Embun Pagi Nglindur
Terpelajar mesti adil sejak dalam pikiran!
-Pramoedya Ananta Toer-
Pada suatu malam di awal Agustus 2007, di sebuah rumah kos yang kecil beberapa mahasiswa sepakat berkumpul. Mereka berbicara tentang apa saja sesuai dengan minat dan kadar pengetahuan yang mereka tahu sangat terbatas. Jika ada yang ganjil dari sana adalah latar belakang mereka yang sangat beragam; psikologi, hukum, sastra, geografi, pendidikan, sejarah, ekonomi, dan lain sebagainya. Namun, malam itu memang bukan malam yang bersejarah tetapi malam yang biasa. Sangat biasa.
Tetapi ada yang tercatat di sana; mereka bicara apa saja sebebas-bebasnya dari A sampai Z lalu kembali ke A lalu ke Z lagi dan seterusnya hingga adzan subuh tiba. Malam lewat begitu cepat. Sepertinya mereka berkumpul dengan semacam kerinduan yang membuncah; entah kepada pencarian ilmu pengetahuan yang begitu dalam atau mungkin karena kesepian yang sudah terlalu lama.
Begitulah malam itu hanyalah mula dari malam-malam yang lebih panjang. Mereka sepakat berkumpul seminggu sekali, setiap selasa malam tepatnya. Dari satu kos pindah ke kos yang lain. Mereka datang membawa cemilan sendiri, kopi, tak lupa rokok dan tentu saja makalah yang mereka copy sendiri. Hampir selalu hingga embun pagi terbit.
Tidak ada yang penting dari semua yang mereka bicarakan. Mereka bicara tentang apa saja, tak sistematis, ngawur, ngalor ngidul, tak karuan, apalagi ilmiah. Ah, ilmiah. Kata yang tak pernah mereka pedulikan. Bagi mereka, berbicara bebas dan jujur apa adanya adalah harga yang tak tertawar. Semua bebas bicara; anak sastra bicara hukum, anak ekonomi bicara agama, anak pendidikan bicara politik dan seterusnya. Demikianlah, semua berdaulat untuk berbicara dan berhak mengumumkan pemikirannya sendiri! Mungkin anarkis dan tak tahu diri tetapi apa boleh buat; mungkin baru sampai di situlah kemampuan mereka.
Sampai akhirnya muncullah ide; membuat blogspot. Di sana mereka bertuang ide, gagasan, pikiran, cinta, kerinduan, umpatan, cacimaki, kesepian, ketidakberdayaan, semangat, optimisme, nihilisme, harapan, canda, pemberontakan, guyonan dan kadang-kadang tangisan. Di sana juga mereka belajar mengeja apa saja; dari demokrasi hingga gethuk, dari pecel hingga kapitalisme, dari filsafat hingga agama, dari negara hingga amarah, dari Gramsci hingga Muhammad, dari teori kritis hingga anarkisme, dari apa saja hingga apa saja yang lainnya. Semua itu tertuang di sana. Semua itulah yang akan anda, sidang pembaca, baca dalam seluruh isi buku ini.
Sebagai hanya sebuah kumpulan tulisan, (semacam/menyerupai) buku ini hadir dengan segala keterbatasannya. Inilah semacam dokumentasi lintas disiplin yang ingin bicara tentang segala hal yang membuat penulisnya bertanya dan menggugat meski selalu dengan terbata-bata. Yah, buku ini hadir dengan sebuah dilema; dia ingin mempertanyakan dan menggugat apa saja tapi dia tahu dia sangat terbatas. Memandang buku ini sebagai sebuah bagian kecil proses belajar panjang perjalanan intelektual masing-masing penulisnya, bagi kami, adalah menyuluh harapan yang tak seberapa bahkan mungkin tak berguna tetapi kami yakin; tak ada yang sia-sia. Yah, mereka itulah kami, Komunitas Embun Pagi.
Inilah Embun Pagi Nglindur, sebuah igauan yang sederhana dari Komunitas Embun Pagi. Kami sadar mungkin memang baru pada tingkatan ”nglindur” inilah kami berada. Berbicara, berkhutbah apalagi bermanifesto belumlah tingkatan kami. Namun, kami sadar bahwa pagi pasti datang dan nglindur pasti tak pernah selama-lamanya.
Kepada kang Mul (Kristiyan Mulyono), terima kasih atas kesetiaan dan kopi-nya yang tak pernah habis menemani kami berdiskusi. Kepada kang Gunawan ”Putu” Budi Susanto, terimakasih atas semangat, teladan, dan untuk kata-kata Pram di atas. Terimakasih kepada teman-teman diskusi: Hanafi, Malik, bang Ali Fauzan, Juki (Rahmat Marzuki), pak Ali Formen, pak Ali Mashar, pak Hasyim Asyari, mas Ribut Achwandi dan Komunitas Daun, Eko Kodok, mbak Elin dan semua teman-teman yang tak dapat tersebutkan satu per satu.
Terimakasih juga kepada teman-teman: bang Guntur HMI, kang Azil PMII, Anggit ”Uban” KAMMI, Pompi HTI, Memet LMND, komunitas Joglo, Cero Group, Translingua dan semua teman-teman baik pribadi maupun komunitas yang sama-sama bergerak dengan jalan dan untuk tujuannya masing-masing. Tak terlupakan terima kasih terdalam kami haturkan kepada orang tua tercinta dan keluarga kami masing-masing di rumah.
Terimakasih tak terhingga kepada guru-guru kami; Prof Abu Suud dan ”Prof” Saratri Wilonoyudho. Pada beliau berdua kami belajar tidak hanya tentang hebatnya tutur kata-kata dalam tulisan melainkan tentang sesuatu yang jauh lebih abadi; keteladanan laku yang tak terbahasakan.
Selamat membaca. Semoga bermanfaat. Amin.
Semarang, 25 Desember 2008
Salam,
Komunitas Embun Pagi
www.komunitasembunpagi.co.cc
Kalimat Pengantar
“Melintas yang Sepintas, Meski Bias” oleh Komunitas Embun Pagi
Assalamu’alaikum Wr Wb.
Sungguh membahagiakan dalam usia lanjut ini saya masih mendapat kepercayaan untuk memberikan kata pengamtar pada sebuah kumpulan tulisan sekelompok anak-anak muda yang memiliki kepedulian, sangat responsif, kritis, bersemangat, dan kreatif. Kumpulan tulisan itu diberi judul ”Melintas yang Sepintas, Meski Bias”. Bidang kajian mereka sangat bervariasi, namun tetap mengikuti dimensi yang lazim. Perhatikan tema-tema berikut ini. 1. Melintas yang Sepintas : Filsafat dan Basis Epistemologi; 2. Melintas yang Sepintas : Pendidikan; 3. Melintas yang Sepintas : Intelektualitas; 4. Melintas yang Sepintas : Demokrasi; 5. Melintas yang Sepintas : Budaya; 6. Melintas yang Sepintas : Mahasiswa; 7. Melintas yang Sepintas : Refleksi Kedirian. Coba hitung berapa topik yang mereka berikan berikut ini. 1) Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial (Giyanto), 2) Logis Saja Sudah Cukup? (Ahmad Fahmi Mubarok). 3) Psikologi, Lagi dan Lagi (Ahmad Fahmi Mubarok). 4) Motivator & Humanity (Abdul Haris Fitrianto). 5) Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi (Ahmad Fahmi Mubarok). 6) Beberapa Tanggapan (Muhammad Taufiqurrohman). 7) ”Pertarungan” Kaum ”Liberal” ; Kontradiksi Pemikiran Bryan Caplan (Giyanto). 8) Setelah Postmodernisme (Edi Subkhan). 9) Matinya Para Filsuf (Edi Subkhan). 10) SPL dan Disorientasi Tujuan Pendidikan (Muhammad Taufiqurrohman). 11) Warung Pecel (Yogas Ardiansyah). 12) Pendidikan Politik Bagi Kaum Tertindas (Awaludin Marwan). 13) Ruang Publik Pendidikan (Edi Subkhan). 14) Menengok Diri Serta Pendidikan Kita (Giyanto). 15) Semarang Kota Pendidikan, Mungkinkah? (Edi Subkhan). 16) Nafas Neoliberalisme RUU BHP (Edi Subkhan). 17) Proyek Masyarakat Intelektual (Muhammad Taufiqurrohman). 18) Nilai Politik dan Mimbar Akademik (Giyanto). 19) Aktivis Asli Tapi Palsu (Muhtar Said). 20) Otonomi Daerah ; Sebuah Taruhan Menuju Good Governance Lokal (Awaludin Marwan). 21) Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia (Awaludin Marwan). 22) Potret Demokrasi Lokal (Awaludin Marwan). 23) Mas Goen, Jawablah Pertanyaan-pertanyaanku Jika Kau Mencintaiku (Surat Buat Goenawan Mohamad) (Muhammad Taufiqurrohman). 24) Sudahlah... Mari Bersahabat (Yogas Ardiansyah). 25) Memoir ; Apa Budaya Kita? (Ahmad Fahmi Mubarok). 26) Solo vs Sragen (Ahmad Fahmi Mubarok). 27) Hegemoni British English dan American English Di Indonesia (Muhamad Taufiqurrohman). 28) Meneguhkan Gerakan Intelektual Mahasiswa (Edi Subkhan). 29) Post Power Syndrome Di Lembaga Kemahasiswaan (Abdul Haris Fitrianto). 30) Antara Iklan dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa (Ahmad Fahmi Mubarok). 31) Dilema Eksistensi Manusia (Abdul Haris Fitrianto). 32) Memoir (Muhammad Taufiqurrohman). 33) Prinsip (Giyanto). 34) Sekedar Meminta Izin (Ahmad Fahmi Mubarok). 35) Sebuah Pesan (Yogas Ardiansyah). 36) Selamat Tinggal Sayangku (Giyanto). 37) Cerita Tentang Itu (Ahmad Fahmi Mubarok). Anak-anak muda itu jujur sekali ketika mengakui bahwa kumpulan tulisan itu mereka beri judul Melintas yang Sepintas, Meski Bias. Mereka menulis tentang hal-hal yang mereka anggap tidak benar, meski dianggap sudah mapan. Lantas sebagai pendatang baru (new comers) mereka memberi evaluasi, ”hujatan dan umpatan” terhadap kemapanan. Tidak mendalam, melainkan sepintas saja. Mereka akui tidak tuntas, tak ada bias. Mari kita ikuti keterusterangan pengantar salah seorang dari mereka ini.
”Mereka (kami) bicara tentang apa saja, tak sistematis, ngawur, ngalor ngidul, tak karuan, apalagi ilmiah. Ah, ilmiah. Kata yang tak pernah mereka (kami) pedulikan. Bagi mereka (kami), berbicara bebas dan jujur adalah harga yang tak tertawar. Semua bebas bicara; anak sastra bicara hukum, anak ekonomi bicara agama, anak pendidikan bicara politik dan seterusnya. Demikianlah, semua berdaulat untuk berbicara dan berhak mengumumkan pemikirannya sendiri! Mungkin anarkis dan tak tahu diri tetapi apa boleh buat, mungkin baru sampai disitulah kemampuan dari mereka.sampai akhirnya muncullah ide ; membuat blog. Di sana mereka (kami) bertuang ide, gagasan, pikiran, cinta, kerinduan, umpatan, cacimaki, kesepian, ketidakberdayaan, semangat, optimisme, nihilisme, harapan, canda, pemberontakan, guyonan, dan kadang-kadang tangisan. Di sana juga mereka (kami) belajar mengeja apa saja; dari demokrasi hingga gethuk, dari pecel hingga kapitalisme, dari filsafat hingga agama, dari negara hingga amarah, dari Gramsci hingga Muhammad, dari teori kritis hingga anarkis, dari apa saja hingga apa saja yang lainnya.
Semua itu tertuang di sana, semua itulah yang akan anda, sidang pembaca, baca dalam seluruh isi buku ini”.
Lalu saya teringat pada apa yang pernah saya lakukan ketika seusia mereka. Tidak jauh berbeda. Namun karena di masa itu kami tak punya media, nampaknya menjadi terlambat ketika seharsnya saya menduduki kemapanan. Sebuah pemberontakan yang terlambat. Bukan emosional, melainkan naluriah.
Buku semacam itulah yang saya antarkan kepada sidang pembaca, kalau masih ada orang yang mau membuang waktu untuk mendengarkan celoteh anak-anak muda. Mereka jujur. Dan itu adalah salah satu watak intelektual yang masih murni. Belum terkena imbas ”pelacuran intelektual”, karena belum tersentuh kepentingan diri.
Kali ini saya, yang telah akrab dengan media massa, memfungsikan diri bagai ”tut wuri handayani”. Barangkali belum ada media massa yang memuat kumpulan tulisan itu sekarang. Meskipun demikian mereka sebenarnya tengah berkomunikasi dengan massa, lewat blog.
Saya jadi teringat ketika saya diminta oleh DR Retmono yang rektor IKIP Semarang, pada tahun 1900-an, untuk mendampingi mahasiswa aktivis koran kampus NUANSA, untuk periode yang cukup lama terbitan itu menghiasi koran WAWASAN satu bulan sekali yang beredar seantero Jawa Tengah.
Pendampingan itu mengalami musibah, saya ditarik dari status itu mulai periode rektor berikutnya gara-gara aktivis koran kampus itu melakukan ”kesalahan”. Dalam salah satu edisi lokal, yang tidak diterbitkan oleh harian WAWASAN, mereka memuat polling koran kampus NUANSA, yang memenangkan saya dalam pemilihan rektor. Saya dianggap telah menggelar polling, padahal saya tidak pernah melakukannya. Ambisi jadi rektorpun tidak ada pada diri saya.
Sekarang sekelompok mahasiswa dan eks mahasiswa Unnes aktivis kampus, yang waktu itu masih duduk di SMP, meminta saya mendampingi mereka dalam aktivitas aktualisasi diri mereka sebagai intelektual muda. Saya merasa anak-anak muda yang menulis dalam blog ini harus merasa beruntung, karena sejak awal mereka memiliki teman sejawat yang seimbang, yang kondusif, sementara saya nyaris tidak memiliki teman sejawat untuk berceloteh seperti mereka, tentang politik, budaya, sastra, agama, pendidikan, filsafat, atau apa saja untuk sekedar ngumbar unek-unek. Selama ini sebagian besar teman sejawat saya lebih bergairah berbincang dalam kerangka ”kedinasan” maupun kegiatan yang bersifat ”normatif”.
Bagi para pengamat pertumbuhan intelektual muda inilah bahan kajian yang sangat bermanfaat. Kita bisa mengikuti pengembaraan intelektualitas mereka. Kita tidak harus menyetujui pikiran-pikiran mereka, seperti merekapun telah tampil dengan ”pemberontakan” mereka terhadap situasi dan kondisi di sekitar mereka serta kemapanan. Namum kegiatan intelektal mereka perlu kita sambut secara positif. Selain itu betapa asyiknya membaca celoteh mereka yang disampaikan dengan bahasa yang terasa aneh kalau tidak memahami perkembangan kejiwaan mereka.
Nama Komunitas Embun Pagi memiliki daya cekam kuat bagi upaya menyejukkan suasana di pagi hari. Juga artistik. Namun demikian janganlah sama sekali menunjukkan watak embun pagi yang segera sirna ketika sinar surya mulai terik. Jangan cepat menguap. Tetaplah bersemangat senantiasa peduli, kritis, kreatif, dan jujur dalam pergeseran suasana dan perkembangan usia dan ketika mencapai kemapanan.
Wassalam. Selamat membaca.
Semarang, 31 Desember 2008
Abu Su’ud
Bukan ”Turis-turis” Kampus
(Menggedor Langit Kebisuan Kampus)
Saratri Wilonoyudho
Di sela-sela mahasiswa lain cenderung menjadi “turis-turis” di kampus, kehadiran Komunitas Embun Pagi benar-benar bagaikan setitik embun di tengah gersangnya gurun pasir pemikiran intelektual. Di sela-sela para mahasiswa lain datang ke kampus hanya untuk mencari ijazah atau laksana “turis” yang mejeng dengan pakaian modis, motor modis, dandanan modis, HP terbaru, dan nggaya pakai laptop hanya untuk main game atau cari situs porno, Komunitas Embun Pagi mencoba menggedor bisunya intelektual kampus.
Kini para mahasiswa telah dibombardir oleh kekuatan kapitalisme dunia lewat budaya massa dan budaya pop lainnya, dengan TV dan media massa sebagai agennya. Yang lahir kemudian adalah kaum “insomnia” kota—yang notabene juga menyangkut kehidupan kaum mahasiswa. Mereka rela begadang semalam suntuk untuk memelototi TV, hiburan, tombol HP, internet, dst dan nyaris tidak pernah menggunakan daya kritisnya untuk memahami keadaan di sekelilingnya. Ciri budaya massa menyangkut obyektivikasi massa, dan kaum mahasiswa juga menjadi obyek dan bukan subyek denyut nadi kapitalisme dunia. Mereka kini masuk dalam tataran kaum yang kehilangan jatidiri dan terasing bahkan dari dirinya sendiri. Kota-kota besar di negeri ini masuk dalam peta jaringan kapitalisme dunia.
Nampak bahwa modernisasi (tepatnya kapitalisasi dunia) jika dilihat dari keseluruhan sistem sosial yang terus berubah, ternyata memiliki akar terdalam dalam kesia-siaan manusia moderen untuk membangun sangkar yang aman, sehingga terus menerus manusia mengalami krisis (entzauberung). Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna oleh otonomisasi (sekularisasi); Kedua, masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri ke pusat semesta; Ketiga, kebersamaan nilai goyah karean “liberation” atau protes individual; Keempat, birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi; dan Kelima, di atas segalanya “pribadi” menemukan diri secara amat kuat, sehingga Peter L. Berger menyebutnya “lonely crowd” (Subangun,1983).
Kapitalisme yang menciptakan budaya instant, budaya pop, budaya massa inilah yang kini juga berimbas ke kehidupan kaum mahasiswa. Banyak kaum mahasiswa yang datang ke kampus bukan dalam rangka mencari ilmu, namun hanya sekadar ikut arus “budaya”, atau sekadar menjaga “kepatutan” bahwa umumnya usia belasan tahun harus kuliah. Singkatnya datang ke kampus juga seperti dituntun oleh “alam bawah sadar”, atau seperti halnya orang menarik nafas kehidupan, rutin dan tanpa ekspresi.
Indikatornya sederhana saja. Banyak diantara mereka yang datang ke kampus naik RX King, Supra Fit, GL Pro, bahkan Honda Jazz. Sepatunya Kickers, celana jins, HP terbaru, mampu beli rokok, nongkrong di café, dst, namun satu buku diktat pun tidak punya! Datang ke kelas kuliah hanya “paitan” (bermodalkan—Bahasa Jawa) satu notes kecil, nanti kalau mungkin ikut rame-rame foto copy catatan teman yang rajin. Iseng-iseng saya pernah ngetes mahasiswa eksata yang terlihat keren dan gagah/cantik, berapa hasil tambah antara ½ dan ¼. Jawabnya mengejutkan, 1/6! Itu ditulis di papan tulis dengan mantap dan tanpa ekspresi wajah yang “berdosa”.
Nampak bahwa mereka ada yang datang ke kampus tanpa beban. Padahal asal kata “murid” (mahasiswa juga murid) adalah dari kata “muradan” artinya “berkehendak”. Yang terjadi mereka tidak banyak berkehendak mencari ilmu, namun datang ke kampus hanya sebagai “turis” sebagaimana saya singgung di awal tulisan di atas. Mereka penuh gaya budaya pop dan tidak peduli sama sekali dengan tugas utamanya sebagai seorang mahasiswa.
Berpikir Kritis dan Kreatif
Pada sisi lain, dalam gagasannya tentang “Five Minds for the Future” Gardner (2006) mengatakan bahwa untuk menghadapi tantangan global yang kuat harus dipenuhi oleh lima kemampuan pribadi, yakni : 1). Disciplined Mind, yakni pribadi yang memiliki satu atau lebih disiplin ilmu memiliki kemungkinan lebih besar untuk berhasil di dunia kerja; 2). Synthesizing Mind, banjirnya informasi di dunia global hanya akan bisa ditaklukkan jika seseorang mampu meramu berbagai informasi untuk dapat mengambil keputusan yang matang baik dalam kehidupan pribadi maupun professional;
3). Creative Mind jika seseorang tidak memiliki daya cipta yang kuat, maka ia akan mudah “dikalahkan” oleh mesin dan komputer ; 4). Respectful Mind, individu yang tidak memiliki rasa hormat terhadap individu yang lain, maka ia akan tersisih dari kelompoknya; dan 5). Ethical Mind, individu yang memiliki etika akan menjadi individu yang bertanggungjawab.
Berpikir kreatif dan kritis merupakan aktivitas berfikir untuk menemukan jawaban-jawaban atas berbagai permasalahan yang ada, melahirkan ide atau gagasan baru atau cara-cara baru. Menurut Treffinger (1980) ada tiga tingkatan untuk mewujudkan proses pembelajaran yang bercirikan berpikir kreatif dan kritis, yakni : 1). Pelatihan yang berkaitan dengan bagaimana membangkitkan peserta didik untuk mengembangkan rasa ingin tahu, kepekaan terhadap tantangan baru, kepekaan terhadap persoalan baru, kepercayaan terhadap diri sendiri, kesediaan untuk dialog, serta keberanian untuk mengambil resiko. Sikap-sikap ini merupakan landasan utama yang harus dimiliki peserta didik; 2). Pengembangan kegiatan kognitif tingkat tinggi, seperti kepiawaian dalam menganalisis masalah dari berbagai pengalaman dan persoalan yang dihadapi, dan dalam ranah afektifnya, peserta didik memiliki rasa kesediaan untuk berdialog, berempati, terbuka, dan mampu mengembangkan imajinasinya; dan 3). Keberanian melibatkan diri terhadap tantangan-tantangan yang nyata yang sebelumnya didahului oleh kepiawaian mengidentifikasi masalah-masalah yang pelik, dan selanjutnya mampu mengelola hal-hal tersebut untuk mengarah kepada produk atau hasil. Semuanya akan berarti jika ada internalisasi nilai-nilai yang mereka dapatkan dari berbagai sumber belajar.
Tantangan inilah yang harus diselesaikan oleh peguruan tinggi kita, bagaimana menyiapkan kurikulum, sarana, sumberdaya manusia, manajemen, standar mutu, dan seterusnya yang berorintasi kepada “virtu”, “keutamaan”, “performance”, atau “excellence”, sebagaimana telah dipelopori Negara-negara Eropa pada masa jaman Renaissance atau Restorasi Meiji di Jepang. Semangat untuk mengejar keutamaan dan keunggulan berilsafat dan berilmu pengetahuan tumbuh subur. Karenanya tidak lucu jika model-model OKKA atau OSPEK atau apapun namanya masih menonjolkan kekerasan atau kekonyolan yang tidak ilmiah.
Padahal katanya kaum intelektual, termasuk para mahasiswa, adalah “agent of change” atau “kapten-nya” peradaban. Namun fakta juga menunjukkan bahwa tidak ada rumus baku yang menunjukkan satu garis linier yang menghubungkan pernyataan : bahwa makin pandai atau intelek seseorang, akan meningkat pula daya kreativitasnya, apalagi moralnya.
Banyak kasus ketika seseorang masih bodoh barangkali justru masih lugu dan paham bahwa mencuri itu dosa. Namun ketika makin meningkat pengetahuannya, bahkan ketika ia lulus sarjana dan bekerja di satu kantor instansi, “keluguan” itu akan hilang. Untuk sekadar tahu 2 x 2 misalnya, harus menunggu “juklak” atasan atau harus “merubah” kuitansi untuk kemudian korupsi.
Karenanya tingkat moralitas itu harus dibina sejak awal dalam diri calon intelektual seperti kaum mahasiswa. Pengalaman menunjukkan bahwa kreativitas menulis, dapat dijadikan sarana sebagai pencegah “ketidaklurusan” hati nurani tersebut. Seseorang yang kritis menangkap persoalan-persoalan sosial yang membentang di depan matanya, akan merasa malu jika ia sendiri justru menjalani perbuatan yang bertentangan dengan moral dan undang-undang.
Menganalogikan dengan pendapat Stefan Chaffe dalam “The Public Image of the Press”, dikatakan bahwa tugas intelektual bukanlah semata-mata menciptakan perubahan, melainkan ia harus juga mampu mendidik masyarakat manakala perubahan itu terjadi.
Yang menarik masih ada komunitas mahasiswa yang di era reformasi ini tidak goyah “imannya”. Di sela-sela ratusan mahasiswa lain menafsirkan reformasi sebagai kebebasan (sehingga cenderung menjadi “media fitnah” dan “detonator konflik”), ada beberapa mahasiswa yang jeli memanfaatkan kebebasan sebagai energi dan bukan untuk diekploitasi. Ia bisa menaklukkan godaan pasar yang disebut sebagai “budak industri” menjadi “mahasiswa pendobrak”. Para mahasiswa ini tidak saja membuat perubahan, namun mampu mendidik masyarakat manakala perubahan itu terjadi di depan matanya!
Dengan bahasa yang sederhana kaum mahasiswa ini harus mampu memainkan ke titik tengah dari bandul ekstrem “mahasiswa pejuang” dan “calon budak industri atau calon budak birokrasi”. Tidak boleh munafik, tujuan kuliah untuk mencari kerja juga tidak membawa dosa, karena tanpa penghasilan, intelektual tak akan berdiri tegak. Yang penting bagaimana justru setelah berdiri tegak mampu berjuang bagi kemaslahatan masyarakat.
Di era tahun 60-an dan 70-an, gerakan intelektual mahasiswa tumbuh karena rasa nasionalisme, dan wajar jika mereka banyak yang masih idealis sehingga disebut “pejuang”. Metamorfosa terjadi manakala Orde Baru berhasil membangun ekonomi sehingga industrialisasi meningkat dan di satu sisi kontrol terhadap mahasiswa juga makin ketat (justru untuk alasan stabilisasi politik dan ekonomi). Sayangnya setelah kebebasan direguk dalam reformasi ini justru banyak mahasiswa yang mundur, baik integritas intelektual dan moral. Kenikmatan keterjebakan kepada hedonisme dan penumpukkan modal mengubur harkat martabatnya, sehingga ijazah sebagai satu-satunya tujuan, untuk kerja di pabrik, kaya raya dan happy. Kesemuanya berlawanan dengan harkat martabat manusia. Dalam diskursus postmo, kejenuhan modernisme menjauhkan manusia dari dimensi spiritualitas-etik, dan fase postmo hendak mengembalikannya. Dalam wacana postmo, isu spiritualitas-etik, heterogenitas, pluralitas, relativitas, dekonstruksi, dst menjadi isu utama. Disini implisit tidak ada dominasi kebenaran.
Dengan demikian paham ini hendak mendekonstruksi modernisme. Tidak ada kebenaran mutlak yang dapat dirujuk dalam satu teks dengan satu model situasi. Karena apapun, kebenaran suatu teks tidak dapat ditentukan oleh masyarakat, namun oleh situasinya. Ia baru dianggap benar jika situasi pembacaan itu memungkinkan melahirkan kebenaran yang meruang dan mewaktu, yang situasional dan kondisional. Dengan kata lain yang ada hanyalah penafsiran memenuhi ekuivalensi dari keperiadaan setiap realitas yang tidak selalu sama model situasinya satu sama lain. Ada fragmentasi realitas akibat heteroginitas. Akibatnya yang ada hanyalah kebenaran relatif.
Mahasiswa yang ideal tentu saja tidak akan menganggap masyarakat yang hendak dibangunnya sebagai pihak yang kosong pikirannya atau tidak tahu apa-apa. Karenanya, selain “bercerita” berdasarkan fakta, perjuangan mahasiswa yang ideal tidak akan menggurui apalagi menipu masyarakatnya. Gerakan mahasiswa akan menjadi ancaman jika mereka mengembangkan “industrialisasi pikiran”, atau mereka menafsirkan fakta sesuai dengan “pesanan” (siapapun) dan tanpa dibarengi pemahaman dimensi spiritualitas-etik.
Dekonstruksi teologis dalam wacana postmo di atas pada prinsipnya hendak mendekatkan keseimbangan yang telah lama hilang karena manusia moderen telah mengalami reduksionisasi. Diskursus postmo mengajak ke hakikat kehidupan, dan ini dapat dilakukan jika manusia melakukan transendensi terus menerus. Juga dalam dunia gerakan mahasiswa, reduksionisasi fakta atau pemikiran dalam bingkai kapitalistik telah meremukredamkan nilai-nilai kemanusiaan. Sketsa singkat di atas mestinya makin menyadarkan insan mahasiswa untuk terus meningkatkan peran yang sudah dijalankannya selama ini, yakni turut mendidik anak-anak bangsa yang tengah muram tersebut, lewat berbagai program aksi atau setidaknya pemikiran yang mendidik masyarakat Indonesia.
Dostları ilə paylaş: |