Aqidah Jihadiyah Umat Islam


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنْ الْكُفَّارِ



Yüklə 0,94 Mb.
səhifə7/13
tarix26.07.2018
ölçüsü0,94 Mb.
#58417
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   ...   13

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنْ الْكُفَّارِ


"Wahai orang – orang yang beriman perangilah orang – orang kafir di sekitar kalian."(Tafsir Ibnu Katsir)

PEMBAHASAN KEEMPAT BELAS

Memerangi orang – orang murtad yang menolak hukum Islam lebih didahulukan dari pada memerangi orang – orang kafir asli.

Karena orang – orang murtad lebih besar kejahatannya terhadap agama dan lebih berbahaya.

Ibnu Taimyah berkata, "Sunah telah menetapkan bahwa hukuman bagi orang murtad lebih besar dari pada hukuman bagi orang kafir asli dilihat dari beberapa segi ; diantaranya :


  • Orang – orang murtad itu boleh dibunuh sewaktu – waktu, ia tidak dikenakan membayar jizyah, dan tidak mendapatkan jaminan keamanan/perlindungan dari pemerintah Islam, berbeda dengan orang kafir asli.

  • Orang murtad itu boleh dibunuh, meskipun ia termasuk orang – orang lemah yang tidak mampu turut berperang. Berbeda dengan orang kafir asli, bila ia lemah dan tidak termasuk orang yang tidak turut perang maka ia tidak boleh dibunuh, menurut sebagian besar ulama seperti Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Karena inilah maka madhab jumhur sepakat bahwa orang murtad itu boleh dibunuh sebagaimana madzhab Malik, Syafi'i dan Ahmad.

  • Orang murtad tidak boleh mewarisi harta orang Islam yang meninggal, tidak boleh dinikahi, sembelihannya tidak boleh dimakan. Berbeda dengan kafir asli, dan hukum – hukum lainnya (Majmu' Fatawa 28/534)

Beliau juga berkata, "Kafir disebabkan kemurtadan lebih biadab/kasar menurut ijma' dari pada kafir asli." (Majmu Fatawa 28/ 478 )

Di tempat terpisah beliau berkata, Abu Bakar As Shidiq dan semua sahabat – sahabat lainnya mendahulukan perang (jihad) terhadap orang – orang murtad sebelum jihad melawan orang-orang kafir dan ahli kitab. Karena jihad melawan orang – orang murtad ini berarti menjaga/memelihara negeri – negeri yang telah didahulukan yang merupakan negeri kaum muslimin. Dan memasukkan orang – orang yang hendak keluar darinya ke dalam negeri tersebut.

Dan jihad melawan orang – orang musyrik yang telah memerangi kita, begitu juga ahli kitab adalah untuk menambah kemenangan agama. Menjaga modal itu lebih didahulukan daripada mencari keuntungan."(Majmu' Fatawa 25 / 158- 159 )

Menurutnya, Para sahabat telah sepakat lebih dahulu memerangi orang – orang murtad. Pengiriman pasukan yang dipimpin Usamah Bin Zaid ke Romawi di awal kekalifahan Abu Bakar tidak menjadikan prinsip ini samar. Sebab pengiriman pasukan itu merupakan perintah Nabi SAW dahulu (sebelum kewafatan beliau). Dan ternyata didalamnya ada kebaikan yang besar, yaitu dapat menakut – nakuti (meneror) orang – orang yang hendak murtad." (Al Bidayah Wan Hinayah, Ibnu Katsir 6/304-305)



PEMBAHASAN KELIMA BELAS :

Penguasa itu bila kafir dan menolak hukum Islam wajib diperangi. Perang melawan mereka hukumnya fardhu 'ain dan lebih didahulukan dari pada perang melawan selain mereka.


  1. Ini sebagaimana penguasa-penguasa yang mengatur rakyatnya dengan hukum selain syariat Islam dikebanyakan negeri-negeri kaum muslimin. Maka penguasa-penguasa itu telah kafir. Allah Berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ

"Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (Qs. Al Maidah : 44)

ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ

"Kemudian orang-orang kafir itu membuat tandingan terhadap Tuhan mereka." (Qs. Al An'am : 1)

Sebenarnya para penguasa itu, sebagian besar mereka, mengaku bahwa mereka beragama Islam, namun dengan kekufuran itu mereka menjadi murtad (keluar dari Islam).

Pada hakekatnya, tindakan mereka berhukum kepada selain hukum Allah berarti telah mensyariatkan hukum-hukum bagi manusia menurut kehendak mereka. Dengan begitu mereka telah mengangkat diri mereka sendiri sebagai tuhan-tuhan selain Allah bagi manusia. Allah berfirman,

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan mereka agama yang tidak diizinkan Allah." (Qs. Asy Syura : 21)

"Mereka menjadikan orang-orang alim mereka (Yahudi) dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah." (Qs. At Taubah : 31)

Kekufuran mereka adalah kekufuran yang bertambah-tambah dan bersusun-susun disertai penyimpangan mereka dari jalan Allah.

Tentang masalah tersebut telah saya kupas panjang lebar di dalam risalah yang lainnya yaitu (Risalah Da'watut Tauhid), di sana saya memberikan jawaban seputar silang pendapat terhadap firman Allah (Dan barang siapa berhukum dengan selain hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir) Qs. Al Maidah : 44

Saya telah menjelaskan bahwa nash itu bersifat umum dilihat dari berbagai segi. Dan kufur dalam ayat itu adalah kufur akbar.

Bila ada perbedaan pendapat dikalangan sahabat dalam menafsirkan suatu ayat maka kita memilih pendapat-pendapat yang menguatkan dalil kitab dan sunah sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam ilmu ushul.

Saya juga menjelaskan, bahwa kejadian yang menimpa kebanyakan bumi Islam adalah merupakan bentuk yang sama yang menjadi sebab diturunkannya ayat ini. Yaitu tidak difungsikannya hukum Allah (syariat Islam) dan membuat hukum baru serta menjadikannya syariat untuk diberlakukan bagi manusia. Sebagaimana orang-orang Yahudi meninggalkan hukum taurat yaitu merajam orang yang berzina dan menggantinya dengan syariat pengganti yang lain.

Saya juga menyebutkan bahwa bentuk kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat itu secara qoth'i masuk di dalam nash itu sendiri. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul. Yaitu apa yang disyariatkan oleh Ismail Al Qodhi sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar. [Ismail Al Qodhi berkata, (di dalam kitab "Ahkamul Qur'an", setelah beliau menceritakan beda pendapat tentang itu) "Dhahir ayat-ayat tadi menunjukkan bahwa barang siapa yang berbuat seperti apa yang mereka perbuat dan membuat hukum yang dengannya ia menyelisihi hukum Allah serta menjadikannya sebagai agama yang diamalkan. Maka ia benar-benar mendapatkan apa yang mesti mereka dapatkan, yakni ancaman yang tersebut dalam ayat itu, baik ia selaku hakim atau yang lainnya." (Fathul Bari 13/120)

Karena itu siapa saja yang turut serta (berpartisipasi) dalam membuat undang-undang atau hukum positif atau memutuskan perkara dengannya maka ia telah kafir dan kufur akbar yang mengeluarkannya dari agama Islam, meskipun ia telah melaksanakan kelima rukun Islam.

Pendapat inilah yang telah menjadi ketetapan ulama hari ini sebagaimana ucapan-ucapan mereka yang telah saya nukil di dalam bab tiga dari risalah ini. Yaitu pendapat syaikh Ahmad Syakir, Muhammad Hamid Al Faqy dan Muhammad Ibrahim Alu Syaikh.

Dalam risalah "Da'watu At Tauhid" saya telah menyebutkan siapakah orang-orang yang bisa disebut hakim menurut syar'i.
b. Penguasa yang murtad ini, bila tidak memiliki penghalang (bagi kekufurannya) maka wajib segera dicopot dan dihadapkan ke hakim, supaya ia bertaubat, bila tidak maka ia dibunuh. Bila ia bertaubat ia tidak boleh memegang kekuasaannya lagi. Sebagaimana sunah Abu Bakar dan Umar, semoga Allah meridhoi keduanya. Nabi bersabda,

فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي عضوا عليها بالنواجد

"Hendaklah kalian mengikuti sunahku dan sunah khalifah-khalifah rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah sunah-sunah itu dengan gigi geraham." (HR. Tirmidzi)

Imam Ibnu Taimiyah berkata, "Umar tidak pernah memberikan jabatan kepada orang-orang munafik sedikitpun (dalam urusan kaum muslimin), Abu Bakarpun demikian juga. Karena ketaatan keduanya kepada Allah maka keduanya tidak terpengaruh dengan celaan orang yang mencela.

Bahkan tatkala keduanya memerangi orang-orang murtad dan telah mengembalikan mereka kepada Islam, keduanya melarang mantan orang-orang murtad itu untuk mengendarai kuda dan menyandang senjata hingga kebenaran taubat mereka itu jelas.

Umar pernah berkata kepada Sa'ad bin Abi Qaqash yang saat itu menjabat amir di Iraq, "Jangan sekali-kali engkau memberi jabatan/tugas seorangpun dari mereka, dan jangan bermusyarawah dengan mereka dalam urusan perang."

Mereka adalah dedengkot-dedengkot kaum murtad, seperti Tulaihah Al Asadi, Al Aqra' bin Haqbis, Uyainah bin Hishr dan Al Asy'ats bin Qais Al Kindi serta orang-orang yang semisal dengan mereka.

Tatkala Abu Bakar dan Umar khawatir terhadap kenifaqan mereka, maka keduanya tidak memberikan jabatan dalam urusan kaum muslimin bagi mereka. (Majmu Fatawa 35/65)



c. Bila penguasa yang murtad itu menolak syariat dengan dibekingi sekelompok orang yang siap berperang membelanya, maka ia dan kelompoknya wajib diperangi. Dan siapapun yang berperang membelanya adalah kafir.

Allah berfirman,

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

"Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai penolong (pemimpin) maka ia termasuk golongan mereka." (Qs. Al Maidah : 51)

Kata "Man" (barang siapa) pada ayat tersebut adalah isim syarat yang merupakan bentuk umum. Ia juga berlaku umum bagi siapa saja yang berwala' (menjadikan penolong/pemimpinnya) kepada orang kafir dan menolongnya dengan perkataan dan perbuatan.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata (tentang pembatal-pembatal keislaman) "Saling membantu dan menolong orang-orang musyrik untuk memerangi kaum muslimin, dalilnya firman Allah, "Barang siapa (diantara kalian) yang menjadikan mereka sebagai pemimpin maka sesungguhnya ia termasuk golongannya. Dan Allah itu tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim." (Qs. Al Maidah : 51). (Majmu' Tauhid, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Wahab halaman 38)

Siapapun mereka pasti akan diperangi! Sebagaimana diperanginya kaum murtaddin meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menampakkan sebagian syariat-syariat Islam. Ini disebabkan karena mereka melakukan tindakan yang membatalkan Ashlul Iman (dasar iman)

Allah Swt berfirman,


الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ

"Orang-orang yang beriman itu mereka berperang di jalan Allah, sedangkan orang-orang kafir itu mereka berperang di jalan thaghut." (Qs. An Nisa : 76)

Maka siapa saja yang menolong orang kafir baik dengan perkataan maupun perbuatan untuk menolong kekufurannya berarti ia telah kafir semisal dengan orang yang ditolongnya itu.

Demikian inilah hukum zhahir di dunia sebagaimana hukum orang yang menolak untuk membantu ahlul iman dan ahlul jihad.

Terkadang orang tersebut secara batin muslim, dan pada dirinya terdapat penghalang takfir (pengkafiran) atau syubhat atau sejenisnya. Hanya, keadaan ini tidak menghalangi vonis kafir terhadapnya karena adanya tuntutan (pengkafiran) yang ada pada dirinya itu.

Inilah sunah yang berlaku tentang hukum bagi orang-orang yang menolak hukum Islam. Masalah ini telah saya kupas di risalah lain dengan panjang lebar.

Ini merupakan ilmu yang sepantasnya disebarluaskan diantara manusia, agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula.
d.Adapun dalil tentang wajibnya menggulingkan penguasa bila ia kafir adalah hadits Ubadah bin Shomit ra. Beliau berkata,
دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعناه، فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في مَنْشَطِنا ومَكْرَهِنا وعُسْرِنا ويُسْرِنا وأَثَرَةٍ علينا، وأن لا ننازع الأمر أهله، قال: إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

"Kami pernah dipanggil Rasulullah SAW, lalu kami berbaiat kepada beliau. Maka beliau meminta kami agar berbaiat kepada beliau untuk mendengar dan taat di saat kami suka atau benci, sulit maupun mudah, atau kami diperlakukan tidak adil. Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya (penguasa yang sah). Beliau berkata, "Kecuali bila engkau melihat ada kufur yang nyata, yang engkau memiliki bukti dari Allah tentangnya." (Muttafaq alaih dan lafadz dari Muslim)

An Nawawi berkata, "Qodhi 'Iyadh berkata, "Ulama telah sepakat bahwa jabatan imam (khalifah) tidak boleh diserahkan kepada orang kafir dan bila muncul kekafiran pada imam/khalifah maka, ia mesti dicopot sampai pada kata beliau, "Maka sekiranya muncul kekufuran dari dirinya atau ia mengubah syariat, atau ia berbuat kebid'ahan berarti ia telah keluar dari hukum wilayah (jabatan imamah) dan gugurlah kewajiban taat kepada dirinya. Dan umat Islam wajib berjihad melawannya, menggulingkannya dari kekuasaan dan mengangkat imam yang adil bila hal itu memungkinkan mereka.

Jika hal itu hanya dimampui oleh sekelompok orang maka mereka wajib menggulingkan penguasa kafir itu. Dan hal itu tidak wajib penguasa ahli bid'ah kecuali bila mereka menganggap ada kemampuan untuk itu. Namun bila mereka lemah dan tidak mampu melakukannya maka hal itu tidak wajib. Dan agar setiap muslim hijarh (keluar) dari tempat tinggalnya menuju tempat lain serta berlari dengan ketaatan terhadap agamanya." (Shahih Muslim dengan syarh An Nawawi 12/229)

Menurut saya, ijma yang telah disebutkan oleh Qodhi 'Iyadh telah dinukil Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol, (Fathul Bari 13/7)

Dan dari Ibnu At Tin dari Ad Dawudi (Fathul Bari 13/8). Dan dari Ibnu At Tin (Fathul Bari 13/116). Dan ijma ini telah ditetapkan sendiri oleh Ibnu Hajar. (Fathul Bari 13/123)


e. Bila kaum muslimin belum memiliki kemampuan untuk itu, maka mereka wajib melaksanakan I'dad. Imam Ibnu Taimiyah berkata,

كما يجب الإستعداد للجهاد بإعداد القوة ورباط الخيل في وقت سقوطه للعجز، فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

"Sebagaimana wajibnya bersiap-siap untuk jihad dengan cara menyiapkan kekuatan dan kuda yang ditambat di saat gugurnya kewajiban jihad karena adanya ketidakmampuan. Karena sesungguhnya apa saja bentuk kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya wajib." (Majmu fatawa 28/259)

Allah SWT berfirman,


وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لا يُعْجِزُونَ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

"Janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu mengira bahwa mereka akan lolos dari kekuasaaan Allah. Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan Allah. Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka segenap kekuatan yang kalian sanggupi." (Qs. Al Anfal : 59 - 60)

Nabi bersabda, "Ingatlah bahwa kekuatan itu melempar." (Beliau mengucapkannya) tiga kali." (Hr. Muslim dari Uqbah bin Amir)

Saya katakan, "Dari keterangan tadi anda mengetahui bahwa kewajiban umat Islam untuk menghadapi thaghut-thagut itu telah ditetapkan dengan nash syar'i dimana tidak boleh seorang muslimpun keluar/menyimpang dari ketetapan itu. Yaitu hadits yang bermakna (Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya/penguasa yang sah. Nabi bersabda, "Kecuali jika engkau melihat kufur yang nyata yang engkau memiliki bukti/keterangan dari Allah tentangnya"). Disamping itu telah ada ijma' yang menetapkan kewajiban untuk keluar memerangi mereka, sebagaimana keterangan tadi.

Karena itu tidak boleh ada ijtihad tentang bagaimana hukum menghadapi thaghut-thaghut itu di saat adanya nash dan ijma' yang telah menetapkan hukumnya!!

Dan barang siapa nekat berijtihad padahal telah ada nash dan ijma yang menetapkan persoalan ini berarti ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata!!

Misalnya mereka yang berusaha menerapkan hukum Islam melalui parlemen-parlemen syirik dan yang semisal dengan itu.

Dan bila diantara mereka berkata, bahwa ketidak mampuan itulah yang menghalanginya untuk keluar memerangi mereka. Maka saya katakan kepadanya, "Sesungguhnya kewajiban yang diperintahkan di saat adanya ketidak mampuan itu adalah melaksanakan I'dad!!! bukan turut serta dalam kancah parlemen-parlemen syirik mereka.

Apabila i'dad sulit diberlakukan maka wajib berhijrah dan bila hijrah juga sulit dilakukan ia tetap tinggal ditempatnya dalam keadaan tertindas dengan senantiasa memohon kepada Allah SWT sebagaimana kaum mustadho'fin yang beriman, dalam firmanNya,


الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا

"Yaitu orang-orang yang berkata, "Wahai Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya zhalim ini. Dan jadikanlah bagi kami pemimpin/pelindung dari sisiMu dan jadikanlah kami penolong dari sisiMu." (Qs. An Nisa : 75)

Adapun bila ia turut serta bersama mereka di parlemen-perlemen mereka yang bertugas membuat undang-undang, tentu tindakan ini tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim.

Karena turut serta (musyawarah) dengan mereka berarti telah ridho dengan demokrasi, dimana sistem ini menyerahkan kedaulatan kepada rakyat. Artinya, bahwa pendapat atau suara mayoritas dari wakil-wakil rakyat itu adalah syariat/undang-undang yang berlaku mengikat bagi umat.

Inilah kekufuran yang telah disebutkan dalam firmanNya

وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ



"Dan agar sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain menjadi tuhan-tuhan selain Allah." (Qs. Ali Imran : 64)

Jadi anggota-anggota parlemen ini adalah Arbab (tuhan-tuhan) yang tertera dalam ayat ini. Dan ia adalah bentuk kekufuran.

Dan barang siapa yang tidak tahu tentang hal ini maka wajib mengenalkan ilmu ini kepadanya.

Allah SWT berfirman,

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

"Dan sesungguhnya telah diturunkan kepada kalian dalam Al Kitab ini yaitu apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari atau dibuat sendau gurau, maka jangan sekali-kali kalian duduk-duduk bersama mereka hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Kalau begitu berarti kalian semisal dengan mereka." (Qs. An Nisa : 140)

Jadi barang siapa duduk bersama mereka dan menyaksikan kekufuran mereka maka ia semisal dengan mereka di dalam kekufuran itu.


f. Jihad melawan penguasa-penguasa murtad dan komplotan-komplotan mereka hukumnya fardhu 'ain bagi setiap muslim yang tidak tertimpa udzhur syar'i.

Di depan diterangkan bahwa jihad menjadi fardhu 'ain dalam tiga kondisi, diantaranya bila musuh kafir telah memasuki wilayah kaum muslimin. Dalam kondisi ini memerangi musuh tersebut hukumnya fardhu 'ain. Karena itu Al Qodhi "Iyadh berkata, "wajib bagi umat Islam untuk memerangi mereka."

Ucapan Ibnu Hajar lebih jelas lagi, beliau berkata, "Kesimpulannya bahwa penguasa yang murtad itu dicopot dari kekuasaannya, disebabkan kekufurannya menurut ijma'. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakan hal itu." (Fathul Bari 13/123)

Inilah pemahaman dari hadits Ubadah bin Shomit. Saya katakan, keberadaan jihad melawan thaghut-thaghut yang hukumnya fardhu 'ain itu merupakan ilmu yang wajib disebarluaskan secara umum terhadap kaum muslimin. Agar setiap muslim mengetahui bahwa secara pribadi ia mendapatkan perintah dari Rabbnya untuk memerangi mereka itu.

Maka sesungguhnya thaghut-thaghut itu telah memasang pagar pemisah yang mematikan yang dapat memisahkan, antara kaum muslimin secara umum dengan orang-orang yang berpegang teguh kepada agamanya. Cara ini untuk memudahkan mereka dalam memukul gerak orang-orang yang berpegang teguh kepada agamanya itu ditengah-tengah kebodohan dan sikap diam mayoritas umat Islam, di mana pada saat yang sama tiap individu dari mereka itu mendapatkan perintah yang sama pula, selama mereka adalah orang-orang Islam meskipun ia fasik dan melakukan hal-hal yang mendatangkan adzab. Karena, kefasikan seseorang tidak menggugurkan perintah syar'i, yaitu berjihad (Silahkan lihat lampiran ke empat)

Karena itu kewajiban bagi orang-orang yang berpegang teguh kepada agamanya agar mendobrak pagar pemisah itu dengan mempublikasikan kewajiban jihad ini kepada umat Islam secara umum, baik dengan cara dakwah fardiyah (personal) maupun dakwah 'aamah (umum).

Agar, urusan jihad ini menjadi urusan seluruh umat Islam bukan semata-mata urusan sekelompok manusia-manusia pilihan yang selalu digencet musuh siang dan malam.

Dan agar jihad ini berubah, dari urusan yang berlaku bagi orang-orang khusus menjadi urusan yang berlaku bagi orang-orang umum.

Di sinilah peta keberpihakan terhadap thogut dan antek-antek mereka akan berbalik arah. Sehingga sempurnalah sikap anti pati umat Islam terhadap thaghut-thaghut dan antek-antek mereka setelah kekufuran dan kejahatan mereka dikupas tuntas.

Allah SWT berfirman,

وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ

"Dan usirlah mereka sebagaimana mereka telah mengusir kalian." (Qs. Al Baqarah : 191)

Allah SWT telah berfirman kepada NabiNya SAW,

استخرجهم كما استخرجوك

"Usirlah mereka sebagaimana mereka telah mengusirmu." (HR. Muslim dari 'Iyadh bin Himar)

Sebagaimana thaghut-thaghut itu telah mengeluarkan orang-orang yang berpegang teguh kepada agama itu dari harta-harta mereka, memboikot mereka dan mempersempit kehidupan mereka, seperti firman Allah,

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِم



"Bagi orang-orang faqir dari kalangan muhajirin yang telah diusir dari kampung halaman dan harta mereka." (Qs. Al Hasyr : 8)

Karena itu wajib bagi orang-orang mukmin untuk mengusir thaghut-thaghut itu dari harta dan kekayaan yang digunakan untuk membiayai tentara-tentara mereka guna memerangi Allah dan RasulNya SAW.

Dan karena itu pula Rasulullah SAW pernah mendoakan orang-orang Quraisy agar tertimpa kelaparan.Abdullah bin Mas'ud berkata, "Sesungguhnya orang-orang Quraisy itu, tatkala mereka dapat mengalahkan Nabi SAW dan membikin sulit beliau, maka beliau berdo'a.

اللهم أعِنِّي عليهم بسَبْع كسبع يوسف، فأخذتهم سنة أكلوا فيها العظام والميتة من الجهد

"Ya Allah tolonglah aku untuk menghadapi orang-orang Quraisy itu dengan menimpakan tujuh tahun paceklik atas mereka sebagaimana tujuh tahun paceklil di zaman Nabi Yusuf."

Maka merekapun tertimpa paceklik yang panjang hingga mereka memakan tulang dan bangkai karena beratnya paceklik tersebut.

Dan diharamkan bagi setiap muslim untuk membayarkan hartanya kepada thaghut-thaghut itu dalam bentuk apapun. Baik berupa pabean di pelabuhan, pajak-pajak dan semisalnya, kecuali ia dipaksa atau ditekan untuk itu.

Allah SWT berfirman,

وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

"Dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan." (Qs. Al Maidah: 2)
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ

"Dan janganlah kalian memberikan harta-harta kalian kepada orang-orang bodoh." (Qs. An Nisa : 5)

Dan agar diketahui bahwa keberadaan pemerintahan-pemerintahan thaghut dan undang-undangnya itu tidak ada bobot kebenarannya dalam timbangan syar'i. Nabi SAW bersabda,

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

"Barang siapa beramal suatu amalan yang tidak ada dasar hukumnya dalam urusan kami, maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim)

Ini telah saya sebutkan pada dasar keenam bab Dasar-dasar berpegang teguh kepada kitab dan sunah.

Demikian juga, umat Islam wajib menguasai harta orang-orang kafir dengan paksaan (kekuatan) yaitu berupa ghonimah atau dengan tipu muslihat dan semisalnya yaitu berupa Fa'i.

Nabi SAW pernah keluar pada perang Badar dengan misi merampas harta yang dibawa kafilah dagang Quraisy, harta rampasan itu dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.

Secara global, wajib mengubah urusan jihad ini dari urusan yang berlaku bagi orang-orang khusus menjadi urusan yang berlaku bagi orang-orang umum (mayoritas umat Islam)

Karena membatasi urusan jihad bagi orang-orang khusus saja, tidak akan mendatangkan buah perubahan yang dicita-citakan. Tindakan seperti itu tentu menabrak kaidah yang tidak akan berubah, yaitu firman Allah SWT ,

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ



"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka merubahnya sendiri." (Qs. Ar Ra'du : 11)

Keterangan ini tidak berarti bahwa seluruh rakyat di negeri tertentu wajib untuk turut serta dalam urusan jihad ini, hal ini tentu merupakan anggapan mustahil.

Tetapi yang dituntut adalah agar sejumlah tertentu dari rakyat dapat membentuk kekuatan yang mampu menegakkan kewajiban (pelaksanaan aturan-aturan Islam) kemudian menjaganya dari gangguan musuh-musuh baik musuh-musuh dari luar maupun dari dalam.

Sedangkan rakyat yang lain cukup memberikan simpati dan dukungannya, atau paling tidak netral, tidak berpihak hingga mereka benar-benar mengetahui kebenaran.

Demikian juga wajib menyadarkan masyarakat Islam, bahwa barang siapa yang tidak mampu mengambil peran positif dalam menghadapi thaghut-thaghut itu, maka sedikitpun mereka tidak diperbolehkan untuk mengambil peran negatif! Ini bisa ia wujudkan dengan tidak memberi bantuan kepada thaghut-thaghut itu, dan tidak menyertai mereka dalam melancarkan serangan dan gangguan terhadap kaum mukminin.

Dengan begitu urusan jihad ini, setiap harinya akan memasuki rumah baru dari sekian rumah kaum muslimin.

Dan dengan dakwah akan terbentuklah penolong-penolong agama yang baru hingga janji Allah datang. Sesungguhnya Allah itu tidak akan menyelisihi janjiNya.

وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمْ الْوَارِثِينَ وَنُمَكِّنَ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَنُرِي فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا مِنْهُمْ مَا كَانُوا يَحْذَرُونَ

"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi." Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Hamman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu." (Qs. Al Qashash : 5 – 6)
g. Memerangi para penguasa murtad muqaddam (didahulukan) dari pada memerangi musuh-musuh Islam lainnya seperti orang-orang kafir asli, Yahudi, dan nasrani serta para penyembah berhala.

Perkara ini dapat ditinjau dari tiga sisi:

1. Karena ia merupakan jihad defensif yang hukumnya fardhu 'ain dan ia harus didahulukan daripada jihad ofensif. Adapun ia disebut jihad defensif sebab penguasa-penguasa thaghut itu adalah musuh kafir yang telah menguasai negeri kaum muslimin.

Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun jihad defensif merupakan bentuk pertahanan, yang paling kuat (hukumnya) yaitu untuk menghadapi musuh yang menyerang yang akan merusak agama dan dunia. Tidak ada suatu kewajibanpun yang lebih wajib setelah keimanan selain menolah musuh itu. Maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk menghadapinya, tetapi harus ditolak menurut kesanggupan yang memungkinkan." (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, 309)

Pada faqrah (7), disebutkan bahwa jihad menjadi fardhu 'ain bila musuh telah memasuki wilayah negeri kaum muslimin.

2. Karena mereka adalah orang-orang yang murtad. Pada faqrah (14) disebutka bahwa memerangi kaum murtad lebih didahulukan daripada memerangi orang-orang kafir asli.

3. Karena mereka adalah musuh yang posisinya paling dekat dengan umat Islam, dimana bahaya dan fitnah yang mereka timbulkan amat besar.

Allah SWT berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian." (Qs. At Rubah : 123)

Perkara ini telah diterangkan di faqrah (13)


Syubhat

Dari sisi pertama di atas muncullah satu syubhat (kesamaran/kerancuan) yaitu pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa persifatan para penguasa murtad yang memerintah negeri Islam itu sebagai musuh kafir yang memasuki negeri kaum muslimin adalah pensifatan yang tidak benar. Karena musuh kafir yang dimaksud adalah musuh asing dari luar daerah Islam. Sedangkan para penguasa itu berasal dari penduduk negeri itu sendiri, maka di sana ada perbedaan?!

Konon, ucapan ini dipakai untuk membatalkan ucapan orang yang berhujjah dengan fatwa Ibnu Taimiyah yaitu tentang hukum memerangi pasukan Tartar yang menolak hukum/syariat Islam sementara merka mengaku beragama Islam. (Majmu' fatawa 28/501-551)

Katanya, "Tidak bisa berhujah dengan fatwa ini sebab pasukan Tartar itu adalah pasukan asing yang berasal dari luar daerah Islam."

Fatwa Syaikh Ibnu Taimiyah ini, telah saya tunjukkan faidah-faidahnya dalam risalah saya "Dakwah tauhid".

Untuk menjawab syubhat ini saya katakan: masalah penguasa murtad itu telah ada nash yang berdiri sendiri, yaitu Hadits Ubadah bin Shomit, yang artinya "Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya (penguasa yang sah). Beliau berkata. "kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti kuat dari Allah tentangnya."

Di dalam risalah itu saya sebutkan bahwa, hadits ini erat kaitannya dengan semua hadits yang berbicara tentang perintah bersabar terhadap penguasa-penguasa yang berbuat aniaya. Misalnya hadits Ibnu Abbas,
من رأى من السلطان شيئا يكرهه فليصبر

"Barang siapa melihat sesuatu yang ia benci dari penguasa maka hendaklah ia bersabar."

Dan Hadits Auf bin Malik yang artinya,

"...Tidak! selama mereka masih mendirikan sholat di tengah-tengah kalian."

Serta hadits-hadits yang semisalnya,

Al Bukhari menyebutkan hadits Ubadah yang mengiringi hadits-hadits Ibnu Abbas pada bab kedua dari Kitabul Fitan dalam kitab shahihnya yang menunjukkan hadits Ubadah itu berikatan erat dengan hadits Ibnu Abbas dan hadits Auf bin Malik.

Keterangan ini tentu telah mencukupi bagi siapa saja yang masih memiliki hati atau yang menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksikannya, yaitu tentang kewajiban menggulingkan para penguasa yang murtad itu.

Tiga sisi yang telah saya sebutkan tadi dan yang lainnya, sengaja kami paparkan bukan untuk menerangkan tentang hukum syar'i yang mewajibkan kaum muslimin untuk menggulingkan penguasa murtad, karena perkara ini telah dikukuhkan oleh hadits Ubadah bin Shamit. Tetapi bertujuan untuk menerangkan faidah-faidah lain seperti menguatkan hukum wajibnya menggulingkan mereka dari musuh-musuh yang lainnya.

Untuk menolak syubhat ini kami menyatakan, "Kami belum pernah mendengar bahwa syariat Islam menyebutkan perbedaan antara kafir Ajnabi (asing/luar daerah) dengan kafir wathani (satu tanah air/lokal), yang dengan perbedaan itu berakibat kepada perbedaan hukum kafir, Allah SWT berfirman,

يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ

"Wahai Nuh, anakmu itu bukan bagian keluargamu (yang akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik." (Qs. Hud : 46)
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

"Telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim daan orang-orang yang bersama beliau, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa-apa yang kalian sembah selain Allah, kami telah mengingkari kalian dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian untuk selamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja." (Qs. Al Mumtahanah : 14)




Yüklə 0,94 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   ...   13




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin