Mutiara Subuh : Selasa, 14/09/99


Mutiara Shubuh : Kamis, 17/02/00 (11 Dzulkaidah 1420H)



Yüklə 496,46 Kb.
səhifə29/42
tarix15.01.2019
ölçüsü496,46 Kb.
#96942
1   ...   25   26   27   28   29   30   31   32   ...   42

Mutiara Shubuh : Kamis, 17/02/00 (11 Dzulkaidah 1420H)

Sikap Mukmin Terhadap Orang Yang Fasik


Didalam Al-Qur’an, orang yang fasik itu dinyatakan sebagai orang yang berada diantara kekafiran dan orang mu’min. Yaitu orang yang diberi petunjuk oleh Allah swt (dengan Al-Qur’an) tetapi mereka berpaling terhadapnya. Atau secara gamblang dapat dikatakan bahwa dia mengaku sebagai muslim tetapi tetap ngotot dengan maksiatnya dan bahkan mengajak ke arah yang dilarang Allah swt tersebut.

Golongan orang seperti ini sangatlah berbahaya, karena mereka bersikap seperti bunglon. Bahkan lebih berbahaya dari orang kafir sendiri. Orang kafir biasanya terang-terangan menyatakan dirinya tidak percaya kepada Allah swt dan segala ajaran Islam, dan sudah tentu kita bisa selalu berlaku waspada terhadap serangan akidah, kebudayaan dsb dari mereka. Tetapi orang fasik itu lebih parah, mereka seperti onak dalam daging atau penyakit yang menular, tidak tampak atau samar tetapi dapat mempengaruhi orang sekitarnya berbuat maksiat.

Didalam Al-Qur'an orang fasik ini adalah juga disebut orang munafik. “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan-perempuan, sebagian dari sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka mengenggam tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (QS. 9:67).

Lantas bagaimana sikap kita menghadapi orang fasik ini ??

Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi kita untuk selalu menegakkan yang benar dan melawan segala kemungkaran. Disamping itu Rasulullah saw mengajarkan kita melalu haditsnya untuk melawan setiap kemungkaran yang kita lihat dengan kekuasaan kita (dengan tangan), dan jika tidak sanggup boleh dengan lisan (perkataan), dan bila tidak mempan juga maka setidak-tidaknya kita menolaknya dalam hati, tetapi Rasulullah menyatakan hal yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman.

Ada satu do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Musa as kepada Allah swt dalam menghadapi orang yang fasik ini “………. Ya Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu". (QS. 5:25).

Amien………..

Mutiara Shubuh : Jum’at, 18/02/00 (12 Dzulkaidah 1420H)

Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka


Didalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. 66:6).

Ayat diatas sebenarnya adalah perintah Allah swt untuk selalu mengikuti syariat agama Islam dengan melakukan segala apa yang diperintahkan Allah swt dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Memelihara diri bermakna menjaga keutuhan iman kita untuk selalu berada dijalan-Nya, tetapi bukan hanya kita diperintahkan untuk memperhatikan diri sendiri tetapi kita juga diwajibkan untuk mengingatkan dan membimbing anggota keluarga kita untuk juga melalu jalan yang benar bersama-sama kita. Dan ini harus kita ingat benar bahwa mengingatkan dan menjaga /memelihara keluarga dari berbuat mungkar dan mengajak untuk berbuat ma’ruf adalah haknya mereka. Jika pada hari hisab nanti katakanlah kita mempunyai amalan yang cukup, tetapi kita tidak pernah menyampaikannya kepada keluarga kita (khususnya anak dan istri) maka mereka nanti akan menuntut kita karena tidak pernah diajak dan diperingatkan. Maka jadi orang yang bangkrutlah kita di hari akhir kelak.




Mutiara Shubuh : Senin, 21/02/00 (15 Dzulkaidah 1420H)

Esensi Waktu Dalam Paradigma Islam


Waktu adalah seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun yang akan datang. Al-Quran memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, bahkan dituntunnya umat manusia untuk mengisi seluruh 'ashr (waktu)-nya dengan berbagai amal dengan mempergunakan semua daya yang dimilikinya. Bukankah Allah swt berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku”. Dalam ayat ini juga ditegaskan bahwa Al-Quran menuntut agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allah, apa pun jenis dan bentuknya.

Dalam surah Al-Ashr Allah swt bersumpah: "Demi ashr (waktu) semua manusia berada dalam kerugian." Kerugiannya adalah karena tidak menggunakan ashr (waktu) , dan kerugian tersebut seringkali baru disadari pada waktu asar (menjelang terbenamnya matahari). Adapun yang terhindar dari kerugian, menurut Al-Qur’an , adalah mereka yang memenuhi empat kriteria: Pertama, yang mengenal kebenaran (amanu); kedua, yang mengamalkan kebenaran (amilu al shalihat); ketiga, yang ajar mengajar menyangkut kebenaran (tawashauw bil al-haq); dan keempat, yang sabar dan tabah dalam mengamalkan serta mengajarkan kebenaran (tawashauw bi al shabr).

Masa adalah modal utama manusia. Apabila tidak diisi dengan kegiatan, waktu akan berlalu begitu. Ketika waktu berlalu begitu saja, jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda, "Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok."

Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi, yang bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi dengan hal-hal yang negatif, manusia tetap diliputi oleh kerugian. Di sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadist Rasulullah saw memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi Saw: “Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang: kesehatan dan kesempatan (HR Bukhari dari Ibnu Abbas r.a.).

Ibnu Taimiyah ketika ditanya oleh salah seorang tentang keketatan dia menjaga waktu untuk beribadah dan bekerja untuk mencari nafkah hingga sangat sedikit waktu yang tersisa untuk beristirahat, beliau menjawab bahwa hidup ini singkat sebaiknya kita gunakan untuk beribadah dan bagi beliau istirahat yang hakiki adalah setelah nyawa berpisah dari badan (maut). Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah saw bahwa meninggal dunia (maut) itu adalah istirahatnya seorang muslim.

Para sahabat Nabi selalu membaca surah Al-Ashr setiap akan berpisah. Bagi kita sekarang ini, tampaknya , surah ini perlu dibaca pada saat bertemu, agar waktu kita tidak terisi dengan aktivitas yang merugikan.




Yüklə 496,46 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   25   26   27   28   29   30   31   32   ...   42




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin