Sambutan ketua umum



Yüklə 202,92 Kb.
səhifə2/5
tarix11.09.2018
ölçüsü202,92 Kb.
#80289
1   2   3   4   5

Era Awal Kemerdekaan
Beda pendapat dalam kesiapan pernyataan Kemerdekaan di antara para politisi penggerak kemerdekaan golongan tua (Bung Karno dkk) dengan golongan muda (Soekarni dkk) sampai Bung Karno dan Bung Hatta diamankan ke Rengas Dengklok hari Kamis 16 Agustus 1945 petang hari. Alasan kaum muda untuk “melarikan” BK ke suatu perkampungan di luar Jakarta, Rengasdengklok ialah agar BK tidak diganggu oleh BT Jepang dan dapat meneruskan tugas-tugas beliau sebagai Pemimpin Bangsa pada saat yang kritis untuk tidak dihalang-halangi oleh Penguasa Jepang, karena para pemuda sudah berhasil menyadap berita tentang penyerahan Kerajaan Jepang kepada Tentara Sekutu tanggal 14 Agustus 1945 sesudah dua kali mengalami pemboman dengan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang rata dengan tanah dan terbunuh ratusan ribu orang.

Bung Karno sebagai Ketua Chuo Sangi In dan anggauta senior PPKI, didukung oleh Bung Hatta tetap berpendirian bahwa apa pun yang akan dihadapi tetapi masalah Pernyataan/Proklamasi Kemerdekaan Bangsa tidak etis/masalah moral bila tidak mengikutsertakan anggota PPKI yang lain. PPKI itu simbolik persatuan Rakyat Indonesia. Yang muda juga tak mau mengalah, yang mereka inginkan hanya tidak diikutsertakannya fihak Penguasa Jepang dalam penyusunan dan penyiaran Pernyataan Kemerdekaan itu. Karena hal demikian akan lebih menguatkan tuduhan Belanda bahwa Kemerdekaan Indonesia itu adalah bikinan Jepang. Di desa Rengasdengklok Bung Karno beserta Bu Fatmawati beserta bayinya (Megawati), Bung Hatta menempati rumah seorang warga desa keturunan Tionghoa yang sangat sederhana yang sudah dipersiapkan dan diamankan oleh opxir-opsir Tentara Pembela Tanah Air (Peta) yang berasrama di sekitar kampung itu. Menarik sekali bahwa penyiaran Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu harusdidahului dengan suatu perbedaan pendapat diantara para pemimpin yang senior dengan yang junior, antara lain mengenai:



  1. Apakah Proklamasi itu harus diketahui/disetujui lebih dulu oleh Penguasa Jepang? Kaum muda tegas menolak cara itu karena akan sangat merugikan bagi Bangsa Indonesia seolah kemerdekaan itu kita dapat dari (anugerah) Kerajaan Jepang, yang akan merendahkan nilai Kemerdekaan itu sendiri dan dalam diplomasi selanjutnya akan jadi titik lemah karena RI akan selalu dituduh ikut serta dalam kekejian perang Jepang dan adalah bikinan/ “boneka” Jepang 1945.




  1. Mengingat waktu yang tersedia sebaiknya pengambilalihan kekuasaan dan semua milik RI itu sudah dikuasai oleh Bangsa Indonesia seluruhnya, atau dengan suatu Revolusi Kemerdekaan merebut kekuasaan pemerintahan dengan mengobarkan Revolusi Rakyat sebagaimana pernah di-“janji”-kan oleh Bung Karno dalam suatu rapat raksasa.

Selain itu ada pula pikiran strategis lain dalam kesempatan menghadapi saat-saat menjelang pernyataan kemerdekaan itu, antara lain ialah “berunding” (diplomasi) dengan pihak Kerajaan Belanda (waktu itu masih diwakili oleh Netherland East Indiesche Civil Administration (NICA) yang juga sudah hadir di Jakarta membonceng pendaratan Divisi Tentara Inggris, bagian dari Bala Tentara Sekutu Asia Tenggara). Bung Karno dan beberapa tokoh nasionalis menganggap perbedaan pendirian yang lebih “gawat” ialah adanya pendirian politik untuk menerima “tawaran” Ratu Belanda untuk memperoleh kemerdekaan melalui proses berpemerintahan sendiri/self government dibawah pemerintahan Ratu Belanda. Dengan demikian pendirian menyikapi untuk kemerdekaan itu terbagi dalam dua pengelompokan, yaitu yang “kooperatif” (disingkat aliran Ko) yang lebih mengutamakan perundingan/diplomasi dengan pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan aliran Non kooperatif (non) yang tidak bersedia bekerja sama di bawah tipu muslihat pemerintahan NICA/Belanda.

Dari keadaan terpecah belah itu, pemerintahan NICA melaksanakan politik “divide et empera” (memecah belah kesatuan RI) dengan membujuk didirikannya beberapa “negara pemerintahan sendiri” di daerah-daerah yang sudah terlebih dahulu mereka duduki bersama pasukan Australia (ABDACOM). “Negara-negara boneka” bikinan Dr Van MOOK itu bergabung dalam suatu lembaga pemerintahan bikinan NICA yaitu Byeenkomst Federale Overleg (BFO) semacam dewan bersama pemerintahan. Yang sudah “terbentuk” dengan supervisi NICA antara lain Negara Indonesia Timur (NIT yang meliputi Sulawesi, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara di wilayah bagian Timur Indonesia) berpusat di Makasar. Di Kalimantan Barat ada Kesultanan Hamid, di Sumatera Timur ada Negara Sumatera Timur, di Jawa Barat ada Negara Pasundan dan di Madura berdiri negara Tjakraningrat dan lain lain lagi. Papua/Irian masih dalam status langsung “binaan” Kerajaan Belanda sesuai mandat PBB. Dengan demikian wilayah RI sudah terus makin menyusut, meskipun bagian pedalaman daerah dan daerah pegunungan masih berlaku kedaulatan pemerintahan RI dalam perlindungan TNI dan diakui masyarakat setempat .

------------- (Kami tidak tahu, mengapa Suami/Ayah/Eyang kami memberi jeda di bagian ini. Mungkin masih ada pemikiran beliau yang belum tertuang. )


Maka sesungguhnya penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia telah mengingkari UUDnya sendiri. Bersykur kita bahwa kalaupun terjadi pengingkaran terhadap UUD dalam tata pemerintahan dan bersedia berunding dengan Musuh, Tentara Nasional Indonesia dengan segenap kekurangannya tetap setia kepada (Pembukaan) UUD 45 meneruskan perjuangan mempertahankan “dasar-dasar” kenegaraan dan terus memberikan perlawanan secara swadaya yang dapat dikerahkan menghadapi musuh yang lebih baik persenjataannya dan lebih terlatih dalam laga peperangan.

Selain keadaan perpolitikan yang tidak ada kepastian akan hasil perundingan Linggarjati (1946) dan semrawutnya kehidupan kepartaian politik, maka tumbuh berkembang badan-badan perjuangan bersenjata sebagai “kepanjangan tangan” partai-partai besar terutama yang hampir semuanya tidak bersedia “berada di bawah komando” TNI . Keadaan yang tidak menentu itu dimanfaatkan oleh kekuatan/partai politik yang merasa menguasai suatu kekuatan massa yang cukup layak untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan negara yang ada (Republik Indonesia). Pada era ini ada tiga tonggak sejarah yang patut dikemukakan untuk pembahasan berkait dengan masalah,:



  1. Organisasi politik berhaluan Islamisme, yaitu Darul Islam pimpinan Karto Soewirjo yang basis kekuatannya di Jawa Barat sejak 1946 menyatakan berada di luar kedaulatan RI dan mendirikan Negara Islam Indonesia.

