Bunga Rampai Kajian Islam Di Wina
Mencapai Keimanan dengan Logika
Keimanan adalah keyakinan,
yang dalam Islam wajib dicapai dengan penuh kesadaran dan pengertian,
karena hanya dengan inilah kesetiaan tunggal pada Islam (tauhid) bisa diharapkan,
seperti halnya seorang fisikawan yang telah yakin akan keakuratan instrumennya,
sehingga ia pun segera berbuat sesuatu, begitu instrumen itu mengabarkan existensi radiasi atom yang tidak pernah bisa dideteksi oleh indera fisikawan itu sendiri.
Fitrah Manusia
Sejak adanya manusia, manusia memiliki berbagai ciri-ciri (fitrah) yang membedakannya dari mahluk lain. Manusia memiliki intuisi untuk memilih dan tidak mau menyerah pada hukum-hukum alam begitu saja. Manusia bisa mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan nalurinya, misal makan meski sudah kenyang (karena menghormati tuan rumah), atau tidak melawan meski disakiti (karena menjaga perasaan orang). Hal ini tidak ada pada binatang. Seekor kucing yang sudah kenyang tak mau lagi mencicipi makanan yang enak sekalipun.
Manusia memiliki kemampuan mewariskan kepada manusia lain (atau keturunannya) hal-hal baru yang telah dipelajarinya. Inilah asal peradaban manusia. Hal ini tidak terdapat pada binatang. Seekor kera yang terlatih main musik dalam circus tidak akan mampu melatih kera lainnya. Seekor kera hanya bisa melatih seekor anak kera pada hal-hal yang memang nalurinya (memanjat, mencari buah).
Kesamaan manusia dengan binatang hanya pada kebutuhan eksistensialnya (makan, minum, istirahat dan melanjutkan keturunan).
Manusia mencari hakekat hidupnya
Manusia yang telah terpenuhi kebutuhan eksistensialnya akan mulai mempertanyakan, untuk apa sebenarnya hidup itu. Hal ini karena manusia memiliki kebebasan memilih, mau hidup atau mati. Karena faktor non naluriahnya, manusia bisa putus asa dan bunuh diri, sementara tidak ada binatang yang bunuh diri kecuali hal itu dilakukannya dalam rangka mempertahankan eksistensinya juga (pada lebah misalnya).
Pertanyaan tentang hakekat hidup ini yang memberi warna pada kehidupan manusia, yang tercermin dalam kebudayaan, yang digunakannya untuk mencapai kepuasan ruhaninya.
Manusia membutuhkan Tuhan
Dalam kondisi gawat yang mengancam eksistensinya (misalnya terhempas ombak di tengah samudra, sementara pertolongan hampir mustahil diharapkan), fitrah manusia akan menyuruh untuk mengharapkan suatu keajaiban.
Demikian juga ketika seseorang sedang dihadapkan pada persoalan yang sulit, sementara pendapat dari manusia lainnya berbeda-beda, ia akan mengharapkan petunjuk yang jelas yang bisa dipegangnya. Bila manusia tersebut menemukan seseorang yang bisa dipercayainya, maka dalam kondisi dilematis ini ia cenderung merujuk pada tokoh idolanya itu.
Dalam kondisi seperti ini, setiap manusia cenderung mencari "sesembahan". Mungkin pada kasus pertama, sesembahan itu berupa dewa laut atau sebuah jimat pusaka. Pada kasus kedua, "sesembahan" itu bisa berupa raja (pepunden), bisa juga berupa tokoh filsafat, pemimpin revolusi bahkan seorang dukun yang sakti.
Tanda-tanda eksistensi Tuhan
Di luar masalah di atas, perhatian manusia terhadap alam sekitarnya membuatnya bertanya, "Mengapa bumi dan langit bisa sehebat ini, bagaimana jaring-jaring kehidupan (ekologi) bisa secermat ini, apa yang membuat semilyar atom bisa berinteraksi dengan harmoni, dan dari mana hukum-hukum alam bisa seteratur ini".
Pada masa lalu, keterbatasan pengetahuan manusia sering membuat mereka cepat lari pada "sesembahan" mereka setiap ada fenomena yang tak bisa mereka mengerti (misal petir, gerhana matahari). Kemajuan ilmu pengetahuan alam kemudian mampu mengungkap cara kerja alam, namun tetap tidak mampu memberikan jawaban, mengapa semua bisa terjadi.
Ilmu alam yang pokok penyelidikannya materi, tak mampu mendapatkan jawaban itu pada alam, karena keteraturan tadi tidak melekat pada materi. Contoh yang jelas ada pada peristiwa kematian. Meski beberapa saat setelah kematian, materi pada jasad tersebut praktis belum berubah, tapi keteraturan yang membuat jasad tersebut bertahan, telah punah, sehingga jasad itu mulai membusuk.
Bila di masa lalu, orang mengembalikan setiap fenomena alam pada suatu "sesembahan" (petir pada dewa petir, matahari pada dewa matahari), maka seiring dengan kemajuannya, sampailah manusia pada suatu fikiran, bahwa pasti ada "sesuatu" yang di belakang itu semua, "sesuatu" yang di belakang dewa petir, dewa laut atau dewa matahari, "sesuatu" yang di belakang semua hukum alam.
"Sesuatu" itu, bila memiliki sifat-sifat ini:
1. Maha Kuasa1
2. Tidak tergantung pada yang lain
3. Tak dibatasi ruang dan waktu
4. Memiliki keinginan yang absolut
maka dia adalah Tuhan, dan berdasarkan sifat-sifat tersebut tidak mungkin zat tersebut lebih dari satu, karena dengan demikian berarti satu sifat akan tereliminasi karena bertentangan dengan sifat yang lain.
Tuhan berkomunikasi via utusan
Kemampuan berfikir manusia tidak mungkin mencapai zat Tuhan. Manusia hanya memiliki waktu hidup yang terhingga. Jumlah materi di alam ini juga terhingga. Dan karena jumlah kemungkinannya juga terhingga, maka manusia hanya memiliki kemampuan berfikir yang terhingga. Sedangkan zat Tuhan adalah tak terhingga (infinity). Karena itu, manusia hanya mungkin memikirkan sedikit dari "jejak-jejak" eksistensi Tuhan di alam ini. Adalah percuma, memikirkan sesuatu yang di luar "perspektif" kita.
Karena itu, bila tidak Tuhan sendiri yang menyatakan atau "memperkenalkan" diri-Nya pada manusia, mustahil manusia itu bisa mengenal Tuhannya dengan benar. Ada manusia yang "disapa" Tuhan untuk dirinya sendiri, namun ada juga yang untuk dikirim kepada manusia-manusia lain. Hal ini karena kebanyakan manusia memang tidak siap untuk "disapa" oleh Tuhan.
Utusan Tuhan dibekali tanda-tanda
Tuhan mengirim kepada manusia utusan yang dilengkapi dengan tanda-tanda yang cuma bisa berasal dari Tuhan. Dari tanda-tanda itulah manusia bisa tahu bahwa utusan tadi memang bisa dipercaya untuk menyampaikan hal-hal yang sebelumnya tidak mungkin diketahuinya dari sekedar mengamati alam semesta. Karena itu perhatian yang akan kita curahkan adalah menguji, apakah tanda-tanda utusan tadi memang autentik (asli) atau tidak.
Pengujian autentitas inilah yang sangat penting sebelum kita bisa mempercayai hal-hal yang nantinya hanyalah konsekuensi logis saja. Ibarat seorang ahli listrik yang tugas ke lapangan, tentunya ia telah menguji avometernya, dan ia telah yakin, bahwa avometer itu bekerja dengan benar pada laboratorium ujinya, sehingga bila di lapangan ia dapatkan hasil ukur yang sepintas tidak bisa dijelaskanpun, dia harus percaya alat itu. Seorang fisikawan adalah seorang manusia biasa, yang dengan matanya tak mungkin melihat atom. Tapi bila ia yakin pada instrumentasinya, maka ia harus menerima apa adanya, bila instrumen tersebut mengabarkan jumlah radiasi yang melebihi batas, sehingga misalnya reaktor nuklirnya harus segera dimatikan dulu.
Karena yakin akan autentitas peralatannya, seorang astronom percaya adanya galaksi, tanpa perlu terbang ke ruang angkasa, seorang geolog percaya adanya minyak di kedalaman 2000 meter, tanpa harus masuk sendiri ke dalam bumi, dan seorang biolog percaya adanya dinosaurus, tanpa harus pergi ke zaman purba.
Keyakinan pada autentitas inilah yang disebut "iman". Sebenarnya tak ada bedanya, antara "iman" pada autentitas tanda-tanda utusan Tuhan, dengan "iman"-nya seorang fisikawan pada instrumennya. Semuanya bisa diuji. Karena bila di dunia fisika ada alat yang bekerjanya tidak stabil sehingga tidak bisa dipercaya, ada pula orang yang mengaku utusan Tuhan tapi tanda-tanda yang dibawanya tidak kuat, sehingga tidak pula bisa dipercaya.
Menguji autentitas tanda-tanda dari Tuhan
Tanda-tanda dari Tuhan itu hanya autentis bila menunjukkan keunggulan absolut, yang hanya dimungkinkan oleh kehendak penciptanya (yaitu Tuhan sendiri). Sesuai dengan zamannya, keunggulan tadi tidak tertandingi oleh peradaban yang ada. Dan orang pembawa keunggulan itu tidak mengakui hal itu sebagai keahliannya, namun mengatakan bahwa itu dari Tuhan !!!
Pada zaman Nabi Musa, ketika ilmu sihir sedang jaya-jayanya, Nabi Musa yang diberi keunggulan mengalahkan semua ahli sihir, justru mengatakan bahwa ia tidak belajar sihir, namun semuanya itu hanya karena ijin Tuhan semata.
Demikian juga Nabi Isa, yang menyembuhkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan, meski masyarakatnya merupakan yang termaju dalam ilmu pengobatan pada masanya. Toh Nabi Isa hanya mengatakan semua itu karena kekuasaan Tuhan semata, dan ia bukan seorang tabib.
Dan Nabi Muhammad? Tanda-tanda beliau sebagai utusan yang utama adalah Al-Quran. Pada saat itu Mekkah merupakan pusat kesusasteraan Arab, tempat para sastrawan top mengadu kebolehannya. Dan meski pada saat itu semua orang takjub pada keindahan ayat-ayat Al-Quran yang jauh mengungguli semua puisi dan prosa yang pernah ada, Nabi Muhammad hanya mengatakan, ayat itu bukan bikinannya, tapi datangnya dari Allah.
Itu 14 abad yang lalu. Pada masa kini, ketika ilmu alam berkembang pesat, terbukti pula, bahwa kitab Al-Quran begitu teliti. Tidak ada ayat yang saling bertentangan satu sama lain. Dan tak ada pula ayat Al-Quran yang tidak sesuai dengan fakta-fakta ilmu alam.
Di sisi lain, fenomena pembawa ajaran itu juga menunjukkan sisi autentitasnya. Meski mereka:
orang biasa yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, juga tidak join dengan penguasa atau yang bisa menjamin kesuksesannya;
menyebarkan ajaran yang melawan arus, bertentangan dengan tradisi yang lazim di masyarakatnya;
mereka berhasil dengan ajarannya, dan keberhasilan ini sudah diramalkan lebih dulu pula, dan semua itu dikatakannya karena Tuhanlah yang menolongnya.
Konsekuensi setelah meyakini autentitas tanda-tanda kenabian Muhammad
Setelah kita menguji autentitas tanda-tanda kenabian Muhammad dengan menggunakan segala piranti logika yang kita miliki, dan kita yakin bahwa itu asli berasal dari Tuhan, maka kita harus menerima apa adanya yang disebutkan oleh kitab Al-Quran maupun oleh hadits yang memang teruji autentis berasal dari Muhammad.
Dan ajaran Nabi Muhammad saw ini adalah satu-satunya ajaran autentis dari Allah, yang diturunkan kepada penutup para utusan, tidak tertuju ke satu bangsa saja, tapi ke seluruh umat manusia, sampai akhir zaman.
Mengapa ada banyak agama di dunia
Seorang manusia tidak bisa memilih, di negeri mana ia dilahirkan, dan siapa orang tuanya. Yang ia dapatkan hanyalah kenyataan, bahwa di negerinya, kebanyakan orang memeluk agama atau keyakinan (ideologi) tertentu, dan orang tuanyapun mendidiknya sejak kecil dengan suatu pandangan hidup tertentu.
Namun hampir setiap manusia yang normal ternyata memiliki suatu naluri (instinkt), yakni suatu saat akan menanyakan, apakah keyakinan yang dianutnya saat itu benar atau salah. Dia akan mulai membandingkan ajaran-ajaran agama atau ideologi yang dikenalnya. Bagaimanapun juga keberhasilan pencariannya ini sangat bergantung dari informasi yang datang ke padanya. Kalau informasi pengganggu (noise) yang datang kepadanya terlalu kuat, misalnya adanya teror atau propaganda yang gencar dari pihak-pihak tertentu, bisa jadi sebelum menemukan kebenaran itu, ia sudah berhenti pada keyakinan tertentu yang dianggapnya enak (meski sebenarnya sesat).
Membandingkan sumber ajaran tiap agama
(Aspek theologis)
Kebenaran suatu ajaran bisa direlatifkan dengan mudah bila hanya didasari oleh suatu asumsi. Dan kenyataan, hampir setiap pengertian buatan manusia adalah relatif. Para filosof mengatakan, bahwa suatu definisi hanyalah konsensus dari beberapa orang pada saat tertentu di tempat tertentu yang memiliki pengalaman yang mirip. Maka tak heran, bahwa untuk beberapa pengertian yang sering kita dengar saja (seperti "demokrasi", "hak asasi manusia", dll), antar bangsa (dengan latar belakang kultur yang berbeda) dan antar generasi (dengan pengalaman sejarah yang berbeda), bisa berbeda pula pemahamannya.
Karena itu pulalah, ada ajaran yang cepat ditelan musim. Seseorang yang memegang ajaran seperti ini, jelas suatu saat akan goyah. Sebagai contoh adalah kaum komunis. Usia ajaran ini ternyata tidak bertahan lebih dari satu abad. Demikian pula dengan ajaran banyak sekte keagamaan atau aliran kepercayaan.
Untuk menghindari ajaran yang salah, manusia pertama-tama harus melihat sumber ajaran itu. Apakah ajaran itu bersumber dari dasar-dasar yang rapuh?
Dalam hal ini, agama-agama yang sudah cukup tua agak "mengundang" untuk dipelajari, karena mereka menunjukkan sudah "tahan bantingan" untuk kurun waktu yang sangat lama. Namun demikian tetap perlu dipertanyakan, akankah ajaran-ajaran "kuno" ini mampu survive menghadapi zaman post moden dengan kehebatan pemikirannya seperti dewasa ini?
Di zaman modern ini orang tidak bisa begitu saja "dikelabuhi". Kita tidak bisa begitu saja bilang: "Agama X ini benar, karena kitab sucinya bilang begitu .... ". Dan: "Kitab ini benar, karena masih asli dari pembawanya. Dan kebenaran pembawa ajaran ini dijamin di kitab itu...".
Logika "circular" (berputar-putar) ini tidak bisa memuaskan kehausan iman manusia modern. Suatu "teori kebenaran" hanya akan bertahan, kalau ia tidak bisa difalsifikasi (tidak bisa dibuktikan bahwa ia salah). Hal ini karena suatu proses falsifikasi, cukup memerlukan satu bukti. Sedang suatu proses pembenaran, memerlukan seluruh bukti, yang tentu saja sulit, karena kita sering tidak tahu, berapa jumlah bukti yang dibutuhkan.
Suatu ajaran bisa dianggap benar, bila ia:
stabil intern - ajarannya harmoni, tidak bertentangan satu dengan yang lain.
stabil extern - ajarannya tidak bisa disalahkan dengan bukti-bukti dari luar (misalnya dengan fakta-fakta ilmu alam).
Dalam hal ini tentu saja kita harus bertolak dari ajaran yang murni (ajaran Das Sollen), yakni yang ada di sumber-sumber ajaran itu sendiri (kitab-kita suci), dan bukan ajaran yang sedang dipraktekkan oleh pemeluknya, yang mungkin saja tidak mempraktekkan ajarannya dengan benar (ajaran Das Sein).
Membandingkan isi ajaran tiap agama
(Aspek ethis)
Selain mengkaji keabsahan sumber ajaran, suatu langkah pembandingan antar ajaran adalah juga melihat seberapa jauh isi suatu ajaran mengcover permasalahan kehidupan manusia. Apakah suatu ajaran hanya menekankan di satu sisi saja (misalnya sisi duniawi saja, atau sisi rohani saja), ataukah bersifat menyeluruh, baik duniawi maupun rohani?
Suatu agama yang tidak bersifat menyeluruh akan mengakibatkan dualisme dalam pemikiran. Di satu sisi orang harus berfikir agamis, di sisi lain orang harus memilih jalan pragmatis, yang tak jarang bertentangan dengan fikiran agamis itu.
Mungkinkah melegitimasi ajaran suatu agama dengan agama lainnya.
Sering pemeluk suatu ajaran mencoba meligitimasi kebenaran ajarannya dengan mengutip statement ajaran lain2.
Yang perlu ditinjau adalah, sejauh mana percobaan legitimasi ini dapat dinalar dengan logika. Memang, tidak menutup kemungkinan, bahwa suatu hal yang baru membenarkan teori lama yang sudah ada. Penerbangan ke bulan menambah bukti kebenaran teori bahwa bumi itu bulat. Namun bila penganut teori lama melegitimasi diri dengan bukti-bukti baru, sementara mereka menganggap orang yang percaya pada bukti-bukti baru itu keliru, tentu ada yang tidak logis di sini.
Bila ada ajaran A, B, dan C, yang timbulnya di dunia urut satu demi satu, maka A hanya bisa membenarkan B, bila penganut A nantinya harus berganti menjadi penganut B. Inilah yang terjadi dengan ajaran Muhammad, yang sudah diramalkan dalam Kitab Taurat dan Injil.
Hal yang sebaliknya, yaitu A membenarkan diri dengan B, namun tidak menjadi penganut B, tentu akan janggal sekali. Karena itu, penganut agama sebelum Islam, tidak layak membenarkan dirinya dengan menggunakan ajaran Islam, bila mereka tidak lalu beralih menjadi muslim.
Namun ajaran yang lebih baru tidak tentu lebih benar. Karena itu, terhadap ajaran C, bisa saja B membenarkan (dengan konsekuensi penganut B berubah menjadi C dan meninggalkan B), atau menganggap C bagian dari B (jadi B dan C sama-sama benar), atau C salah. Hal ini berlaku terhadap agama-agama yang timbul setelah kenabian Muhammad. Ketika ajaran Qadiyan muncul, ada orang Islam yang pindah menjadi Qadiyan (dan keluar dari Islam), ada yang menganggap Qadiyan bagian dari Islam, ada pula yang menolaknya, karena menganggap keliru.
Mengapa ada banyak agama
Orang sering menganggap mudah fenomena ini dengan mengatakan: "Banyak jalan menuju Tuhan" atau "Sungai-sungai kelihatan berbeda kalau dilihat hulunya, namun satu kalau dilihat muaranya". Pada prinsipnya mereka menganggap semua agama baik dan benar, dan karena itu tidak perlu dipersoalkan.
Memang kita tidak akan debat kusir soal agama. Namun kita tentu akan menjaga, minimal keluarga kita, agar menganut ajaran yang benar.
"Banyak jalan menuju Tuhan". Koq tahu? Kalau dikatakan "Banyak jalan menuju Roma" kita tentu bisa menerima, karena banyak informasi dari sana, dan mungkin ada kawan kita sendiri yang pernah ke Roma dan pulang bercerita ke kita. Namun kepada Tuhan? Orang-orang yang pergi menghadap Tuhan (artinya mati), ternyata tidak pernah kembali lagi. Orang yang menghadap Tuhan dan kembali lagi ya para nabi itu. Lagi pula toh tidak semua jalan itu lempang dan lurus. Kalau ada banyak jalan menuju Tuhan, kenapa kita tidak memilih jalan yang lurus, jelas dan tidak penuh duri-duri penyesat?
Demikian juga, memang agama-agama di dunia ini bisa diibaratkan dengan sungai-sungai. Namun ternyata ada sungai yang tidak bermuara di laut, namun di danau garam (sungai Jordan misalnya). Atau sungai-sungai itu tercemar di perjalanan, dipakai untuk irigasi dsb, sehingga tidak pernah mencapai laut.
Ajaran-ajaran yang benar dari Tuhan memang merupakan sungai-sungai yang mengalir ke muara yang sama. Namun ajaran-ajaran yang sesat, yang dibuat-buat manusia, tidak akan mencapai Tuhan, karena yang dituju memang bukan Tuhan. Di zaman modern ini banyak "agama kontemporer" semacam ini. Ada yang memuja Mao Tse Tung, Lenin ataupun (John) Lennon. Bukankah kapitalisme, komunisme maupun kult musik tertentu sering disebut sebagai agama abad-20?
Evolusi Islam
Sementara itu, beberapa ajaran agama yang klasik (seperti Hindu, Budha, Yahudi, Nasrani dll) bisa jadi memang berasal dari seorang utusan Tuhan di zaman dulu. Kondisi dan situasi yang berbeda saat ajaran itu diturunkan, membuat ajaran yang diperlukan juga berbeda. Sedang kebudayaan manusia mengalami perkembangan (evolusi).
Akhirnya evolusi itu sampai pada satu titik, di mana suatu ajaran yang bersifat universal (sesuai untuk seluruh manusia) dan komprehensif (sesuai untuk seluruh masa) tiba saatnya. Ibarat sungai, ajaran berbagai agama yang ada di dunia ini laksana anak-anak sungai yang mengalir ke sebuah sungai yang besar.
Agama-agama selain Islam sesungguhnya hanya diperuntukkan untuk suatu kaum tertentu, di daerah tertentu dan pada masa tertentu. Hal ini disebutkan oleh kitab-kitab mereka, yang merupakan tanda-tanda dari Tuhan yang sampai pada saat ini - di luar soal bahwa banyak kitab-kitab itu kini tidak lagi teruji autentitasnya.
Keaslian dan Kebenaran
Keaslian tidak selalu Kebenaran. Dan Kebenaran tidak selalu memerlukan bukti sejarah yang asli. Hampir setiap orang Indonesia pasti mengenal lagu Indonesia Raya. Tapi masih adakah naskah asli Indonesia Raya yang digubah W.R. Supratman itu?
Naskah asli itu ternyata tidak terlalu penting, bila lagu tersebut tidak pernah dilupakan, karena dilagukan atau didengar oleh jutaan orang Indonesia, hampir setiap hari. Demikian juga yang terjadi dengan Al-Qur'an. Sebenarnya tidak penting, apakah naskah Al-Qur'an yang asli ditulis ketika Nabi masih hidup itu masih ada atau tidak. (Naskah yang ada hingga saat ini adalah naskah yang ditulis pada zaman Abu Bakar). Al-Qur'an dihafalkan, dibaca dalam shalat, dan didengarkan di mana-mana oleh ratusan juta ummat Islam di dunia setiap hari. Kalau ada yang mencoba merangkai kata-kata baru di dalam Al-Qur'an, pasti akan ketahuan, seperti kita juga pasti akan tahu, bila ada selipan kata-kata baru dalam lagu Indonesia Raya.
Sepuluh Pertanyaan Heraklius
Pada masa antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad, di wilayah kerajaan Romawi bermunculan orang-orang yang mengaku-aku sebagai nabi yang mengaku mendapat inspirasi langsung dari Tuhan. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan perpecahan dalam agama Nasrani yang merupakan agama resmi negara Romawi, dan selanjutnya merupakan faktor yang membahayakan persatuan imperium Romawi. Karena itu, Heraklius sebagai Kaisar Romawi yang sedang berkuasa pada waktu itu, merasa perlu untuk memeriksa kebenaran setiap pengakuan kenabian itu, dengan kriteria tertentu.
Hal ini juga dia lakukan atas berita kenabian Muhammad. Hal itu karena Heraklius mendapatkan sepucuk surat dari Muhammad yang menyebut dirinya Nabi utusan Allah. Heraklius merasa perlu mengorek keterangan tentang person Muhammad dari kafilah Arab yang berdagang ke Syam, yang saat itu merupakan salah satu propinsi Romawi.
Salah satu yang diminta keterangannya adalah Abu Sufyan ibn Harb, yang saat itu masih merupakan pemimpin kaum Kafir Quraisy. Abu Sufyan terpaksa menjawab pertanyaan Heraklius apa adanya, karena ia takut Heraklius mencocokkan perkataannya dengan laporan agen-agen rahasia Romawi sendiri.
Setelah masuk Islam, Abu Sufyan menceritakan kembali pengalamannya menghadap Kaisar Heraklius itu kepada 'Abdullah Ibn 'Abbas, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.
'Abdullah Ibn 'Abbas memberitakan:
Abu Sufyan Ibn Harb menceritakan kepadaku, bahwa ia sedang ikut suatu kafilah ke Syria untuk berdagang, ketika Heraklius mengutus seseorang kepadanya. Hal itu terjadi pada masa Rasulullah saw beserta ummat Islam di Madinah sedang mengadakan gencatan senjata dengan Abu Sufyan beserta kaum Kafir Quraisy Mekkah.
Ketika Abu Sufyan dan para pengikutnya tiba di Yerusalem, mereka menghadap Heraklius. Kaisar Romawi Timur ini lalu memerintahkan mereka memasuki ruang konferensi, di mana para pemuka kekaisaran Byzantium berkumpul. Kemudian ia memanggil seorang penerjemah dan lalu mulai bertanya pada orang-orang Mekkah ini: "Siapa di antara kalian yang masih keluarga dekat dengan seseorang yang mengaku sebagai nabi?"
Abu Sufyan menjawab: "Sayalah paduka."
Heraklius menoleh kepada para pembantunya dan berkata: "Bawa orang ini beserta para pengikutnya mendekat kepadaku." Ketika hal itu telah dilakukan, berkatalah ia kepada penerjemahnya: "Katakanlah kepada mereka, bahwa aku akan menanyainya tentang seseorang yang mengaku nabi itu. Dan bila ia mengatakan yang tidak benar, maka pengikutnya supaya membantahnya."
Di tempat ini Abu Sufyan melengkapi ceritanya: "Demi Tuhan, andaikata aku tidak takut bahwa mereka menganggapku pendusta, mungkin akan kutipu mereka."
Pertanyaan-pertanyaan itu dikisahkan Abu Sufyan sebagai berikut:
Pertanyaan pertama dari Heraklius yang menyangkut nabi adalah: "Bagaimana posisi keluarganya di masyarakat?"
Sayapun menjawab: "Dia berasal dari keluarga yang sangat terpandang."
Heraklius melanjutkan: "Apakah ada seseorang sebelum lelaki itu yang juga pernah mengaku sebagai nabi?
A: "Tidak."
H: "Apakah nenek moyangnya raja?"
A: "Tidak."
H: "Apakah pengikutnya itu kalangan atas atau dari kalangan bawah?"
A: "Yang terakhir."
H: "Apakah jumlah pengikutnya meningkat atau menyusut?"
A: "Selalu meningkat."
H: "Apakah ada pengikutnya yang karena tidak puas terus meninggalkan agama tersebut setelah memeluknya?"
A: "Tidak."
H: "Apakah pernah kalian dapatkan dia berdusta sebelum masa mengaku sebagai nabi?"
A: "Tidak."
H: "Apakah dia pernah memungkiri janjinya?"
A: "Tidak. Tapi sejak beberapa waktu ini kami tidak tahu, apa yang dia lakukan sebenarnya"
Di tempat ini Abu Sufyan melengkapi beritanya: "Inilah satu-satunya jawabanku yang kuanggap bisa merugikan nabi."
Kemudian Heraklius bertanya lagi:
H: "Apakah kalian pernah berperang melawannya?"
A: "Ya."
H: "Bagaimana kesudahan perang kalian?"
A: "Pada peperangan, kadang dia yang menang dan kadang kami yang menang."
H: "Apa aturan-aturan yang diberikannya untuk kalian?"
A: "Dia bilang: »Berhambalah kepada Tuhan saja, dan jangan adakan sekutu bagi-Nya. Berpalinglah dari apa yang dipercayai nenek moyangmu« Selanjutnya dia mewajibkan sholat, kejujuran, tata susila dan amal kebajikan"
Maka berkatalah Heraklius, sambil berpaling ke penerjemahnya:
Terjemahkanlah berikut ini:
Aku bertanya tentang keluarga orang yang mengaku nabi itu, dan kau berkata, bahwa dia berasal dari keluarga yang terpandang. Ya begitulah para nabi. Mereka selalu anggota keluarga yang terpandang.
Aku bertanya apakah sebelumnya juga ada orang yang mengaku sebagai nabi. Dan kau menidakkannya. Andaikan jawabannya ya, maka aku yakin, bahwa lelaki tersebut hanya mencontoh orang lain.
Aku bertanya apakah ada di antara nenek moyangnya seorang raja, dan kau bilang tidak. Andaikata ada keluarganya yang pernah jadi raja, maka akan kukira bahwa ia hanya menuntut kembali kerajaan nenek moyangnya.
Aku bertanya, apakah kalian pernah suatu kali mendapatkan dia berdusta, sebelum dia mengaku sebagai nabi, dan kau jawab, bahwa itu tak pernah terjadi. Maka dapat kusimpulkan, bahwa ia, yang tak pernah berdusta terhadap manusia, juga tak akan berani berdusta terhadap Tuhannya.
Aku bertanya, apakah pengikutnya dari kalangan atas atau kalangan bawah, dan kau berkata, kalangan bawah. Memang, hanya kalangan bawahlah pengikut para nabi.
Aku bertanya, apakah jumlah pengikutnya meningkat atau menyusut, dan kau berkata bahwa mereka bertambah banyak. Begitulah dengan suatu keyakinan. Jumlah pengikutnya bertambah hingga ia tersebar luas.
Aku bertanya, apakah ada seseorang yang karena tidak puas lalu keluar dari agama tersebut, setelah ia memeluknya, dan kau menidakkan pertanyaan ini. Ya itulah tanda suatu ajaran yang benar, bila pesona dan kebahagiaan yang terpancar darinya menyatu dengan hati manusia.
Aku bertanya, apakah ia pernah memungkiri janjinya, dan kau bilang tidak. Ya begitulah para nabi, mereka tidak pernah khianat.
Dan terakhir aku bertanya, apakah perintah-perintah yang ia berikan. Kau berkata, dia memerintahkan, hanya berhamba kepada Tuhan dan tidak menyekutukanNya; dan selanjutnya ia melarang penyembahan berhala dan mewajibkan sholat, kejujuran dan tata susila.
Jika benar apa yang kau katakan, maka lelaki itu akan segera memerintah daerah, yang saat ini masih di bawah kekuasaanku. Aku tahu, bahwa bakal ada seorang nabi yang akan muncul, tapi tidak kuduga, bahwa dia itu seorang dari kaum kalian. Andaikan aku tahu, bahwa aku bisa mencapainya, aku akan berusaha dengan cara apa saja untuk menjumpainya. Jika aku bertemu dengannya, akan aku basuh kakinya."
Kemudian bertanyalah Heraklius tentang surat dari Rasulullah saw, yang dikirimkan kepada Walikota Busyra3. Setelah dibawakannya tulisan itu, iapun membacanya.
Inilah bunyi surat itu:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang!
Dari Muhammad, hamba dan pesuruh Allah,
ke Heraklius, Kaisar Byzantium.
Damailah atas mereka,
yang mengikuti petunjuk yang benar.
Langsung saja:
Saya mengajakmu untuk masuk Islam.
Jadilah Muslim, dan Allah akan memberimu kenikmatan berlipat ganda!
Namun bila kau menolak, maka kau akan mempertanggungjawabkan dosa rakyatmu.
Allah yang Maha Pemurah telah berfirman: "Hai ahli Kitab! Marilah kepada suatu kalimat yang tak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri" (Ali-'Imran-3: 64)
Setelah Heraklius mengakhiri kalimatnya dan selesai mebaca surat itu, terjadilah kegaduhan di sekelilingnya, dan kami segera dibawa keluar ruangan. Dalam pada itu berkatalah aku kepada para pendampingku: "Kekuatan peninggalan Abu Kabsha4 tampaknya memiliki suatu dimensi yang sampai Kaisar Byzantium saja takut". Namun dalam hati aku semakin yakin bahwa perjuangan Rasulullah itu akan menang, sampai suatu saat Tuhan menunjukkanku jalan ke Islam.
(Hadits Riwayat Bukhari)
Sejarah mencatat bahwa ramalan Heraklius menjadi kenyataan. Masih dalam masa pemerintahannya, Damaskus jatuh (635) ke tangan ummat Islam, kemudian Mesir (639). Empat tahun kemudian Persia yang pernah jadi musuh bebuyutan Romawi juga jatuh. Dan di abad ke-15 seluruh Byzanz ditaklukkan oleh Muhammad Fatih, salah seorang Khalifah dinasti Utsmaniyyah, dan ibu kotanya (Konstantinopel) diubah menjadi Istanbul.
Bagaimana Kitab-Kitab Suci sampai di Tangan Kita
Pendahuluan
Pembicaraan saya ini saya beri judul "Bagaimana Kitab-kitab Suci sampai ke Tangan Kita". Sebagaimana telah kita dengar tadi, bulan Ramadhan adalah bulan tempat turunnya Al-Quran. Setiap kali kita menghadapi Nuzulul Quran, tema inilah yang selalu kita dengar; yaitu bagaimana turunnya wahyu dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Pada kali ini saya ingin menitik beratkan ke bagian selanjutnya, yaitu bagaimana wahyu tsb. kemudian diteruskan kepada kita.
Cara Al-Qur'an sampai pada kita
Setiap kali Nabi menerima wahyu, wahyu tsb. beliau ajarkan kepada para sahabatnya, beliau suruh hapalkan, dan ada pula sahabat yang beliau suruh untuk menuliskannya. Beliau terangkan pula masuk ke dalam surat yang mana ayat-ayat tadi, dan di mana pula posisinya, apakah sebelum atau sesudah ayat-ayat yang sudah lebih dahulu turun. Hal ini beliau lakukan sampai ayat yang terakhir yang beliau terima.
Langkah yang menentukan dalam pembukuan Al-Quran terjadi dalam masa pemerintahan Utsman bin Affan. Beliau membentuk suatu team yang bertugas menyusun suatu naskah yang akan digunakan sebagai patokan atau standard buat semua umat Islam dalam hal pembacaan ayat-ayat Al-Quran serta susunannya. Dari lima naskah yang disusun, dua diantaranya masih dapat kita lihat di Istambul, Turki, dan Tasykent, Usbekistan. Dari kelima naskah inilah dibuat salinan-salinannya, kemudian disalin lagi, dst. sampai akhirnya salah satu naskah Al-Quran ini sampai di tangan kita.
Naskah Utsmani ini kira-kira seperti ini. Bentuknya masih melebar, tidak meninggi seperti naskah-naskah sekarang, dan masih dalam tulisan "arab gundul". Tanda vokalisasi baru muncul belakangan, terutama untuk mempermudah umat Islam yang bukan Arab membaca Al-Quran dengan benar.
Begitulah sejarah ringkas bagaimana naskah Al-Quran sampai ke tangan kita. Relatif tidak menarik memang, Kita tidak melihat ada keistimewaannya, atau barangkali belum. Ke masalah ini nanti kita kembali lagi.
Cara Kitab Suci lain sampai pada kita
Sebagaimana judul pembicaraan saya, saya di sini ingin menyinggung sedikit kitab-kitab lain yang disucikan dan diagungkan oleh manusia. Namun Ibu-ibu, Bapak-bapak tidak perlu was-was dahulu, saya berusaha hati-hati untuk membicarakannya. Saya kira dengan mempelajari agama orang lain, di satu pihak kita bisa bercermin dan berkaca di mana, dan bagaimana kita, di lain pihak semoga bisa mengurangi kekurangfahaman dan kesalahfahaman yang sering menimbulkan konflik di antara umat-umat beragama.
Di sini saya membawa dua buku, buku pertama adalah Kitab Perjanjian Baru yang disucikan oleh umat Kristen, yang lainnya adalah Kitab Perjanjian Lama yang disucikan oleh umat Kristen dan Yahudi. Keistimewaan dari kitab-kitab ini, ialah ini bukan terjemahan, tapi tertulis dalam huruf dan bahasa aslinya, yaitu Ibrani Kuno dan Yunani Kuno. Di dunia ini terdapat lebih dari satu setengah milyar umat manusia yang mengagungkan kedua buku ini, tapi ratusan juta di antaranya seumur hidupnya tidak pernah melihat kedua buku ini dalam huruf dan bahasa aslinya. Jadi beruntung sekali kita malam ini bisa mengetahuinya.
Naskah-naskah Perjanjian Lama disusun kira-kira di antara tahun 420 sampai 150 SM. Di sekitar tahun 100, para pemuka agama Yahudi berkumpul di Yabna; di sini mereka memutuskan kitab mana saja yang dianggap suci, mana yang tidak. Hasilnya adalah 24 buku disucikan, lainnya tidak.
Namun pada waktu itu naskah-naskahnya masih seperti ini, belum diberi tanda vokal, juga belum terbagi atas bab-bab dan ayat-ayat. Proses pemvokalisasian berlangsung di sekitar tahun 750 sampai tahun 1000, dan masih dilanjutkan sampai abad ke 17. Sedangkan pembagian babnya terjadi di tahun 1206 oleh Stephan Langton, seorang Inggris. Pembagian ayat yang terus dipakai sampai sekarang berasal dari tahun 1524.
Sedangkan naskah-naskah Perjanjian Baru disusun sekitar antara tahun 50 sampai 130. Sedangkan proses kanonisasi baru mulai mantap di sekitar tahun 400. Pembagian atas bab-bab terjadi di tahun 1206, oleh orang yang sama, Stephan Langton. Sedangkan pembagian atas ayat-ayat yang dipakai sekarang berasal dari tahun 1551.
Suatu langkah penting terjadi di tahun 1898. Eberhard Nestle, seorang Jerman merintis penyusunan Novum Testamentum Graece. Para penyusun kitab ini memeriksa sebanyak mungkin naskah-naskah tua dari berbagai bahasa. Naskah-naskah itu tidak identis satu sama lain, perbedaan-perbedaan, atau variasi-variasi dari naskah-naskah tua tadi, dikumpulkan dalam "kritischer Apparat", bagian kritis.
Pada tahun 1906, langkah yang sama dirintis oleh Rudolph Kittel, juga orang Jerman, untuk kitab Biblia Hebraica.
Yang menjadi perhatian kita, orang Islam, tentu aparat kritis ini. Kita bertanya-tanya, bagaimana sampai terjadinya perbedaan-perbedaan seperti ini, kemudian apakah hal itu tidak bisa dihindari, serta mana yang benar dari naskah-naskah tadi.
11 Alasan Perbedaan
Sampai sekarang para ahli menemukan sekitar 11 alasan, mengapa perbedaan-perbedaan ini sampai muncul, yang bisa dikategorikan sebagai karena hal-hal yang tidak disengaja dan yang memang disengaja. Saya tak ingin membahas ke 11 alasan ini secara mendalam, terutama karena waktu, dan kedua sangat erat berhubungan dengan bahasa Ibrani dan Yunani, yang masih sedikit saya kuasai. Yang Ibrani saya malah cuma baru bisa baca tulis, itupun yang tidak gundul.
Termasuk yang tidak disengaja ialah:
1. karena beberapa huruf mirip bentuknya. Dalam tulisan tangan, apalagi dalam ukuran kecil, tidak mudah untuk dibedakan. Misalnya di suatu ayat nama suatu kaum itu "Dodanit", tapi kaum yang sama di ayat yang lain namanya "Rodanit". Tampaknya dulu si penyalin keliru menulisnya.
2. karena lafaz-lafaz yang mirip bunyinya. Saya beri contoh, dalam bahasa Indonesia: SAYA KAYA BUDI. Bunyi KAYA bisa berasal dari kata "kayak" yang artinya "mirip", atau kata "kaya" yang artinya "punya banyak".
3. kesalahan dalam menggabung atau memotong huruf-huruf dalam satu kata. Kita lihat, huruf Ibrani itu bentuknya sama, apakah posisinya di awal, di tengah, atau di akhir suatu kata. Kekecualian ada lima huruf yang bentuknya lain apabila di akhir kata. Apabila kata-kata ini ditulis berdekatan terkadang tidak mudah menentukan apakah huruf yang ini masuk kata ini atau kata itu, atau apakah kata ini sebenarnya dua kata. Contohnya misalnya SA YA BA WA KE RAN JANG. Kita bisa mengartikannya sebagai SAYA BAWA KERANJANG, atau SAYA BAWA KE RANJANG. Hal yang sama terjadi juga dengan huruf Yunani, tapi alasannya lain. Naskah-naskah Yunani dulu ditulis tanpa tanda pisah, tanpa tanda baca. Jadi semua huruf itu berdempetan satu sama lain. Ini menimbulkan kesusahan dalam menentukan dimana kata-kata itu dipisah, dan di mana pula titik komanya.
4. posisi huruf yang salah. Saya kira ini terkadang terjadi kalau kita misalnya mengetik, mau menulis KETIKA eh yang keluar KETIAK.
5. istilah kerennya "haplografi". Contohnya kata GEGABAH disalin menjadi GABAH karena kita sudah merasa menulis GE. Dalam huruf latin barangkali ini jarang terjadi, tidak seperti dalam huruf Ibrani gundul.
6. istilahnya "dittografi". Ini kebalikannya, mestinya SAUDARA MISAN, kita menulis MInya dobel, jadi SAUDARA MIMISAN.
7. penggunaan singkatan yang membingungkan, ini terutama dalam naskah-naskah Yunani. Saya ambil contoh begini, misalnya para dokter gigi ingin membentuk organisasi, dibentuklah Persatuan Dokter Gigi, disingkat Pergi. Bagi orang yang datang belakangan, yang tidak tahu menahu, tentu kata "pergi" ini diartikan sebagai "tidak diam".
8. proses pemvokalisasian huruf Ibrani itu termasuk agak terlambat, sementara orang-orang sudah membaca dengan lafaz yang berlainan. Contohnya ialah bahwa Nabi Musa itu wajahnya QRN. Ada yang membaca QARAN, artinya bercahaya. Ada juga yang membaca QEREN, artinya bertanduk. Dan beratus-ratus tahun orang di Eropa percaya, bahwa Nabi Musa itu memang bertanduk.
9. kesalahan lain-lain, misalnya karena naskah itu sudah dikomentari, dikasih tanda-tanda, yang oleh penyalin beberapa tahun kemudian dianggap sebagai bagian dari naskah. Ada juga kasus, di mana naskah yang terdiri dari dua kolom, oleh seorang penyalin di anggap satu kolom. Hasilnya seperti kita baca koran Indonesia terus dari tepi halaman kiri ke tepi halaman kanan.
Beberapa hal di atas terdengar agak lucu, salah satu faktor yang tidak menghindari hal-hal tadi ialah karena bahasa Ibrani Kuno dan Yunani Kuno itu sudah lama mati, tidak lagi dipakai sehari-hari. Sejak kurang lebih 500 tahun sebelum Nabi Isa lahir, orang Yahudi sudah tidak berbahasa Ibrani lagi. Bahasa Ibrani hanya ada di naskah-naskah agama dan acara-acara ritual. Barangkali bandingannya seperti bahasa Kawi, Jawa Kuno, atau Sunda Kuno. Bahasa-bahasa ini sudah tidak dipakai lagi, kecuali misalnya oleh dalang. Itupun terbatas dalam perbendaharaan kata dalam pewayangan saja.
Jadi beberapa penyalin naskah, istilahnya asal salin saja, karena memang pengetahuan bahasanya agak kurang. Kalau ada kesalahan dalam menyalin jadi kurang terkontrol. Kekeliruan yang sama terkadang terjadi juga pada kita. Misalnya kita, yang pengetahuan bahasa Jermannya sedikit, harus menyalin naskah bahasa Jerman. Ya kadang-kadang ada huruf yang hilang, titik yang salah, dsb.
10. masih tak disengaja, istilahnya "homoioteuleton". Saya beri contoh langsungnya: dalam Injil Yahya 17:15 Yesus berkata kepada Tuhan "Aku tidak meminta, agar Engkau mengambil mereka dari dunia ini, tetapi agar Engkau menjaga mereka dari kejahatan". Ketika ayat ini disalin, karena kata "agar Engkau" tertulis dua kali, ada yang keliru begini, ketika si penyalin sampai di kata ini, matanya kemudian lari ke kata "menjaga me...". Tentu saja artinya jadi lain.
11. yang terakhir, yang memang disengaja. Tema ini sebenarnya paling luas, tapi di sini hanya saya singgung sedikit saja. Kesengajaan ini berupa penambahan, pengurangan, atau pengubahan, apakah itu satu huruf, beberapa huruf, satu kata, beberapa kata, bahkan satu atau beberapa ayat.
Dan untuk menentukan mana yang benar, kita mendapat kesulitan, karena kita tidak mempunyai lagi naskah yang aslinya.
Nah itulah Ibu-ibu, Bapak-bapak, sekilas mengapa sampai muncul variasi-variasi tadi. Sekarang marilah kita kembali ke Al-Quran, tema utama pembicaraan kita. Saya kira sekarang kita bisa melihat apa saja keistimewaan Al-Quran ini. Saya di sini menemukan tujuh keistimewaan.
Tujuh keistimewaan Al-Qur'an
Dalam Surat Az-Zukhruf ayat 2, Allah berfirman: INNAA JA'ALNAAHU QURAANAN 'ARABIYYANL-LA'ALLAKUM TA'QILUUNA, yang artinya: Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab agar kamu memahami.
Banyak orang berusaha mengajukan pendapat mengapa Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Di sini yang menarik perhatian cuma tiga:
1. huruf Arab gampang dibedakan; bahkan antara huruf "ghain" dan "fa" pun sampai ukuran kecil tertentu masih bisa dibedakan.
2. huruf Arab berubah bentuknya sesuai dengan posisinya dalam suatu kata, apakah di awal, di tengah, atau di akhir; jadi suatu kata bisa dibedakan dengan kata yang lain, dan kemungkinan tercampurnya satu kata dengan yang lain bisa diminimalkan. Kedua hal yang sepintas lalu tampak sederhana ini ternyata telah beratus-ratus tahun menghindari terjadinya kesalahan dalam penyalinan Al-Quran.
3. bahasa Arab masih hidup sampai sekarang, malah ada kecenderungan makin dipelajari oleh orang-orang bukan Arab; jadi bukan hanya makna-makna ayat-ayat Al-Quran bisa kita fahami, bicarakan, diskusikan, dsb. dalam menyalin pun tak akan terjadi asal salin saja; suatu kesalahan dalam menyalin, yang membuat arti dan makna suatu kata atau ayat jadi lain akan gampang ketahuan.
Keistimewaan yang ke
4. pembagian Al-Quran dalam surat-surat, ayat-ayat itu tidak berasal dari si A, atau si B yang hidup ratusan tahun setelah ayat-ayat itu muncul, tetapi langsung oleh Nabi, yang tentu saja atas petunjuk Allah. Bahkan bukan cuma itu, saking mendetailnya di mana kita harus, sebaiknya, boleh atau jangan berhenti dalam membaca Al-Quran bisa kita lacak riwayatnya sampai ke Nabi. Dari Nabi pula kita tahu di ayat mana saja kita disunatkan sujud apabila mendengarnya.
Keistimewaan ke
5. dengan terang dan jelasnya bagaimana Nabi menerangkan Al-Quran kepada kita, maka Al-Quran di seluruh dunia itu identis. Kita bisa menggunakan Al-Quran yang dicetak di Iran misalnya, atau orang Turki tanpa banyak kesulitan bisa membaca Al-Quran yang dicetak di Bandung, dsb. Jadi kita tak perlu suatu "apparat kritis" yang memuat variasi-variasi dalam naskah-naskah Al-Quran. Bagaimana dengan qiraat-qiraat? Pada umumnya cara melafazkan Al-Quran itu seragam, namun pada waktu dulu Nabi sendiri yang memperbolehkan ayat-ayat Al-Quran dilafazkan dalam dialek-dialek, dari situ muncullah qiraat-qiraat, yang tujuh, yang sepuluh. Namun kita tahu, siapa yang mempopulerkan qiraat tsb., dan siapa pula perawinya. Jadi bisa dipertanggungjawabkan.
Dan kalau ada perselisihan, yang saya kira tidak ada, masih ada keistimewaan ke
6. naskah, yang disepakati oleh para sahabat dan sahabat dekat Nabi, masih ada sampai sekarang.
Saya kira sekarang bisa kita rasakan sejauh mana kebenaran Surat Al Hijr ayat 9, yang berbunyi: INNAA NAHNU NAZZALNAADZ-DZIKRA WA INNAA LAHUU LAHAAFIZHUUNA, yang artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Di sini selanjutnya saya ingin menekankan kata "Sesungguhnya KAMILAH yang menurunkan ...", untuk itu saya mengutip satu ayat lagi, yaitu Surat An-Nisaa' ayat 82: AFALAA YATADABBARUUNA-LQURAANA; WA LAU KAANA MIN 'INDI GHAIRIL-LLAAHI LAWAJADUU FIIHI-KHTILAAFAN KATSIRAN, yang artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat banyak pertentangan yang banyak di dalamnya. Dan di sini pula saya lihat keistimewaan yang ke
7. penyelidikan modern orang-orang bukan Islam mendukung kesucian Al-Quran, bahwa Al-Quran bukanlah karya manusia. Saya hanya ingin menyebut tiga nama yang sampai pada kesimpulan tadi, pertama Profesor Theologi Hans Kueng dari Universitas Tuebingen, Paul Schwarzenau, seorang pastor di Jerman, dan yang barangkali paling sering dikutip umat Islam: Maurice Bucaille.
Saya kira setelah melihat ketujuh keistimewaan tadi, tidak sukarlah bagi kita untuk menerima Surat An-Naml ayat 27 yang berbunyi: WA INNAKA LATULAQA-LQURAANA MIN-LADUN HAKIIMIN 'ALIIMIN. Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar di beri Al-Quran dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Demikianlah Ibu-ibu, Bapak-bapak, sedikit pembicaraan saya. Saya harap ini makin memperkuat keyakinan kita terhadap Al-Quran, dan mudah-mudahan terhadap Al-Quran itu kita tidak hanya sekedar "memiliki" saja, tetapi juga "mengaji", kemudian "mengerti", dan "mengkaji".
Makalah disiapkan oleh Jajang Kurniawan
Al Qur'an Bacaan Mulia
Al Quràn ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia,
dan supaya mereka diberi peringatan dengan dia,
dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa
dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran
(QS 14-Ibrahim: 52)
Al Qur'an adalah kitab suci umat Islam. Al Qur'an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw dengan perantaraan malaikat Jibril, berisi firman-firman Allah dan membacanya termasuk ibadah. Beriman padanya merupakan salah satu sendi yang harus ada dalam dada setiap muslim.
Ayat pertama dari Al Qur'an, yaitu Surat Al 'Alaq ayat 1-5, diturunkan kepada Muhammad ketika beliau berusia 40 tahun. Lima ayat pertama ini diturunkan pada bulan Ramadhan, yang sekarang diperingati sebagai Nuzulul Qur'an. Dengan turunnya firman Allah tersebut, maka Muhammad telah dipilih Allah sebagai salah satu utusan-Nya yang diperintahkan untuk memberi peringatan dan mengajak manusia ke jalan Allah.
"Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman" (QS 27-An-Naml:77).
Al Qur'an bukanlah karangan Muhammad
Ketika Muhammad saw menyampaikan pada penduduk Mekkah bahwa beliau mendapat wahyu dari Allah, banyak orang yang tidak percaya, sekalipun mereka mengenal Muhammad sebagai seorang yang jujur dan tidak pernah berdusta. Mereka menganggap Muhammad sudah menjadi orang gila, Muhammad hanya bersyair dan mengarang kalimat sendiri.
"Sesungguhnya Al Qur'an itu adalah benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul yang mulia, dan Al Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan Al Qur'an itu bukan pula perkataan seorang peramal. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Al-Qur'an adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam". (QS 69-Al Haqqah:40-43).
Demikian pula Al Qur'an bukanlah karangan Muhammad saw. "Seandainya ia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami, niscaya Kami tindak dengan keras. Dan benar-benar Kami potong nadi jantungya. Tiada seorangpun yang dapat menghalangi Kami dari pemotongan nadi itu (QS 69-Al Haqqah:44-47)".
Hal lain yang menunjukkan bahwa bukan beliau yang mengarang Al Qur'an adalah bahwa pada saat Nabi menerima wahyu, beliau dalam keadaan 'ummy', artinya tidak bisa membaca dan menulis karya sastra, dan beliau juga belum pernah membaca kitab lain sebelumnya. Dalam QS 12-Yusuf ayat 3: "Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum Kami mewahyukannya adalah termasuk orang yang belum mengetahui".
Untuk menghadapi orang-orang yang tidak percaya pada kitab Allah ini, Allah memberikan tantangan pada manusia untuk membuat surat semacam Al Qur'an. "Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat saja semisal Al Qur'an itu, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuatnya, dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya, maka peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir". (QS 2-Al Baqarah:23-24)
Allah menegaskan bahwa manusia tidak akan mungkin membuat Al Qur'an, walaupun seluruhnya bekerja sama. "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain" (QS 17-Al Isra:88).
Al Qur'an kitab yang benar dan terpelihara
Al Qur'an diturunkan Allah dengan membawa kebenaran tanpa keraguan. Bukti kebenaran Al Qur'an adalah bahwa Al Qur'an terpelihara sampai akhir jaman. "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya" (QS 15-Al Hijr:9). Hingga saat ini, dan sampai nanti, Al Qur'an yang dibaca oleh kaum muslim adalah sama dengan apa yang diturunkan pada Rasulullah. Demikian pula kita masih dapat membaca dalam bentuk aslinya, dalam tulisan Arab, dan bukan hanya terjemahannya saja. Tidak akan kita dapati perbedaan pada Al Qur'an yang ada di seluruh muka bumi ini.
Bukti lain adalah tidak ada pertentangan di dalamnya antara ayat yang satu dengan ayat lainnya maupun kebengkokan didalamnya, seperti jaminan Allah: "Inilah Al Qur'an dalam bahasa Arab, tidak ada hal-hal yang bengkok didalamnya, supaya mereka bertaqwa" (QS 39-Az Zumar:28). Dan Al Qur'an memuat aturan tentang segala sesuatu, "........Tiada sesuatupun yang Kami alpakan dalam kitab (ini), ... (QS 6-Al An'am:38).
Bukti kebenaran Al Qur'an yang lain adalah bahwa didalamnya terdapat berita-berita dan janji tentang masa datang, yang diluar kemampuan manusia untuk mengetahuinya, dan kemudian terbukti kebenarannya beberapa tahun berikutnya. Contohnya adalah tentang kemenangan kembali Romawi atas Persia. "Telah dikalahkan kerajaan Rum di negeri yang terdekat dan mereka sesudah kalah itu akan menang lagi dalam beberapa tahun". (QS 30-Ar Rum:2-3). Ketika ayat tsb. diturunkan, kerajaan Rum yang Nasrani (pemilik kitab suci Injil) baru saja dikalahkan oleh Persia yang penyembah api. Kaum Kafir Mekkah menganalogikan hal ini atas ummat muslimin, bahwa sebagai pemilik kitab sucipun, ummat Islam akan juga dikalahkan. Maka turunlah ayat ini. Dan kenyataan, beberapa tahun kemudian, Romawi meraih kemenangan atas Persia.
Hal lain adalah banyak fakta-fakta ilmiah yang belum diketahui pada masa itu telah dijelaskan dalam Al Qur'an. Dan sekarang dunia ilmiah mengakui kebenarannya. Misalnya dalam QS 2-Al Baqarah ayat 2, Allah memerintahkan ibu menyusui bayinya selama 2 tah un. Sekarang ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa ASI sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal yang sama terjadi dalam dunia astronomi, geologi, kelautan dsb.
Al Qur'an adalah kitab penyempurna, kitab terakhir yang diturunkan Allah sebagai pedoman manusia, tidak akan ada perubahan didalamnya. "Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Quer'an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS 6-Al An'am:115)
Mengapa Al Qur'an berbahasa Arab?
Bahasa yang digunakan Allah dalam Al Qur'an adalah bahasa Arab. "Dan demikianlah Kami telah turunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab" (QS 13-Ar Ra'd:37). Hal ini karena Muhammad saw adalah orang Arab, dan beliau hidup ditengah-tengah masyarakat yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasinya. "Kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dalam bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka" (QS 14-Ibrahim:4).
"Dan jikalau Kami jadikan Al Qur'an itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah patut Al Qur'an dalam bahasa asing sedang Rasul adalah orang Arab?" (QS 41-Fushshilat:44).
Meskipun Al Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, Al Qur'an bukan hanya petunjuk bagi orang Arab saja. Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia di muka bumi, dan tidak hanya pada golongan tertentu. "Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam" (QS 21-Al Anbiya':107).
"Katakanlah (Muhammad): "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,......"(QS 7-Al A'raf:158).
Tidak akan kita jumpai firman Allah yang menyatakan bahwa Muhammad dan Al Qur'an hanya untuk bangsa Arab saja. Berbeda halnya dengan diutusnya Musa dan Isa as. Kedua Nabi tsb. diutus hanya untuk Bani Israel. Demikian pula firman Allah kepada keduanya hanya merupakan petunjuk bagi umat pada masa itu. "Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Kitab Taurat, maka janganlah kamu Muhammad ragu-ragu menerima Al Qur'an itu, dan Kami jadikan Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil" (QS 32-As Sajdah:23).
Apa sebenarnya Al Qur'an itu?
Dalam Surat 2-Al-Baqarah: 2 disebutkan: "Kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi yang bertaqwa". Kitab suci ini diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan pembeda antara yang haq dan yang batil, sebagaimana firman Allah:
"Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah" (QS 20-Thaha:2-3).
"Al Qur'an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa". (QS 3-Ali 'Imron:138)
"... Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang orang yang beriman" (QS 41-Fushshilat:44)
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa petunjuk itu adalah petujuk bagi orang yang masih hidup. Karena itu hendaknya Al-Qur'an dibacakan bagi orang yang masih hidup, dan bukan pada orang yang sudah mati.
... Al-Qur'an itu hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, agar ia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup dan supaya pastilah (ketetapan azab) atas orang-orang kafir. (QS. 36 Yaasin:69-70)
Al Qur'an juga merupakan penyempurna kitab suci yang diturunkan Allah sebelumnya, yaitu Taurat dan Injil. Dengan turunnya Al Qur'an ini berarti Allah telah memberikan pedoman hidup yang lengkap, dan aturan yang komplit bagi manusia. "Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, meluruskan kitab yang diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang padamu....." (QS 5-Al Ma'idah:48)
Sikap manusia terhadap Al Qur'an
a.Orang beriman
Orang yang beriman akan menerima dan menggunakan Al Qur'an sebagai dasar kehidupannya. Mereka menerima seluruhnya, dan bukan mengambil sebagian dan menolak bagian yang lain. Mereka memperhatikan dan menaati seluruh ayat-ayat Allah. "Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum mereka ialah ucapan "Kami mendengar dan kami taat. Dan merekalah orang-orang yang beruntung" (QS 24-An Nur:51)
Bila dibacakan ayat-ayat-Nya, orang beriman makin bertambah keimanannya dan makin tunduk dan patuh pada Penciptanya. "Sungguh orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang bila disebut nama Allah gemetar hatinya. Dan bila ayat-ayat-Nya dibacakan kepadanya bertambahlah iman mereka dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal" (QS 8-Al Anfal:2)
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (Al Qur'an) yang seragam dalam bagian-bagiannya yang berulang-ulang. Berdiri karenanya bulu roma orang-orang yang takut akan Tuhannya. Kemudian kulit dan hati mereka menjadi lembut karena dzikir memuji Tuhannya...." (QS 39-Az Zumar:23)
b.Orang kafir
Orang kafir tidak mengakui kebenaran Al Qur'an dan menganggapnya sebagai kebohongan.
"Dan apabila hendak dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata: "Orang ini tiada lain hanyalah seorang laki-laki yang ingin menghalangi kamu dari apa yang disembah bapakmu", dan mereka juga berkata: "Al Qur'an itu tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja". Dan orang kafir berkata tentang kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata" (QS 34-Saba':43).
Bila mereka mendengar ayat-ayat Allah, mereka tidak mau mendengarkannya, dan malah akan menghalangi orang lain yang ingin mendengarkan ayat-ayat-Nya.
"Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat dikedua telinganya, maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih" (QS 31-Luqman:7)
"Dan orang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengarkan Al Qur'an dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkannya" (QS 41-Fushshilat:26)
Allah akan memberikan balasan bagi orang yang mengingkari firman-Nya, baik mereka yang ingkar seluruhnya atau hanya sebagian saja. "Sesungguhnya orang yang mengingkari Al-Qur'an ketika Al Qur'an itu datang pada mereka, itu pasti akan celaka ... " (QS 41-Fushshilat:41)
Keutamaan membaca Al Qur'an
Kata Al Qur'an berarti bacaan, dan membacanya termasuk ibadah. Oleh karena itu umat Islam dianjurkan untuk membacanya. "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an)...." (QS 29 Al Ankabut:45). Juga diperintahkan untuk mempelajari dan memahaminya untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan dan dijadikan pedoman. Rasulullah saw bersabda: "Jangan biarkan Al Qur'an hanya sebagai hiasan/pajangan, tapi bacalah dengan baik siang dan malam, pelajari dan renungkanlah, amalkan dan sebarkanlah".
Pahala membaca ayat-ayat Allah digambarkan sbb. "Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu pahalanya sepuluh kali lipat. aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf" (HR. Turmudzi).
Bahkan orang yang belum bisa lancar membacapun bila ia membaca mendapat 2 pahala. "Orang yang membaca Al Qur'an dengan baik maka ia bersama para utusan yang mulia. lagi berbakti, dan orang yang membacanya dengan tersendat-sendat dan susah payah maka baginya dua pahala" (HR Bukhari Muslim).
Selain itu bacaan Al Qur'an nanti akan menjadi penolong bagi pembacanya pada hari akhir kelak. "Bacalah Al Qur'an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada orang yang membacanya" (HR Muslim).
Karena begitu utamanya membaca Al Qur'an sampai Rasulullah membolehkan kita iri pada mereka yang mampu membaca Al Qur'an dengan baik. Tentu saja sifat iri ini harus diiringi keinginan dan usaha menirunya. "Tidak boleh mendengki kecuali terhadap dua hal, yaitu seseorang yang diberi penguasaan yang baik tentang Al Qur'an oleh Allah dan kemudian ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi Allah harta kemudian ia menginfakkannya di jalan Allah siang dan malam" (HR Bukhari Muslim).
Dalam hadis lain: "Orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya" (HR Bukhari).
Perumpamaan tentang orang-orang yang membaca Al Qur'an. "Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al Qur'an seperti buah utrujjah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al Qur'an seperti buah tamar, tidak wangi tapi rasanya enak. Perumpamaan orang munafik yang membaca Al Qur'an seperti buah raihanah, baunya wangi tapi rasanya pahit. Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al Qur'an seperti buah hanzalah, tidak wangi dan rasanya pun tidak enak" (HR Bukhari Muslim).
Allah memerintahkan kita untuk membaca Al Qur'an dengan tartil. ".....dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan/tartil" (QS 73-Al Muzzammil:4).
Demikian pula ketika terdengar bacaan Qur'an kita diperintahkan untuk mendengarkan. ."Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah dengan baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang supaya kamu mendapat rahmat" (QS 7-Al A'raf:204)
Adab membaca Al Qur'an:
Disunatkan berwudlu dahulu
Disunatkan menghadap kiblat dan di tempat yang bersih
Membaca Al Qur'an dengan tartil dan tenang
Disunatkan membaca ta'awudz terlebih dahulu
Disunatkan sujud saat menemui ayat sajdah
Disunatkan memperbaiki suara (memperhatikan tajwid dan makhrojnya)
Yang tidak kalah penting, dalam membaca Al Qur'an kita juga membaca terjemah dan tafsirnya sehingga kita mengerti maksud ayat yang kita baca serta tadabbur pada ayat-tsb. Artinya memikirkan makna setiap ayat yang dibaca, merenungkan dan meyakininya serta berusaha untuk melaksanakan aturan-aturan Allah itu dalam kehidupan sehari-hari.
Perbedaan Pendapat di dalam Islam
Dialah yang menurunkan kepadamu Kitab (Al-Quran).
Di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat (yang jelas dan terang). Itulah pokok-pokok Kitab.
Dan selain itu terdapat ayat-ayat mutasyabihat (yang bermakna ganda atau kiasan).
Orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan, mereka akan mengikuti yang mutasyabihat,
karena ingin mencari perselisihan serta mencari-cari takwilnya.
Padahal tiada yang tahu pasti takwilnya itu, kecuali Allah
(QS-3-Ali 'Imran:7)
Dostları ilə paylaş: |