Buku pedoman kuliah



Yüklə 0,68 Mb.
səhifə8/11
tarix03.01.2019
ölçüsü0,68 Mb.
#89055
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11

Deisme

Monoteisme bisa berbentuk deisme, panteisme, dan teisme. Menurut paham deisme Tuhan berada jauh di luar alam (trancendent), tidak di dalam alam (immanent) menurut paham ini Tuhan hanya dipandang sebagai pencipta alam, dan setelah menciptakan alam dengan dilengkapi hukum yang tetap dan tidak berubah-ubah maka Tuhan pergi jauh ke luar alam dan tidak berhajat lagi pada alam. Karena alam diciptakan dan terus berjalan menurut mekanisme dan hukum alam maka alam pun tidak butuh lagi pada Tuhan (supra natural). Dan karena itu dalam paham ini tidak ada mukjizat, dan doa tidak diperlukan lagi dan tak ada gunanya .

Paham ini mulai timbul di abad ke 17 dan berasal dari falsafah Newton (1642 – 1727) yang mengatakan bahkan tuhan hanya pencipta alam, dan jika ada kerusakan, baru alam perlu Tuhan.

Menurut paham ini Tuhan bukan pengatur, tetapi pada pemelihara dan bukan pengawas alam. Boleh dikatakan ”absentee handlord atau tuan tanah yang tak pasrah ada di tanahnya.


    1. Henoteisme

Bagi orang yang berfikir mendalam paham politeisme yang menyembah banyak dewa/Tuhan tidak memuaskan lagi, maka timbullah paham yang mengutamakan satu Tuhan / dewa yang mempunyai kedudukan lebih mulia dan lebih tinggi dari dewa/Tuhan lain. Bahkan mereka hanya menyakini satu Tuhan /dewa bagi bangsanya. Tetapi ini belum berarti monoteisme karena mereka masih mengakui akan adanya dewa atau Tuhan lain bagi bangsa lain inilah disebut paham henoteisme.

Contoh paham ini upamanya Zeus dalam agama yunani lama dipandang sebagai kepala keluarga dewa – dewa panteon. Contoh lain pada masyarakat yahudi lama setelah paham animisme berubah menjadi politeisme maka masing – masing kabilah mumpunyai tuhannya sendiri. Kemudian kemudian pada perkembangan selanjutnya yahweh sebagai elohim dari bukit Sinai dipandang sebagai elohim yang tunggal bagi bangsa yahudi.



    1. Panteisme

Pan berarti seluruh, panteisme dengan demikian mengandung arti seluruhnya Tuhan. Paham ini berpendapat bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan dengan kata lain Tuhan adalah alam dalam keseluruhannya. Berbeda dengan deisme, panteisme memandang Tuhan sangat dekat dengan alam (Tuhan adalah immanent) yaitu berada dalam alam itu sendiri.

Seperti halnya deisme, panteisme juga memandang tuhan itu satu, hanya saja terdiri dari bagian – bagian dan tidak berubah. Yang merubah dan merupakan bagian dari tuhan adalah ilusi atau khayalan belaka.



    1. Teisme

Teisme sefaham dengan deisme bahwa Tuhan adalah transenden atau berada di luar alam, tetapi juga sefaham dengan panteisme bahwa Tuhan itu immanent (berada dekat dan bahkan di dalam alam).

Menurut faham ini tuhan tidak hanya menciptakan alam tetapi juga mengatur dan memelihara alam, oleh karena itu alam setelah diciptakan tetap dan terus berhajat pada Tuhan, dan paham ini menerima adanya mu’jizat dan perlunya do’a.



    1. Naturalisme

Paham ini merupakan kelanjutan dari paham deisme, menurut paham ini alam itu berdiri sendiri serba sempurna, beredar dan beroperasi menurut tabiat / naturnya berdasar hukum sebab musabab.

Menurut paham ini alam tidak berasal dan tidak bergantung pada kekuatan gaib atau supranatural, dan pahan ini timbul setelah ilmu pengetahuan alam bertambah maju dan ahli – ahki ilmu pengetahuan alam melihat bahwa alam ini berevolusi dan bergerak menurut mekanisme tertentu, dan tidak ada lagi misteri dalam alam ini, sedang masa depan alam semesta ditentukan oleh hukum – hukum alam yang tak berubah – ubah.

Seorang naturalis di abad 19 mengatakan bahwa ia telah menyelidiki seluruh langit dengan teleskopnya, tetapi ia tak menemukan Tuhan.


    1. Ateisme

Paham ateisme merupakan kelanjutan dari paham naturalis, paham ini sudah tidak percaya lagi akan adanya Tuhan, kalau memang Tuhan itu ada mengapa ia tidak menunjukkan diri dengan nyata. Kalau Tuhan betul ada dan maha sempurna mengapa tidak menciptakan alam ini sempurna? Sebab menurut kaum Ateis alam ini banyak kekacauan dan dalam ketidaksempurnaan. Banyak hal dan sesuatu yang ada di dalam alam ini yang tidak berguna dan tak mempunyai arti. Banyak binatang dan tumbuh – tumbuhan yang berevolusi mencapai kesempurnaan tetapi kemudian hancur atau punah, apa gunanya semua itu diadakan Tuhan, kalau toh nantinya akan dihancurkan? Apa pula gunanya alam ini diadakan kejahatan, kalau kejahatan itu menimbulkan kekacauan ?

Jadi menurut paham ini alam semesta bukan ciptaan Tuhan tetapi ada dengan sendirinya dan berada menurut praturan – peraturan yang ada dalam dirinya. Demikian argumen – argumen yang diajukan oleh kaum Ateis.


k. Agnoteisme

Kalau ada pahan yang dengan tegas mengatakan tuhan itu ada, dan ada pula yang mengatakan dengan tegas Tuhan itu tidak ada, maka ada pula paham yang tetap ragu – ragu (skeptis) tentang adanya tuhan. Bahkan ada paham yang mengatakan bahwa pengetahuan positif dalam ilmu pasti tentang Tuhan tak mungkin diperoleh inilah yang disebut paham agnotisisme. Kata agnotisisme ini dimunculkan oleh Thomas Henry Hauxly (1825 – 1895),

Ketika berbicara tentang alam nyata saja manusia tak bisa memperoleh pengetahuan yang seratus persen positif apalagi pengetahuan tentang yang gaib (alam gaib). Tetapi ketika ditanyakan pendiriannya tentang teisme dan ateisme, Hauxly tak mau memilih salah satu paham itu. Dia bukanlah seorang pengikut kristen yang percaya pada Tuhan, tetapi tidak pula seorang ateis melainkan seorang agnostic yang tidak mempunyai pengetahuan positif tentang Tuhan.

Seorang agnostik bisa percaya adanya Tuhan tetapi tidak tahu siapa dan bagaimana Tuhan itu.


B. Imam Kepada Rasul

Salah satu wujud kerahmatan (kasih sayang) Tuhan kepada manusia adalah diutusnya para Rasul untuk menyampaikan risalah Tuhan kepada kaumnya (manusia)

Kata Rasul berasal dari kata “arsala-yursilu” yang berarti mengutus, Rasulan artinya utusan atau pesuruh, sedangkan risalah adalah tugas kerasulan. Jadi jelaslah bahwa hubungan antara Rasul dengan risalah sangatlah erat.

Dalam Al Qur’an istilah Rasul juga digunakan untuk menunjuk kepada malaikat sebagai utusan Tuhan seperti tersebut dalam Q.S. Faatir (35) : 1



Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”


Adapun pengertian populer tentang Rasul adalah khusus ditujukan kepada manusia yang dipilih Allah untuk mendapatkan wahyunya (Risalah Nya).

Selain kata Rasul dalam Al Qur’an juga digunakan istilah Nabi yang berasal dari kata nabi. Nabi dalam istilah Islam ialah manusia yang dipilih Allah untuk mendapatkan wahyuNya, dalam pengertian ini istilah Nabi identik dengan istilah Rasul.

Ada pendapat yang mengemukakan bahwa antara Nabi dan Rasul itu berbeda. Nabi mendapatkan wahyu tapi tidak wajib menyampaikan ajaran, sedangkan Rasul mendapatkan wahyu dan wajib menyampaikan ajaran itu kepada umatnya. Pendapat lain menyatakan bahwa Nabi itu tidak membawa syariat baru sedang rasul membawa syariat baru. Yang jelas dalam Al Qur’an sering istilah nabi dan Rasul digunakan untuk menunjuk orang yang sama dan sering pula dua istilah itu digunakan secara berurutan.

Dalam Al Qur’an dan Al Hadits diterangkan secara panjang lebar, baik menyangkut apa dan siapa Rasul itu, tugas dan fungsi kerasulan, sifat-sifat dan kedudukannya, serta kepada siapa mereka diutus dan masih banyak lagi yang lain.

Menurut Ibnu Taimiyah, Iman kepada Rasul sebagai standart dan sumber keimanan, kekafiran dan kemunafikan adalah percaya dan tidaknya seseorang itu kepada adanya para Rasul itu dan segala ajarannya. Beliau juga menyatakan bahwa ”Iman kepada Rasul itu ada yang secara umum (mujmal) dan ada yang secara terperinci (mufashal).

Iman kepada Rasul dengan Iman mujmal (umum) adalah percaya kepada apa saja yang dibawa oleh Rasul, baik ia mengetahuinya atau tidak mengetahuinya. Apa yang ia ketahui ia lakukan atau apa yang ia tidak ketahui ia tidak lakukan pula. Tapi kalau sesudahnya ia mengetahuinya tentu ia akan lakukan pula. Allah tidak membenarkan kepada manusia untuk iman secara mufashal, terperinci. Orang yang tidak mengetahui apa yang dibawa oleh Rasul, ia tidak berdosa dan tidak disiksa (Ibnu Taimiyah, 1989 : 29-30).

Salah satu keimanan kepada Rasul / Nabi adalah menyakini bahwa setiap umat ada seorang Rasul yang diutus dan yang memberi peringatan sebagaimana tersebut dalam Q.S. Yunus (10) : 47 :

Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikit pun) tidak dianiaya.”


Dalam Q.S.Faathir (35) : 24 juga dinyatakan

Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”


Di antara para Rasul itu ada sebagian yang diceriterakan kepada Nabi dan ada sebagian yang tidak diceritakan sebagai mana tersebut dalam Q.S. An-Nisa (4) : 164

Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.”


Adapun para Rasul yang disebutkan dalam Al Qur’an dan al Hadits mulai Nabi Adam As. Sampai Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad) menurut para ulama ada 25 rasul. Rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad diutus untuk umat tertentu, sedangkan Nabi Muhammad diutus untuk semua manusia sebagaimana tersebut dalam Q.S. Saba’ (34) : 28.

Dan tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh Umat manusia..” ayat seperti ini juga terdapat dalam Q.S. Al Araf (7) : 158.


Selain kerasulan Nabi Muhammad diperuntukkan bagi semua manusia sampai akhir zaman, Nabi Muhammad juga berkedudukan sebagai Nabi terakhir (penutup para Nabi) artinya setelah Nabi Muhammad tidak akan ada lagi Nabi / Rasul yang diutus oleh Allah. Hal ini ditandaskan dalam Q.S. Al Azzab (33) : 40

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.”