  2. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia pimpinan Muso pada 1948 (beberapa bulan menjelang serbuan agresi ke-2 Tentara Belanda untuk menghabisi TNI dan menguasai RI).

  3. Peristiwa TNI dan Panglima Besar TNI tidak mematuhi “permintaan” Presiden RI untuk bersama-sama tidak melakukan perlawanan ketika Tentara Belanda menyerbu dan menduduki (Ibu Kota) Yogyakarta (1948), yang kemudian seluruh kekuatan TNI melanjutkan perlawanan dengan strategi Perang Gerilya sesuai isi petunjuk Instruksi Siasat nomor 1 Panglima Besar TNI tertanggal 28 November 1948 (20 hari sebelum agresi Tentara Belanda ke ibu kota Yogyakarta).

Selain tiga tonggak sejarah tersebut di atas, dapat pula dikemukakan tiga kegiatan perjanjian RI – Belanda, sebagai berikut .



  1. Perjanjian/perundingan RI–NICA 1946 terutama tentang pengurusan ex para tahanan Bala Tentara Jepang ( RAPWI) dari kamp-kamp tahanan /interniran di pedalaman yang sudah dikuasai pemerintah RI dengan pengawalan pasukan TNI. Tugas ini merupakan “pelibatan TNI untuk pertama kalinya melaksanakan tugas internasional (Misi PBB).




  1. Perundingan RI–Belanda dalam pengawasan utusan-utusan PBB (Komisi Tiga Negara/KTN). Di atas kapal perang Angkatan Laut AS Renville. Agresi Belanda ini benar-benar “menggencet” RI sehingga bagian besar wilayah pedalaman pulau Jawa yang semula masih dikuasai TNI/RI harus dikosongkan dari unsur-unsur TNI. TNI terpaksa mematuhi ketentuan hasil perundingan itu dan untuk selanjutnya dipersiapkan kembali sebagai “basis/ pangkalan” RI/TNI dalam kelanjutan perang yang sudah diinstruksikankan beralih ke perang gerilya/perang Rakyat Semesta. Menurut perjanjian Renville daerah pedalaman (yang belum pernah tersentuh kekerasan Tentara Belanda) “harus dikosongkan dari pasukan dan perorangan TNI”.

Puluhan ribu pasukan beserta keluarga dipindahkan ke wilayah yang menurut perjanjian adalah sisa wilayah RI di pulau Jawa, yaitu tersisa sebagian (selatan) Jawa Tengah Solo dan Yogyakarta, dan sebagian (selatan) Jawa Timur (Madiun). Perpindahan pasukan yang dipaksakan oleh perjanjian itu kemudian diberi sebutan gerakan “Hijrah” (perjalanan Nabi Mohammad pindah dari Mekkah ke Medna untuk konsolidasi kekuatan). Bisa dibayangkan betapa rentannya wilayah RI terhadap kemungkinan kerusuhan karena tertumpuknya pasukan bersenjata (TNI dan Lasykar).


  1. Perundingan Konferensi Meja Bundar di Jakarta dan Hooge Veluwe Nederland. Dalam perundingan ini pun RI direndahkan posisinya karena didudukkan setara dengan “negara-negara boneka” Belanda (anggauta BFO) . Lebih dari itu, pemerintah RI menerima konsep “negara federal” (Republik Indonesia Serikat) dengan Republik Indonesia sebagai salah satu anggauta/negara bagiannya. RIS juga dikurung dalam suatu Unie RIS–Kerajaan Belanda di bawah kedaulatan Ratu Belanda.

Dengan demikian banyak “kekalahan” diplomasi, RI masih mendapatkan beberapa “kemenangan, antara lain Presiden RIS adalah Bung Karno, lembaga ketentaraan yang dipertahankan dan dikembangkan secara integral dengan bekas Tentara Kolonial adalah Tentara Nasional Indonesia (yang waktu itu disebut sebagai Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Dengan berkah Rahmat Allah SWT keberadaan bentuk kenegaraan RIS ini tidak berlangsung lama. Karena kelangsungan perundingan KMB banyak mendapat halangan maka pemerintahan ini terasa makin kurang berarti. Dengan kesepakatan pemerintahan RIS diubah sebagai negara kesatuan RI. Meskipun “untuk sementara” digunakan UUD RIS sebagai UUD Sementara 1950 sampai lembaga Konstituante (setara MPR) dan DPR terbentuk melalui Pemilihan Umum dan menghasilkan UUD RI yang baru.

Era Pemerintahan Liberalistik UUD-S 1950

dan

Demokrasi Terpimpin UUD 45 di Luar Kerangka
Pada era ini pemerintahan berlangsung dengan sistem kekuasaan parlemen dikelola oleh suatu kabinet yang didominasi oleh partai-partai politik dengan pimpinan seorang Perdana Menteri (PM) dan lebih dari satu Wakil PM yang bertanggungjawab kepada Parlemen/DPR. Karena keadaan kepartaian kita masih dalam kesemerawutan dan dasar pokoknya adalah ideologi-ideologinya masing-masing sangat berbeda, kalau tidak bisa dikatakan bertentangan (nasionalisme berbagai partai), Islam (juga seperti halnya Nasionalisme), Sosialisme, Komunismem, Kristen dan Katolik dan beragam lagi yang semuanya berusaha ikutserta dalam Pemerintahan (Kabinet dan Lembaga Negara lainnya).

Dalam kondisi pemerintahan di Pusat Kabinet), Presiden yang berada di luar pemerintahan sibuk dengan mengusahakan suatu konferensi internasional untuk menggalang “kekuatan negara-negara baru berkembang (the New Emergiung Forces) terutama negara-negara Asia–Afrika dan Amerika Selatan/Latin yang kemudian mewujud dalam Konferensi Afro Asia 1956 di Bandung yang disambut hangat diikuti oleh hampir semua negara yang tidak memihak atau ikut serta dalam salah satu kekuatan Blok Barat (AS dan Eropa Barat) atau Blok Timur (Uni Soviet Rusia dan Eropa Timur) dalam rangkaian penyelenggaraan Perang Dingin.



Dari KAA ini kemudian lahir Gerakan Non Blok (G N B) yang terus dipacu oleh Bung Karno (Presiden RI) memperkuat “daya penangkal” terhadap agresi dan atau intimidasi untuk timbulnya konflik internal yang akan melibatkan negara Non Blok tersebut.

  1. Berusaha Untuk Memperbaiki Keadaan (ideologi politik terutama) tahun 1956, pemerintah menyelenggarakan Pemilihan Umum, untuk keanggautaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante semacam MPR/perumusan UUD RI yang diamanatkan dalam UUD RI 1945. Lembaga Konstitunate mengalami “kemacetan” antara lain karena terjadinya ketegangan dalam membahas kemungkinan Pancasila dipertahankannya Pancasila sebagai dasar ketatanegaraan RI.

Dengan kondisi seperti itu, Presiden Soekarno meredam suasana yang sangat peka bagi Bangsa Indonesia dengan menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959 yang mengaskan bahwa untuk selanjutnya negara RI kembali menggunakan UUD 45 sebagai dasar penyelenggaraan negara RI. Dan sesuai dengan UUD 45 itu kekuasaan pemerintahan negara kembali di tangan Presiden RI. Untuk memenuhi UUD Presiden dengan kekuasaan Kepala Negara dan dukungan berbagai Partai Politik memilih dan menetapkan personalia DPR, MPR, Kabinet dan Lembaga Tinggi lainnya. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Presiden Soekarno menerapkan wacana “Demokrasi Terpimpin” dengan pemusatan segenap kekuasaan dalam kapasitas Kepala Negara.


  1. Dalam Era Ini RI Mengalami Goncangan Politik yang sangat dikhawatirkan berpotensi merusak kesatuan negara. Justru sesudah terbentuk DPR hasil Pemilu 1956 yang diharapkan dapat menstbilkan penyelenggaraan negara, di beberapa daerah tumbuh berkembang perasaan adanya ketidakadilan dalam pemanfaatan anggaran negara. Semula daerah/propinsi menggalang massa dan mendirikan lembaga “pemerintah tandingan” yang mereka sebut sebagai “Dewan” untuk memperkuat tekanan kepada Pusat.

Celakanya berbagai unsur TNI justru setuju dengan aspirasi Dewan dan berpihak kepada Dewan. Keadaan memburuk terutama di Sumatera Barat yang sudah membentuk pemerintahan tandingan dengan nama Pemeritah Republik Rakyat Indonesia (PRRI) dan di daerah Sulawesi Utara yang membentuk “Perjuangan Semesta” (Permesta). Akhirnya setelah diupayakan penyelesaian damai tanpa hasil, Pimpinan TNI mempersiapkan dan nerebut kembali daerah-daerah yang semula dikuasai para pembangkang itu.
Dalam peristiwa ini ternyata ada pesawat AU AS yang terlibat membantu para pembangkang. Nyata bahwa sengketa internal Indonesa dan negara non-blok masuk sebagai bagian kepentingan negara-negara adhi daya. Selain dari dua gangguan keamanan tersebut di atas, harus pula ada kesiagaan kekuatan TNI dan Rakyat mengatasi gangguan keamanan gerombolan pengacau keamanan (GPK) Darul Islam di daerah Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Dalam keadaan seperti itu, karena kelanjutan perundingan KMB tentang penyerahan kedaulatan atas Papua (kemudian Irian) Barat tertunda-tunda, Presiden Soekarno menyerukan Tri Komando Rakyat (Trikora) Pembebasan Irian Barat dan agar seluruh Rakyat siap siaga. Angkatan Bersenjata RI (ABRI) mempersiapkan suatu Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, Pasukan “Sukarelawan” disusupkan (infiltrasi) ke sasaran strategis untuk mengganggu kesiagaan sistim pertahanan Belanda, Pasukan “sukarelawan” ini sebagian besar adalah pasukan elit AB dan beberapa sukarelawan penerjun payung bukan anggauta ABRI.

Di bagian lain di wilayah laut Sulawesi dan kepulauan Maluku sedang bergerak beberapa gugus tugas AL semuanya menuju ke “daerah kumpul” kekuatan Kogasgab yang disiapkan untuk melakukan “penyerbuan” di beberapa titik strategis Papua Barat. Kampanye militer ABRI secara “all out” diberi nama sandi Jayawijaya. Syukurlah beberapa hari sebelum hari H Penyerbuan, fihak Belanda bersedia berunding untuk penyerahan Irian/Papua kepada Republik Indonesia di tahun 1963, Dengan penyelesaian secara damai itu beratus jiwa anak muda, prajurit-prajurit di kedua belah fihak dapat terselamatkan.

Presiden Soekarno yang amat tidak dapat “menerima” kebijakan politik Kerajaan Inggris tentang dekolonisasi wilayah Malaya, Singapura dan Borneo Utara, memprotes dan sekali lagi menyerukan suatu komando (Dwi Komando Rakyat/Dwikora) untuk melaksanakan konfrontasi. Kali ini karena misi operasionalnya tidak memerlukan kekuatan yang besar maka ABRI hanya melibatkan satu Komando Tempur. Apabila kebijaksanaan Inggris itu diteruskan. Dalam kondisi yang hiruk pikuk, keluar dengan sikap konfrontatif sedangkan ke dalam tidak terjadi pertumbuhan yang layak, maka kondisi ketahanan Rakyat makin melemah. Faktor-faktor sosial ekonomis menurun dengan sangat derasnya sehingga menambah penderitaan rakyat. Dalam keadaan seperti itu Partai Komunis Indonesia yang menampilkan diri sebagai “pendukung setia” Bung Karno, makin “berani“ mempropagandakan aksi-aksi “pro Rakyat”nya dan mengagitasi unsur-unsur masyarakat untuk membentuk “kekuatan progresif revolusioner”.

Meski kurang tertib dan tidak terorganisasi dengan baik Gerakan Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita sebagai kelanjutan struktur organisasi PKI di kalangan pemuda dan wanita terus membesar. Belum lagi pengaruh propaganda dan agitasi unsur-unsur PKI yang sudah tertanam di lingkungan petani, nelayan, buruh, pegawai negeri serta yang terselubung di dalam kalangan prajurit ABRI. Dukungan dan bantuan dana dan materiel berdalih mendukung pelaksanaan Dwikora. Postur PKI di era ini memang sangat excellent dan tema propagandanya paling “Pro Rakyat” menenggelamkan partai-partai politik yang lain.

Yang utama dimusuhi PKI adalah TNI lebih khusus TNI Angkatan Darat dengan Sapta Marga Perajurit ABRI dan perangkat Teritorialnya yang mampu menggalang kekuatan bersama Rakyat secara efektif menanggulangi gangguan dan intimidasi unsur-unsur PKI.

Suasana dan potensi konflik ini, akhirnya pada tanggal 31 September 1965 tengah malam meledak dengan penyerangan dan penculikan serta pembunuhan keji oleh unsur PKI terhadap pejabat-pejabat teras TNI Angkatan Darat. Peristiwa keji ini demikian di-atur rapi sehingga mengesankan sebagai “internal conflict” pejabat-pejabat tinggi AD, yaitu dengan dilibatkannya para perwira dan pasukan yang sebagian besar adalah paukan yang dipersiapkan untuk upacara Peringatan HUT ABRI 5 Oktober 1965 yang sudah terhimpun di Jakarta dan pasukan Pengawal Istana Kepresidenan Cakra Bhirawa dan pasukan Pemuda Rakyat dan Gerwani PKI.

Amat disesalkan bahwa Presiden Soekarno yang dijadikan “dalih” (isu bahwa beliau sakit keras dan dalam waktu dekat tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai kepala negara, suatu informasi yang kabarnya diberikan oleh suatu tim kedokteran yang didatangkan dari RR Cina) dalam peristiwa ini, tidak segera dapat menyelesaikan masalah, yang akhirnya membawa beliau tidak memperoleh kepercayaan dan diberhentikan dari jabatan Presiden/Kepala Negara Republik Indonesia.

Catatan:

Dalam Sejarah Indonesia, PKI sudah tiga kali melakukan pembangkangan (1926 terhahap Belanda), pemberontakan dua kali melawan kedaulatan negara RI, 1948 di Madiun dan Solo. Dan 1965 di Jakarta, Madiun dan Blitar. Tidak satu pun yang berhasil meskipun sudah dengan bantuan kekuatan asing/LN. Demikian pula dalam gerakan makar 1965, PKI telah mampu menghimpun suara yang cukup significant dalam jumlah dan tebaran kewilayahannya dalam Pemilu dan berhasil pula menyusup dalam lingkungan intern ABRI, baik yang di Jakarta mau pun yang di daerah-daerah. Tetapi, kelemahannya adalah dalam obsesi yang berlebihan sehingga dengan isu kesehatan Bung Karno dikabarkan segera tidak mampu melaksanakan tugas sudah dianggap benar tiba waktunya untuk “bergerak” untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan. PKI tidak mau tahu bahwa kondisi politik sedang rentan dengan berbagai permasalahan negara yang belum ada penyelesaiannya yang mampu mendinginkan suasana penyelenggaraan negara.

Presiden sendiri sedang menyibukkan diri menggalang kekuatan Nefos untuk merubah hegemoni Barat dalam hampir segala aspek kehidupan umat. Dwi Komando Rakyat yang dilancarkan di Kalimantan masih banyak hal yang meminta perhatian pribadi Presiden. Perbedaan pendapat dalam sidang-sidang Konstituante, masing-masing dalam alirannya sendiri masih terus berlangsung melalui media massa yang langsung didengar umum/publik meski belum tentu mengerti persoalannya, makin menggoyahkan pendiriannya terhadap “kesetiaan” yang dituntut oleh aliran dimana dia bergabung.

Ini semua menggerogoti kesetiaan kita terhadap Dasar-Dasar Negara, yang bisa membahayakan keeratan ideologi di antara sesama warga negara. Ibarat pendulum ia bergerak tak berketentuan, kadang ke ekstrim Barat Liberalisme dan Kapitalisme, ke Ekstrim Kiri Marxisme/Komunisme dan juga tidak bisa diabaikan pengaruh kekuatan yang “setengah ekstrim” seperti Islamisme (radikal) dan Marhaenisme (nasionalis radikal). Konflik kepentingan kecil atau besar hampir pasti berakibat terjadinya “letupan”.

Belum lagi masalah ekonomi atau lebih tepat seperti yang dicanangkan UUD RI 1945 diumumkan 18 Agustus 1945, kesejahteraan sosial yang bukan sekedar ekonomikal dan juga bukan “siraman rohani” tetapi sesuatu yang menyatu (integrated) dalam kepentingan hidup (fisikal, moral and spiritual in harmoni) yang serasi. Demikian pula halnya Keadilan yang bagi orang Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam salah satu sila Pacasila (Pembukaan UUD 45) “Keadilan Sosial” bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sampai hari ini dua kata “Keadilan Sosial” ini belum menjadi dasar perangkat Hukum kita. Kita masih berkutat dalam hukum yang dasarnya ialah keadilan (bagi) perorangan (“individual”) bukan dan jauh dari keadilan berdasar kebersamaan atau keadilan sosial.

Itu sebabnya banyak persoalan yang dibawa ke pengadilan, baik pidana mau pun perdata, tak dapat dicarikan solusi yang terbaik. Contoh faktual masalah korupsi yang dilakukan secara beramai-ramai korupsi sudah tingkat membudaya. Sebaliknya partai-partai politik yang lain tidak mengambil pelajaran dari peristiwa, yang kemudian kita sebut sebagai “Pengkhianatan Gerakan 30 September /PKI”. Partai ini dengan segenap struktur di bawahnya dinyatakan sebagai “organisasi terlarang” dan kemudian sisa-sisa PKI mengkonsolidasi dirinya dan melanjutkan gerakannya sebagai “organisasi tanpa bentuk “ (OTB).

Yang kemudian berhasil memanfaatkan keruntuhan PKI ialah organisasi fungsional atau kekaryaan yang memang sudah sejak semula memihak dan memperkuat kekuatan politk ABRI melalui suatu Sekretariat Bersama Golongan Kekaryaan (Setber Golkar) yang kemudian menjadi Golongan Karya, GOLKAR, organisasi politik. Kerjasama ABRI dan kalangan cendekia dari berbagai disiplin ilmu dan perguruan tinggi melalui jalur operasional pendidikan TNI AD sudah terjalin rapi deangan mengangkat para guru besar sebagai pengajar (honorer) pada Sekolah Staf dan Komando AD (Seskoad). Peran para cendekia ini terutama amat besar dalam penyelenggaraan Seminar TNI Angkatan Darat ke-II (1966) yang menghasilkan dua dokumen yang amat berarti yaitu:

(1) Doktrin Perjoangan TNI Angkatan Darat “Tri Ubaya Sakti”

(2) Sumbangan Pikiran tentang Pembangunan (Rehabilitasi) Politik dan Ekonomi Nasional.
Dokumen kedua ini bermaksud membantu Jenderal TNI Soeharto (sebagai pejabat sementara Presiden sekaligus Ketua Presidium Kabinet RI) yang waktu itu belum memiliki konsep rencana strategis sesudah Presiden Soekarno di-non-aktif-kan dari jabatan Presiden RI.

Selama hampir dua tahun (1965–1967) terjadi semacam dualisme dalam kepemimpinan pemerintahan negara. Dukungan politik makin menguat kepada Jenderal TNI Soeharto karena ketegasan sikapny terhadap semua yang bersangkut paut dengan Komunisme dan PKI. Pemerintahan baru ini juga mendapat perhatian dan dukungan untuk segera mengatasi permasalahan ekonomi dan moneter yang selama pemerintahan Presiden Soekarno diabaikan demi kepentingan “politik revolusioner” yang keras dan konfrontatif.


Latar Kesejarahan ke-5:

Era Pemerintahan “Orde Baru”

Sebagai Orde Pembangunan Nasional Berencana

Sistim politik oleh pemerintah dengan segala cara dan kemampuan “membatasi” jumlah partai politik dan “membesarkan” organisasi politik Golongan Karya. Untuk itu berbagai politik disatu-kelompokkan ke dalam hanya dua partai politik yaitu Partai Demokrasi Indonesia yang menampung semua organisasi berhaluan Nasionalis Religius (termasuk ex partai Kristen, katolik) . Sedangkan yang satu lagi ialah semua organisasi (partai dan non partai) Religius (terutama Islam) Nasionalis. Hasilnya tentu saja tidak seperti diharapkan. Sebaliknya keberadaan Golkar sangat dominan dalam menghasilkan produk produk hukum dan perundangundangan termasuk dan terutama pembuatan/penyusunan Garis Besar Haluan Negara (arahan untuk merancang Program Pembangunan Lima Tahunan/Repelita yang digarap bersama Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat).

“Sistim Perwakilan” oleh pemerintahan Orde Baru diwujudkan tidak hanya terdiri dari wakil partai dan organisasi politik tetapi juga kekuatan sosial/fungsional. Angkatan Bersenjata RI (TNI dan Polri termasuk para purnawirawannya) adalah salah satu kekuatan sosial yang mendapat tugas Perwakilan ini bersama dengan kekuatan sosial politik lain, seperti antara lain dari kalangan (organisasi) ulama, guru/pendidikan, budaya, petani, nelayan, pekerja, pemuda, wanita meskipun jumlahnya tidak banyak.

Secara struktur seluruh anggota Perwakilan itu disatukan dan berstatus anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Setengah dari jumlah itu “merangkap” status sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang aktif mendampingi dan bekerja sama dengan Pemerintahan negaram yaitu sebagai perwujudaan tugas dan fungsi parlementer. Sedangkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki kekuaasaan tertinggi negara, terutama dalam dua hal yaitu:

(1) Pemilihan dan Pengangkatan/Pemberhentian jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

(2) Menetapkan Garis Besar Haluan Negara (panduan strategis Pembangunan Nasional Lima Tahunan/Rencana Pembangunan Jangka Sedang dalam kerangka Pembangunan Nasional 25 tahun/Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
MPR hanya bersidang satu kali dalam lima tahun (Sidang Umum), kecuali bila ada masalah kenegaraan yang gawat dan atau negara dalam keadaan darurat (Sidang Istimewa). Perwakilan ABRI diwujudkan dalam satu Fraksi ABRI yang aktif pada DPR dan MPR. Bagi ABRI ini merupakan peran sebagai Kekuatan Sosial dalam kerangka pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI. Sangat disesalkan bahwa Fungsi Sosial ABRI ini dimatikan sedangkan fungsi sosial itu tidak hanya melibatkan dalam persoalan politik saja tetapi juga di bidang kehidupan sosial lain.


Yüklə 202,92 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin