku tidak mengerti. Kecuali bahwa ini adalah urusan hegemoni. Kekuasaan sebuah rezim sastra. Mengapa bukan puisi yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang yang menyuarakan hati nurani yang ditampilkan? Mengapa puisi temanku yang lugas—yang bercerita tentang bapaknya yang seorang petani yang tidak pernah bahagia karena harga beras yang dipanennya tidak pernah membalikkan modal—tidak pernah dimuat di koran-koran? Mengapa puisi yang hanya dibaca oleh segelintir orang—dan aku menduga mereka juga menduga-duga apa maknanya—dianggap sebagai sebuah produk peradaban umat manuisa yang gemilang? Manusia yang mana? Yang rajin datang ke pentas-pentas teater dan pembacaan puisi yang digelar setahun dua kali itu? Bahwa aku juga bisa menikmati puisi itu, iya aku bisa, tanpa harus kumengerti maknanya. Bahasamu dan bahasa-bahasa puisi itu yang begitu liris dan romantis. Mudah bagiku mendapatkan feelnya. Bahkan aku bisa menuliskan yang demikian berlembar-lembar, berbuku-buku. Lirih dan romantis adalah kesukaanku. Hanya saja, aku ada rasa tidak berterima dengan banyak kenyataan bahwa yang diajarkan di sekolah-sekolah ditampilkan di koran-koran di gedung-gedung kesenian seakan-akan ingin menyatakan, bahwa hanya yang seperti inilah yang dianggap sah sebagai sebuah puisi, sebuah karya seni. Puisi-puisi yang tidak sesuai dengan selera redaktur sastra, yang tak lain juga pastilah dia penggemarmu dan juga orang dekatmu itu, bukanlah puisi. Yah, kalaupun puisi pastilah dia puisi nomor dua puluh tujuh, puisi yang tidak baik. Tidak baik? Bukankah kau adalah penganjur ulung tentang relativisme dan kedaifan diri dan terbatasnya tafsir di Indonesia ini? Atau kau telah lupa apa yang kau tulis di Catatan Pinggirmu itu. Atau kau lupa ajaranmu sendiri tentang harus manunggalnya tutur lan lampah, kata dan laku itu. Terus terang aku tidak berterima dengan ini. Tiba-tiba lintasan bayanganku ingin kembali pada masa lalu. Tiba-tiba aku membayangkan bagaimana jadinya jika yang berkuasa bukan Soeharto yang di backup Amerika melainkan Soekarno.
Mas Goen,
Kadang-kadang aku pikir kamu adalah seorang munafik, oportunis. Dulu ketika Soekarno berobsesi menjadikan seni dan sastra untuk revolusi kau melawannnya dengan Polemik Kebudayaan itu. Kau melawan penindasan. Dengan teman-temanmu itu kau bak pahlawan melawan sang proklamator (sungguh aku tidak enak menyebutnya sebagai diktator, dia adalah sastrawan yang sebenarnya menurut pengertianku. Sebab, bagiku jasanya bagi lebih banyak manusia di Indonesia ini, masih lebih tak terhingga dari pada jasamu). Yah, kau memang seperti orang bermuka dua. Atau memang demikian seperti yang kau akui dengan etika kedaifanmu itu. Yah, itu dulu. Ketika kau masih berumur dua puluh tiga tahun. Ketika kau masih muda dan belum mempunyai pengaruh, kekuasaan intelektual, jaringan, dan uang yang banyak tentu saja. Dan kini dengan segala kepentingan dan jejaringmu yang sudah menggajah kau tak berdaya. Meringkuk sendiri di bawah kasur. Dan sejarah memang rada berpihak padamu. Soekarno tumbang Soeharto naik. Betapa bencinya Soeharto terhadap puisi-puisi pembertontakan, puisi perlawanan revolusi yang masa Soekarno dulu digalakkan bahkan diharuskan. Kau datang menawarkan sastra universal, sastra yang tidak bertendens, sastra yang tidak berpolitik. Dalam puisi dia menjadi puisi liris yang menurutmu mengakui kedaifan sebagai manusia. Atau kadang, aku pikir adalah hanya pelarian, karena ketakutan dan tidak punya keberanian melawan. Dalam novel cerpen dia adalah bahasa-bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh orang awam, bahkan oleh siapapun saja kecuali oleh penulisnya sendiri. Atau mungkin juga tidak, sebab si penulis juga menulis sambil ngantuk atau sambil mabuk. Tetapi karena kelihatan surealis, puisi itu di muat di koran-koran. Yah, di masa orde baru itu, kamulah yang menjadi model penyair yang baik. Yah, kamu dan orang-orang di lingkaranmu. Bukan Pram. Bukan Pram. Lalu, berikan aku satu alasan mengapa kau bukan seorang munafik. Sebab, kau dan teman-temanmu telah menjadi penguasa rezim sastra Indonesia yang baru. Yang menampik liyan dengan tidak memberikan ruang bagi puisi-puisi yang kau anggap tak bermutu. Yang menguasai pusat-pusat kebudayaan. Yang menguasai sastra di koran-koran. Bukankah ini juga sebuah bentuk penindasan? Bukankah ini juga sebuah penjajahan bahkan secara nyata? Belum lagi jika ini harus kuhubungkan dengan agenda-agenda besar ideologi di belakangnya. Siapakah di belakangmu di belakang Utan Kayumu itu? Mengapa kau tidak pernah berbicara tentang Ford, Taff, CIA, Amerika, dan lain-lain. Seperti minggu lalu aku masih ingat kau menulis di Bentara, tentang Seni, Politik dan Emansipasi. Semuanya kau tulis, dari Lekra sampai Polemik Kebudayaan, hampir satu halaman penuh. Satu halaman hampir penuh. Tetapi, yang tidak kau tulis adalah alasan mengapa kau bisa menulis satu halaman hampir penuh di sebuah harian besar dan oleh karenanya bisa dibaca berjuta-juta orang, dan mengapa tidak puisi-puisi Wiji Tukul di halaman itu, yang karena puisi pembelaannya pada mereka yang tertindas, dia hilang entah dimana? Mas Goen, jawablah pertanyaan-pertanyaanku ini jika kau mencintaiku.
Mas Goen,
Di kamar sambil lengang-lengang dengar John Lennon, aku bisa menangis sesenggukan sendirian membaca puisi-puisimu. Tapi ketika tiba-tiba aku berada di gerbong kereta itu, di stasiun, di jalan-jalan, di metromini, di trotoar, puisimu tiba-tiba menjadi suara yang sama sekali jauh. Di udara. Ketika di depan mata kita ada orang berteriak lapar apakah puisimu dapat membantu, paling tidak sebagai cermin yang memantulkan kegelisahan dan kesedihan suara hati mereka yang miskin, yang tidak dapat makan, yang tidak bisa membayar uang sekolah, yang bunuh diri karena malu tak bisa memberi uang jajan anaknya, yang yang yang yang..... Aku tidak akan menyalahkanmu sepanjang kau juga memberi ruang bagi puisi-puisi yang lain. Menghargai yang lain. Merayakan perbedaan yang katanya rahmat itu. Kukirimkan surat ini sebab aku mencintaimu. Sebab, apakah berpikir merupakan sebuah tindak kriminal?
Mas Goen,
Aku memang seorang utopis yang buruk. Aku memimpikan di koran-koran itu, di pusat-pusat kebudayaan itu, juga terpampang puisi-puisi yang lain, semacam puisi realisme sosialis itu, atau apapun itu namanya, segala yang bernama “lain” dari mainstream. Ingatkah kau pada Habermas yang juga pasti sudah kau katamkan, bahwa represi atas sebuah kepentingan juga merupakan sebuah kepentingan. Juga kau. Juga aku yang menulis surat ini. Namun, mas Goen. Jika kepentingan itu hanya didasarkan (aku khawatir) hanya karena kepentingan eksistensi personal masing-masing dan mungkin juga eksistensi sebuah rezim sastra yang ingin menghegemoni semua ruang kebudayaan, dan bukanlah disandarkan pada sebuah kepentingan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lebih transenden, yang lebih tinggi, semisal kemanusiaan, kesederajatan, keilahian, dan lain sebagainya, dan oleh karenanya kita berharap untuk tidak mengharapkan apa-apa kecuali yang abadi, di luar hal-hal yang fana semisal pengaruh, popularitas, kekayaan, pengakuan dan lain sebagainya. Mas Goen, jika kau mencintaiku maka jawablah pertanyaan-pertanyaanku ini.
Tapi aku sadar mas Goen, kita lahir di zaman yang berbeda. Kau lahir di zaman ketika puisi-puisi banyak dibakar tanpa alasan yang kau mengerti. Sedang aku lahir di zaman ketika di trotoar orang meronta-ronta minta makan karena sudah berhari-hari lapar. Tetapi di sebelahnya sedan-sedan termahal di dunia melaju seperti tanpa perasaan. Mengerikan. Sepi. Seperti tidak manusia. Juga dengan alasan yang tidak aku mengerti.
Sudahlah... Mari bersahabat
Oleh : Yogas Ardiansyah
“Mah, lho kok itu temboknya yang sana ditulisi Jawa Pribumi kenapa tho, Mah?”
“Ya karena mereka memang orang Jawa”
“Lha trus kita ini orang apa, Mah? Kita orang Cina ya, Mah? Kemaren aku pas lewat di Pandanaran dikatain ci…ci…ci…cina..., gitu ik mah?”
”Nek kamu dikatain begitu, bilang saja aku orang Indonesia!!!, gitu”
Percakapan disekitar bulan Nopember 1980 ini terjadi antara Conny dan anaknya, Ivan yang berusia enam tahun. Kerusuhan rasial yang terjadi di Semarang pada tahun tersebut membuat keluarga ini menjadi serasa sedang tidak berada di negeri sendiri. Beberapa hari sebelum pecah kerusuhan, para karyawan suami Conny, yang kebanyakan suku jawa, ikut membantu “membentengi” rumah Conny dengan tripleks tebal, agar, jika memang nanti ada huru-hara, rumah ini dapat selamat dari lemparan batu. Entah jika kerusuhan menjalar menjadi pembakaran….
Hari ini, senin 11 Pebruari 2008 pukul 15.10, langit kota Semarang diselimuti mendung yang cukup tebal disertai angin kencang. Conny Handayani (61) dengan semangat menceritakan apa yang pernah ia dan keluarganya alami sejak kerusuhan berbau rasial pada masa pasca 1965 hingga yang terakhir (semoga saja memang menjadi yang terakhir) pada tahun 1998. Di ruang kerjanya, di Jurusan Bahasa dan Sastra Asing Universitas Negeri Semarang, ia dengan antusias menceritakan kejadian-kejadian yang mendeskreditkan ia dan keluarganya hanya karena memang mereka keturunan Cina. Conny mengaku, sejak muda ia telah terbiasa mengalami sikap-sikap tidak simpatik yang diperlakukan kepadanya oleh pihak-pihak yang belum bersedia menghargai keragaman.
Kita akui atau tidak, sentimen rasial di Indonesia masih terus terjadi. Ini menjadi ancaman terbesar disintegrasi bangsa ini, disamping keinginan beberapa daerah untuk merdeka. Sentimen rasial yang paling kentara dan paling sering terjadi sejak berabad-abad silam menimpa warga negara non-pribumi, yang lantas secara otomatis dipahami sebagai warga negara keturunan Cina. Benny G. Setiono dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” memulai kerusuhan rasial ini dengan pembunuhan etnis Tionghoa pada tahun 1740. VOC yang mulai merasa terancam kekuatan ekonomi dan solidaritas etnis Tionghoa menerapkan aturan yang intinya membatasi gerak dan mobilitas mereka. Aturan permissiebriefje (25 Juli 1740) ini tentu saja ditolak oleh masyarakat etnis Tionghoa karena selain mengikat, aturan ini ternyata lebih mirip sebuah aturan untuk memeras etnis Tionghoa. Karena tak tahan dengan kekangan tersebut, sekelompok masyarakat Tionghoa melakukan protes dan segera disambut dengan tanggapan represif tentara VOC. Tanggal 7 Oktober 1740, atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan anggota Dewan Hindia William van Imhoff, seluruh serdadu kompeni di Batavia berkekuatan 1800 orang ditambah schutterij (centeng) dan 11 batalyon wajib militer melakukan operasi pembersihan terhadap etnis Tionghoa. Puncak kekerasan ini terjadi pada 9 Oktober 1740, dimana sekitar 10.000 orang etnis Tionghoa beserta seluruh rumah dan harta bendanya di seluruh kota Batavia dibakar dan dimusnahkan (laporan Domine Wolter Robert Baron von Hoevell, Tijdschrift voor Nederland’s Indie, pertengahan abad XIX). Sastrawan Remy Sylado mengabadikan peristiwa ini dengan nasakah drama sejarah berjudul 9 Oktober 1740.
Pasca kejadian itu, kompeni sangat berhati-hati menghadapi etnis Tionghoa. Kompeni membuat wilayah khusus yang lantas terkenal disebut Pecinan (Chinatown) dimana hampir sebagian besar keluarga Tionghoa tinggal di dalamnya. Etnis Tionghoa menerima saja keputusan ini karena dianggap lebih aman tinggal secara berkelompok dan bersama-sama tanpa menyadari bahwa sebenarnya maksud VOC adalah agar mereka lebih mudah mengawasi dan mengontrol etnis Tionghoa karena bermukim dalam satu wilayah. VOC juga mulai mendekati etni Tionghoa agar melupakan kejadian pembantaian tersebut, dengan memberikan hak dagang dan perlakuan istimewa dengan jalinan kerjasama. Perlakuan istimewa ini merupakan pancingan agar masyarakat pribumi merasa iri karena dengan perlakuan istimewa dalam perdagangan, tentu saja etnis Tionghoa menjadi kaya sedangkan pedagang dan masyarakat pribumi pada umumnya tetap terjajah dan miskin. Perbedaan ini segera berubah menjadi perbedaan strata sosial : etnis Tionghoa yang kaya dan dekat dengan kompeni dihadapkan dengan masyarakat pribumi yang miskin dan terjajah. Kemudian segera timbul pertentangan-pertentangan horisontal antara Tionghoa dan Pribumi. Dengan konflik ini, VOC berharap agar etnis Tionghoa tidak lagi teringat kejadian masa silam dan menganggapnya sebagai “sejarah kelam” belaka. Kemudian muncul sistem hukum yang sangat diskriminatif, dimana VOC menggolongkan masyarakat menjadi kelompok berdasarkan suku dan warna kulit. Kelompok pertama adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Kelompok kedua adalah orang kulit berwarna dimana bangsa Tionghoa bersama orang Arab dan Jepang ada didalamnya. Kelompok ketiga adalah para bangsawan keraton dan pribumi yang menjadi pegawai Belanda serta yang terakhir adalah pribumi jelata. Hukum memperlakukan kelompok-kelompok masyarakat ini sangat diskriminatif sehingga rasa benci karena merasa ditindas tumbuh subur, khususnya dalam masyarakat Pribumi. Konflik ini terus berkembang, mendarah-daging, dan terus saja bergulir dari masa ke masa (disamping karena memang taktik VOC yang jitu, juga karena mudahnya masyarakat Indonesia diadu dan ketidaktahuan sejarah). Tercatat, sejak kejadian Oktober 1740, terjadi peristiwa besar dalam konteks hubungan etnis Tionghoa dan Pribumi : konoflik Jawa-Cina selama Perang Jawa 1825-1830, anti-Tionghoa di Kudus tahun 1918, kerusuhan rasial pasca kemerdekaan tahun 1946, pemberlakuan PP No. 10 tahun 1959, peristiwa rasialis di Cianjur 1963, anti-Tionghoa pasca september 1965, kerusuhan rasial di bandung 5 Agustus 1973, anti-Tionghoa di Solo dan Semarang tahun 1980, kerusuhan pasca reformasi tahun 1998 serta penerapan standar ganda Orde Baru kepada masyarakat Tionghoa selama 1966-1998. Maka berhasillah strategi VOC untuk mengadu domba etnis Tionghoa dan pribumi.
Secara garis besar, pokok masalah sentimen antara etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada masalah ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku, ideologi budaya bahkan agama. Kekayaan harta, yang masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang paling ampuh untuk mendikotomi dua kelompok masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar memangsangat berbeda dalam mencari dan mengelola kekayaan. Penduduk pribumi, secara khusus suku jawa, menganggap kekayaan memang harus dicari tetapi dengan tetap dialasi sikap trimo, nriman ing pandum, sak titahe (tetap menerima dan mensyukuri rizki walau hanya sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya memang sudah membawa jiwa dagang yang ulet, penuh perhitungan, pekerja keras dan cenderung selalu mencari untung. Nah, bayangkan, jika dua karakter yang memang sejak mula berbeda budaya dan pola pikir ini mempunyai sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori” kompeni, berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula. Maka potensi konflik ini akan sangat sulit dihilangkan dan ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya tetapi terus saja mengeluarkan asap. Konflik-konflik horisontal seperti ini sepertinya hanya bisa dieliminir dengan cara pendekatan kemanusiaan dan budaya, seperti yang telah terjadi di Semarang. Etnis Cina di kota ini, dengan bekerjasama dan meragkul berbagai pihak, setiap tahun mengagendakan acara-acara yang tidak hanya bisa dinikmati oleh orang Cina saja tetapi juga oleh masyarakat Semarang secara luas. Kopi Semawis atau Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata merancang kegiatan pasar tradisional, pertunjukan budaya, festival-festival dan berbagai agenda rutin tahunan lain yang secara nyata mampu mempersatukan dan membaurkan semua lapisan masyarakat. Kedekatan-kedekatan semacam ini yang diharapkan mampu mengurangi potensi konflik di masyarakat. Acara seperti ini juga dapat dijumpai di festival kya-kya di Surabaya serta di beberapa dari Medan, Deli Serdang, Palembang hingga di Pontianak.
Selain pendekatan budaya tersebut, dalam bidang perdagangan dan segala hal yang menyangkut dengan uang dan keuntungan (karena ini hal yang paling sensitif), pemerintah harus menerapkan hukum yang fair dan berlaku untuk semua pihak, serta aturan main yang jelas hingga tidak ada lagi pihak yang merasa dianaktirikan dan merasa pihak lain lebih dilindungi.
Menjelang pukul 17.30, Conny mulai mengemasi berkas-berkasnya dan mematikan komputer setelah membalas e-mail dari familinya yang menyebar dari Seattle hingga Canberra. Kepada penulis ia berpesan agar pemuda Indonesia, dari suku dan etnis manapun, untuk menjadikan serentetan peristiwa rasial yang pernah terjadi sebagai pelajaran berharga yang sekaligus mahal : bahwa kebencian satu sama lain tidak akan memberi manfaat apapun pada bangsa dan negara, kecuali kehancuran dan menumbuhkan kebencian-kebencian baru yang siap membakar apasaja dikemudian hari : membuyarkan persahabatan tulus antara Joko dan A Cong.
Di akhir pertemuan, diperlihatkannya sebuah tulisan harian nasional yang memuat betapa ia dulu mahir menarikan tari jawa klasik dan menganggapnya sebagi budayanya sendiri.
Memoir : Apa Budaya Kita?
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
Budaya adalah produk masyarakat dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Sekumpulan orang-orang dalam masyarakat, yang berinteraksi dalam kajian sosiologi menghasilkan sesuatu, yang disebut budaya. Maka, budaya adalah hasil interaksi manusia, baik dengan sesamanya, maupun dengan alam sekitar.
Budaya itu sendiri hadir dalam dua bentuk yang secara dasariah berbeda. Konstruk gagasan di satu sisi, dan hasil budaya di sisi yang lain. Konstruk gagasan budaya tidak bisa ditangkap secara audiovisual karena bersifat abstrak. Meskipun demikian, hal ini menjadi penting karena sebagai dasar dari masyarakat untuk menghadapi tantangan zamannya. Masyarakat palaeolithikum, dengan konstruk gagasannya menghasilkan kapak batu, untuk menghadapi lingkungan. Karena memang konstruk gagasan yang ada masih sederhana.
Sedangkan hasil budaya, adalah budaya sebagaimana yang terlihat. Hasil budaya sebenarnya selalu mengikuti dan hadir kemudian, seiring dengan konstruk gagasan dari masyarakat. Hasil budaya diantaranya hadir berupa makanan, mode, karya seni, juga ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping hal-hal yang bersifat ritualistik. Pada kasus masyarakat Palaeolithikum tersebut, kapak batu adalah bentuk nyata perbenturan gagasan-gagasan yang ada dengan alam sekitar. Sehingga kapak batu bisa disebut sebagai hasil budaya-pada saat itu.
Sebagaimana dikatakan bahwa budaya adalah hasil dari interaksi manusia, maka budaya tidak bisa lepas sepenuhnya dari manusia itu sendiri, sebagai penghasil sekaligus pelaku budaya, yang berada dalam ruang dan waktu tertentu. Maka, sebagai konsekuensi logisnya, budaya pun tidak bisa dilepaskan dari konteks ruang dan waktu.
Mencoba melihat keterkaitannya dengan konteks ruang, manusia sebagai individu tentu mempunyai ruang tertentu di mana ia hidup untuk bersosialisasi, sekaligus mempunyai banyak ruang dalam kehidupan sosialnya. Maksudnya, setiap individu mempunyai keluarga, tetangga, desa, negara, ruang pekerjaan, komunitas-komunitas, ruang dalam kaitannya dengan status sosial, belum lagi kaitan secara personal dengan individu lain. Semua bentuk ruang terdapat interaksi di dalamnya, yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu, sebutlah itu ”kebudayaan kecil”. Teranglah, bahwa manusia tidak hidup hanya dalam satu ruang tertentu dalam hidupnya, tak seorangpun yang semata-mata hanya satu hal.
Budaya Sebagai Sejarah
Dalam keterkaitannya dengan waktu, manusia menjadi tahu tentang adanya batas waktu, tentang adanya masa lalu. Masa lalu hadir sebagai sejarah, yang diketahui melalui cerita. Sebuah cerita, tentu saja sangat tergantung dari siapa yang menceritakannya. Maka dari itu sejarah selalu hadir dengan wajah yang tidak pernah utuh.
Jawa Tengah (sebagai konteks ruang), apa yang ada sekarang tentu berbeda dengan apa yang ada pada beberapa abad lalu (konteks waktu). Masyarakat Jawa Tengah sekarang bukanlah orang yang sama dengan masyarakat Jawa Tengah pada beberapa abad lalu. Baik dari heterogenitas, secara personal, juga apa yang dihadapi. Hal ini membuat budaya yang dihasilkan juga berbeda. Mungkin masyarakat Jawa Tengah pada saat itu menghasilkan Tari Gambyong, sebagai salah satu cara untuk mengekspresikan gagasannya, dan secara kebetulan masyarakat sekarang tidak.
Di sisi lain, Tari Gambyong yang hadir pada saat ini juga menjadi bagian dari sejarah, yang selalu tidak lengkap. Mugkinkah, Jawa Tengah yang begitu luas, dengan individu yang juga begitu banyak hanya menghasilkan satu tarian? Jelas tidak. Begitu juga dengan hasil budaya Jawa Tengah lainnya.
Bagi saya, ada yang janggal di sini, ketika menyebutkan Tari Gambyong sebagai hasil budaya Jawa Tengah. Karena Tari Gambyong itu sendiri, bahkan keberadaannya jauh lebih dulu (baca: tua) dari sekedar Jawa Tengah. Jawa Tengah sebagai pembatasan wilayah propinsi, baru ada pada zaman pemerintahan Indonesia. Sedangkan Tari Gambyong jauh lebih tua, bahkan mungkin sama sekali tidak mengenal Indonesia. Maka yang terjadi adalah peng-aku-an Tari Gambyong oleh Jawa Tengah, dan buka sebaliknya. Bisa dikatakan bahwa Tari Gambyong bukanlah kebudayaan Jawa Tengah, tetapi berasal dari salah satu tempat—yang kemudian—termasuk dalam pengkotakan Jawa Tengah.
Poin kejanggalan lain, ada kerancuan tentang siapa yang berhak me-resmi-kan hal tersebut. Apakah mereka adalah perwakilan Jawa Tengah, bagian dari Jawa Tengah, sebagian kecil dari Jawa Tengah, atau bahkan yang sama sekali bukan dari Jawa Tengah. Dari sini, baik Jawa Tengah maupun Tari Gambyong, sebagai cerita sejarah telah dihadirkan dengan wajah yang tidak utuh.
Budaya Kita?
Dalam konteks kekinian, masyarakat mejadi sangat kompleks, sehingga sulit untuk menggambarkannya secara utuh dan komperhensif. Seperti yang kita tahu, perkembangan teknologi (juga sebagai hasil perkembangan budaya) sekarang ini telah menghadirkan alat-alat pertukaran informasi yang sangat beragam dan canggih. Handphone, jaringan internet, televisi, radio, berbagai media cetak, selain sebagai media informasi, ternyata juga membawa serta nilai-nilai dari budaya tertentu, yang secara geografis terbentang jarak yang sangat jauh. Orang indonesia bisa tahu, telah terjadi inflasi yang luar biasa di daratan Afrika, juga melalui medium tersebut.
Lalu lintas informasi dan pertukaran nilai terjadi sedemikian cepat dan (lagi-lagi) kompleks. Informasi ”saling-silang” antar manusia dalam setiap belahan dunia, dengan percepatan yang berbeda. Sebagai contoh, informasi yang didapat oleh seseorang gemar mengakses internet, akan berbeda dengan orang lain yang jarang bersentuhan dengan jaringan internet. Terjadi kesenjangan informasi yang didapat, antara manusia satu dengan lainnya. Heterogenisitas menjadi sangat tinggi, bahkan manusia tak bisa lagi mengerti ”apa, bagaimana, dan dari mana” hal-hal yang mempengaruhi dirinya.
Jika dikembalikan pada konsep budaya sebagai hasil interaksi antar manusia, agaknya usaha untuk menyebutkan ”budaya murni” menjadi hal yang sulit, kalau tidak mustahil. Budaya sebagai hasil interaksi manusia tidak bisa dilepaskan dari manusia itu sendiri yang kewalahan menghadapi perubahan. Dengan apa yang terjadi sekarang ini, konstruk gagasan yang terbentuk juga menjadi semakin ”carut-marut”, sebagai akibat lalulintas informasi yang sedemikian cepat dan ”timpang”.
Selanjutnya, dengan sisi sejarah yang selalu tidak utuh, peng-aku-an sebuah budaya yang tidak berdasarkan pertimbangan logis, kesenjangan informasi yang tinggi, saya rasa budaya ”resmi” Jawa Tengah perlu ditinjau kembali.
Solo vs Sragen
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
Tentu saja, potret tak bisa menghadirkan tafsir, dari selain momen yang terjepret. Seperti halnya kata yang tak bisa menghadirkan dialektika dan realita. Namun apa, yang tersisa selain potret, juga kata?
Adalah sepetak ruang berbatas geografis, yang memiliki anasir sejarah, sehingga beberapa manusia bisa berteriak lantang : “Kami orang Sragen!”. Atau kemudian beberapa mahasiswa kreatif me-mlesetkannya dengan sebutan “Sragen-tina”, yang langsung mengingatkan pecinta sepak bola kepada Lionel Messi.
Memang, kemudian kota yang berbatas langsung dengan Jawa Timur itu, dinamai Sragen. Pemda setempat, melalui Perda Nomor 4 Tahun 1987, menetapkan hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746, sebagai hari jadi kota. Dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, tanggal dan waktu tersebut (dianggap) adalah ketika Pangeran Mangkubumi—yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono (ke-) I—menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda, demi maujudnya sebuah bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu Pemerintahan lokal di Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati sebelah timur.
Waktu itu mungkin Sragen belum mengenal akses internet, apalagi hotspot. Tetapi, lebih kurang 3 abad terlalui kemudian, Sragen telah terbiasa menggunakan istilah “one stop service”. Ketika kemudian Sragen harus berkelindan dengan dinamika Demografi, yang selalu identik dengan peningkatan jumlah, tetapi dalam satuan waktu yang tak bisa mulur-mungkret. Maka dari itu, kecepatan dan percepatan adalah sesuatu yang kemudian didepankan.
Ya, memasuki gedung layanan publik Pemkab Sragen, mengesankan suasana kantor Bank. Sragen menyediakan layanan singkat waktu, juga singkat jarak, seperti pil APC-nya Andrea Hirata, yang oleh warga Belitong, dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit. Sragen membasiskan dirinya dengan IT (Informatical Technology), yang masih mempesonakan melalui kecepatan dan percepatan yang disediakannya. Sragen, dalam hal ini, mengedepankan rasionalitas tujuan, yang ditolak oleh Jurgen Habermas.
Sementara itu, tak begitu jauh dari Sragen, terbentang batas geografis lain, yang ternamai Solo (Surakarta). Kota yang mem-brand-kan dirinya “The Spirit of Java”, merupakan kota dengan sejarah yang masih mengakar sebagai modal budaya, dan masih tersisa sampai kurun waktu sekarang ini. Sejarah solo, adalah cerita tentang kerajaan, yang katanya feodalistik. Dan tanggal 16 Juni, merupakan hari jadi Pemerintah Kota Surakarta. Menurut cerita, pada 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran.
Meskipun demikikan, ritual-ritual warisan keraton, yang melibatkan begitu banyak manusia, masih diikuti dengan antusias dan belum dianggap profan (terlihat disini, bahwa legitimasi kekuasaan tak bisa menyentuh keimanan. Karena keimanan tak bisa dilepaskan dari subjeknya, manusia. Dan tak ada manusia tanpa archetype, tanpa keterlanjuran sejarah dan budaya).
Beberapa waktu yang lalu, Solo menggelar pemindahan sekitar 989 Pedagang Kaki Lima (PKL) Monjari ke pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. Pemindahan PKL dari tempat lama ke tempat baru itu, diarak dengan kirab prajurit keraton, diiringi kereta keraton ditonton oleh–kurang lebih—400.000 pasang mata. Dengan membawa tumpeng masing-masing, banyak bibir PKL menyunggingkan senyum. Arak-arakan itu, mengidentikkan dirinya dengan Sekatenan. Mungkin Solo, melalui Joko Widodo, begitu menghargai ketertanaman warisan nilai-nilai yang masih menyisakan bianglala keimanan.
Pun Solo, dalam hal ini mengedepankan rasionalitas komunikasi a la Jurgen Habermas. Karena sebelum Sekatenan dadakan itu digelar, telah 54 kali Joko Widodo mengajak para PKL makan bersama di kediaman dinasnya. Meskipun tidak ada jaminan apa-apa, bahwa Joko Widodo, setidaknya, pernah membaca pemaparan tentang Habermas, oleh Fransisco Budi Hardiman.
Sebagaimana Martin Heidegger mengatakan bahwa manusia sudah selalu terlempar ke dunia, sehingga manusia tak bisa menghindari keterkutukannya sebagai subyek yang tak dapat melepaskan diri dari dunia, bahwa manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu. Terkait dengan tesis Heidegger tersebut, maka manusia tak bisa menghindar dari kebutuhan-kebutuhan, baik yang bersifat alamiah maupun yang “terpaksa”. Dalam ilustrasi kecil, sesaat setelah terlahir, manusia harus segera disusukan kepada ibunya, dan baru beberapa hari kemudian dimintakan akta kelahiran.
Dalam potret Solo, terlihat bahwa regulasi yang diajukan lebih kepada pem-fasilitasan pemenuhan kebutuhan manusia sebagai makhluk hidup. Manusia (sebagai makhluk hidup) yang membutuhkan pemenuhan atas rasa laparnya, atas kebutuhannya akan nutrisi, gizi, dan sebagainya, di manapun dia berada.
Sedangkan di Sragen, bertolak dari adanya kebutuhan manusia sebagai konsekuensi atas keterlemparannya di dunia. Manusia yang selalu terlahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dan secara kebetulan, konteks tersebut mewajibkan beberapa kebutuhan kepadanya. Manusia sebagai warga negara, penduduk. Sragen sebagai pihak yang “memaksakan” kebutuhan terhadap penduduknya, menyadari posisinya, sehingga terkesan segan untuk menyita lebih banyak, yang akan mengganggu upaya penduduk untuk memenuhi kebutuhan yang lebih “dibutuhkan”.
Dengan demikian, apa yang terjadi di Solo bisa dikatakan berbeda, dengan apa yang terjadi di Sragen. Kedua regulasi tersebut berbeda, karena memang bertolak dari masalah yang berbeda, meskipun di sisi lain berkaitan dengan hal yang sama. Kedua regulasi tersebut berkaitan dengan orang banyak, tetapi dalam perannya yang berbeda. Manusia yang satu, tetapi satu yang terdiri dari beberapa, yang terikat oleh seutas tali ruang dan waktu.
Setidaknya menurut saya, belum ada kalimat yang lebih tepat untuk menyebut kedua hal tersebut sebagai hasrat untuk melipat kebutuhan, rentang jarak, ruang dan waktu; melipat dunia, dan juga hasrat akan sebuah kondisi keteraturan.
Di sinilah, yang semakin memantapkan saya, bahwa menentukan sebuah policy, harus pertama kali mempertanyakan “apa”, tanpa meringkasnya menjadi sekedar “bagaimana”.
Hegemoni British English dan American English Di Indonesia
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman
Bahasa Inggris diakui oleh dunia sebagai bahasa internasional. Hal ini menjadikan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi yang paling memungkinkan dalam relasi internasional. Modernismelah yang memungkinkan hal ini terjadi. Perkembangan teknologi telah mempermudah umat manusia untuk saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi tersebut bisa terjadi antar berbagai latar belakang suku , negara, bahkan benua yang sangat berjauhan secara geografis dan berbeda dalam penggunaan bahasa.
Konsekuensi modernisme tersebut juga membuat bahasa Inggris menjadi bahasa yang paling populer di dunia. Hal ini dikarenakan bahasa inilah yang paling banyak digunakan oleh penduduk bumi. Sejarah Inggris sebagai negara penjajah terbesar di dunia menjadi faktor dominan perkembangan tersebut. Di negara-negara bekas jajahan Inggris kita bisa melihat penggunaan bahasa Inggris sebagai second language setelah bahasa resmi mereka seperti bisa kita lihat di India, Malaysia, dan Singapura (Singlish).
Lain halnya Indonesia yang tidak pernah mengalami penjajahan Inggris. Hal inilah mungkin yang menjadi faktor utama mengapa bahasa Inggris tidak bisa menjadi second language seperti di ketiga negara tetangga kita tersebut. Faktor historis ini juga mungkin yang menjadi faktor mengapa perkembangan penggunaan bahasa Inggris di Indonesia berbeda dengan di ketiga negara tersebut.
Bahasa Inggris sebagai bahasa dunia dengan demikian telah menjadikannya sebagai milik warga dunia. Dengan kata lain, bahasa Inggris tidak hanya monopoli Inggris atau Amerika saja. Implikasi jauh dari perkembangan ini adalah tidak ada otoritas (juga termasuk Inggris dan Amerika) yang paling berhak mengatakan bahwa bahasa Inggris di negara X bukanlah bahasa Inggris karena berbeda dengan bahasa Inggris versi Inggris atau Inggris versi Amerika. Dengan demikian, perkembangan bahasa Inggris yang menemukan berbagai macam bentuknya hasil dari perkawinan dengan masyarakat dunia yang beragam tidaklah bisa dielakkan lagi.
Model perkembangan bahasa Inggris di India, Malaysia dan Singapura sangatlah menarik untuk dijadikan model perkembangan tersebut. Dalam perspektif kajian subaltern, perkembangan bahasa Inggris di ketiga negara tersebut telah berhasil menemukan bentuk baru bahasa Inggris yang telah berubah dari bentuk pakem (resmi) bahasa Inggris yang dibawa oleh bekas penjajah (colonizer) mereka (Inggris). Meskipun tidak berubah seratus persen, perubahan tersebut mengindikasikan penciptaan yang baru dalam arti mengadakan suatu bentuk yang sebelumnya belum pernah ada. Bentuk baru tersebut sangat identik dengan masing-masing kekhasan dari kekayaan lokalitas masyarakat mereka. Bentuk-bentuk baru tersebut belumlah pernah ada dalam tradisi bahasa apapun. Di India misalnya, bahasa Inggris telah menjadi sangat India dengan pemertahanan terhadap dialek India yang sangat kental. Hal yang serupa juga terjadi di Singapura dan Malaysia meski dengan bentuk yang berbeda.
Pertanyaan yang jarang sekali diajukan adalah mengapa di Indonesia bahasa Inggris tidak (atau mungkin belum) menemukan bentuk barunya. Mengapa Inggris versi Inggris (British English) dan versi Amerika (American English) masih dapat bertahan dengan sangat baik bahkan telah menjadi semacam ukuran berbahasa Inggris yang paling baik (“standard English”) di Indonesia? Padahal kita tahu kekhasan berbahasa dalam ranah fonologi (intonasi, aksen, dialek, dll) masyarakat Indonesia sangat berbeda dengan masyarakat Inggris dan Amerika. Apalagi jika kita melihat beragamnya kekhasan berbahasa masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dalam ranah fonologi tersebut. Perbedaan dialek orang Padang sangat berbeda dengan orang Batak, misalnya. Bahkan dalam satu suku bisa terjadi perbedaan dialek yang sangat tajam. Pada suku jawa misalnya, dialek orang Jawa Tegal akan sangat berbeda dengan dialek orang Jawa Jepara apalagi Jawa Solo. Demikianlah di negara yang sangat kaya akan keberagaman kekhasan berbahasa inilah mengapa bahasa Inggris tidak menemukan bentuk barunya?
Hal yang tidak kalah penting dari alasan penemuan bentuk baru bahasa Inggris versi Indoneisa tersebut adalah kenyataan bahwa terdapat korelasi positif antara pemakaian bahasa Inggris masyarakat dengan produksi bacaan dan pengetahuan masyarakat. Contoh yang menarik kita bisa lihat dari produksi film-film India yang mampu menembus pasar internasional karena kemampuan bahasa Inggris pemain film India yang sangat baik. Hal serupa juga bisa kita lihat di Singapura dan Malaysia. Salah satu faktor kemajuan Singapura dan Malaysia disinyalir adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai second language.
Faktor historis Indonesia yang tidak pernah dijajah Inggris mungkin bisa menjadi alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Tetapi, apakah dengan demikian kemungkinan penemuan bentuk baru (hybrid) dari perkawinan bahasa Inggris asli dengan konteks lokalitas masyarakat Indonesia tidak bisa terjadi? Jika India, Malaysia dan Singapura bisa mengapa kita tidak? Untuk memulai usaha pembongkaran ini bolehlah kita curiga dengan memulai memeriksa apakah benar British English dan American English telah melakukan apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni atas cara berbahasa Inggris di Indonesia? Jika memang benar ada, bagaimanakah mekanisme hegemoni ini bekerja dalam masyarakat kita?
Teori Hegemoni Gramsci
Teori hegemoni pertama kali disampaikan oleh Antonio Gramsci. Pria yang lahir di Sardinia, Italia, pada 22 Januari 1881 ini menyelasikan studinya di Universitas Turin di Fakultas Sastra. Penulis Letters From Prison ini adalah seorang Marxian sejati. Oleh karenanya, sebelum membicarakan Gramsci kita tidak bisa melewatkan pembicaraan mengenai pandangan-pandangan Karl Marx. Dengan memasuki pandangan Marx kita akan lebih mudah memahami pandangan Gramsci, khususnya mengenai teori hegemoni.
Marx tersohor dengan teori determinisme ekonomi-nya. Teori ini menyatakan bahwa segala hal yang melingkupi proses sosial tidak bisa terlepas dari ekonomi sebagai determinan utamanya. Dengan ini Marx menyatakan bahwa kapital sebagai struktur ekonomi adalah faktor utama perubahan-perubahan dan cara pandang masyarakat terhadap sesuatu.
Marx membagi struktur masyarakat menjadi dua, yakni base-structure dan superstructure. Base-structure adalah hal-hal yang kasat mata yang bersifat materiil yang bisa kita panca indrai, seperti uang, modal dan produksi yang melingkupinya. Kapital di bawah struktur ekonomi merupakan salah satu wujud base-structure yang paling nyata. Sedangkan superstructure adalah hal-hal yang bersifat abstrak seperti nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan dan ideologi. Tesis utama Marx atas pembedaan ini adalah bahwa base-structure membentuk superstructure. Oleh karenanya, Marx menganggap ekonomi—tempat perkembangan capital—sebagai faktor utama yang membentuk politik dan kebudayaan sebagai tempat bersemainya nilai-nilai, pandangan hidup dan ideologi. Kapital menentukan nilai-nilai dan ideologi.
Konsekuensi pandangan Marx ini adalah bahwa kapitalisme yang dikuasai oleh kaum borjuasi akan berusaha terus melanggengkan kekuasaannya. Satu-satunya cara pertahanan mereka adalah eksploitasi kaum buruh (proletariat) yang semakin kuat. Dari titik inilah Marx percaya bahwa eksploitasi yang semakin hari semakin keras akan melahirkan perlawanan atau revolusi proletariat dalam bahasa Marx. Jadi, pandangan Marx adalah bahwa revolusi proletariat ini akan terjadi dengan sendirinya seperti hukum alam lainnya. Oleh karena itu, tidak diperlukan usaha apapun untuk mewujudkan revolusi proletariat. Sebab, menurut Marx perlawanan oleh kaum proletariat dengan wujud perjuangan kelas pastilah terjadi dengan sendirinya. Hal ini seperti yang diungkapkannya dalam Manifesto Komunis-nya yang terkenal: “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.”- (The Communist Manifesto, Chapter 1)
Benarkah ramalan Marx dengan teorinya ini? Hal inilah yang menjadi pertanyaan mendasar Gramsci atas teori Marx. Konteks pemikiran Gramsci lahir saat menyaksikan revolusi proletariat yang tak kunjung tiba di masyarakat Eropa yang semakin kapitalis. Mestinya jika mengikuti alur pandangan Marx semakin kapitalis masyarakat semakin kuatlah gerak menuju revolusi proletariat. Tetapi kenyataan yang dilihat Gramsci adalah kaum proletariat justru semakin terintegrasi dengan kelas yang memeras mereka yaitu kaum kapitalis borjuis. Gramsci memandang kekuatan kaum proletariat semakin hari justru semakin melemah dan patuh kepada kaum borjuis walaupun kaum borjuis tidak menggunakan cara-cara kekerasan (coersive) dalam memeras tenaga mereka. Kepatuhan tanpa kekerasan kaum proletariat kepada kaum borjuis yang luput dari ramalan Marx inilah yang oleh Gramsci dinamakan sebagai hegemoni. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh During (2005:21) bahwa:
For Gramsci, hegemony helped to explain why class conflict was not endemic despite the fact that power and capital were so unevenly distributed and the working class (in Italy, particularly the southern peasantry) led such confined lives. Gramsci argued that the poor partly consented to their oppression because they shared certain cultural dispositions with the rich.
Hegemoni adalah konsep terpenting Gramsci. Berbicara tentang hegemoni berarti berbicara tentang kekuasaan dan pengaruh, pihak yang menguasai (dominant) dan pihak yang dikuasai (subordinate). Hal ini seperti yang disampaikan oleh Strinati:
“…Dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively the ruling class, maintain their dominance by securing the ’spontaneous consent’ of subordinate groups, including the working class, through the negotiated construction of a political and ideological consensus which incorporates both dominant and dominated groups.” (Strinati, 1995: 165)
Pada mulanya ketika kita berbicara tentang kekuasaan akan diidentikkan dengan ranah kekuasaan militer, negara dan kerajaan. Era globalisasi yang melahirkan kapitalisme telah menggeser pengertian tersebut. Kapitalisme, dalam hal ini para kapitalis dan sistem itu sendiri, telah menjadi sebuah institusi kekuasaan tersendiri. Perkembangan selanjutnya adalah ketika kekuasaan telah beroperasi dalam ranah kebudayaan yang biasa disebut sebagai imperialisme budaya. Institusi-institusi kebudayaan semacam gereja, ulama, dan pakar-pakar bidang keilmuan tertentu adalah contoh kekuasaan dalam ranah budaya di sekitar kita. Roger Simon menyebut hegemoni sebagai: “…the practices of a capitalist class or its representatives to gain state power and maintain it later.” (Simon, 1982: 23)
Lalu bagaimanakah kekuasaan dan pengaruh diperoleh? Ada dua cara memperoleh kekuasaan, yaitu melalui kekerasan (coercive) dan melalui kesepakatan (consent). Cara yang pertama adalah cara klasik merebut kekuasaan yang sering dipakai dalam ranah militer, negara dan kerajaan pada zaman dulu. Sedangkan cara yang kedua lebih banyak dipakai dalam ranah ekonomi dan budaya. Meskipun perkembangan terkini tidak bisa disederhanakan mempunyai alur yang selalu demikian. Negara-negara modern saat ini juga menggunakan cara-cara kesepakatan sebagai senjata mereka dalam merebut kekuasaan dan pengaruh negara lain, misalnya Amerika. Sedangkan institusi-institusi budaya terkadang justru menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperebutkan pengaruhnya. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai macam gerakan separatis yang mengarah pada tindakan terorisme yang terjadi beberapa dasawarsa ini.
Inti konsep hegemoni Gramsci adalah penekanannya terhadap consent dari pada coercive. Gramsci mengidentifikasi hegemoni dengan kekuasaan yang dijalankan tanpa paksaan dan menekankan kesepakatan terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan seperti yang disampaikan Strinati:
“It can be argued that Gramsci’s theory suggests that subordinated groups accept the ideas, values and leadership of the dominant group not because they are physically or mentally induced to do so, nor because they are ideologically indoctrinated, but because they have reason of their own.” (Strinati, 1995: 166)
Mekanisme hegemoni bekerja dengan cara membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu. Oleh karena itu, definisi hegemoni lebih dekat sebagai upaya mencapai kekuasaan, apakah politik, ekonomi atau budaya, melalui konsensus antar kelas daripada melalui kekerasan. Bahkan dalam suatu hegemoni yang berhasil, kekuatan koersif sudah tidak dibutuhkan lagi oleh kelas berkuasa.
Konsekuensi logis dari konsep hegemoni Gramsci ini adalah penekanannya pada peran kebudayaan dalam revolusi sosialis, suatu faktor yang terabaikan dalam analisis Marxisme ortodoks yang terlalu dibutakan oleh kerangka “base-superstructur”. Kerangka ini menyimpan kekonyolan pengertian ekonomistik, dimana perubahan dalam basis struktur ekonomi menentukan perubahan dalam level suprastruktur politik, ideologi dan kebudayaan. Revolusi sosialis dianggap tergantung seratus persen dari perkembangan perekonomian kapitalistik.
Gramsci melihat kekuatan kaum borjuasi di negara-negara barat sudah mencakup seluruh bidang kehidupan masyarakat: ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Kesatuan kekuatan borjuasi dalam masyarakat ini oleh Gramsci disebut sebagai “blok historis (historical bloc)”, yaitu semacam konstalasi utuh di mana semua dimensi kehidupan kelas-kelas sosial dalam masyarakat telah menyatu dan saling mendukung di bawah hegemoni sebuah kelas, yaitu kelas borjuasi. Inilah alasan yang dilihat Gramsci mengapa revolusi sosialis tidak jua terjadi. Kelas borjuasi telah berhasil menghegemoni kelas-kelas lain dalam masyarakat. Sehingga masyarakat (khususnya kelas proletariat) menganggap situasi kekuasaan hegemoni kelas borjuis tersebut sebagai sesuatu yang memang demikian adanya. Oleh karena itu, rekomendasi Gramsci adalah konsep ’blok historis’ inilah yang harus digunakan sebagai strategi perebutan dan pertahanan hegemoni.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah cara mewujudkan konsensus (consent) dalam wujud ’blok historis’ ini? Ada dua cara yang ditawarkan oleh Gramsci yaitu, melalui “war of position” (perang posisi) dan “war of movement” (perang pergerakan). Perang posisi dilakukan dengan merebut posisi-posisi kepemimpinan intelektual, moral, buadaya, agama dan ideologi. Perang ini dilakukan dengan cara menguasai semua institusi-institusi yang berperan dalam membentuk kekuasaan budaya. Sekolah-sekolah, kampus, institusi agama, rumah sakit, lembaga-lembaga kebudayaan dan institusi-institusi sosial lainnya harus dikuasai. Sebab, di ruang-ruang inilah kebudayaan (nilai-nilai, pandangan hidup dan ideologi) terbentuk. Oleh karenanya karakteristik perang posisi adalah jangka waktu lama yang membutuhkan kesabaran, kesetiaannya terhadap perjuangan dalam sistem, dan selalu diarahkan pada dominasi budaya (imperialisme kultural). Sedangkan perang pergerakan lebih mengarah pada perang secara frontal (langsung) dengan melakukan aksi-aksi pengerahan seperti demonstrasi. Biasanya perang pergerakan dilakukan setelah perang posisi berlangsung sesuai rencana. Setelah merasa siap dengan posisi-posisi yang sudah direbut melalui perang posisi barulah perang pergerakan dilakukun walaupun tidak selalu demikian dalam praktiknya.
Dialek Dan Etnisitas
Dalam Language and Etnicity, Fought memberikan penekanan bahwa terjadinya perkawinan dua dialek dari dua etnis yang berbeda sangatlah sah. Bahkan terkadang memang tidak bisa dihindarkan. Semakin banyak pertemuan antar dialek dari berbagai macam etnis justru semakin memperkaya konvergensi dialek yang terbentuk. Fought (2006:133) menyatakan:
One issue that has frequently been raised in research on dialect contact is the question of convergence or divergence. That is, are the varieties in an area influencing each other in such a way that they become more alike, are they influencing each other in such a way that they become more different, or do they develop and change as two (or more) completely independent entities?
Banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan terhadap konvergensi atau divergensi dialek ini. Salah satunya dalah penelitian tentang isu American Speech oleh Fasold (1987) dan Baily dan Mayor (1989). Pertanyaan yang diajukan adalah apakah ada konvergensi dialek antara warga European America dengan African America. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan terjadi adanya kontak dialek yang memunculkan konvergensi yang sangat beragam antar dua dialek tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa pertemuan antar dialek hingga akhirnya menemukan bentuk-bentuk baru dialek sangatlah mungkin terjadi. Dari penelitian ini kita juga bisa bertanya, jika di Amerika sendiri sudah terjadi berbagai macam dialek (tidak hanya “standard American”) mengapa justru di Indonesia kita mempertahankan American English sebagai salah satu “standard English”. Hal yang sama juga terjadi dalam British English dengan adanya dialek Scotish, Irish, dll.
Hegemoni British English Dan American English
Demikianlah sekilas tentang teori hegemoni Gramsci, mulai dari inspirasi, konteks yang melatabelakangi kelahirannya, perkembangan yang menyertainya dan juga konsep dialek yang meneguhkan bahwa pembentukan sebuah entitas dialek baru sangatlah wajar bahkan sesuatu yang mestinya tak dapat dihindarkan.
Dalam konteks perkembangannya sekarang yang sudah memasuki ranah budaya (yang sering disebut sebagai "imperialisme budaya"), konsep hegemoni seringkali digunakan sebagai pisau analisis. Ranah kebudayaan yang sangat luas justru semakin memperlihatkan urgensi konsep hegemoni Gramsci, terlebih jika dikaitkan dengan globalisasi. Salah satu aspek budaya yang sangat terkait dengan globalisasi seperti yang diuraikan di pengantar di atas adalah bahasa. Dalam konteks globalisasi inilah, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional mau tidak mau tidak bisa melepaskan dirinya dari relasi kuasa dan hegemoni yang berada di dalamnya.
Namun, tulisan ini tidak ingin mempersoalkan terlalu jauh tentang hegemoni bahasa Inggris di dunia internasional (dan khusunya di Indonesia) karena relavansinya sudah tidak dianggap begitu penting lagi. Hal ini dikarenakan konsekuensi logis penerimaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah menemukan perkembangan yang tak terduga sebelumnya. Mengikuti teori subaltern, lahirnya bahasa Inggris versi India, versi Malaysia, versi Singapura dan versi-versi yang lainnya telah meruntuhkan hegemoni bahasa Inggris versi Inggris dan versi Amerika di dunia. Artinya, sebagai bahasa milik dunia semua versi bahasa Inggris di seluruh dunia dianggap sama, sederajat dan sah untuk digunakan sebagai alat komunikasi. Terlebih jika kita memang benar bahwa terdapat korelasi positif antara penguasaan bahasa Inggris dengan produksi bacaan dan pengetahuan suatu masyarakat, juga tingkat daya saing dalam pergaulan internasional.
Bertolak dari pandangan tersebut, tulisan ini ingin memfokuskan pada hegemoni British English dan American English di Indonesia. Bagaimanakah pisau analisis hegemoni membedah kerja kekuasaan British English dan American English di Indonesia
Sebagaimana kita ketahui bahasa mempunyai berbagai macam struktur; grammar, lexical, fonologi, morfologi, dialek, aksen, intonasi, dsb. Kajian dalam tulisan ini tidak akan membahas bidang grammar dan lexical dalam British English dan American English. Kajian akan difokuskan pada fonologi, khususnya dalam dialek yang meliputi aksen dan intonasi. Hal ini dikarenakan dalam wilayah grammar dan lexical tidak terdapat banyak perbedaan dalam berbagai macam varian bahasa Inggris di dunia. Lain halnya dalam ranah fonologi, bentuk bahasa Inggris versi India, Malaysia dan Singapura bisa menjadi contoh betapa perbedaan dalam ranah fonologi bahasa Inggris—ketika berhadapan dengan kekayaan kekhasan lokalitas masing-masing masyarakat atau etnis—bisa menjadi demikian beragam. Jadi, fokus kajian tulisan ini adalah membedah hegemoni British English dan American English dalam wilayah fonologinya di Indonesia.
Menurut teori hegemoni Gramsi, kekuasaan adalah sesuatu yang dapat memproduksi kepatuhan atau pengaruh dalam wujud konsensus (consent) bersama. Oleh karenanya, sifat kekuasaan bukanlah semata-mata sesuatu yang harus dimiliki di tangan tetapi sifatnya dapat diketahui dari bentuk-bentuk kepatuhan atau kesepakatan pihak-pihak yang terkena efek kekuasaan tersebut. Kekuasaan dalam pengertian ini adalah sesuatu yang netral yang dapat diperebutkan oleh pihak-pihak yang menginginkannya.
Dalam konteks pembicaraan kita, sesuatu yang diperebutkan tersebut bernama cara atau versi bahasa Inggris. Sedangkan pihak-pihak yang memperebutkan adalah British English, American English dan (semestinya) Indonesian English (bahasa Inggris versi Indonesia). Bahkan mungkin juga peserta yang turut berkompetisi adalah bahasa Inggris versi Jawa, versi Padang, versi Batak, bersi Sunda atau bahkan mungkin versi Irian. Hal ini dikarenakan oleh aksentuasi berbahasa dalam ranah fonologi yang sangat beragam di masyarakat kita. Keragaman aksentuasi inilah yang berpengaruh dalam pembentukan versi berbahasa Inggris di masing-masing wilayah.
Mengikuti perspektif hegemoni Gramsci, British English dan American English mestinya adalah peserta biasa yang harus berkompetisi untuk memeperebutkan kekuasaan yang bernama versi bahasa Inggris tersebut. Jadi, British English dan American English mestinya tidak secara otomatis menjadi pemenang atau pemegang kekuasaan tersebut. Satu-satunya yang bisa menyebabkan perolehan kekuasaan tanpa kompetisi adalah tidak adanya lawan yang mestinya adalah bentuk baru bahasa Inggris versi Indonesia. Pentingnya konsep hegemoni adalah membongkar keadaan tanpa persaingan yang menjadikan British English dan American English dengan mudah menghegemoni cara berbahasa Inggris di Indonesia. Penggunaan versi berbahasa Inggris bukanlah sesuatu yang memang begitu adanya (taken for granted) melainkan sesuatu yang terkonstruksi oleh struktur-struktur hegemoni tersebut.
Kekuasaan dalam perspektif hegemoni selalu mempunyai dua unsur, yaitu dominan (penguasa) dan subordinat/subaltern (pihak yang dikuasai). Kekuasaan dalam wujud cara berbahasa Inggris di Indonesia dengan demikian dipegang oleh British English dan American English sebagai dominan dan Indonesian English (kita andaikan dia ada) sebagai subordinat. Mungkin bisa dimasukkan dalam versi Indonesia adalah cara berbahasa Inggris dengan dialek jawa yang masih sangat kental. Kita bisa melihatnya pada bahasa Inggris beberapa tokoh nasional kita, seperti Gus Dur dan Amin Rais. Cara berbahasa Inggris kedua tokoh ini oleh pemegang “standard English” di Indonesia dianggap sebagai tidak layak (subordinate). Meskipun tanpa adanya subordinat pun posisi British English dan American English sebagai dominan tetap sah bahkan justru semakin legitimate.
Kesadaran akan konstruksi tersebutlah yang menjadi obsesi terbesar teori hegemoni. Bahwa penggunaan bahasa Inggris versi Inggris dan versi Amerika bukanlah sesuatu yang memang seharusnya diterima tetapi masih bisa dipertanyakan bahkan bisa dilawan dengan bahasa Inggris versi baru, yakni versi Indonesia.
Dalam pengertian ini, fonologi British English dan American English telah memegang kekuasaan karena dia dipatuhi dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkena efeknya. Dalam pembahasan kita, pihak yang terkena efek kekuasaan hegemoni British English dan American English tersebut adalah masyarakat pengguna bahasa Inggris di Indonesia.
Bagaimanakah mekanisme hegemoni British English dan American English bekerja di Indonesia? Hegemoni British English dan American English dipertahankan setidaknya melalui beberapa institusi. Pertama dan yang paling utama adalah sekolah dan perguruan tinggi. Acuan yang dipakai oleh kurikulum bahasa Inggris adalah British English dan American English. Hal ini bisa kita lihat dari pakar-pakar pembuat kurikulum yang hampir semuanya adalah lulusan Amerika atau Inggris. Juga, secara otomatis melalui kewajiban memakai kamus versi British English dan American English yang masih sangat resmi semacam Oxford Dictionary. Kedua, kelas menengah dan atas masyarakat Indonesia. Yang termasuk kelas ini adalah mereka yang seringkali berkunjung ke luar negeri. Terakhir adalah melalui media, khususnya media elektronik. Hal ini bisa kita lihat dari British English atau American English yang wajib digunakan oleh para pembawa berita atau presenter musik seperti VJ di beberapa media elektronik Indonesia. Beberapa institusi inilah, yang disadari atau tidak, telah mengukuhkan hegemoni British English dan American English.
Pemertahanan hegemoni “standard English” semacam ini juga terjadi di beberapa negara Amerika Latin yang menggunakan bahasa Inggris. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Fought (2006:74), bahkan dia menyangsikan konsep “standard” tersebut:
“Standard English”. I put the word “standard” in quotes because the concept itself is so difficult to define; entire books are available on this topic (e.g., Bex and Watts 1999). However, it is definitely the case that, for example, middle-class Latinos in the communities that have been studied often use a variety that contains few or no vernacular grammatical structures. Also, there is pressure to use a standard variety in the school setting, and at least some children will use a different variety there than they do at home.
Demikianlah fakta akan hegemoni British English dan American English di Indonesia sudah kita ungkap beserta bagaimanakah hegemoni tersebut dipertahankan. Di sisi lain, kita tahu bahwa kemampuan berbahasa Inggris juga berhubungan dengan tingkat produksi bacaan dan pengetahuan sebuah masyarakat. Oleh karena itu, mestinya hegemoni British English dan American English di Indonesia harus segera diimbangi (untuk tidak menyebutnya ditumbangkan) dengan penemuan bahasa Inggris versi Indonesia. Apakah mungkin terbentuk bahasa Inggris versi Indonesia tersebut? Jawabannya ada di tangan intelektual Indonesia.
Penulis sadar akan keterbatasan tulisan ini. Banyak sekali bahan yang belum digali, terutama yang paling penting adalah (1) sejarah perkembangan hegemoni British English dan American English di Indonesia, (2) detail penjelasan mengenai bentuk-bentuk dialek di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai second language, khususnya negara yang tidak pernah dijajah Inggris tetapi menemukan versi bahasa Inggris baru sebagai second language, dan (3) teori dan data tentang korelasi positif antara penguasaan bahasa Inggris dan produksi bacaan dan pengetahuan masyarakat. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan bahan untuk sebuah tema yang sangat besar dan luas ini. Penulis berharap dapat mengembangkan penelitian ini secara lebih ketat di lain kesempatan.
Dostları ilə paylaş: |