Dengan istilah khataman Nabi maka secara otomatis kerasulan pun telah berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad karena setiap Rasul pasti Nabi, sedangkan Nabi belum tentu Rasul. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah disempurnakan oleh Allah sebelum beliau wafat sebagaimana disebutkan oleh Q.S. Al Maidah (5) : 3
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

Pada hari ini aku telah sempurnakan bagimu agamamu, dan telah aku sempurnakan minatku untukmu dan Aku ridho Islam sebagai agamamu.”


Ayat tersebut merupakan ayat terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad pada saat beliau melakukan haji wada’ (haji terakhir), dan turun sebelum Nabi wafat.

Dengan dasar ayat tersebut maka tidak diperlakukan lagi adanya penyempurnaan maupun pembaharuan ajaran Islam. Pembenaran hanya dimungkinkan dalam hal pemahaman kembali dan itupun tidak boleh bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Para Rasul dan Nabi juga diyakini memiliki sifat-sifat mulia, di antaranya sifat Shiddiq (jujur), Tabliqh (menyampaikan risalah), Amanah (dapat dipercaya), dan Fathonah (cerdas). Selain itu para ulama sepakat bahwa para Rasul / Nabi terpelihara dari dosa (maksum). Dalam kitab Aqidah Islamiyah, Ustadz Sayid Sabiq mengemukakan bahwa berdasar beberapa ayat Al Qur’an beberapa rasul seperti Nabi Adam, Nabi Dawud, dan juga Nabi Muhammad Saw. Pernah melakukan kesalahan, namun kesalahan itu hanya karena kedudukan mereka yang tinggi dipandang keliru oleh Allah, akan tetapi jika perbuatan itu dilakukan oleh manusia biasa bukanlah suatu kesalahan, dan segera ditegur oleh Allah, para Rasul segera bertaubat minta ampun dan diampuni oleh Allah.

Menurut Ibnu Taimiyah ada segolongan orang yang salah, mengatakan bahwa khatamul Aulia, adalah yang paling mulia di antara para Aulia itu. Demikian itu adalah diqiyaskan dengan yang paling utama dan mulia di antara para Nabi adalah yang terakhir... bahkan ada yang berlebih-lebihan lagi, mereka menganggap : khatamul Aulia (penutup para wali) adalah lebih utama dari pada khatamul Anbiya’ (penutup para Nabi) (Ibnu Taimiyah, 1989 : 83).

Pendapat tersebut menurut Ibnu Taimiyah menyalahi akal dan syara’ sebab tidak akan dikatakan ia ”wali” melainkan apabila ia mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Wali (jama’nya Aulia) adalah manusia biasa yang bisa salah bisa benar, tidak ada jaminan bahwa ia ma’sum. Tidak ada bedanya antara wali dengan yang bukan wali selain ketaqwaannya pada Allah.

Mengenai masalah kewalian ini masih banyak pandangan yang salah baik yang datang dari sebagian ahli sufi dan pengikutnya maupun yang datang dari golongan filsafat yang dikritik dan ditolak oleh Ibnu Taimiyah. Berdasarkan kajian ayat Al Qur’an maupun Hadits oleh karena itu selayaknya umat Islam waspada dan hati-hati menghadapi persoalan tersebut. Termasuk juga pandangan terhadap walisongo yang beredar di jawa.

Setelah Rasulullah wafat mulai ada orang yang mendakwakan diri sebagai Nabi maupun sebagai Nabi pengiring seperti Musailamah al Kadzab, Baabullah dan juga Mirza ghulam Ahmad. Berdasarkan ayat tersebut maka pengakuan tersebut tidak dapat diterima dan jelaslah mereka itu adalah nabi-nabi palsu yang tidak memiliki dasar dalam Islam. Begitu juga jika sekarang atau yang akan datang masih ada orang yang mengaku sebagai nabi menurut prinsip aqidah Islam tetap ditolak.

Adapun tugas atau misi para Rasul sejak Nabi Adam As. Sampai Nabi Muhammad menurut keyakinan Islam adalah sama yaitu mengajarkan keEsaan Tuhan (Tauhid). Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Al Anbiyaa’ (21) : 25.



Dan kami tidak mengutus Rasul sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.”


Oleh karena para Rasul memiliki misi yang sama dan mereka adalah orang-orang yang dipilih Allah untuk menyampaikan risalah atau ajaran Tuhan dan sekaligus menjadi tauladan bagi umatnya, maka menurut prinsip Aqidah Islam pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara Rasul yang satu dengan Rasul yang lain. Perbedaan di antara mereka hanya perbedaan derajat karena perbedaan beban yang dipikulnya atau kelebihan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Al Baqarah (2) : 136

Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”


Adapun perbedaan derajat kerasulan dijelaskan dalam Q.S. Al Baqarah (2) : 253, sedangkan perbedaan derajat kenabian dijelaskan dalam Q.S. Shad (38) : 85 dan masih banyak ayat yang lain.
C. Memahami Qadha’ dan Qadar Tuhan

Masalah Qadha’ dan Qadar adalah suatu masalah yang paling tua dan paling susah untuk memberikan jawaban yang dapat memuaskan bagi orang yang mempermasalahkan. Adanya masalah itu bukan lantaran adanya agama, tetapi walaupun agama itu tidak ada, maka akal manusia akan mencari dan mempermasalahkannya.

Dalam pembahasan ini perlu dikemukakan tentang pengertian Qadha’ dan Qadar terlebih dahulu. Dalam kitab ”soal-jawab tentang berbagai persoalan agama ” dinyatakan bahwa :

” Qadha menurut bahasa ada mempunyai beberapa arti : hukuman, perintahan, khabaran, dan kehendak.

”Qadarpun ” ada mempunyai beberapa macam arti : ukuran, ketetapan, peraturan, dan batas.

Tetapi dalam agama ”ulama-ulama terangkan dengan beberapa ma’na yaitu kata mereka :



  1. ”Qadha’ itu, ialah adanya sekalian yang ada dalam Lauful Mahfudh, dengan jumlah, tidak dengan satu persatu.

  2. ”Qadar’ itu, ialah memisahkan Qadha’ yang disebut dengan mengatakan dia di luar satu persatu.

Ada pula yang mengartikan begini :

  1. Qadha itu, ialah keamanan yang mula-mula sekali dari kehendak keTuhanan yang diadakan buat mengatur sekalian yang ada, menurut ukuran (tertib) yang tertentu.

  2. Qadar itu, ialah pertalian kemauan yang tersebut dengan barang-barang dalam waktu-waktunya yang tertentu.

Dan ada lagi beberapa makna yang hampir bersamaan dengan yang tersebut, tetapi semua itu dapat kita ringkaskan begini ”Qadha” dan Qadar” itu, ialah hukuman dan ukuran yang telah adakan pada semua yang ada (makhluk) tentang berlakunya, jahatnya, keadaannya, dan aturannya, menurut sifat dan waktu yang tertentu (A. Hasan dkk, 1980 : 1241 – 1242).

Memahami bagaimana hakekatnya taqdir (Qadha dan Qadar Tuhan) memang tidak mudah atau bahkan tidak mungkin untuk sampai pada hakekat yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan masalah tersebut berkaitan dengan masalah kehendak atau Qadha Tuhan yang tak terbatas, sedangkan akal manusia yang terbatas tidak akan mampu menjangkau yang tak terbatas.

Rasulullah mengingatkan dengan sabdanya
.... dan apabila masalah taqdir disebut-sebut hendaklah kamu tinggalkan.” (HR. Thabrani dari Ibn Mas’ud).
Hadits tersebut mengisyaratkan bahayanya mempermasalahkan taqdir secara berlebihan. Hal ini telah terbukti setelah Rasulullah wafat timbul dua aliran teologi Islam yang saling bertentangan antara paham Qadariyah dengan paham Jabariyah yang dilanjutkan oleh paham Mu’tazilah dengan paham Asy’ariyah.

Dua aliran yang saling bertentangan ini sama-sama mempermasalahkan taqdir (Qadha dan Qodar Tuhan) dikaitkan dengan masalah kebebasan manusia. Masing-masing paham berusaha memperkuat pendapatnya dan menggunakan Al Qur’an sebagai penguat pendirian mereka.

Ibnu Taimiyah mensinyalir bahwa ”di kalangan orang-orang Islam masih banyak kekaburan antara hakekat taqdir dan perintah agama dan belum dapat membedakan antara Al Haqaiq Al Amriyah ad. Diniyah Al Imaniyyah (hakekat perintah agama yang bersifat murni) Al Haqaiq Al Khalqiyyah Al Qadariyyah Al Kaumiyyah (hakekat ketentuan taqdir yang bersifat umum, ketentuan hukum alam). ” (Ibnu Tamiyah, 1989 : 110).

Selanjutnya istilah Al Iradah (kehendak Tuhan), Al Amr (perintah), Al Qadha’ (ketentuan), Al Izm (keizinan), Al Tahsim (pengharaman), Al Ba’ts (pengutusan), Al Irsal ( kerasulan), dan Al Jail (penciptaan) dalam ayat Al Qur’an dapat ditinjau dari dua pengertian, yaitu Al kaum dan Al Dini.

Menurut Ibnu Taimiyah ”Al Iradah (kehendak) dapat dibedakan menjadi dua sebagaimana tersebut di atas. Yang pertama adalah al Iradah al Kaumiyah : kehendak Allah yang dihubungkan kepada alam semesta yang sudah ditentukannya sejak ia diciptakan dan tidak ada satupun makhluk yang akan keluar daripadanya; seperti Q.S. Al Anam (6) : 125, Q.S. Hud (11) : 34, Q.S. Ali Imran (3) : 11.

Yang kedua (Al Iradah ad Dini)(kehendak agama) adalah apa yang dikehendaki oleh Allah, dan bagi yang melakukan apa yang dikehendaki Allah dia akan dicintainya (diridhoi oleh Allah), sebaliknya bagi yang mengingkari akan dimurkai atau tidak dicintai oleh Allah. Contoh al Iradah ad dini ini tersebut dalam Q.S. Al Baqarah (2) : 185, Q.S. Al Maidah (5) : 6, Q.S. An Nisa (4) : 26-27, Q.S. Al Ahzab (33) : 33 dan masih banyak lagi yang lain.

Adapun ketentuan Tuhan yang berlaku bagi makhluk (alam semesta) ini dalam Al- Qur’an disebut dengan Sunnatullah, seperti tersebut dalam Q.S. Al Faatir

(35) : 43




Maka sekali-kali engkau tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah (hukum alam).
D. Iman Kepada Hari Kiamat

Iman kepada hari akhir merupakan salah satu sendi aqidah Islam penting dan erat berkaitannya dengan Iman Kepada Allah. Dalam aqidah Islam Hari akhir (Yaumul Akhir) adalah hari berakhirnya alam semesta dan berakhirnya seluruh kehidupan makhlukTuhan.

Dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Yaumul Akhir juga disebut Al Akhirat, Yaumul Qiyamah, Yaumul Bath, Yaumul Fash, Yaumuddin, Yaumul Khuruy, Yaumul Khulud, Yaumul Hisab, dan sering juga disebut As-Saah. Sebutan tersebut sekaligus menunjukkan pada peristiwa yang terjadi pada hari kiamat dan proses perjalanan hidup setelah mati sampai pada kehidupan yang kekal, baik di surga atau di neraka.

Bagi orang yang beriman dengan mudah dapat memahami mengapa Iman Kepada hari akhir sangat erat hubungannya dengan Iman Kepada Allah, dan bahkan sering disebutkan secara bersamaan atau berurutan dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi.

Prinsip aqidah Islam mengajarkan bahwa Allahlah yang menjadi sumber, asal-usul segala yang ada dan yang mungkin ada serta asal mula segala kehidupan (causa prime). Kepada Allahlah segala sesuatu akan dikembalikan. Berdasarkan keyakinan tersebut maka asal-usul dan tujuan hidup muslim (sangkan parang dumadi) diarahkan untuk menuju keridhoan Tuhan. Ada pun kebahagian yang hakiki bagi orang yang diridhoi oleh Allah tidak lain adalah kehidupan akhirat.

Sebenarnya tidak sulit untuk mempercayai akan adanya hari kiamat, karena dengan menyaksikan peristiwa yang terjadi di sekitar kita, dan juga yang terjadi pada diri manusia telah menunjukkan dan membenarkan akan terjadinya kerusakan dan kehancuran. Hal ini juga ditegaskan dalam Q.S. Al-Qashash (28) : 88




Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.”

Musnahnya kehidupan secara berangsur angsur, berhentinya alam semesta dalam berkembang dan kembali berkontraksi menuju ke titik awal merupakan bukti adanya hukum ketidak kekalan yang berlaku bagi setiap mahkluk ciptaan Allah atau kemusnahan kehidupan duniawi yang sekaligus memperkokoh akan datangnya hari kiamat. Dalam Q.S. Al-Haj (22) : 7



Sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tidak ada keraguan padanya dan bahwasanya Allah menghidupkan semua orang yang di dalam kubur.”


Adapun orang-orang yang tidak beriman mereka beranggapan bahwa adanya hari kiamat hanyalah isapan jempol atau lamunan orang-orang awam yang tidak mempunyai akal. Di antara mereka terdapat kaum materialis/ateis yang menerangkan bahwa bumi dan alam semesta berlaku hukum the law of concervation of matter (materi ini kekal dalam perubahan kekekalan). Begitu juga paham reinkarnasi (penjelmaan kembali) yang hakekatnya sejalan dengan prinsip kepercayaan tentang kekekalan duniawi. Jika benar paham reinkarnasi tersebut maka berarti jumlah manusia dan mahkluk lainnya akan tetap dan tidak bertambah jumlahnya.

Paham semacam itu dalam istilah Al-Qur’an dikatakan sebagai paham kaum Dahriyah yang tersebut dalam Q.S. Al-Jatsiyah (45) : 24



Mereka berkata,” kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa” dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”


Selain persoalan ada tidaknya hari kiamat juga sering muncul persoalan kapankah datangnya hari kiamat ?

Persoalan tersebut sering muncul di kalangan penganut agama lain dengan mengatas namakan sekte tertentu yang mengajarkan dan memastikan terjadinya hari kiamat pada hari ini atau hari itu, bulan ini atau itu, tahun ini atau tahun itu. Bahkan ada pula sekte tertentu dalam kalangan umat Islam yang mengajarkan keyakinan semacam itu. Paham semacam itu di tentang keras dalam Al-Qur’an seperti tersebut dalam Q.S.Luqman (31) : 34



Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”


Berdasarkan ayat tersebut telah jelas tidak ada yang tahu secara pasti kapan datangnya hari kiamat kecuali Allah, Malaikat sebagai makhluk yang paling dekat pun tidak mengetahui hal tersebut, tidak pula para Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah. Hal ini juga diperkenal oleh Q.S.Al-Araf (7) : 187.

Mereka menanyakan kepadamu tentang hari kiamat Bilakah terjadinya ? ”Katakanlah Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah pada sisi Tuhannya ; tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskan kapan datangnya sampai hari kiamat selain dia. Hari kiamat itu adalah amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang dilangit dan dibumi. Hari kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengeta-huinya.” katakanlah” Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”


Ayat ini turun sebagai jawaban pertanyaan kaum Quraisy yang ingin menguji dan mengejek atau memperolok-olokkan Nabi, karena merekapun tahu bahwa hal itu rahasia Ilahi.

Dalam al Qur’an tidak ada satupun ayat yang menjelaskan kapan datangnya hari kiamat begitu juga dengan Hadits Nabi. Nabi Muhammad hanya menjelaskan tanda-tanda dan isyarat tentang dekatnya hari kiamat seperti Sabda Nabi.


Aku diutus sedang waktu datangnya hari kiamat itu seperti dua ini sambil memperlekatkan telunjuknya dan jari tangannya (HR. Tirmizi)”
Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang peristiwa dan keadaan pada saat terjadinya hari kiamat seperti Q.S. Al-Haj (22) : 1-2



Hai manusia, bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu, Sesungguhnya goncangan pada hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat dahsyat. Ingatlah pada hari (ketika) kiamat kamu melihat goncangan itu, lalaikan semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang diasuhnya, dan jagalah kandungan segala wanita yang hamil. Dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.”


Dalam Q.S. Al-Muntahanah (60) : 3 juga dinyatakan

Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memusnahkan antara kamu. Dan Allah maha melekat apa yang kamu kerjakan.”


Peristiwa terjadinya hari kiamat juga diterangkan secara lebih jelas lagi dalam Surat Zalzalah (91) : 1-8, dan masih banyak ayat lain yang menjelaskan peristiwa tersebut.

Selain persoalan ada tidaknya hari kiamat dan kapan datangnya hari kiamat, masih banyak persoalan lain berkaitan dengan hari kiamat, baik yang klasik maupun modern, yang datang dari luar maupun dari dalam kalangan Islam sendiri, misalnya tentang kehidupan di alam kubur (alam barzah), tentang Yaumul Bath, Yaumul Hisab, kekal tidaknya surga mereka dan sebagainya.

Munculnya berbagai persoalan dan pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah suatu hal yang wajar, karena masalah hari kiamat termasuk salah satu berita ghaib yang datang dari Allah, sedangkan manusia tidak tahu kecuali diberitahu oleh Allah.

Firman Allah dalam Q.S.Al-Anam (6) : 59



Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauful-mahfuz).”


Bagi umat Islam dengan bekal keyakinan tentang masalah ghaib dan beberapa penjelasan Al-Qur’an dan Hadits maka semua pertanyaan insya Allah dapat dijawab dengan tidak terlalu sulit, hanya karena pemahaman kita terhadap agama kita yang kurang mendalam menjadikan kita sulit untuk memecahkan beberapa masalah yang kita temui.

Selanjutnya akan dibahas secara singkat bagaimana kehidupan manusia di alam kubur (barzah) dan akhirat.

Abu Musa Al-Asjari, melukiskan bahwa kehidupan manusia adalah kekal hanya berpindah-pindah. Mula-mula hidup di qurun dunia, dengan sebab dilahirkan dari perut ibunya, kemudian dipindahkan ke alam Barzah dan akhiratnya di bangkitkan dari alam Barzah dan dipindahkan ke qurun akherat untuk diadili dan dimintai pertanggung jawabannya waktu hidup di dunia untuk mendapat balasan. Amal baik dibalas dengan surga (jannah), amal jahat dibalas dengan neraka (an-nar / jahanam).

Pengertian Barzah ialah dinding pemisah antara dua barang atau tempat. Jadi alam barzah adalah alam yang membatasi antara kehidupan dunia dan kehidupan akherat atau tempat berhentinya arwah orang mati sebelum di bangkitkan kembali untuk menunggu akherat, sedangkan akherat yang sebenarnya dimulai sejak terjadinya hari kiamat atau hari kebangkitan. Q.S. AL-Mukminun (23): 99-100





(Demikianlah keadaan orang – orang yang kafir itu) hingga apabila datang hari kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah akan tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan dibelakang mereka ada dinding pemisah sampai hari kiamat.”


Tempat menunggu kebangkitan setelah manusia mati disebut juga alam kubur (Qubur). Seperti firman Allah Q.S. Abbasa (80) : 21-22.

Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Kemudian bila dia menghendaki Dia membangkitkannya kembali.”


Berdasar ayat tersebut jelas bahwa alam barzah itu identik dengan alam kubur. Tetapi ada juga yang membedakan dengan menyatakan bahwa alam kubur itu berkaitan dengan fisik sedangkan alam barzah berkaitan dengan roh / ruh.

Selanjutnya berkaitan dengan Yaumul Ba’ath dan Yaumul Qiyamah ada pertanyaan klasik yang diabadikan dalam Al-Qur’an bahwa kaum musyrik Quraisy menyangkal adanya Yaumul Ba’th seperti tersebut dalam Q.S. Yasin (36) : 78-79



Dan dia membuat perumpamaan bagi kami dan Dia berkata: “siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?Katakanlah : “ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali pertama. Dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.”


Berdasar ayat tersebut maka tidak masalah apakah seseoang mati di darat, dilaut, dibakar, atau dimakan binatang buas sekalipun bagi Allah mudah untuk menghidupkannya kembali. Hal ini juga tersebut dalam Q.S. Al-Baqarah (2) : 28’

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati lalu Allah menghidupkan kamu kemudian kamu dimatikan dan dihidupkanya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu akan kembali.”


Setelah dibangkitkan dari kubur manusia akan dihisab dalam suatu pengadilan luar biasa untuk mmpertanggungjawabkan amal perbuatannya ketika di dunia. Dalam pengadilan ini tidak seorangpun diperlakukan tidak adil Q.S. AL-Fushilat (41) : 46.

Barang siapa yang mengerjakan amal shalih maka pahalanya untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri dan sekali – kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hambanya.”


Dalam pengadilan ini manusia dapat menghitung amal perbuatan dan sekaligus menjadi saksi atas dirinya sendiri Q.S. Yasin (36) : 65.

Pada hari ini kami tutup mulut mereka : dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”


Dalam Q.S. An-Nur (24) : 24 dinyatakan

Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Q.S. Al Isra’ (17) : 14 juga menyatakan

Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu itu sebagai penghisab atasmu.”

Q.S. Yasin (36) : 54

Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.”


Maka juga sering muncul pertanyan dan permasalahan, apakah sekarang sudah ada atau belum, apakah kenikmatan di surga itu bersifat jasmaniah, atau rohaniah semata. Atau bersifat jasmaniyah dan rohaniah.

Pertanyaan – pertanyaan semacam itu semuanya merupakan pertanyaan klasik yang telah lama. Dan telah banyak ulama yang menjawabnya,

Mengenai masalah sudah ada atau belum surga-neraka saat ini ? Ustadz A Hasan mengemukakan bahwa sebagian ulama Islam berpendapat bahwa surga-neraka itu belum ada sekarang, dan ada pula yang berpendapat sudah ada. Masing – masing mengajukan argumen sendiri, namun pendapat kedua lebih dapat dibenarkan.

Kalau benar surga-neraka sekarang sudah ada, di manakah tempatnya pertanyaan ini dijawab oleh A Hasan bahwa agama tidak menjelaskan masalah tersebut, karena itu tidaklah perlu untuk diusut. (lihat “Soal jawab tentang berbagai masalah agama, jilid III, 1980. hal. 1238 – 1241).

Mengenai masalah kedua tentang kenikmatan di surga sebagai mana telah banyak di jelaskan dari Al-Qur’an dan Hadits. Sedang keterangan itu menimbulkan perbedaan diantara ulama’ Islam.

Pendapat pertama menjelaskan bahwa nikmat kehidupan surga itu bersifat jasmaniyah, pendapat kedua menyatakan bersifat spiritual/rohaniah belaka, pendapat ini banyak didukung para filosof dan para sufi, dan Ahmadiyah, sedangkan sejumlah ulama cenderung berpendapat bahwa kenikmatan itu hanya sempurna apabila berupa nikmat jasmani dan rohani / spiritual.

Berdasar ayat – ayat tersebut dan juga ayat – ayat lain yang tak disebutkan di sini dapat disimpulkan bahwa pada hari hisab semua orang akan dihitung dan di adili semua amal perbuatannya untuk dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Bagi orang yang beriman dan beramal soleh, tunduk patuh kepada Allah akan mendapat imbalan kebaikan dan kehidupan yang memuaskan, penuh kenikmatan di surga. Sebaliknya bagi mereka yang tidak beriman dan banyak kemaksiatan serta kejahatan akan menderita dan disiksa di alam akherat (neraka).

Istilah surga berasal dari bahasa sansekerta Suarga. Yaitu kayangan atau indera atau keinderaan yang dikepalai oleh betara indra. Begitu juga istilah neraka, juga berasal dari bahasa sansekerta. Naraka, yaitu lawan surga, yaitu tempat orang yang berdosa sebagai hukumannya.

Dalam Islam (Al-Quran) surga dikenal dengan beberapa sebutan kata “Jannah” yaitu taman yang permukaan tanahnya di tutup oleh pepohonan. Ada pula yang menggunakan istilah firdaus. Adapun istilah nereka dalam al-Qur’an sering menggunakan sebutan An-Nar (Api), Jahanam (tempat yang dalam dan paling kejam), Al Hawiyah (api yang panas), Jahim (api yang menyala), Saqor (terik matahari yang membakar), laza (nyala api), dan sebagainya.

Berita tentang surga – neraka merupakan salah satu berita ghaib yang manusia tahu karena diberitahu oleh Tuhan.

Mengenai masalah surga dan neraka demikian masalah ini sering menimbulkan perbedaan pendapat, dan karena merupakan salah satu berita ghaib, maka hakekatnya hanya Allah yang maha mengetahui bagaimana hakekatnya yang sebenarnya, oleh karena itu himbauan Rasulullah agar kita menghindari / menjauhi pembahasan yang berlebih – lebihan tentang taqdir juga dapat diterapkan dalam pembahasan masalah surga – neraka dan masalah ghaib lainnya Sabda Nabi.
Dan apabila masalah takdir disebut – sebut orang hendaklah kamu hentikan.” (H.R. Thabrani)

Bab VI. IBADAH (Tatap Muka XIII)


1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    • Memahami konsep dan kedudukan Ibadah dan arti penting pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari menurut ajaran Agama Islam


2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    • Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian ibadah

    • Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian dan ruang lingkup Ibadah, Tujuan, Kedudukan Ibadah dalam Islam.

    • Mahasiswa dapat menjelaskan Arti Shalat, Tata Cara dan Hikmahnya Mahasiswa dapat menjelaskan Makna Puasa, Tatacara dan Hikmahnya Mahasiswa dapat menjelaskan tata cara pelaksanaan dan Hikmah Haji


VI. IBADAH (Tatap Muka XIII)
Dalam kamus Al-Munawwir kata ibadah berasal dari kata ‘abada- ‘ibaadatan-wa’ubuudiiyatan yang berarti “beribadah atau menyembah”, oleh karena itu “Abdullah atau “Ibadullah bisa berarti hamba Allah yang menyembah atau mengabdikan diri kepada Allah.

Dalam istilah syara’ ibadah memiliki dua pengertian yaitu ibadah dalam arti luas dan ibadah dalam arti sempit atau khusus. Ibadah dalam arti luas meliputi semua amal perbuatan yang dilakukan dalam rangka mencari Ridha Ilahi. Dalam hal ini identik dengan mengamalkan syariah Islam, sedangkan ibadah dalam arti sempit (khusus) adalah menjalankan hukum Islam yang lima (syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji).

Untuk dapat diterimanya suatu ibadah haruslah memenuhi syarat dan rukun dari suatu ibadah. Adapun istilah rukun (jama’nya arkan) adalah bagian yang inheren (melekat) atau tidak terpisahkan dari suatu peribadatan, sedangkan istilah syarat berarti suatu kondisi yang harus ada atau harus dipenuhi untuk syahnya suatu ibadah.

Seorang mukmin yang telah melaksanakan ibadah dalam arti luas atau menjalankan ibadah dan muammalah dikatakan telah melaksanakan syariah Islam dalam arti yang seluas-luasnya.

Pada bab ini akan dibahas secara garis besar mengenai ibadah dalam arti khusus yang meliputi syahadat, shalat, zakat puasa dan haji (rukun Islam).


  1. Syahadat

Kata syahadat (syahadah) berarti persaksian atau pengakuan. Pengakuan dan persaksian (syahadat) dalam Islam meliputi dua macan yang disebut dengan syahadatain, yaitu syahadat Ilahiyah dan syahadat Kerasulan yang juga dikenal dengan dua kalimat syahadat.
Asyhadu ala illaaha ilaallah wa asyhadu anna muhammadarasulullah” (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Utusan Allah).
Dilihat dari isi yang terkandung dalam dua kalimat syahadat telah jelas bagi umat Islam bahwa syahadat Ilahiyah berintikan pada keyakinan tentang keesaan Tuhan oleh karena itu sering disebut syahadat Tauhid, sedangkan syahadat Kerasulan Nabi Muhammad juga merupakan salah satu sandi aqidah Islam oleh karena itu dari segi isi kandungannya dua kalimat syahadat bisa dimasukkan kedalam rukun Iman. Akan tetapi karena dalam hadits Nabi dikatakan bahwa Islam didirikan atas lima rukun dan dua kalimat syahadat termasuk salah satunya maka dua kalimat syahadat dimasukkan dalam rukun Islam.

Adapun kedudukan dua kalimat syahadat tersebut selain sebagai pengakuan keislaman seseorang juga mendasari semua ibadah dan muamalah dalam Islam (syariah Islam). Oleh karena pentingnya kedudukan dua kalimat syahadat tersebut maka dalam setiap adzan dan iqamah, begitu juga pada setiap shalat dan khutbah jum’ah selalu dibaca dan menjadi salah satu rukun shalat dan rukun khutbah, begitu juga dalam ibadah dan muamamalah. Kedudukan kalimat syahadat secara langsung atau tidak langsung mendasari keseluruhan syariah Islam.




  1. Shalat

Menurut arti bahasa kata shalat berarti doa sedangkan menurut istilah syara’ shalat adalah perbuatan yang diajarkan oleh syara’ yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.

Kalau diperhatikan secara seksama akan kita ketahui bahwa seluruh bacaan di dalam shalat pada dasarnya berisi tentang doa permohonan kepada Allah, bahkan Rasulullah menyatakan bahwa doa menjadi jiwa atau intisari dari pada ibadah (Ad – Du’a’u Mukhlul ibadah).

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa ibadah dalam Islam mendasarkan pada prinsip bahwa suatu ibadah (dalam arti khusus) hukum dasarnya adalah haram dilakukan kecuali ada perintah dan contoh dari Rasulullah. Oleh karena itu dalam ibadah kita dilarang untuk menambah-nambah, merubah, dan mengurangi. Berdasarkan prinsip dasar tersebut maka dalam ibadah shalat para fuqaha’ menetapkan syarat dan rukun dari pada shalat.

Dalam Islam shalat mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini dapat diketahui berdasarkan keterangan Al-Qur’an maupun hadits nabi. Shalat dikatakan sebagai tiang agama, dan merupakan kewajiban universal yang diajarkan oleh para nabi. Shalat juga merupakan kewajiban pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad (dalam peristiwa Isra’ Mi’raj) dan sekaligus merupakan salah satu wasiat terakhir Nabi Muhammad, dan shalat juga merupakan ciri penting bagi orang yang bertaqwa.

Kedudukan shalat juga dinyatakan sebagai ciri orang yang mendapat kebahagiaan seperti tersebut dalam Q.S Al-Mu’minun (23) : 1-2.

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.”


Shalat dikatakan khusyu’ apabila dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dengan memusatkan seluruh perhatiannya hanya tertuju kepada Allah, dan sebagai pertanda kekhusuyu’an dalam shalat adalah terpenuhinya syarat rukun serta bacaan-bacaan shalat serta dihayati dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan aturan dan jiwa shalat.

Jika shalat dapat dilaksanakan secara khusyu’ terwujudlah fungsi shalat yaitu untuk mencegah kejahatan dan kemungkaran. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Al-Ankabut (29) : 45



Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.


Bagi umat Islam shalat merupakan suatu kewajiban bagi subyek hukum (mukallaf), dan tidak boleh ditinggalkan. Oleh karena itu Allah memberikan beberapa keringanan (ruhsah) agar kewajiban shalat dapat ditunaikan. Di antara ruksah dalam shalat antara lain :

  1. Pelaksanaan shalat dapat ditunaikan sesuai dengan kemampuan

  2. Menyatukan (mengumpulkan) shalat dengan jama’ ta’khir maupun jama’ taqdim

  3. Meringkas shalat 4 rakaat menjadi 2 rakaat dengan cara qashar, dan bisa juga dilaksanakan melalui jama’ qashar.

Dalam shalat fardhu, untuk kesempurnaan pelaksanaan shalat selain dijalankan dengan ikhlas dan khusyu’ juga dianjurkan untuk dilaksanakan dengan berjamaah, bahkan sebagian ada yang mewajibkan shalat berjamaah karena hikmah dan nilainya yang tinggi, bahkan dalam keadaan perangpun shalat jamaah dianjurkan untuk dapat dilaksanakan sebagaimana tersebut dalam Q.S An-Nisa’ (4) : 102

Beberapa hal yang perlu dipedomani untuk menjadi Imam dalam shalat dianjurkan sebagai imam orang yang lebih baik qira’at/ bacaannya, pengetahuan keagamaannya serta penghayatan, kepribadian dan pengamalan agamanya. Kecuali jika ma’mun menghendaki lain.

Selain shalat fardhu (dzuhur, asyar, maghrib, isya’ dan shubuh) ada shalat fardhu yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim (laki-laki) yaitu shalat jum’at, yaitu shalat wajib yang dilakukan pada hari Jum’at sebanyak dua rakaat yang dilaksanakan secara berjamaah dan didahului dua khutbah. Shalat ini sebagai pengganti dari shalat dzuhur, oleh karena itu setelah shalat jum’at tidak perlu mengerjakan shalat dzuhur.

Pedoman yang perlu diperhatikan oleh khatib adalah :



  1. Khutbah dimulai setelah tergelincir matahari

  2. Khatib sewaktu khutbah hendaklah berdiri jika kuasa

  3. Khatib hendaklah duduk di antara dua khutbah dan dalam berkhutbah hendaklah dengan suara yang jelas, dapat terdengar dan diikuti oleh jama’ah.

  4. Isi khutbah hendaklah mengucapkan puji-pujian (hamdalah), shalawat atas Rasul, membaca shahadat, wasiat taqwa dan nasehat tentang hal-hal yang perlu, membaca ayat-ayat Al-Qur’an (boleh di awal khutbah, di tengah-tengah, maupun pada akhir khutbah). Pada khutbah kedua ditambahkan dengan membaca doa.

  5. Khatib hendaklah melakukan tata cara khutbah dengan tertib (berturut-turut).

  6. Khatib hendaklah suci dari hadas dan najis serta menutup aurat.

Yüklə 0,68 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin