Mutu proses dan penyelenggaraan pendidikan ditentukan oleh banyak faktor, seperti dirumuskan dalam formula berikut:
MP = F (PPD. PTK. FP, BL)
Keterangan:
MP = Mutu Pendidikan
PPD = Potensi Peserta Didik
PTK = Profesionalisme Tenaga Kependidikan
FP = Fasilitas Pendidikan/Belajar
BL = Budaya Lembaga Pendidikan
Potensi peserta didik mencakup kondisi kecerdasan intelektual, emosional, sosial, moral-spiritual, dan fisikal. Potensi tersebut dipengaruhi oleh pola asuh dan status sosial ekonomi keluarga. Profesionalisme tenaga kependidikan berkaitan dengan kompetensi untuk melakukan tugas dan layanan profesi. Kapasitas profesional terutama dibentuk dalam proses pendidikan pra-jabatan (pre-service education). Fasilitas pendidikan mencakup sarana, pra-saranan, dan peralatan lainnya yang diperlukan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, seperti laboratorium, perpustakaan, dukungan fasilitas praktek. Budaya lembaga pendidikan dicerminkan oleh respon psikologis penghuni kampus terhadap kebijakan lembaga, pola hubungan sosial, serta kondisi penataan kampus yang melahirkan keamanan, kebersihan, keindahan, dan kenyamanan.
Ciri profesional utama tenaga kependidikan adalah kapasitas otonomi profesional, yaitu kapasitas menentukan tindakan terbaik untuk melayani peserta didik. Ciri utama lainnya adalah kemampuan adaptabilitas melalui belajar terus menerus, sehingga tenaga kependidikan itu memiliki kapasitas memperbaharui dirinya sendiri (self-renewal capacity)
Berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 pada Bagian Kedua tentang Hak dan Kewajiban, Pasal 14 disebutkan bahwa:
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:
-
memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
-
mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
-
memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
-
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
-
memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
-
memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik seuai dengan kaidah pendidikan, kode etik dosen, dan peraturan perundang-undangan;
-
memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
-
memiliki kebebasan untuk berserikat dalam akademik profesi;
-
memiliki kesmepatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
-
memperoleh kesmepatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi, dan/atau
-
memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, meliputi:
-
gaji pokok;
-
tunjangan yang melekat pada gaji;
-
penghasilan lain berupa:
-
tunjangan fungsional
-
tunjangan khusus
-
maslahat tambahan
Komponen pengembangan budaya dan iklim akademik secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori dengan beberapa aspek sebagai berikut:
-
Budaya akademik meliputi aspek-aspek:
-
Nilai
-
Norma
-
Perilaku
-
Lingkungan fisik akademik meliputi:
-
Keindahan
-
Keamanan
-
Kenyamanan
-
Ketentraman
-
Kebersihan
-
Lingkungan sistem akademik meliputi:
-
Berbasis mutu
-
Kepemimpinan kepala akademik
-
Disiplin dan tata tertib
-
Penghargaan dan insentif
-
Harapan untuk berprestasi
-
Akses informasi
-
Evaluasi
-
Komunikasi yang intensif dan terbuka
Akademik merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif terus-menerus untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran akademik.
BUDAYA
PEMBERDAYAAN AKADEMIK
LINGKUNGAN FISIK AKADEMIK
PEMBERDAYAAN AKADEMIK
a. Berbasis mutu
b. Kepemimpinan
c. Disiplin dan tata tertib
d. Penghargaan dan
insentif
e. Harapan berprestasi
f. Akses informasi
g. Evaluasi
h. Komunikasi formal dan
informal
a. Nilai
b. Norma
c. Perilaku
a. Indah
b. Aman
c. Nyaman
d. Tentram
e. Bersih
BUDAYA DAN IKLIM AKADEMIK
Gambar : Model dalam Membangun Budaya dan iklim Akademik
Budaya dan iklim akademik yang efektif akan memberikan efek positif bagi semua unsur dan personil akademik seperti kepala akademik, dosen, staf, peserta didik dan masyarakat. Prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam pengembangan budaya dan iklim akademik adalah sebagai berikut.
-
Berfokus Pada Visi, Misi dan Tujuan Akademik
Pengembangan budaya dan iklim akademik harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan akademik. Fungsi visi, misi, dan tujuan akademik adalah mengarahkan pengembangan budaya dan iklim akademik. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya dan iklim akademik.
-
Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal
Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi dalam akademik, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya budaya dan iklim akademik. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
-
Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko
Salah satu dimensi budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya akademik menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
-
Memiliki Strategi yang Jelas
Pengembangan budaya dan iklim akademik perlu ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
-
Berorientasi Kinerja
Pengembangan budaya dan iklim akademik perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu akademik.
-
Sistem Evaluasi yang Jelas
Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya dan iklim akademik perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.
-
Memiliki Komitmen yang Kuat
Komitemen dari pimpinan dan warga akademik sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya dan iklim akademik. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
-
Keputusan Berdasarkan Konsensus
Ciri budaya organisasi yang positif adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut.
-
Sistem Imbalan yang Jelas
Pengembangan budaya dan iklim akademik hendaknya disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi peserta didik yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya dan iklim akademik.
-
Evaluasi Diri
Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi di akademik. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala akademik dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya dan iklim akademik. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur budaya dan iklim akademik.
-
Asas-Asas Pengembangan Budaya dan Iklim Akademik
Definisi budaya dan iklim akademik sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan sebuah pola asumsi dasar dalam mengembangkan budaya dan iklim akademik efektif, sehingga unsur dan prinsip-prinsipnya dianggap valid untuk dilaksanakan secara terus menerus serta diterapkan bukan hanya dianggap sebagai strategi tetapi lebih condong dipandang sebagai budaya. Oleh karena itu peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di akademik harus senantiasa dibarengi dengan pengembangan budaya dan iklim akademik yang kondusif dengan menerapkan nilai-nilai dasar sebagai asas kehidupan akademik.
Secara umum asas-asas pengembangan budaya dan iklim akademik dapat diuraikan sebagai berikut:
-
Kerjasama tim (team work)
Pada dasarnya sebuah komunitas akademik merupakan sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Untuk itu, nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan aktivitas yang bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki oleh personil akademik.
-
Kemampuan
Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada tingkat kelas atau akademik. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan profesional dosen bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.
-
Keinginan
Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap peserta didik dan masyarakat. Semua nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan keinginan. Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala akademik, dosen, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada peserta didik dan masyarakat.
-
Kegembiraan (happiness)
Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh seluruh personil akademik dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan berimplikasi pada lingkungan dan iklim akademik yang ramah dan menumbuhkan perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil akademik. Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman akademik ditata dengan baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya.
-
Hormat (respect)
Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan akademik maupun dengan stakeholders pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena perasaan tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan akademik kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan cara memberi senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik. Atau mengundang secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang diperoleh dan sebagaianya.
-
Jujur (honesty)
Nilai kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan akademik, baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain. Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya dan iklim akademik yang baik.
-
Disiplin (discipline)
Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan akademik. Disiplin yang dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada. Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim lingkungan akademik yang disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja di akademik tetapi untuk semua personil akademik tidak kecuali kepala akademik, dosen dan staf.
-
Empati (empathy)
Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil akademik agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat empati warga akademik dapat menumbuhkan budaya dan iklim akademik yang lebih baik karena dilandasi oleh perasaan yang saling memahami.
-
Pengetahuan dan Kesopanan
Pengetahuan dan kesopanan para personil akademik yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para dosen, staf dan kepala akademik tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan peserta didik, orang tua dan masyarakat.
Pengembangan budaya mutu antara lain dapat dilakukan melalui penciptaan harapan yang tinggi untuk berprestasi di kalangan warga akademik. Yang dimaksud dengan budaya mutu adalah terciptanya kebiasaan-kebiasaan di akademik yang positif terutama dalam aspek sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja akademik yang tinggi.
Akademik yang memiliki budaya mutu, menyusun standar kinerja yang tinggi bagi dosen, staf dan peserta didik. Dosen yang berorientasi budaya mutu memiliki motivasi kerja, komitmen, dan kinerja yang tinggi dan sebaliknya menolak cara-cara yang menodai komitmen terhadap mutu. Peserta didik yang memiliki budaya mutu memiliki motivasi belajar, komitmen dan kerajinan yang tinggi dan sebaliknya menolak cara-cara yang tidak fair seperti menyontek, dan sebagainya.
DINAMIKA LINGKUNGAN STRATEGIS
Beberapa kecenderungan yang menjadi “drive” (pendorong) dinamika lingkungan global yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan, posisi dan peran lembaga pendidikan tinggi, antara lain :
1. Pergeseran Paradigma Ilmu Pengetahuan
Pergeseran paradigma keilmuan dari reduksionisme-deterministik ke arah holismesinergetik cenderung menyemangati fusi keilmuan. Sementara terdapat perkembangan berbagai disiplin ilmu untuk melihat hal-hal yang lebih khusus, tetapi banyak realitas masalah yang ditemui memiliki keterkaitan dengan berbagai unsur yang satu dengan yang lainnya, sehingga diperlukan kajian yang multi, inter atau trans disiplin. Dewasa ini, di pandang bahwa berbagai kajian keilmuan seperti ini tidak dapat dihindarkan lagi dalam meng hadapi kompleksitas kehidupan sehubungan dengan keberadaan dan kedudukan satu unsur merupakan komponen penting bagi unsur lain dalam jaringan keserbautuhan. Dengan kata lain, disadari sepenuhnya bahwa bahwa pengembangan ilmu secara terpisah-pisah dalam bilik-bilik disiplin yang ketat tidak akan mampu lagi memberikan jawaban tuntas tentang realitas semesta.
Pergeseran paradigma ilmu pengetahuan memicu berkembangnya kesadaran kosmologis yang antara lain meyakini bahwa planet bumi merupakan suatu organisme tunggal, dimana manusia, seperti komponen alam lainnya, merupakan elemen-elemen pembentuknya yang saling berinterkoneksi satu dengan lainnya (hipotesis Gaia). Kesadaran ini menimbulkan banyak pergeseran dalam tataran konseptual, di mana paham-pahan berbasis individualisme (yang diturunkan dari konsep atomisme Newtonian) bergeser digantikan oleh paham yang bernuansa kolektivisme dan kebersamaan. Sebagai contoh adalah pergeseran konsep persaingan menjadi konsep kemitraaan. Di samping itu, pergeseran paradigma ini dapat dianggap sebagai awal bertemu kembalinya filsafat dengan ilmu pengetahuan, serta perkembangan “spiritualisme” sebagai pelengkap dan atau komplementaris dari “scientism”. Pergeseran paradigma ini menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap “format” pengembangan ilmu di lembaga-lembaga perguruan tinggi, termasuk di Prodi P IPS. Pada umumnya, pengembangan dan pengajaran ilmu di lingkungan perguruan tinggi diselenggarakan dalam kelompok-kelompok disiplin ilmu yang memiliki dinding pemisah yang kokoh yang membatasi dengan disiplin ilmu lainnya. Format ini menghasilkan keluaran yang memiliki kemampuan yang relatif tinggi dalam bidang atau disiplin ilmu tertentu tanpa atau sangat sedikit memiliki pengetahuan di bidang ilmu yang lain. Perubahan format pendidikan dan pengembangan ilmu ke format “holistik”, dalam arti mampu menghasilkan keluaran yang memiliki wawasan ke ilmuan yang luas, tetapi tetap memiliki kompetensi yang memadai pada satu cabang keilmuan atau ketrampilan tertentu merupakan peluang sekaligus tantangan bagi lembaga-lembaga perguruan tinggi. Khusus bagi Prodi P IPS, kondisi ini seyogyanya dilihat sebagai peluang untuk mensejajarkan diri dengan universitas lain di Indonesia atau bahkan di mancanegara, karena pergeseran ini membuka peluang pengembangan diri yang relatif sama bagi setiap perguruan tinggi.
2. Perkembangan Teknologi
Perkembangan teknologi telah menyebabkan posisi negara berkembang menjadi semakin termarginalisasi. Pada beberapa dasawarsa yang lalu, perdagangan komoditas dunia masih didominasi oleh produk primer. Oleh karena itu, negara - negara berkem bang yang umumnya merupakan penghasil komoditas primer masih memiliki sumber pendapatan yang memadai. Kondisi ini telah bergeser dengan cepat yang ditandai dengan semakin meningkatnya pangsa komoditas yang memiliki muatan teknologi tinggi dan menengah dalam perdagangan dunia. Dengan kata lain, perkembangan iptek telah menggeser “resource based economy” ke “knowledge based economy”. Fakta ini merupakan tantangan bagi lembaga pendidikan tinggi agar lebih berperan dalam meningkatkan kualitas sektor ekonomi masyarakatnya, sehingga tidak terjebak dalam proses marginalisasi itu.
Perubahan teknologi terjadi dengan laju yang semakin tinggi. Sebagai contoh dapat dilihat dari perkembangan mikro-prosesor sebagai elemen utama sebuah komputer. Komputer pribadi yang pada awal tahun 1980-an hanya memiliki kecepatan sekitar 4 MHz, meningkat dengan laju yang sangat fantastis. Pada tahun ini, personal komputer yang dilengkapi dengan mikro prosesor dengan kecepatan 3 GHz (ini merupakan peningkatan sebesar hampir 750 kali lipat dalam kurun waktu kurang dari seperempat abad) telah menjadi pajangan setiap toko elektronik. Laju perubahan yang semakin tinggi ini menyebabkan teknologi dan juga ilmu pengetahuan menjadi cepat usang. Hal ini menimbulkan implikasi yang tidak kecil dalam pola kehidupan manusia secara umum, khususnya dalam format pendidikan yang dianut. Format konvensional yang berbasis pada pendekatan pengajaran (teaching approach) sulit dipertahankan. Karena format ini tidak mungkin lagi menghasilkan luaran yang mampu menyesuaikan diri dengan laju perubahan yang semakin cepat. Oleh karena itu, seyogyanya diganti dengan format baru yang berbasis pada learning approach, dimana peserta didik dibekali dengan teknik atau metoda learning, unlearning dan relearning, bukan hanya pada pembelajaran substansi pengetahuannya saja. Ada tantangan bagi lembaga pendidikan pada semua strata untuk melengkapi atau mempersandingkan metoda "maintenace learning" yang menjadi landasan utama sistem pembelajaran pada saat ini dengan metoda "evolutionary learning" yang memberikan kemampuan beradaptasi dan berubah (transformasi diri) kepada peserta didik.
Dampak lain dari laju perkembangan teknologi ini adalah terciptanya masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society) yang salah satu cirinya adalah proses pembelajaran yang berlangsung secara berkelanjutan (constant learning) bagi setiap anggota masyarakat. Pembelajaran 3 Dimensi : lifelong, lifedeep dan lifewidth learning, akan menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan dari setiap anggota masyarakat untuk mempertahankan dan atau memperbaiki posisinya di lingkungan pekerjaannya, atau bahkan menciptakan lapangan atau jenis pekerjaan baru. Kebutuhan ini merupakan pasar yang cukup besar di masa datang bagi lembaga-lembaga perguruan tinggi, walaupun akan menghadapi pesaing yang cukup berat dari berbagai perusahaan besar yang memperlihatkan kecenderungan untuk melaksanakan sendiri pelatihan bagi karyawannya.
Perkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi (Information and Communication Technology - ICT) telah mengubah cara kita menyimpan, mengakses, mendistribusikan, menganalis serta mempresentasikan ilmu pengetahuan. ICT menghadirkan tantangan baru terhadap berbagai asumsi yang berkaitan dengan ide tradisional mengenai perguruan tinggi dan sekaligus akan mentransformasikan format pendidikan tinggi. Pendidikan jarak jauh (distance learning atau online learning) diproyeksikan akan menjadi alternatif yang sepadan dengan format pendidikan tradisional yang berbasis kampus (campus based universities). Hal ini terutama disebabkan oleh karena online learning menawarkan substansi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan personal (just for you learning), menawarkan lingkungan pembelajaran yang didukung oleh simulasi dan multimedia yang semakin mampu mewakili kondisi yang sebenarnya, keleluasaan akses terhadap basis data pengetahuan, interaksi yang baik dengan instruktur yang mumpuni, serta tidak terikat pada waktu dan ruang. Karakteristik seperti ini membuat pembelajaran online menjadi alternatif menarik bagi banyak orang. Hal ini menciptakan tantangan terhadap perguruan tinggi tradisional yang berbasis kam pus, khususnya dilihat dari sisi biaya dan juga kualitas pendidikannya. Beroperasi dengan berbasis internet akan memungkinkan sistem ini menjangkau khalayak yang relatif luas sehingga memiliki skala ekonomi yang sulit dicapai oleh perguruan tinggi tradisional berbasis kam pus. Kampus tradisional hanya akan mampu bertahan terhadap ancaman ini jika ikut memanfaatkan ICT untuk meningkatkan pengalaman belajar di kampus. Tanpa menjadi lebih inovatif dalam pemanfaatan teknologi ini, perguruan tinggi berbasis kampus tidak akan mampu memanfaatkan keunggulan dari lingkungan pendidikannya dan kemungkinan besar akan kehilangan daya tariknya.
Perkembangan teknologi juga telah membawa spirit zaman baru. Kombinasi antara teknologi informasi, robotik dan kemajuan dari ilmu-ilmu hayati (life sciences) telah membuka kemungkinan bagi berbagai penemuan baru. Kecenderungan ini merupakan tantangan bagi setiap perguruan tinggi untuk diantisipasi sedini mungkin. Kegagalan dalam proses antisipasi dimaksud akan membuat perguruan tinggi bersangkutan akan terpuruk ke dalam jurang keterasingan dari dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang justru merupakan lingkungan bisnis utama (core bussiness) mereka
Keberadaan berbagai perusahaan, khususnya yang berskala menengah dan besar, merupakan tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan tinggi, khususnya dalam kegiatan penelitian. Data menunjukkan bahwa sebahagian besar kelompok perusahaan ini melakukan sendiri penelitian yang dibutuhkannya, sehingga pangsa penelitian perguruan tinggi hanya yang berkaitan dengan penelitian dasar saja. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjalin kemitraan dengan dunia usaha dalam melakukan penelitian, sebagaimana yang ditempuh oleh perguruan tinggi di mancanegara. Bagi lembaga perguruan tinggi di Indonesia, khususnya bagi Prodi P IPS, alternatif ini juga menghadapi kendala akibat terbatasnya jumlah perusahaan yang termasuk ke dalam kategori yang dimaksudkan di atas.
Dostları ilə paylaş: |