Untuk Kalangan Sendiri


Hindarkan perkara-perkara keji demi kesejahteraan kita sendiri. Pengalaman yang cukup menginsafkan itu jauh berbeza dengan apa yang saya lalui semasa menguruskan satu lagi jenazah kira-kira sebulan ke



Yüklə 311,95 Kb.
səhifə3/5
tarix18.04.2018
ölçüsü311,95 Kb.
#48883
1   2   3   4   5

Hindarkan perkara-perkara keji demi kesejahteraan kita sendiri. Pengalaman yang cukup menginsafkan itu jauh berbeza dengan apa yang saya lalui semasa menguruskan satu lagi jenazah kira-kira sebulan kemudian.

Orangnya saya kenal, berbadan gemuk dan berusia sekitar 50-an.Punca kematiannya ialah darah tinggi. Sewaktu menatap jenazahnya untuk kali petama, saya mendapati mukanya tenang dan jernih. Walaupun bertubuh besar, tetapi Maha Suci Allah, badannya lembut dan ringan. Saya dan adik saya Rafeah tidak mengalami sebarang masalah untuk mengalih-alihkan badannya. Najisnya tak ada langsung. Puas kami menekan dan mengorek, tetapi tiada sebarang kesan najis.


"Bersih betul mayat ini", saya berbisik kepada Rafeah. Tiada langsung kesan kotoran pada tubuhnya, seolah-olah dirinya telah di bersihkan sebelum menghembus nafas terakhir. Seronok betul kami menguruskannya. Mayat itu selesai di mandikan dalam tempoh tidak sampai sejam.
Sewaktu hendak mengapan jenazah, kami berdua pada mulanya di selubungi kebimbangan takut-takut peristiwa kain kapan tidak muat berulang lagi. Maklumlah, sedangkan jenazah kecil pun tak muat inikan pula jenezah yang besar. Tetapi syukur alhamdulillah, kain kapan yang kami bawa sebanyak 24 ela itu cukup untuk menutupi eluruh bahagian. Selesai kerja-kerja mengapan jenazah disembayangkan. Kerana terlalu ramai yang hadir, jenazah disembahyangkan dua kali. Kali pertama di rumah dan kali kedua di masjid. Jenazah akhirnya dibawa ke tanah perkuburan dan selamat dikebumikan. Perjalanan lancar tanpa sebarang halangan. Saya sendiri berasa seronok menguruskannya. Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa dan Maha Mengetahui. Arwah memang dikenali di kalangan penduduk-penduduk kampungnya sebagai seorang yang kuat beribadat. Sifatnya yang suka bersedekah dan menolong orang ternyata mendapat balasan yang setimpal.
Keadaannya jauh berbeza dengan jenazah kurus yang tidak muat kain kapannya. Bukan menghina atau mencaci tetapi itulah hakikatnya. Perbezaan itu jelas menunjukkan betapa pentingnya kita hidup berlandaskan agama. Buatlah apa yang disuruh dan tegah apa yang di larang, Insya-Allah selamat didunia dan akhirat.
Gimana serem khan
Wassalamualaikum

3. BERKAH BUSANA MUSLIMAH

TRI UTAMI,

Penyanyi bertubuh mungil Tri Utami mengaku sempat su’udzon kepada Allah. Akibat negative thinking itu dia melakukan taubat, dan istigfar berulang-ulang. Ihwal prasangka buruk itu terjadi ketika Iie –panggilan akrab Tri Utami – akan ‘hijrah’ dari busana ‘biasa’ menuju busana Muslimah yang serba tertutup.


Saya sempat su’udzon kepada Allah, kalau nanti berjilbab bagaimana dengan karir menyanyi? Pasti risi, banyak hambatan. Ternyata, di luar dugaan. Setelah saya menutup aurat, semua pikiran jahat yang ada di benak saya tidak pernah terbukti,” ungkap Iie.
Bahkan, lanjutnya ketika ditemui Republika dalam acara “Konser Amal Panggilan Nurani untuk Duka Halmahera dan Ambon”8 beberapa waktu lalu, dengan menutup aurat rezekinya bertambah dua kali lipat. Melihat kenyataan itu barulah adik kandung dari penata musik Purwatjaraka ini sadar. Ternyata pikiran manusia itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kehendak-Nya. “Makanya, kita jangan sok tahu, melawan kekuasaan Allah,” ujar Iie dengan mata berbinar.
Memang, nyaris setahun ini, Tri Utami yang juga vokalis dari Krakatau Band tampil beda. Sebelumnya, penyanyi bersuara tinggi ini selalu tampil lincah, berjins ketat, lengkap dengan jaket kulitnya. Tapi kini, penyanyi yang berangkat ke Tanah Suci tahun 1998 ini telah menutup auratnya. Kendati menutup rapat auratnya, namun menurutnya hal itu sama sekali tidak mengganggu aktivitasnya, berikut ketika sedang beraksi di atas panggung. “Segalanya it’s oke.”
Penyanyi asal Bandung ini mengaku hijrah ke busana Muslimah berkat hidayah Allah. Selain itu, tambahnya, juga atas dorongan dan semangat dari sang suami, Andi Analta Baso Amir. Ketika tampil dalam acara Konser Amal, itu Iie hadir bersama suaminya. “Kalau mau tahu suami saya, itu yang pakai sorban,” ujar Iie dengan nada bangga seraya menunjuk suaminya.
Dikalangan artis, penampilan suaminya ini sangat berbeda dengan yang lain. Ia selalu mengenakan busana gamis (baju panjang), lengkap dengan sorban di kepalanya. Dengan penampilannya ini, Iie mengaku tidak risi. Malah pasangan duet Utha Likumahua ini mengaku sangat bangga dan hormat kepada suaminya. “Alhamdulillah, saya menjadi begini berkat suami. Suami saya ini selalu memberikan bimbingan agama kepada saya. “ tuturnya berterus terang.
Mengenai masalah agama, artis yang telah menelurkan lima album ini mengaku selalu meminta bantuan sang suami. Tapi bukan berarti dia pilih-pilih dalam mengikuti kegiatan keagamaan. “Saya tidak ikut pengajian khusus. Dimanapun ada pengajian, saya suka datang.” ujarnya.
Saat ini artis yang belum juga dikarunia momongan itu, kini sedang mempersiapkan diri berangkat ke Prancis. Di Negeri Menara Eifel itu, ia bersama Krakatau Band akan mengikuti konser band-band dari seluruh dunia. * (vie).----

( Suplemen Harian Umum Republika “Dialog Jumat”, Jumat 21 Januari 2000, Halaman 1 )



4. KETIKA HIDUP SUDAH LENGKAP

IDA LEMAN,

Ida Leman tak menyangka bakal lebih dikenal sebagai perancang busana muslimah. Padahal, dulu dia sudah malang melintang di dunia film dan model yang glamor. Bahkan pernah buka-bukaan segala. Tapi, perjalanan kehidupan telah mengantarkannya untuk kembali ke fitrah. "Apa bekal saya ke akhirat?" katanya seperti dia tuturkan kepada wartawan Panji Almaidha Sitompul.


"Sudah jelek, jelek pula kelakuannya." Begitu ayah sering mengumpat saya. Dulu, saya orangnya pendek, hitam, pokoknya paling jelek di keluarga. Dan paling bandel. Saya memang tipe pemberontak, melawan adat istiadat yang sudah berurat berakar. Bagaimana anak seorang ustadz, dari keluarga yang teguh beragama, sejak remajanya terobsesi menjadi bintang film. Ayah pun, ketika akhirnya saya betul-betul menjadi bintang film, terpaksa saja mengizinkan. Cuma dia memberi persyaratan yang ketat: tidak boleh buka-bukaan.
Apa saya menurut? Tidak. Bahkan, di samping jadi bintang film, saya juga jadi fotomodel. Pernah ayah marah besar ketika mengetahui pose saya yang menantang di kalender. Maka, vonis pun dijatuhkan: saya sama sekali tidak boleh main film. Padahal saya sangat menikmati betul kerja di dunia seni. Emosi saya pun langsung tak terkendali. Ultimatum ayah ini membuat hidup saya bagai terhenti. Dan, sebagai ungkapan rasa kesal, pintu kamar saya banting dan segala peralatan yang ada di kamar saya lemparkan.
Ayah juga sangat keras mendidik. Anak-anak gadisnya dilarang keluar rumah. Untuk pergi ke tetangga saja harus mencuri-curi. Apalagi untuk pacaran. Toh saya menjalin hubungan dengan Masdiarman, anak bako (om). Karena saya tak boleh keluar rumah, maka dialah yang sering bertandang ke rumah saya.
Mengetahui saya ada ‘apa-apa’ dengannya, ayah langsung menyatakan tidak setuju. Usut punya usut, ternyata itu karena perbedaan strata. Ayah masih keturunan tengku, keluarga bangsawan, sedangkan keluarga Masdiarman tidak. Tapi saya tak peduli. Terus saja saya berpacaran. Akhirnya, ketika saya duduk di bangku SKKA (Sekolah Kesejahteraan Keluarga) Medan, saya dijodohkan dengannya. Hal ini sudah menjadi kebiasaan di kampung saya.
Oh ya, selepas SMP, saya masuk SKKA St. Anna di Medan. Waktu itu keluarga kami tinggal di kota ini. Memang sekolah Kristen. Bukan apa-apa, saya terpaksa bersekolah di situ karena saya terlambat mendaftar. Sebelumnya saya berniat masuk sekolah perawat di Bukittinggi. Tapi karena terlalu lama mendaftar walhasil saya tidak diterima.
Ketidaksukaan ayah kepada saya ia tunjukkan dengan memindahkan saya ke Batusangkar. Enam bulan saya di sana. Di Padang badan saya kurus kering. Saya tak tahan jauh-jauh dari pacar. Berat badan yang semula 50 kilogram susut menjadi 47 kilogram.
Setelah itu saya ikut adik ke Jakarta. Kebetulan adik yang baru menikah ini pindah rumah ke Jakarta. Karena saya pintar mendesain rumah, saya diminta ikut serta. Makin jauhlah jarak saya dengan Masdiarman. Hubungan kami dilanjutkan dengan surat-suratan. Semuanya lancar-lancar saja. Ia rajin membalas surat-surat saya. Surat kami rada lucu. Tidak pakai pos. Tapi dititipkan pada sopir truk yang membawa rokok Medan - Jakarta.
Tiba-tiba saja saya menerima berita bak petir di siang bolong. Tiada angin tiada hujan, Masdiarman memutuskan hubungan. Selidik punya selidik, ternyata ia tersinggung oleh ucapan ayah. Ini gara-gara nasihat ayah agar ia tidak bekerja terlalu keras karena menderita sakit kuning. "Kamu sakit kuning, Ida sakit kuning, akan jadi apa anak kalian nanti," kata ayah. Mendengar itu Masdiarman ngambek. Dia kirim surat untuk memutuskan hubungan. Sebenarnya dia cuma mau mengancam. Tapi, giliran ayah yang tersinggung. Ayah meminta saya memutuskan hubungan. Saya tidak mau. Saya nangis sejadi-jadinya di dalam kamar.
Keluarga saya lalu pindah ke Jakarta setelah bisnis rokok ayah gulung tikar. Saat itulah saya mendapat kabar, Masdiarman dipaksa kawin dengan famili kami yang lain yang lebih kaya. Saya sadar, ternyata keluarga Masdiarman materialistis. Begitu tahu ayah bangkrut, mereka bukannya menolong, malah menjauh. Saya jadi benci dengannya.
Jadi bintang film. Tidak lama setelah kami di Jakarta, saya mencoba berbagai kursus, antara lain kursus kecantikan. Saya memang suka merias wajah. Saya bahkan sempat menjadi penjual sabun, tapi hanya lima hari. Ayah melarang karena saya harus menjajakannya dari rumah ke rumah.
Suatu hari pada 1974 saya membaca tawaran beasiswa belajar akting selama enam bulan. Iklan itu dibikin Inter Studio, yang dikenal sebagai pencetak bintang-bintang top. Waktu masih sekolah dasar, saya memang pernah ikut sandiwara sekolah. Ayah pun bekas pemain tonil. Sedikit banyak darah seni mengalir dalam diri saya. Tahu orangtua tidak setuju, saya mendaftar diam-diam. Mana ada dalam kamus orang Minang yang taat beragama mengizinkan anak gadisnya jadi bintang film.
Syukurlah saya termasuk di antara 16 orang yang lulus. Begitu lulus, barulah ayah tahu. Kaget dia. Tapi melihat kesungguhan saya, hingga sampai lulus seleksi yang begitu ketat, ayah mengizinkan dengan persyaratan yang cukup ketat pula. Tidak boleh buka-bukaan, tidak boleh adegan aneh-aneh. Saya pun mulai tampil di layar lebar walau sebatas peran-peran kecil.
Tawaran main film terus berdatangan. Saya nikmati betul dunia akting. Akting saya dipuji. Apalagi kemudian saya menikah dengan Irwinsyah yang sutradara. Saya menikah pada 1982, umur saya 27 tahun waktu itu.
Hingga sebelum saya berhaji dan pakai jilbab, sudah sekitar 50 film yang telah saya bintangi. Selain di layar lebar, saya juga merambah ke sinetron yang waktu itu sedang booming. Hari-hari saya disibukkan dengan akting. Sampai anak kami berjumlah tiga orang dan Mario akhirnya mengikuti jejak orangtuanya jadi bintang film, kesibukan saya masih seputar syuting dan syuting. Sering kami memboyong anak-anak ke lokasi syuting biar mereka tahu pekerjaan orangtuanya.
Haji dan jilbab.

Pada 1988 saya menunaikan ibadah haji. Mungkin mukjizat, sesampainya di Tanah Air, kok saya enggan melepas busana muslimah. Predikat hajah di depan nama saya seakan-akan memberi warning, peringatan. "Kamu bukan Ida sebulan lalu yang bebas menunjukkan aurat." Dorongan-dorongan itulah yang makin memantapkan saya terus mengenakan busana muslim walau pada awalnya terasa gerah.


Saya juga heran kenapa saya bertekad mempertahankan busana yang diwajibkan Islam ini. Padahal banyak rekan-rekan artis yang telah menunaikan ibadah haji. Namun selepas itu dengan gampang mereka kembali ke "dunianya", tetap dengan busana sebelum berhaji. Malah banyak yang tetap suka buka-bukaan. Seakan-akan berhaji itu hanya sekadar membayar utang. Kalau sudah selesai, ya sudah.
Sebenarnya memakai jilbab bukan hal aneh bagi saya. Waktu kecil saya sekolah madrasah. Ayah punya sekolah, namanya Al-Ulum di Jalan Ismailiah Medan. Walaupun saya memberontak, sebenarnya hingga dewasa nasihat ayah, yang selalu dia berikan kepada kami dulu menjelang tidur, masih terbawa-bawa.
Saya juga berpikir, semua sudah saya dapat. Jadi bintang film sudah, terkenal sudah--persis seperti yang saya cita-citakan sejak kecil. Sudah punya suami dan anak. Lengkap sudah hidup saya. Maka, bukankah sebaiknya saya memakai jilbab sesuai dengan ajaran agama? Toh kita tidak hidup selamanya. Masih ada alam lain setelah mati. Apakah saya sudah punya modal untuk itu?
Apalagi dunia saya, dunia selebritis, akrab dengan keglamoran, yang notabene dekat dengan setan. Apakah saya akan terus terbawa arus glamor, pesta, dan hura-hura? Apa hanya itu tujuan hidup saya? Hati berontak. Tidak, bukan itu yang saya mau. Orangtua saya juga tidak pernah mengajarkan saya untuk menjauhi Sang Khalik, Sang Pencipta.
Bukan saya tak menyadari konsekuensi yang harus dihadapi. Meski memakai jilbab, tawaran sinetron tetap mengalir. Cuma, ya itu, sutradara menghendaki saya menanggalkan jilbab. Permintaan sutradara tak serta merta saya tolak. Selain mencoba menawar, saya yakinkan sutradara agar saya tetap dibolehkan memakai penutup kepala tanpa mengurangi arti sosok yang saya perankan.
Saya juga minta petunjuk Allah melalui salat istikharah. Saya minta Allah memilihkan jalan terbaik yang harus saya pilih. Kalau memang tawaran sinetron itu menimbulkan murka-Mu, jauhkan. Tapi kalau bermanfaat untuk umat, dekatkanlah. Ternyata Dia memang tidak meridhai saya untuk menerima tawaran sinetron. Setiap tawar-menawar selalu saja berlangsung sulit.
Umpamanya ketika saya ditawari memerankan Mbak Pur dalam suatu iklan. Mbak Pur, itu lo perempuan Jawa yang saya perankan dalam sinetron Losmen. Pengiklan meminta saya mengenakan busana Jawa lengkap dengan sanggul, persis dalam Losmen. Tentu saya menolak. Lalu saya tawarkan bagaimana kalau saya hanya menggunakan tutup kepala berwarna hitam. Mereka tetap tidak setuju. Apa boleh buat, demi prinsip, puluhan juta rupiah saya lepas. Tapi saya tidak menyesal. Saya yakin Allah akan membukakan pintu rezeki yang lain buat saya.
Yang begitu itu berlangsung selama dua tahun. Saya benar-benar melepas aktivitas keartisan, baik sebagai pemain film maupun foto model. Setiap hari kerja saya mengurus anak-anak dan rumah tangga. Mulai dari mengantar Mario syuting, menjemputnya kembali, menemani anak-anak jalan-jalan, dan menyediakan makanan serta menyambut suami dan anak-anak pulang. Pekerjaan yang sebelumnya hampir tak pernah saya lakukan. Tapi saya enjoy, saya menikmati. Nikmat sekali. Saya jadi berpikir, ternyata salah penilaian berprofesi ibu rumah tangga itu pekerjaan yang membosankan.
Perancang. Tentu, sesekali, ada pula kerinduan untuk kembali ke dunia artis yang sudah mendarah daging. Meski menikmati suasana baru menjadi ibu rumah tangga tulen, toh rasanya ada bagian yang hilang dari diri saya. Dan itu menimbulkan kegalauan.
Suatu hari datang teman ibu bernama Tati Abdillah, mantan sekjen Parfi. Ia mengajak saya ikut pameran. Tentu saja saya bingung apa yang mau saya pamerkan. Ia menyarankan pakaian pribadi saya yang dipamerkan. Mungkin ia merasa busana muslimah yang saya kenakan cukup modis. Lantas saya berpikir, kenapa saya tidak mencoba merancang sendiri busana-busananya. Sekalian mengamalkan ilmu yang pernah saya dapatkan ketika di SKKA.
Mulailah saya membeli bahan pakaian. Untuk modal awal saya pinjam uang dari Mario, anak saya. Kebetulan waktu itu ia tengah teken kontrak film Sesaat dalam Pelukan. Honornya sekitar Rp1 juta, saya pinjam setengahnya. Saya pun sibuk merancang puluhan desain pakaian muslim. Untuk mendesain sket pakaian, saya tahan sampai berjam-jam. Tapi kalau disuruh menjahit, nanti dulu. Saya tidak betah.
Akhirnya jadilah pakaian-pakaian itu. Untuk menambah ramai stan, saya berkonsinyasi dengan Ibu Norma, pemilik toko di Tanah Abang. Wah, stan milik saya jadi makin semarak.
Seminggu pameran, stan saya ramai dikunjungi dan banyak yang membeli. Saya benar-benar tidak menyangka. Di sana pikiran saya mulai terbuka. Pengunjung yang datang tidak hanya memuji desain saya, banyak juga yang mengeritik. Ada yang mengatakan baju muslim kampungan, tidak trendi. Ada juga yang bilang, baju muslimah hanya untuk mereka yang sudah menyandang predikat haji. Saya katakan kepada mereka, busana muslimah bukan busana haji, tetapi diwajibkan dalam Islam. Ada ibu-ibu yang mengeluh wajahnya bulat, jadi makin jelek kalau pakai jilbab. Saya terangkan bahwa jilbab bisa disesuaikan dengan bentuk wajah.
Di antara lalu lalang pengunjung, saya menengadah ke atas. Bersyukur kepada Allah. Ternyata inilah jalan keluar yang Engkau berikan, atas doa-doaku selama ini. Kau tutup pintu rezeki di sinetron yang memaksaku membuka aurat, tapi Kaubuka pintu rezeki lain. Pintu rezeki yang tidak hanya memberi manfaat secara lahir tapi juga batin. Ada nilai ibadah yang saya emban. Alhamdulillah.
Cobaan lagi. Saat saya mulai menikmati "dunia" saya yang baru, datang cobaan yang tidak saya sangka-sangka. Suami dan ayah dari anak-anak saya dipanggil menghadap-Nya. Saya betul-betul syok. Begitu tiba-tiba semua ini ya Allah. Kenapa cobaan datang silih berganti. Terus terang waktu itu saya bagai kehilangan akal. Bahkan seperti orang yang tidak beragama. Dunia serasa berhenti. Semua terasa gelap. Saya merasa tak mampu menghadapi dan menjalani hidup sendirian. Apalagi anak-anak masih kecil.
Lama saya larut dalam kesedihan. Untunglah Allah cepat mengingatkan. Pikiran waras saya segera berjalan. Apa kalau saya menangis setiap hari Mas Irwin bisa hidup lagi? Kenapa saya tidak pelihara dan jaga amanah yang ia tinggalkan, yaitu tiga anaknya? Bukankah doa-doa saya dan anak-anak lebih berguna untuknya ketimbang berember-ember air mata?
Waktu itu tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk menikah lagi. Terus terang sampai sekarang pun saya masih sering terbayang Mas Irwin. Tapi itu wajar, bagaimanapun ia pernah lama menjadi bagian hidup saya dan anak-anak.
Bisnis dan ibadah.

Kini sembilan tahun telah berlalu sejak kepergian Mas Irwin. Saya sudah menikah kembali. Sejak dua tahun lalu saya resmi dilamar Mas Agung Wibowo. Saya kenal Mas Agung ketika mengadakan pameran busana di Batam. Ia memang bertugas di Batam. Waktu itu anak-anak saya boyong. Selepas pagelaran busana, saya ajak anak-anak berlibur ke Singapura. Mas Agung ikut bersama kami. Setelah itu saya kembali ke Jakarta dan Mas Agung tetap di Batam.


Saya kaget juga ketika Mas Agung datang ke Jakarta, menetap di sana dan melamar saya. Mula-mula saya ragu. Tapi kemudian saya berpikir, mungkin ini yang namanya jodoh. Selain itu saya juga minta petunjuk dari Allah dengan salat istikharah. Kalau memang ia jodoh saya, dekatkan ya Allah, tapi kalau tidak, jauhkan ia dari saya. Ternyata ia memang, insya Allah, jodoh saya. Sampai proses pernikahan tidak pernah ada aral. Anak-anak juga menyukainya. Malah mereka menganjurkan.
Sekarang Butik Ida Leman Collection sudah mempunyai 10 cabang di Indonesia. Alhamdulillah usaha kecil-kecilan ini bisa membantu ekonomi keluarga. Saya juga sering diundang kedutaan di luar negeri untuk pagelaran busana muslimah. Sudah banyak negara yang saya singgahi.
Namanya pagelaran busana muslimah, jelas mengandung unsur dakwah. Saya juga menyadarinya. Sebelum pagelaran saya sempatkan berpidato. Isinya mengajak wanita muslimah untuk berbusana terhormat yang menutupi aurat. Lengkap dengan hadis-hadisnya. Makin banyak waktu yang diberikan panitia, makin semangat saya berceramah.
Selain dengan pagelaran, upaya sosialisasi busana muslimah juga lewat televisi. Antara lain melalui pakaian yang dipakai penyanyi. Dengan mempertontonkannya di televisi, mudah-mudahan orang menirunya. Tidak apa-apa rancangan saya dicontek. Mencontoh yang benar kan malah berpahala.
Data Pribadi: Nama : Hidayati Ahmad Leman (Ida Leman)

Lahir : Padang, 16 November 1955

Ayah : Haji Ahmad Leman, Ibu : Hajah Sofinah

Suami : Agung Wibowo

Anak: 1.Mario Pratama (16)

2.Stephanie (12)

3.Maureen Pratiwi (10)

4.Nicole Anggid Wibowo (1,7)

Pendidikan: SD di Padang, SMP dan SKKA di Medan. Kursus akting di Inter Studio Jakarta (1974)

Film yang dibintangi: 1.November 1828 , 2.Sakura dalam Pelukan, 3.Aduhai Manisnya, 4.Sejuta Serat

Sutera, 5.Kupu-kupu Putih, 6.Jangan Ambil Nyawaku, 7.Kerikil-kerikil Tajam,

8.Kristal-kristal Cinta, 9.Bukan Istri Pilihan, 10.Amalia SH, 11.Penginapan

Bu Broto, dll.

Sinetron : 1.Maharani , 2.Losmen, 3.Rumah Kehidupan (1999)

( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )
5. SALAWAT DAN HARMONI KEHIDUPAN

TYA SULESTYAWATI,

Berprestasi di usia muda. Dialah pemimpin sekaligus konduktor T&T Orchestra yang dalam beberapa penampilan terakhir mendapat sambutan meriah. Tya Sulestyawati, 19 tahun, tidak berani jauh-jauh dari ajaran agama. "Bagaikan partitur yang harus dipedomani," tuturnya. Tanpa partitur, orkestra kehidupan akan kacau balau.


"Apa? Kamu mau pakai jilbab? Papa nggak salah dengar, nih?" ujar Papa, tak bisa menutupi kekagetannya. Niat memakai jilbab memang aku utarakan tiba-tiba, pas ketika Papa sedang sibuk-sibuknya mengedit sebuah jingle hasil aransemenku.
"Iya. Boleh, kan Pa?"
"Ya boleh. Tapi kamu serius?"
Pagi keesokan harinya, diam-diam, aku pergi ke butiknya Tante Ida Royani dan membeli satu stel pakaian muslimah. Kebetulan sorenya akan ada acara ratiban yang memang rutin diadakan di lingkungan keluarga dan teman-teman Papa. Aku pakai, eh rasanya pas, gitu. Sementara Mama tak henti-hentinya menggoda dengan berdecak-decak. Aku cuek saja.
Terus, keesokannya lagi, ketika ada acara lain di rumah. Aku keluar dengan busana biasa, oblong pendek, nggak pakai jilbab, jins ketat. Yaa, gaya abege begitu deh. Eh, kok aku jadi risih. Kayaknya aku tidak memakai apa-apa. Padahal begitulah penampilanku sehari-hari. Aku tidak kuat, aku masuk ke kamar dan sejak itu aku tidak berani melepas jilbab lagi bila bertemu selain keluarga. Jodoh, kali, ya.
Sejuknya Air Salawat.

Keinginan untuk memakai jilbab sih sebenarnya sudah ada jauh-jauh hari sebelumnya. Bermula ketika secara tiba-tiba Papa menodongku untuk mengaransir salawat badar. Aku ingat banget, karena itu diutarakan Papa di meja makan. Awal Februari 1998. Seperti biasa, kami ngobrol tentang berbagai hal. Terutama tentang krisis moneter yang mulai membuat panik masyarakat. "Kayaknya kita mesti bikin sesuatu yang bisa sedikit menenangkan hati. Apa, ya?" kata Papa.


Papa coba mencari rujukan dari ajaran-ajaran agama berupa zikir atau doa. Setelah menu-naikan ibadah haji setahun sebelumnya, Papa memang semakin banyak meluangkan waktu untuk menggali khazanah Islam yang berhubungan dengan latihan kejiwaan. "Ya, sudah. Bikin salawat saja," kata Papa kemudian. Dan, yang mengejutkanku, "Tya yang bikin aransemennya. Dalam seminggu ini harus klar."
Waduh, jelas aku langsung bingung saat itu. Sejak kecil aku memang sekolah di sekolah Islam, tapi aku kan tidak menguasai betul makna atau tujuan salawat. Dengar-dengar, sih, biasa. Terutama pada bulan Ramadan. Dengan feeling musikku aku bahkan sering mengeritik pembawaan salawat di televisi. Wah, kayaknya nggak enak, deh, kalau salawatnya di-popin begitu. Mestinya begini, begini, begini. Tapi untuk membuat aransemennya, kan kita mesti menyelami makna liriknya.
Akhirnya aku tanya ke sana ke mari. Kepada tanteku, guru ngajiku, juga teman-teman yang aku anggap tahu. Pokoknya, satu minggu itu, tidak ada urusan lain kecuali salawat. Dan alhamdulillah, dengan bantuan papa, Tante Neno Warisman, Ustaz Muchyar (qari’ inter-nasional yang menjadi guru ngaji Tya, Red.), dan teman-teman, aransemen itu jadi juga dalam waktu yang begitu pendek. Aku puas, dan pada hari terakhir proses aransir, tak terhitung berapa kali Salawat Badar itu aku lantunkan. Tidak sekadar untuk memperlancar atau memeriksa apakah masih ada kekurangannya, tapi sepertinya memang ada kenikmatan tersendiri ketika melantunkan puja-puji dan doa untuk Rasulullah itu.
Shalaatullah, salaamullah, ‘ala taha rasulillah

shalaatullah, salaamullah, ‘ala yasin habibillah

tawassalna bi bismillah,

wa bil hadi rasulillah

wakuli mujahidillillah

biahlil badri ya Allah.
Perfect! Malam itu, usai proses mixing, sebelum pulang meninggalkan studio, aku sempatkan dulu mampir ke musala untuk salat isya. Masya Allah, ketika telapak tanganku menyambut air yang mengucur dari keran untuk berwudu, tiba-tiba, sejuknya air terasa merambat dan menyelimuti sekujur tubuhku. Dadaku bergemuruh, ada rasa haru, bangga, damai, bahagia, dekat dengan Rasulullah, dan entah perasaan apa lagi. Sulit aku gambarkan dengan kata-kata. Tapi aku bisa mendengar, ada bisikan dalam hatiku, "Ya Allah, begitu sayangnya Engkau kepadaku sehingga pekerjaan berat itu bisa aku selesaikan."
Dalam salat, semua perasaan itu tumpah menjadi air mata ke permukaan sajadah. Aku nggak tahu, semua itu persisnya karena apa. Tapi yang jelas, sejak saat itu, aku merasa selalu ingin memenuhi semua ajaran agama yang aku tahu. Untuk berbuat yang tidak-tidak, abring-abringan seperti biasa, rasanya tidak tega. Salat, yang sebelumnya masih ada bolong-bolongnya, tidak lagi, deh. Rugi rasanya untuk ditinggalkan. Perayaan hari ulang tahunku yang ke-19 beberapa pekan setelah itu, aku rencanakan tidak pakai pesta-pestaan. Aku berniat mengundang anak yatim, makan-makan dengan mereka, ngobrol, dan membagi-bagikan sembako. Saat itu pulalah terbetik juga keinginan untuk memakai jilbab. Pakai jilbab, tidak, ya? Kayaknya boleh juga.
Dibawa ke Neurolog. Untuk semua itu, terus terang, aku memang harus berterima kasih kepada Papa. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah s.w.t., tentunya. Karena dukungan Papa-lah yang membuat aku bisa seperti ini. Pada usia tiga tahun, aku sudah didaftarkan ke Yayasan Musik Indonesia. Sederhana saja alasannya: Papa memergokiku sedang memencet-mencet tuts organ sementara para pembantu berderet di sampingku, berperan sebagai penyanyi. "Mbak, Mas, sini. Nyanyi, ya, nyanyi, ya, Tya yang main organ."
Papa pula yang bisa memahami ketika di SMA prestasiku jeblok karena terlalu sibuk di paduan suara. Sebagai dirigen paduan suara SMA 34, aku sebenarnya hebat, mampu mem-bawa grupku meraih juara satu dalam sebuah festival. Tapi, beberapa hari setelah menerima piala kejuaraan itu, aku menerima rapor yang merahnya ada sembilan. Yang hijau cuma Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Agama, dan Kesenian. Papa dan Mama terang saja kaget dan sempat marah-marah. "Nih, kamu ranking satu dari belakang!" teriak Mama. Aku diam saja. Besoknya, aku dibawa ke seorang neurolog. Di sebelahku duduk pasien lain, penyandang cacat mental. Aduuuh, aku kan tidak apa-apa. Pelajaranku jeblok gara-gara aku terlalu konsentrasi ke paduan suara. Kala itu, kalau sudah kena musik, aku memang langsung lupa dengan yang lain. Untunglah Papa mengerti dan justru mendorong aku dan adik-adikku, Gion dan Sati, untuk membentuk grup musik T&T Explotion yang kini menjadi T&T Orchestra.
Dan, yang paling penting, karena bimbingan Papa pulalah maka rasa keberagamaanku terus tumbuh. Aku tidak hanya dipilihkan TK, SD, dan SMP Islam Al-Azhar, tapi juga di rumah setiap minggu ada pengajian yang harus aku ikuti. Dan, ini yang paling berkesan, kebiasaan Papa bercerita tentang agama betul-betul sangat membantu pemahamanku tentang agama. Kayaknya Papa memang keranjingan cerita, di meja makan, di mobil, di ruang kerja, bahkan sampai di restoran. Anehnya, cerita-cerita Papa tidak pernah membosankan, kadang-kadang sampai menuangkan kecap ke dalam gelas minuman segala, untuk menggambarkan ba-gaimana kotoran mengendap di dalam diri kita bila tak mengindahkan ajaran agama.
Sebelum aku menginjak SMA, cerita Papa masih berkisar tentang halal-haram, surga-neraka, dan kisah-kisah nabi yang ringan-ringan. Tapi, setelah itu, cerita Papa mulai tentang yang abstrak-abstrak menyangkut hakikat beragama. Sejak muda Papa memang rajin mengikuti pertemuan sebuah kelompok latihan olah jiwa yang membantu dia dalam memahami ajaran-ajaran agama. Mungkin untuk orang seusiaku hal itu masih terlalu berat, tapi karena Papa tidak bosan-bosannya bercerita, ditambah dengan caranya yang enak, pelan-pelan aku nyambung juga.
Ya Syariat, Ya Hakikat.

Dalam pemahamanku, kehidupan keagamaan kita memang harus meliputi syariat dan hakikat. Aku harus berupaya keras menjalankan semua syariat agama seperti salat, puasa, zakat, berbuat baik, patuh kepada kedua orangtua, dan sebagainya. Tapi di samping itu, yang tidak kalah penting, aku juga harus memahami hakikat dari segala syariat yang aku jalankan itu. Pada tataran syariah, kita salat kan untuk mendapatkan pahala. Tapi, kadang-kadang, kita salat tapi tidak bisa merasakan pahalanya. Pahala itu apa, sih? Nah, bila kita sudah bisa sedikit memahami bahkan bisa merasakan nikmatnya pahala salat, ketika nggak salat pun kita sebenarnya bisa merasakan itu dengan hanya mengingatnya.


Konon musik itu haram. Tapi aku bilang, tidak, sepanjang kita tahu aplikasinya. Kalau aplikasinya untuk abring-abringan, mengajak yang munkar, ya haram lah. Tapi kalau apli-kasinya untuk syiar, persatuan bangsa, membuat kita merasa dekat dengan Allah, dengan Rasulu-Nya, mengajak beribadah, ya pasti berpahala, dong.
Masih ada yang mengira musik islami itu hanya yang memakai rebana atau gambus. Tentu bukan itu ukurannya. Yang harus kita lihat adalah liriknya. Musik etnik Arab memang punya minor harmonik dan tangga nada yang khas. Itu memang bagus kita pakai pada lagu-lagu religius. Tapi manfaatnya hanya untuk menciptakan nuansa atau konotasi etnik Arab yang memang mayoritas muslim. Cuma, ya tanpa nuansa Arab pun sebuah lagu tetap bisa dinilai religius bila hakikat lagunya memang bagus.
Menjaga Harmoni.

Setelah pakai jilbab lantas kehidupan keagamaan kita sudah sempurna? Ya tentu tidak, dong. Cuma, aku memang sangat bersyukur karena merasa mendapat banyak kemudahan setelah berani menyandang atribut muslimah ini.


Kalau membayangkan awal aku terjun ke dunia musik ini, terus terang, tanpa kasih sayang-Nya, rasanya tidak mungkin aku bisa berbuat banyak. Sebelumnya, sebagai pemimpin biro iklan yang juga untuk media audio visual, Papa sudah punya jingle maker yang hebat. Tapi karena satu dan lain hal, Papa melepas dia ke tempat lain dan harus mencari jingle maker baru. Entah mendapat dorongan dari mana, saat itu Papa bilang, "Eh sini. Kamu bikin jingle, ya. Pokoknya sore ini harus jadi. Studio sudah di-booking satu ship." Aku tidak bisa menolak. Waduh, bagaimana, ini. Tapi, dengan bismillah, aku kerahkan semua pengetahuan yang aku miliki dari sekolah musik selama ini, aku keluarkan semua pengalaman yang pernah aku timba dari musisi-musisi senior, alhamdulillah, "todongan" Papa bisa aku laksanakan dan sukses. Hasil kerjaku cukup bisa diterima secara luas. Mega Shalawat, contohnya. Setelah itu, ya jadilah studio sebagai tempat nongkrong-ku. Bukan hanya jingle maker, aku juga mem-buat aransemen, dan tampil sebagai konduktor. Kalau Allah tidak sayang, bisa, nggak tuh?
Karena itu, aku dan teman-teman membuat komitmen, kami tidak akan menerima order yang kira-kira menyerempet bahaya. Membuat jingle iklan bir, misalnya. Bahkan di T&T Orchestra kita sudah berjanji tidak akan memainkan lagu-lagu pop Barat. Alasannya, tidak banyak lagu pop Barat yang punya misi dan visi. Lagu Indonesia lebih jelas bisa kita pilih untuk mengadakan penampilan yang penuh makna. Aku yakin komitmen kami itu tidak membatasi ruang gerak kami. Ruang gerak yang nggak aneh-aneh masih luas, kok, untuk kita berkiprah.
Hidup, seperti juga sebuah orkestra, harus dijaga harmoninya. Sementara ajaran agama, ya itulah partitur yang harus kita pedomani.
-Muzakkir Husain, Dodi Sukmajadi-
Biodata Tya Sulestyawati Subyakto

Lahir Jakarta, 2 Maret 1979

Pendidikan TK, SD, SMP Al-Azhar Kemang, 1983-1993

SMA 34 Jakarta, 1996

Fakultas Keguruan dan Pendidikan, Universitas Katolik Atmajaya, tidak selesai
Pendidikan musik: Yayasan Musik Indonesia, 1983-1986


Yüklə 311,95 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin