Aqidah Jihadiyah Umat Islam


إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا



Yüklə 0,94 Mb.
səhifə8/13
tarix26.07.2018
ölçüsü0,94 Mb.
#58417
1   ...   5   6   7   8   9   10   11   12   13

إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا


"Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh kalian yang nyata." (Qs. An Nisa : 101)

Tujuan dari ayat ini adalah menerangkan bahwa permusuhan antara orang mukmin dan orang kafir itu berkaitan dengan sifat kufur itu sendiri. Inilah manath (sandaran/gantungan) hukumnya bukan sifat-sifat yang lain.Seperti keadaan musun ajnabi ( asing ) atau wathani ( setanah air ). Karena permusuhan terhadap kekufuran adalah wajib hukumnya, walaupun si kafir itu anak anda, kaum anda, dan keluarga anda. Maka manath hukumnya adalah sifat kufur bukan yang lain. Sebab – sebab permusuhan itu sendiri akan mendatangkan hukumannya. Maksudnya hukuman berupa permusuhan terhadap orang kafir berkaitan dengan kekufurannya. Artinya adanya sifat kafir pada diri orang tersebut, bukan dengan sebab sifat lainnya. Dan inilah manath hukum itu.

Sebagaimana sabda Nabi SAW,

من بَدَّل دينه فاقتلوه

Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. “ ( Muttafaq alaih ).

Beliau Rasulullah SAW menjadikan alasan pembunuhan itu adalah tindakan mengganti agama, artinya kafir setelah Islam, inilah manath hukumnya.

Bila ini telah jelas, maka kami katakan bahwa pensifatan kufur yang menyebabkan pelakunya dikenai hukuman, yaitu hukuman mati bagi pelaku yang telah tertangkap / dikuasai penguasa muslim ataupun diperangi bagi pelaku yang menolak untuk dihukum dengan melawan penguasa muslim itu. Pensifatan seperti ini berlaku baik bagi kafir ajnabi ( asing ) maupun kafir mathani ( setanah air ) tanpa ada perbedaan.

Jadi bila orang kafir ini telah menguasai wilayah negeri kaum muslimin tertentu maka hukumnyasama, tidak berbeda sama sekali, baik itu berasal dari luar negeri itu atau merupakan penduduk negeri itu. Ia tetap dihukumi kafir, atau ia telah kafir dan menguasai negeri itu.

Karena itu manath hukumnya berada di setiap keadaan ini bila orangnya adalah penduduk negeri itu maka ia telah kafir, dengan kekufurannya itulah ia telah keluar dari statusnya sebagai penduduk muslim di negeri itu dan berubah menjadi orang asing.

Allah SWT berfirman,

وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ

Dan Nuh berseru kepada Rabbnya seraya berkata, “ Wahai Rabbku sesungguhnya anakku adalah termasuk dari keluargaku dan sesungguhnya janjiMu adalah benar dan Engkau adalah hakim yang paling bijak.” Allah SWT berkata, “ Wahai Nuh anakmu itu bukan termasuk keluargamu ( yang akan diselamatkan ) , sesungguhnya perbuatannya bukanlah perbuatan sholih . ( Hud : 45 – 46 ).

Dengan kekufurannya maka putra Nuh (Kan’an) telah keluar dari keanggotaan keluarga Nuh ( yang beriman ) dan menjadi orang yang asing dariNya.

Ada beberapa sifat yang kedua yang berpengaruh terhadap sanksi / hukuman.

Diantaranya perbedaan antara kafir asli dan murtad adalah bahwa hukuman bagi orang murtad jauh lebih berat sebagaimana tertera dalam pembahasan ke 14. Begitu pula perbedaan antara kafir Harbi dan kafir Musalam (terikat perjanjian damai) yang disebut di dalam ketiga madzhab (maliki, hambali, hanafi) yang berbeda dengan madzhab syafi’i. Demikian juga perbedaan antara musuh yang lebih dekat dan yang lebih jauh tentang mana yang lebih diprioritaskan untuk diperangi (Faqrah 13).

Dari sini anda melihat bahwa para penguasa murtad itu pada diri mereka telah terdapat seluruh sifat – sifat yang memberatkan seperti Riddah (kemurtadan), muharabah (layak diperangi) dan Al Qurb (kedekatan posisi mereka) yang semuanya berlawanan dengan sifat – sifat yang meringankan seprti kufur asli, musalamah (dalam perjanjian damai) dan Al Qu’du (kejauhan jarak).

Semisal dengan keterangan diatas, bahwa setiap yang memabukkan itu haram, sama saja, baik namanya khomer, atau alkohol atau arak, baik produksi dalam negeri maupun produksi luar negeri (barang impor). Dan sama saja baik warnanya merah atau putih. Ini semua bukan sifat – sifat yang berpengaruh terhadap hukum. Sesungguhnya yang disebut sifat itu hanya yang berpengaruh terhadap hukum yaitu berupa Ilat (alasan) dan manath hukumnya (letak gantungan hukum) yaitu memabukkan.

Maka kapanpun sifat ini di dapatkan walaupun tanpa melihat sifat – sifat lain yang ada, sesungguhnya telah di dapatkan pula hukum dan konsekuensinya.

Kadang disinipun masih di dapatkan pensifatan kedua yang juga berpengaruh terhadap hukuman. Misalnya meminum khomer disiang bulan Ramadhan sebagai hukumannnya pelaku dikenai had dan di ta’zir karena kehormatan bulan Ramadhan.

Kalau bukan pensifatan yang asli yaitu memabukkan tentu pelakunya tidak diwajibkan untuk dikenai sanksi / hukuman.

Wal hasil siapapun yang mengatakan bahwa ada perbedaan hukum antara kafir ajnabi dan kafir asli maka ia seperti orang yang berkata bahwa khomer impor berbeda dengan khomer lokal. Perhatikan baik – baik !.

Perang melawan penguasa murtad itu tidak disyaratkan agar kaum muslimin yang berjihad itu posisinya terpisah di suatu negeri yang terpisah dari negara penguasa murtad dan antek – antek mereka sebagaimana yang diklaim oleh sebagian orang.

Syarat ini cukup dibatalkan dengan ucapan yang saya kutip dari Ibnu Taimiyah tadi, yaitu ijma’ menyatakan wajibnya memerangi musuh nila ia telah masuk di wilayah negeri kaum muslimin. Lalu dimana letak negara yang berdiri sendiri / terpisah itu ?

Bahkan keadaan itulah yang merupakan salah satu kondisi dimana jihad hukumnya menjadi fardhu ain sebagaimana pembahasan ke 7, Syarat seperti ini juga belum pernah ditunjukkan oleh satupun orang dari kalangan ahli ilmu.

Pernyataan yang jitu tentang perkara ini telah disebutkan oleh Ibnu Qudamah , yaitu apabila musuh telah mendekat kesuatu negeri kaum muslimin, maka penduduknya boleh kembali menuju benteng untuk bertahan disana. Adapun perkara penguasa kafir murtad maka telah ada nash yang jelas ! Yaitu hadits Ubadah bin Shomitf R.A.

وَأَلا نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ



( Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya/ penguasa yang sah, Beliau Rasulullah SAW berkata, “ Kecuali bila kalian melihat ada kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti kuat dari Allah SWT tentangnya) )) Muttafaq ‘alaih((.

dalam hadits ini maupun hadits yang lainnya, Nabi SAW tidak pernah memberikan syarat tadi (perbedaan tempat dan keterpisahan tempat).Begitu juga tidak ada satupun ahli ilmu yang mengingatkan hal ini, sebgaiaman yang telah saya nukil dari Al Qodhi Iyadh dan Ibnu Hajar dalam mensyarah hadits ini.

Jika orang yang mensyarahkan syarat ini (perbedaan dan keterpisahan dua negeri) berkata, “ Sesungguhnya syarat ini wajib menurut logika/ akal bukan syar’I, maka saya katakan padanya, “ Akal itu tidak bisa mewajibkan sedikitpun kewajiban, sebagaimana yang telah saya sebutkan didalam dasar – dasar berpegang teguh kepada kitab dan sunah.”

Bila ia berkata, “ bahwa ini adalah perkara ijtihadi (membolehkan untuk ijtihad), “ maka kami katakan padanya,” Bila kita mencapai suatu ijtihad (tentang kewajiban syarat ini) maka urusan perang itu diserahkan kepada orang yang berpengalaman dalam urusan perang. Sebagaimana Firman Allah SWT ,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kelian agar menunaikan amanat kepada ahlinya.” (An Nisa: 58).

Sedangkan dari kacamata syar’i, kami katakan bahwa tidak ada syarat tertentu berkait dengan berperang melawan penguasa yang murtad selain Al Qudrah ( kemampuan) baik dari sisi jumlah personal maupun perbekalan (logistik).

Kemampuan ini juga memberikan batasan tentang kadar yang diminta, diantaranya adalah orang yang berpengalaman tentang urusan perang.

Dan barangsiapa membahayakan dirinya dengan berperang sendirian, maka hal itu dibolehkan dan tetap mendapat pahala. Insya Allah SWT. Hanya bila ia mengikuti suatu kelompok jihad ia hanya boleh keluar berperang dengan izin amirnya.

Adapun dalil yang membolehkan perang sendirian adalah firman Allah SWT ,

فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضْ الْمُؤْمِنِينَ

Maka berperanglah di jalan Allah SWT, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri. Dan kobarkanlah semangat orang – orang mukmin untuk berperang.” ( An Nisa : 84 ).

Ibnu Hazim berkata, “ perang melawan orang – orang kafir dapat dilaksanakan bersama tiap – tiap amir baik yang fasik maupun yang bukan fasik, juga bersama amir yang berkuasa maupun para prajurit sebagaimana bolehnya perang yang dilaksanakan bersama imam. Seseorangpun boleh memerangi musuh – musuh itu sendirian asalkan ia mampu.” ( Al Muhalla 7/299).

Menurut saya, “ Jihad melawan para thaghut – thaghut itu hukumnya fardhu ain. Maka satu orang pun boleh melaksanakannya bila ia menghendaki. Tentu bila ada peluang yang memungkinkan untuk menyerang satu diantara mereka. Ia tidak wajib menghadapi seluruh pasukan kafir yang berjumlah besar, tetapi ia boleh melarikan diri karena adanya perbedaan jumlah.

Maka jika ia tetap teguh dan tegar untuk tetap berperang sendirian dan memiliki tujuan untuk menggapai syahidah (mati syahid) itu pun dibolehkan dan baik.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ

Diantara manusia itu ada yang menjual dirinya untuk mencari ridhlo Allah SWT ”. (Al Baqarah 207).

Adapun yang wajib adalah memerangi para penguasa murtad itu secara bersama – sama melalui jamaah, sebab tuntutannya adalah untuk memenangkan agama Islam.

وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

( "Dan agar agama itu semuanya hanya milik Allah SWT saja”. ( Al Anfal 39).

Tuntutan seperti ini tentu tidak mudah untuk dilakukan bila perang itu dilakukan sendirian.

Dan barangsiapa mengikuti satu kelompok jihad tertentu maka ia tidak boleh berperang kecuali dengan izin amirnya.

Allah SWT berfirman,

وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ

Dan bila mereka bersamanya (Nabi SAW) dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan Rasulullah sebelum meminta izin kepadanya”. ( An Nur :62).

Tambahan keterangan tentang ini terdapat di Bab Kelima, Insya Allah SWT.

Di masa Nabi SAW, sekelompok kaum muslimin telah keluar untuk memerangi para penguasa murtad, demikian juga masa – masa setelah beliau. Hal ini mereka lakukan tanpa harus membedakan posisi – posisi negeri mereka atau keterpisahannya satu sama lain.

Tatkala Al Asrad al ansi, nabi palsu yang berdusta melancarkan pemberontakan dan mendapat kemenangan di negeri Yaman serta berkuasa disana akhirnya salah satu antek – anteknya yaitu fairuz Ad Dailami melancarkan tipu muslihat terhadapnya hingga berhasil nyawanya. Peristiwa ini terjadi pada zaman nabi SAW ( Al Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir 6/307 – 310)

Tindakan Fairuz itu tidak pernah diingkari oleh Nabi SAW maupun sahabat – sahabat beliau. Dan tidak ada satupun orang yang berkomentar, “ Bagaimana Fairuz – fairuz membutuh Al Aswad sedangkan ia (Al Aswad) belum masuk di wilayah suatu negeri yang berdiri sendiri ?

Yazid bin Walid beserta kelompoknya juga pernah melancarkan pemberontakan terhadap khalifah Al Walid bin Yazid tatkala ia dituduh berlaku lemah terhadap ketaatan agama hingga mereka membunuhnya, tanpa harus membedakan psisi negeri – negeri dimana mereka berada. (Al Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir 10 / 6 – 11).

Demikian dua contoh ringkas tentang tema ini.

Para pelaku syuhbat tadi berdalil bahwa Nabi SAW tidak pernah mensyariatkan perang kecuali setelah peristiwa Hijrah. Dimana kaum muslimin telah memiliki negara yang berdiri sendiri di Madinah sehingga mereka dapat terbedakan darii musuh – musuh mereka.

Pendapat ini bukan hujjah, sebab di dalamnya tidak ada batasan yang jelas. Artinya bahwa belum ada Nash Syari yang melarang perang selain di dalam keadaan ytang semisal dnegna keadan ini dan ini jelas

Kemudian zaman itu adalah zaman Tasyri (proses diletakkannya syariat) sedankan zaman sekarang dan sejak wafat Nabi SAW adalah merupakan Zaman dimana syariat Islam dan hukum – hukumnya telah sempurna

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

pada hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian” . (Al Maidah ayat :3 )

Selain itu telah ada ijma’ yang menyatakan bahwa apabila musuh kagir itu telah memasuki wilayah kaum muslimin maka bagi penduduk di tempat itu hukumnya Fardhu Ain untuk memerangi mereka, artinya melawan / menolak orang – orang kafir yang memasuki wilayah mereka hukumnya fardhu ain bagi kaum muslimin.

Inilah ! mereka kaum muslimin dan musuh mereka berada di dalam satu wilayah. Kaum muslimin benar – benar telah kehilangan kemerdekaan negerinya karena peperangan. Dan karena itulah mereka diwajibkan berperang dimana perang ini hukumnya fardhu ain menurut ijma. ( Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, halaman 309 ).

Sesungguhnya memberontak terhadap penguasa murtad merupakan perkara yang erat kaitannya dengan kemampuan, ukuran kemampuan di suatu negara berbeda dengan ukuran kemampuan negeri lainnya. Tentang pelaksanaannya yang berjak berkomentar dalam urusan ini adalah mereka yang ahli dalam urusan perang. Apabila Allah SWT telah mengetahui niat baik dari kelompok jihad tertentu maka niscaya Dia akan menunjuki merekadan memuadahkan mereka untuk melaksanakan perkara – perkara yang mendatangkan RidhoNya.Allah SWT berfirman,

فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ

Maka Allah SWT mengetahui apa yang ada di dalam hati – hati mereka, lalu Allah SWT menurunkan ketentraman kepada mereka”. ( Al fath : 18).

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ

Sesungguhnya orang – orang yang beriman dan beramal sholih itu akan diberi petunjuk oleh Tuhan mereka dengan keimanan mereka”. (Yunus : 9)

Sedangkan orang – orang yang duduk -duduk / meninggalkan jihad Fardhu Ain ini, ternyata mereka tidak cukup duduk – duduk saja, malah mereka melemahkan semangat jihad orang lain dan menelantarkan mereka dengan berbagai syubhat. Ini yang tidak lain merupakan sanksi Qadrati bagi mereka karena absen dari Jihad.

Sebagaimana firman Allah SWT,

رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَفْقَهُونَ

Mereka Ridho bersama orang – orang yang tertinggal / tidak berjihad dan hati – hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak faham”. (At taubah 87).

Maka tatkala mereka absen dari kancah – kancah jihad, lalu Allah SWT mengunci mati hati – hati mereka dengan tidak adanya kefahaman padanya. Akhirnya mereka mulai melancarkan syubhat –syubhat tadi dengan tujuan untuk membenarkan sikap duduk – duduk mereka dari jihad dan untuk melemahkan semangat orang lain hingga mereka memikul dosa – dosa orang lain.

Beginilah ! Keburukan yang melahirkan keburukan yang lain. Allah SWT berfirman,

إِلا تَنفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلا تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ إِلا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ

Jika kalian tidak berperang niscaya Allah SWT akan mengadzab kalian dengan adzab yang pedih dan mengganti kalian dengan kaum yang lain. Dan kalian tidak dapat mendatangkan mudharat sedikitpun. Dan Allah SWT itu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Jika kalian tidak menolongnya, maka Allah SWT benar – benar telah menolongnya.” (At Taubah 39 – 40 )

Sesungguhnya pendapat yang mensyaratkan bahwa kewajiban jihad itu syaratnya adalah perbedaan psisis antara dua negeri merupakan pendapat yang rusak.

Pendapat ini dapat menghalangi jihad, khususnya jihad defensif.

Pendapat ini juga berarti menerima keadaan yang terjadi dan mendiamkan para thaghut yang berkuasa di negeri kaum muslimin.

Pendapat ini juga berarti menggugurkan kewajiban jihad fardhu ain yang berlaku bagi tiap – tiap individu yang ada di negeri lain. Dan pendapat ini juga akan mencabut Islam sampai seakar – akarnya dari negeri tersebut dalam waktu yang relatif singkat. Naudzubillahi min dzalik. Namun demikian, hal itu bukan tidak mungkin terjadi. Berapa banyak negeri yang dahulunya pernah tegak kerajaan – kerajaan Islam yang besar di dalamnya, kemudian pada hari ini ia menjadi negeri – negeri kafir. Dan Islam berubah hanya menjadi monumen seiring dengan perubahan zaman.

Seperti Andalusia, Turkistan, Bukhara, Samarkand, Balkan dan lainnya.

Berapa banyak negeri Islam yang jatuh karena ulah – ulah komplotan anti jihad yang telah menelantarkan jihad dengan syuhbat – syuhbat syaithaniyah mereka.

Di India misalnya, dahulu disana pernah ada kerajaan Islam lalu di jajah oleh Inggris. Ulama Su’ pada saat itu telah sengaja menggugurkan kewajiban jihad dengan hujah bahwa Inggris penjajah itu adalah ulil amri yang wajib ditaati sebagaimana firman Allah SWT ,

أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنْكُمْ

Taatilah Allah SWT taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian.” ( An Nisa : 59).

Milik Allah SWT lah segala urusan, sebelum maupun sesudahnya. Hal ini serupa dengan suatu riwayat dri Umar bin Khatab bahwa diantara perkara yang dapat menghancurkan agama adalah bantahan kaum munafik terhadap Al Quran.

Dan bila ada ulama yang menghalang – halangi kaum muslimin untuk melaksanakan jihad dengan syuhbat- syuhbat syaithaniyah ini, berkomplot dan membantu penguasa kafir, maka orang alim semacam ini tidak diragukan lagi kekufurannya, Dia telah murtad dan keluar dari Millah (agama) Islam. Dan hukumnya sama dengan hukum bosnya yang kafir itu.

Karena Allah SWT berfirman,

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

Dan barangsiapa menjadikan mereka (orang – orang yahudi dan nasrani) sebagai pemimpin, maka sesungguhnya ia telah masuk golongan mereka.” ( Al Maidah 51).

Yang lain mensyaratkan agar kelompok kafir itu dapat dibedakan dari kaum muslimin yang bercampur dengan mereka.

Hal ini bisa terjadi, karena kelompok yang membantu penguasa kafir itu biasanya dapat dibedakan dengan seragam tertentu, ia memiliki kamp – kamp militer yang terbatas dan tempat – tempat yang bisa diketahui. Dan setiap orang yang mengetahui hal ini.

Adapun bila mereka tercampur dengan kaum muslimin maka adakalanya kaum muslimin yang berbaur dengan mereka aslinya bukan termasuk kelompok kafir tapi berbaur dengan mereka saat terjadi perang. Atau mereka memang termasuk dari kelompok kafir itu dan secara batin mereka dihukumi Islam, seperti orang yang mukrah (dipaksa/ditekan) orang yang merahasiakan keimannya atau orang yang memata – matai mereka.

Keadaan mereka semua tidak terlepas dari dua perkara :

Pertama, Secara zhahir mereka tidak bisa dibedakan dari orang kafir.

Keadaan seperti ini tidak menghalangi kaum muslimin untuk tetap memerangi mereka kapan saja. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Taimiyah,” Dan barangsiapa diperintahkan orang – orang kafir untuk berperang bersama mereka secara paksa maka orang tersebut akan dibangkitkan pada hari kiamat menurut niatnya. Dan kewajiban kami selaku umat Islam adalah tetap memerangi seluruh tentara musuh, karena orang Islam yang dipaksa tadi tidak bisa dibedakan dari yang lainnya.

Telah ditetapkan di dalam hadits shahih dari Nabi SAW beliau bersabda,

يَغْزُو هذا البيتَ جيشٌ من الناس فبينما هم ببيداء من الأرض إذا خُسِفَ بهم. فقيل يا رسول الله: إن فيهم المُكْرَه، فقال: يُبعثون على نياتهم

Baitullah (Ka’bah) ini akan diserang oleh sepasukan manusia. Maka tatkala mereka berada di padang sahara disuatu permukaan bumi tiba – tiba mereka dibenamkan ke dalam bumi. Dikatakan, “ wahai Rasulullah, sesungguhnya diantara mereka terdapat orang yang mukrah (dipaksa) untuk ikut menyerang Ka’bah ! beliau menjawab, “ Mereka akan dibangkitkan pada hari kiamat menurut niat mereka”.

Di dalam lafadz Al Bukhari dari Aisyah beliau berkata, Nabi SAW bersabda,

يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ قَالَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ

Sepasukan manusia akan menyerang Ka’bah, maka tatkala mereka berada di padang Sahara disuatu permukaan bumi tiba – tiba mereka dibenamkan semua dari barisan pertama hingga barisan terakhir.” Aisyah berkata, “ Aku bertanya, “ Wahai Rasulullah, kenapa mereka semua dibenamkan ke dalam bumi sedangkan diantara mereka ada rakyat jelata dan orang – orang yang bukan golongan mereka?” Nabi menjawab : “ Barisan awal hingga barisan akhir akan dibenamkan dan mreka akan dibangkitkan pada hari kiamat menurut niat – niat mereka.

Maka Allah SWT menghancurkan pasukan yang hendak merusak kehormantan – kehormantanNya, baik mereka yang dipaksa maupun yang tidak dipaksa padahal Allah SWT mampu.

Membedakan siapa saja diantara mereka. Namun demikian mereka akan dibangkitkan menurut niat mereka.

Lalu bagaimana orang – orang mukmin yang berjihad itu bisa diwajibkan untuk bisa membedakan antara yang dipaksa dan yang tidak dipaksa sedang mereka tidak mengetahui hal itu ?

Bahkan seandainya ada yang mengaku keluar berperang karena dipaksa niscaya pengakuan itu tidak bermanfaat baginya.

Sebagaimana diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthalib pernah berkata kepada Nabi SAW saat ia ditawan kaum muslimin pada perang Badar :

يا رسول الله! إني كنت مكرها. فقال: «أما ظاهرك فكان علينا، وأما سريرتك فإلى الله

Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini dipaksa untuk berperang melawanmu”. Nabi menjawab, “ Adapun zhahir perbuatanmu adalah memerangi kami sedangkan yang tersembunyi dihatimu aku diserahkan kepada Allah SWT”. ( Majmu’ Fatawa 28 / 535 – 537 ).

Ditempat lain beliau berkata, “ Dan kami tidak mengetahui mana yang mukrah (dipaksa) dan tidak mampu membedakannya dari yang lain. Maka jika kami memerangi mreka karena perintah Allah SWT tentu kami mendapatkan pahala dan dimaafkan sedangkan mereka dibangkitkan menurut niat mereka. Maka barangsiapa keadaanya dipaksa dan tidak mampu menolaknya niscaya ia dikumpulkan di hari kiamat sesuai niat mereka.

Jika ia terbunuh dalam tegaknya agama Islam maka madharat yang ditimbulkan tidak lebih besar dibanding pembunuhan terhadap orang yang terbunuh dari prajurit kaum muslimin”. (Majmu’ fatawa 28 / 547).

Saya katakan, “ Saya telah mengupas syarat – syarat ikrah (dipaksa/ ditekan) yang mu’tabar menurut syari, agar orang yang dipaksa itu memenuhi keinginan mereka. Syarat – syarat ikrah ini ada di dalam risalah yang lain.

Dan ternyata syarat – syarat ikrah yang mu’tabar menurut syari ini sama sekali tidak terdapat pada mayoritas antek – antek para penguasa murtad itu.

Saya juga telah menyebutkan bahwa ikrah itu tidak menjadi dalih yang membolehkan untuk membunuh seorang muslim menurut ijma ulama tanpa ada perbedaan pendapat. Lalu bagaimana dengan mereka – mereka yang membunuh kaum muslimin dan membunuh mereka untuk membantu orang kafir ?



Kedua. Secara dhahir, orang – orang Islam yang berada dibarisan musuh dapat dibedakan, mereka dapat diketahui oleh tentara Islam. Inilah yang dikenal dengan Tatarrus (Musuh yang bertameng dengan tameng kaum muslimin).

Ibnu Taimiyah berkata, “ Bahkan sekiranya pada musuh itu terdapat kaum–kaum shalih dari manusia – manusia pilihan sedangkan perang merlawan musuh tidak bisa dilakukan tanpa membunuh mereka, maka niscaya mereka dibunuh juga.

Karena para Imam bersepakat bahwa bila kaum kafir itu berlindung dengan tameng hidup (kaum muslimin) dan dikhawatirkan terjadi madharat yang lebih besar pada diri umat Islam secara umum, bila mreka tidak diperangi, maka dibolehkan menyerang tameng hidup itu dengan maksud menyerang orang kafir. Sedangkan bila tidak ada kekhawatiran terhadap kaum muslimin secara umum maka tetap dibolehkan menyerang tameng hidup itu menurut salah satu dari dua pendapat ulama.

Dan bila diantara tameng hidup itu ada yang terbunuh demi terlaksananya jihad yang diperintahkan oleh Allah SWT dan RasulNya maka ia mati syahid walau keadaan batinnya terdhalimi dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat menurut niatnya. Terbunuhnya tameng hidup itu tidak lebih besar bahayanya dibanding terbunuhnya kaum mukminin mujahidin.

Maka jika jihad itu wajib dan meski banyak sekali kaum muslimin yang terbunuh, maka terbunuhnya kaum muslimin yang ada di barisan musuh dan pesukan Islam karena adanya hajat jihad tentu tidak lebih besar bahayanya.

Bahkan Nabi SAW pernah menyuruh orang – orang yang mukrah (dipaksa/ditekan) agar menghancurkan pedangnya saat terjadi perang yang menimbulkan fitnah, serta menyuruhnya untuk tidak melawan meskipun ia dibunuh. (Majmu’ Fatawa 28 / 537 – 538, 546 – 547) ( Al Mughni wasysyarh Al Kabir 10 / 505) ( Al Majmu’ Syrahul Madzahib 19/297).



Bantahan Terhadap syuhbat :

Orang – orang yang menyatakan bahwa perang melawan penguasa kafir itu syaratnya adalah bisa dibedakannya kelompok yang kafir dari kelompok kaum muslimin, ternyata membawa syuhbat. Dimana mereka berdalil dengan Firman Allah SWT,

وَلَوْلا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Dan kalau tidak karena laki – laki yang mukmin dan perempuan – perempuan yang mukminah yang tidak kamu ketahui bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu, tentulah Allah SWT tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka. Supaya Allah SWT memasukkan siapa yang dikehendaki ke dalam RahmatNya, sekiranya mereka tidak bercampur baur niscaya kami akan mengadzab orang – orang kafir diantara mereka dengan adzab yang pedih (Al Fath 25).

Artinya kalau bukan karena ada laki-laki mukmin dan perempuan-perempuan mukminah dari golongan mereka yang tertindas (di Makkah) yang kalian tidak mengetahui mereka wahai umat Islam. Dan bila kalian memerangi ahli Makkah (penduduk Makkah) pada peristiwa Hudaibiyah pastilah kalian akan membunuh sebagian mereka kaum muslimin dan kalian akan ditimpa kesusahan (berupa aib dan dosa). Dan sekiranya mereka tidak bercampur baur dan orang – orang mukmin terpisah dari orang – orang kafir, pastilah Allah SWT akan mengadzab orang – orang kafir dengan pembunuhan dan yang lainnya.

Dengan ayat ini sebagian orang berdalil bahwa bercampur baurnya orang-orang mukmin dengan orang – orang kafir menjadi penghalang untuk memerangi orang kafir sekaligus menjadi dalih untuk meninggalkannya, sebab peperangan terhadap mereka akan mengakibatkan terbunuhnya sebagian kaum mukminin yang berbaur dengan mereka.

Sebagaimana tampak bahwa pendapat ini akan menyebabkan terlantarnya jihad, baik jihad ofensif maupun jihad defensif.

Sekarang ini tidak ada satu negeri pun melainkan pasti di dalamnya terdapat kaum muslimin yang berbaur dengan mereka (orang-orang kafir) dari keturunan yang bermacam – macam.

Di Cina, India, Rusia, Amerika dan yang lainnya, disemua negara kafir ini terdapat kaum muslimin.

Apakah keadaan demikian ini menjadi halangan untuk memerangi mreka disaat ada kemampuan ?



Syuhbat ini dapat dibantah dari dua segi :
Segi pertama :

Bahwa larangan berperang pada peristiwa Hudaibiyah adalah larangan/halangan yang bersifat taqdir, sedangkan berhujah dengan taqdir itu tidak boleh. Keterangannya, Bahwa Nabi SAW pada saat itu hendak menuju Makkah untuk melaksanakan Umroh, lalu penduduk Makkah bertekad untuk menghalangi Nabi SAW masuk ke Makkah. Nabipun bertekad untuk memerangi mereka jika mreka tetap menghalangi maksud kedatangan beliau setelah bermusyawarah bersama para sahabat. Sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh Al Bukhari berikut ini,

Abu Bakar berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ خَرَجْتَ عَامِدًا لِهَذَا الْبَيْتِ لَا تُرِيدُ قَتْلَ أَحَدٍ وَلَا حَرْبَ أَحَدٍ فَتَوَجَّهْ لَهُ فَمَنْ صَدَّنَا عَنْهُ قَاتَلْنَاهُ قَالَ امْضُوا عَلَى اسْمِ اللَّهِ

“ Ya Rasulullah, engkau telah sengaja keluar untuk mengunjungi baitullah ini. Engkau tidak bermaksud membunuh seseorang atau memeranginya. Maka tetaplah Engkau mendatangi baitullah itu. Siapa saja yang menghalangi kita, pasti kita akan memeranginya.” Beliau berkata,” laksanakanlah dengan menyebut nama Allah SWT”. (Hadits 4178, 4179).

Maka Nabipun melaksanakan tekad ini hingga unta beliau mogok, menghentikan perjalanan. Sebagian sahabatpun berkata, “ Qoswa (nama unta Nabi) baru mogok ? “ Nabi menjawab

ما خلأت القصواء وما ذاك لها بخلق ولكن حبسها حابس الفيل، ثم قال: والذي نفسي بيده لايسألوني خُطَّة يعظمون فيها حرمات الله إلا أعطيتهم إياها

“ ia tidak mogok (dengan menderum), itu bukan perangainya, tetapi ia tertahan oleh dzat yang menahan pasukan gajah”. Lalu beliau berkata, “ Demi dzat yang jiwaku ada di genggamannya, tidaklah mereka memintaku suatu jalan yang di dalamnya mereka mengagungkan kehormatan – kehormatan Allah SWT melainkan pasti Kuberikan jalan itu kepada mereka.” (hadits 2731 – 2732).

Artinya Allah SWT yang telah menahan unta itu untuk melanjutkan perjalanan menuju Makkah sebagaimana Dia telah menahan pasukan gajah dan Raja Abrahah memasuki Makkah.

Ini merupakan halangan yang berhubungan dengan taqdir maka nabipun mengetahui bahwa Allah SWT belum mengizinkan peperangan dalam kondisi ini. Lalu nabipun bertekad untuk menerima perjanjian damai dengan mereka dan beliaupun terlibat di dalamnya.

Kemudian sampailah kepada beliau berita terbunuhnya utusan beliau yang telah pergi ke Makkah yaitu Usman Bin Affan. Pada saat itulah Nabi SAW bertekad untuk memerangi mereka untuk yang kedua kalinya. Dan beliaupun mengambil baiat dari sahabat – sahabat beliau yaitu Baitur Ridhwan, yang isinya agar mereka tidak lari dari pertempuran atau berbaiat untuk mati. (Lihat Fathul Bari 6/117).

Kemudian Usman dibebaskan dan perjanjian damai pun terlaksana sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.

Semua hadits ini dan ayat yang dijadikan dalil (tentang perjanjian Hudaibiyah) dan bahkan satu surat penuh (Al Fath) belum diturunkan sebelum peristiwa Hudaibiyah. Tetapi diturunkan saat perjanjian tersebut selesai terlaksana.

Sebagaimana anda ketahui bahwa Nabi SAW pernah bertekad untuk memerangi mereka dua kali, pertama disaat beliau melaksanakan perjalanan lalu unta beliau tertahan, kedua disaat beliau mengambil baiat.

Pada saat Nabi SAW bertekad untuk memerangi penduduk Makkah sebanyak dua kali itu, beliau mengetahui betul bahwa di Makkah masih terdapat kaum mukminin yang tertindas, sebagian mereka menjadi mata-mata serta beliau mendoakan keselamatan mereka. (HR Al Bukhari 4598).

Fakta semacam ini ternyata tidak menghalangi beliau untuk bertekad memerangi mereka. Bahkan perang melawan mereka adalah kewajiban, dengan tujuan untuk menyelamatkan mereka yang tertindas. Allah SWT berfirman,

وَمَا لَكُمْ لا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ..

Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah SWT sedangkan kaum Mustadhafin (tertindas) dari kalangan laki-laki, wanita dan anak-anak berkata, “ ya Tuhan keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya zhalim ini”. (An Nisa 75).

Tetapi, pada saat itu Nabi belum di izinkan untk berperang karena Faktor taqdir bukan faktor syari. Sebab kalau kalau larangan itu karena faktor syari (dengan wahyu) tentu Nabi SAW tidak melangsungkan perjalanan itu dan tidak mengambil baiat.

Larangan yang erat kaitannya dengan taqdir ini karena suatu hikmah yang diketahui Allah SWT , diantaranya adalah adanya kaum tertindas di Makkah dan karena perjanjian damai itu membuahkan manfaat yang besar yang dengannya manusia merasa aman lalu jumlah mereka yang masuk Islam berlipat ganda dibanding waktu-waktu sebelumnya. Sebagaimana ayat tadi (supaya Allah SWT memasukkan siapa yang Dia kehendaki di dalam RahmatNya). Sampai-sampai Allah SWT menyebut perjanjian damai ini dengan Fath (kemenangan/penaklukan).

Ini semua menerangkan bahwa halangan/larangan berpernagan pada peristiwa Hudaibiyah berkaitan erat dengan takdir.

Tentang pembatalan berhujah dengan dalih Taqdir ini. Ibnu Taimiyah berkata,

Takdir tidak bisa dijadikan hujah dan dalih bagi anak Adam, tetapi takdir itu untuk di imani bukan dijadikan hujah. Orang yang berhujah dengan takdir adalah orang yang akal dan agamanya telah rusak, berlawanan satu sama lainnya.

Jika takdir itu bisa dijadikan hujah dan dalih, pastilah tidak seorangpun yang mendapatkan cepa karena perbuatan dosanya, tidak disiksa dan tidak akan di Qishash dan pada saat itu orang yang berhujah dengan takdir ini bila dirinya, hartanya, harga dirinyua dan kehormatannya di zhalimi semestinya agar tidak ditolong dari orang yang menzaliminya serta tidak perlu memarahi dan mencelanya.

Dan yang demikian ini tentu bertentangan dengan tabiat manusia sehingga tidak seorangpun mau melakukannya. Karena hal itu bertentangan dnegan tabiat dan dilarang oleh syariat.

Sekiranya takdir itu adalah hujad dan dalian tentu iblis tidak dicela dan tidak disiksa. Demikian juga Fir’aun, kaum Nuh, Kaum ‘ad, Tsamud, dan orang-orang kafir selain mereka dan tentu jihad melawan kafir pun tidak dibolehkan. Hudud tidak boleh ditegakkan, pencuri tidak boleh dipotong tangannya, orang zina tidak boleh dicambuk dan dirajam, dan orang yang membunuh tidak boleh dibunuh sebagai qishash serta orang yang melampaui batas tidak dikenai sanksi.

Jadi barangsiapa berhujah dengan takdir untuk meninggalkan sesuatu yang diperintahkan dan berkeluh kesah karena tertimpa takdir yangtidak ia sukai maka imannya benar-benar telah terbalik dan ia termasuk komplotan orang-orang atheis kagir dan munafik. Beginilah keadaan orang-orang yang berhujah dengan takdir. ( Majmu’ Fatawa 323-326 )
Segi kedua

Kekhususan artinya bahwa larangan berperang karena berbaurnya orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir di Makkah itu berlaku khususuntuk kisah perjanjian Hudaibiyah saja, bukan yang lain. Konsidi itu tidak boleh dijadikan dalil untuk kondisi-kondisi yang lain yang semisal dengannya. Pendapat tentang kekhususan ini, Insya Allah SWT merupakan pendapat yang benar dalilnya,:

* Bahwa Allah SWT melarang Nabi SAW untuk memrangi penduduk Makkah pada peristiwa Hudaibiyah (pada tahun 6 Hijriyah) merupakan larangan sesuai takdir. Kemudian beliau diizinkan untuk memerangi mereka setelah dua tahun berlalu, yaitu pada Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) pada tahun delapan Hijriyah. Izin ini merupakan izin sesuai syari.

Negeri yang dimaksud adalah negeri Makkah, dan orang-orang Islam yang tertindaspun, sebagian mereka masih tinggal disana, seperti Ibnu Abbas dan yang lainnya. (Majmu Fatawa 2/ 323 - 326).

Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata, “ Tatkala Allah SWT menaklukan negeri Makkah melalui tangan Rasulullah SAW, beliau berdiri di tengah-tengah manusia lalu memuji Allah SWT dan menyanjungNya, kemudian berkata,

إن الله حَبَسَ عن مكة الفيل وسلط عليها رسوله والمؤمنين، فإنها لا تحل لأحد كان قبلي، وإنها أحلت لي ساعة من نهار، وإنها لن لأحد من بعدي


Sesungguhnya Allah SWT telah menahan pasukan gajah dari bumi Makkah dan menguasakannya kepada RasulNya dan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya negeri Makkah itu tidak pernah ditaklukan bagi seorangpun sebelumku. Namun ia ditaklukan untukku dalam waktu sesaat disiang hari dan ita tidak akan ditaklukan bagi seorangpun setelahku. ” ( Hadits no 2434).

Dengan hadits ini anda mengetahui bahwa larangan perang pada peristiwa Hudaibiyah bersifat khusus. Karena negeri yang sama telah ditaklukan setelah itu. Negeri yang dimaksud adalah negeri Makkah. Dan kaum muslimin yang tertindas pun sebagian mereka masih berada di dalamnya.

Diantara dalil yang menunjukkan kekhususan juga adalah bahwa ada beberapa keadaan dimana orang-orang mukmin berbaur dengan orang-orang kafir dan ahli maksiat. Sedangkan pembunuhan atau siksaan terjadi secara merata. Namun halangan yang bersifat taqdir dari Allah SWT itu (sebagaimana yang terjadi pada peristiwa Hudaibiyah) ternyata tidak berada dibalik kondisi ini.

Sehingga dalil ini menunjukkan bahwa kekhususan nash berlaku untuk kisah Hudaibiyah saja. Dan tidak ada penghalangan bila peristiwa semacam itu ditakdirkan terjadi lagi. Adapun menurut syari bila peristiwa semacam itu terjadi lagi maka ia tidak bisa dijadikan hujah.

Diantara peristiwa-peristiwa yang mana kaum mukminin berbaur dengan kaum kafir sedangkan siksaan dan pembunuhan tidak dapat terhindarkan dari mereka karena ia berkaitan erat dengan takdir adalah sebagai berikut :


  • Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari jabir bin Abdullah, beliau berkata,

بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم سرية إلى خَثْعَم، فاعتصم ناس منهم بالسجود، فأسرع فيهم القتل، قال: فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم، فأمر لهم بنصف العقل وقال: أنا بريء من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين، لاتراءى نارهما

“ Rasulullah SAW pernah mengirim sepasukan sariyah ke Khats’am. Orang-orang diantara mereka pun ada yang berteguh hati untuk bersujud, lalu pembunuhan terhadap orang-orang di daerah itu dipercepat hingga peristiwa itu sampai ke telinga Nabi SAW. Maka Nabi SAW menyuruh mereka untuk membayar separuh diat (tebusan) dan bersabda, “ Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal (menetap) ditengah-tengah kaum musyrik jangan sampai api keduanya bisa saling terlihat oleh keduanya (disaat dinyalakan). ( Dishahihkan oleh Albani, di dalam Irwa’ul Ghalil 5/30).



  • Hadits padang sahara yang tersebut di dalam ucapan Ibnu Taimiyah terdahulu. Dimana pasukan yang hendak menyerang ka’bah dibenamkan ke dalam bumi (disebuah padang sahara) padahal diantara mereka ada yang dipaksa dan ada pula orang-orang yang tidak terlibat dalam penyerangan itu.

  • Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda,”

إذا أنزَلَ الله بقوم عذابا أصاب العذاب من كان فيهم ثم بعثوا على أعمالهم

“ Jika Allah SWT menimpakan adzab terhadap suatu kaum, Niscaya adzab itu akan mengenai siapa saja diantara mereka kemudian (pada hari kiamat) mereka akan dibangkitkan menurut amal mereka.” (Hadits no 7108).



  • Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsyin, beliau berkata, “

أنهلك وفينا الصالحون؟ قال النبي صلى الله عليه وسلم : «نعم إذا كثر الخبث

“ Akankah kita dibinasakan sedangkan diatnara kita terdapat orang-orang yang sholih ? “ Nabi SAW menjawab, “ Ya, bila kejahatan telah merajalela.” (Hadits no 7059)



  • Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab shahih beliau dari Aisyah,

إن الله إذا أنزل سطوته بأهل نقمته وفيهم الصالحون، قُبِضُوا معهم ثم بُعِثُوا على نياتهم وأعمالهم

“ Sesungguhnya Allah SWT itu, apabila telah menurunkan kekuasaanya terhadap orang-orang yang Dia Murkai, sedangkan diantara mereka terdapat orang-orang shalih niscaya orang-orang sholih itu akan dicabut nyawa-nyawa mereka bersama-sama dengan orang-orang yang Dia murkai, kemudian mereka akan dibangkitkan menurut niat mreka dan amal-amal mereka.”

Hadits-hadits ini semuanya semakna dengan hadits-hadits padang sahara (baida’).

Saya katakan, “ Ungkapan kekhususan disini bukan berarti bahwa orang mukmin yang bercampur baur dengan orang kafir itu tidak memiliki kehormatan atau halal darahnya. Tidak ! bahkan ia terlindungi baik darah maupun kehormatannya dengan keimanan yang ada padanya. Ia dilindungi dimanapun ia berada.

Yang dimaksud kekhususan disini hanyalah bahwa bercampur baurnya mereka itu sama sekali bukan penghalang untuk tetap memerangi orang-orang kafir meskipun diyakini bahwa diantara mereka terdapat kaum muslimin yang akan terbunuh, sebagai resiko yang mesti ditanggung. Tentu bila memerangi mereka itu mendatangkan maslahat syari.

Inilah pendapat yang telah menjadi ketetapan jumhur Fuqaha ( Al Mughni wasy Syarh Al Kabir 10/505) & ( ( Al Majmu’ syarhul Muhadzab 19/297).

Ilmu seperti ini wajib disebarluaskan di kalangan kaum muslimin agar mereka berhati-hati untuk tidak bercampur baur niscaya kami azab orang-orang kafir diantara mereka itu Al fath : 25

لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ

Al Qurtubi menyebutkan bahwa imam Malik tidak berpendapat tentang kebolehan menyerang musyrik bila diketahui bahwa diantara mereka terdapat kaum muslimin dengan dalil ayat ini.

Beliau berkata bahwa Abu Hanifah membolehkannya. Kemudian Al Qurtubi berkata, kadang-kadang membunuh orang Islam yang dijadikan tameng hidup oleh musuh itu dibolehkan, dan Insya Allah SWT tidak terjadi ikhtilaf di dalamnya. Yaitu apabila terdapat maslahat yang mendesak menyeluruh dan pasti ! “

Kemaslahatan yang mendesak (darurat) maksudnya bahwa pasukan Islam tidak akan berhasil mencapai posisi musuh guna membunuh mereka tanpa lebih dahulu membunuh tameng hidup (kaum muslimin).

Kemaslahatan yang menyeluruh maksudnya bahwa diyakini memberi maslahat bagi seluruh umat, sehingga membunuh orang Islam yang dijadikan tameng hidup itu benar-benar menghasilkan kemaslahatan bagi setiap kaum muslimin. Maka jika hal itu tidak dilakukan justru orang-orang kafir sendirilah yangakan membunuh tameng hidup itu sehingga mereka akan menguasai seluruh umat.

Kemaslahatan yang pasti maksudnya bahwa kemaslahatan itu diyakini bisa terwujudnya dengan cara membunuh tameng hidup itu.

Ulama kami berkata, “ kemaslahatan dengan ikatan-ikatan ini tidak sepatutnya untuk diperselisihkan.

Karena telah menjadi keniscayaan bahwa tameng hidup itu pasti terbunuh, bagi dengan tangan-tangan musuh sehingga mengakibatkan kerusakan yang besar, yaitu berkuasanya musuh atas segenap kaum muslimin. Atau dengan tangan-tangan kaum muslimin sehingga musuh dapat dibinasakan dan seluruh umat Islam selamat.

Bagi orang yang berfikir sulit untuk mengatakan bahwa tameng hidup itu tidak boleh dibunuh di dalam gambaran seperti ini dilihat dari satu segi. Karena larangan membunuh mereka mengakibatkan lenyapnya tameng hidup itu, Islam dan kaum muslimin.

Namun tatkala kemaslahatan ini ternyata mengandung mafsadat tentu jiwa yang tidak memperhatikan hal ini tidak akan menyukainya. Maka sesungguhnya mafsadat itu bila dihubungkan dengan kemaslahatan yang dihasilkan iat terasa tidak ada atu seperti tidak ada. Wallahu ‘alam.” (tafsir Al Qurtubi 16/282 – 288).

Menurut saya, “ Pernyataan ini dapat mengobati orang yang sakit hati dan memberi minum orang yang haus. Sesungguhnya tidak ada perbedaan pendapat diantara para Imam tentang wajibnya menjaga lima hal yang penting, yaitu agama, nyawa, keturunan, akal dan harta.

Tidak diperselisihkan lagi bahwa menjaga agama didahulukan daripada menjaga nyawa. Karena inilah maka jihad disyariatkan untuk menjaga agama padahal dengan jihad itu nyawa dan harta bisa lenyap. Allah SWT berfirman,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنْ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمْ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعداً عَلَيْهِ حَقاً فِي التَّوْرَاة وَالإِنْجِيل وَالقُرْآن

Sesungguhnya Allah SWT telah membeli nyawa dan harta orang-orang beriman dengan surga, mereka berperang di jalan Allah SWT, hingga mereka membunuh atau terbunuh, sebagai janji yang benar di dalam kitab Taurat, Injil dan Qur’an.” (At-Taubah 111).

كُتِبَ عَلَيْكُمْ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ



“ Telah diwajibkan atas kalian berperang sedangkan ia sesuatu yang kalian tidak menyukainya. Dan bisa jadi kalian tidak menyukai sesuatu sedangkan ia lebih baik bagi kalian.” (Al Baqarah 216).

Tidak diragukan lagi bahwa bahaya-bahaya yang menimpa kaum muslimin itu disebabkan berkuasanya para penguasa murtad atas mereka dan diiringi berbagai fitnah yang besar yang melanda mereka.

Bahaya ini kian meningkat berlipat ganda yaitu dengan terbunuhnya sebagian kaum muslimin yang hidup dibawah paksaan penguasa murtad itu, yangmana keberadaan mereka dibarisan musuh atau bercampur baur dengannya disaaat terjadi pertempuran itu sama sekali tidak ada unsur kesengajaan.

Sesungguhnya banyak sekali negeri-negeri Islam yang berjalan diats jalan kemurtadan yang sempurna.

Maka fitnah mana yang lebih besar dari ini ? Fitnah ini jauh lebih berat dibanding musibah-musibah jihad, baik itu dibunuh, dipenjara, disiksa atau diusir.

Allah SWT berfirman,

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنْ الْقَتْلِ

Dan fitnah itu lebih keras dari pembunuhan (Al Baqarah 191).


وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنْ الْقَتْلِ

Dan fitnah itu lebih besar dari pembunuhan (Al Baqarah 217)

Karenanya wajib menolak kerusakan yang lebih besar (fitnah kufur dan kemurtadan) dengan menanggung kerusakan yang lebih ringan (musibah-musibah akibat jihad).

Inilah yang telah ditetapkan di dalam kaidah-kaidah Fiqih yang khusus membicayakan bagaimana menolak suatu bahaya. Seperti kaidah yang berbunyi :

الضرورات تبيح المحظورات

“ Keadaan-keadaan yang darurat itu membolehkan dilaksanakannya hal-hal yang dilarang.”

يُتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام

“ Bahaya-bahaya yang khusus itu ditanggung untuk menolak bahaya-bahaya yang umum.”

الضرر الأشد يُزال بالضرر الأخف

“Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.”

إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا

“Apabila dua kerusakan berhadapan maka bahaya yang lebih besar disingkirkan.”

يُختار أهون الشرين

“Dipilih keburukan yang lebih ringan.” (lihat Al Qawaid AL Fiqhiyah, Syaikh Musthafa Az Zarqa kaidah 20, 25-28).

Ibnu Taimiyah berkata; “Dan yang demikian itu bahwa Allah SWT membolehkan pembunuhan terhadap nyawa-nyawa manusia menurut kebutuhan demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebagaimana FirmanNya, “ Fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan. Artinya bahwa pembunuhan itu, meskipun di dalamnya terdapat keburukan dan kerusakan, namun Fitnah orang-orang kafir berupa keburukan dan kerusakan jauh lebih besar dariNya.” (Majmu’ Fatawa 28/755)

Tidaklah anda semua melihat apa yang terjadi pada diri umat Islam di berbagai negeri ? darah dan harta mereka dihalalkan oleh hukum-hukum kafir, diiringi dengan merajalelanya perbuatan fasiq, keji, dan pembodohan (yang disengaja) terhadap agama, melecehkan Islam dan pemeluknya agar tumbuh generasi-generasi yang asing terhadap agamanya.

Fitnah mana yang lebih dahsyat dari ini ? dan apa yang tersisa pada diri kaum muslimin ? Allah SWT berfirman,

وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَنْ نَكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَندَادًا وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوْا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا الأَغْلالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ يُجْزَوْنَ إِلا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ



“ Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri.” (Tidak) sebenarnya tipu daya kalian di waktu malam dansiang yang menghalangi kami. Ketika kalian menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah SWT dan menjadikan sekutu-sekutu bagiNya.” Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat adzab. Dan kami pasang belenggu-belenggu dileher orang-orang kafir mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan.” ( Saba : 33)

Yüklə 0,94 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   5   6   7   8   9   10   11   12   13




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin