NASAKH DAN MANSUKH
Tahap-tahap Perkembangan Tasyri Islam
Secara global, kronologis pertumbuhan dan perkembangan Tasyri’ Islam melalui enam tahap:
Tahap pertama, yaitu tahap pertumbuhan pertama kali ketika Islam dibawa dan diperkenalkan oleh Rasulullah SAW. Tahap ini berakhir hingga wafatnya Rasulullah SAW.
Tahap kedua, yaitu tahap pada kehidupan sahabat-sahabat besar. Tahap ini berakhir dengan berakhirnya masa kekhalifahan empat khulafaur rasyidin.
Tahap ketiga, yaitu tahap sahabat-sahabat kecil dan tabi’in-tabi’in besar. Tahap ini berakhir dengan wafatnya sahabat yang terakhir, yaitu Ibnu Thufail (pada tahun 101 setelah hijrahnya Rasulullah).
Tahap keempat, yaitu tahap ketika Ilmu Fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri sebagaimana juga ilmu-ilmu yang lainnya.
Tahap kelima, adalah tahap ketika perkembangan Ilmu Fiqh itu mencapai puncak keemasannya. Tahap ini berakhir dengan berakhirnya kekhalifahan Abbasiyah dan masuknya tentara Mongol membumihanguskan kerajaan-kerajaan Islam.
Tahap keenam, adalah masa ketika Ilmu Fiqh mengalami keredupan (kejumudan) sampai hari ini.
Kajian kita kali ini masih berada pada sekitar tahap pertama. Secara umum, kajian kali ini terkait tentang sumber hukum Islam yang dijadikan pegangan orang-orang muslim ketika itu. Sumber hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh orang-orang Islam di waktu itu, baik oleh Rasulullah maupun sahabat-sahabatnya, maka yang pertama dari sumber hukum Islam itu adalah Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah landasan utama bagi Agama Islam, yang di dalamnya terdapat aturan-aturan Allah yang wajib untuk kita pegangi. Ada banyak ayat-ayat yang menyampaikan persoalan ini, begitu juga sabda Rasulullah.
Firman Allah pada Surat Al-Imran ayat 103:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S. Ali Imraan: 103)
Ayat ini secara tegas menyebutkan bahwa kita diperintahkan untuk berpegang teguh kepada ketentuan-ketentuan Allah, dan kita jangan bercerai-berai dalam menyikapi ketentuan Allah itu.
Sabda Rasulullah:
Aku tinggalkan kepada kalian dua persoalan yang kalau kalian memegang dua hal ini, maka jaminan kalian tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (petunjuk-petunjuk dariku).
Dua dalil di atas kiranya sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan, bahwa Al-Qur’an merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak harus menjadi falsafah hidup dan pegangan kita dalam meniti kehidupan di dunia ini. Persoalannya, apakah di dalam Al-Qur’an itu semuanya layak dipegangi? Atau ternyata ada beberapa bagian di dalam Al-Qur’an yang ternyata oleh Allah dinyatakan tidak berlaku? Karena itulah kita perlu untuk mengetahui lebih dalam lagi, sehingga kita bisa lebih mengenali Al-Qur’an.
Berkaitan dengan hal tersebut, kajian-kajian seperti ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk kita lakukan, sehingga walaupun semangat kita untuk selalu memegangi Al-Qur’an tersebut adalah suatu keharusan, tetapi kita tidak terjebak oleh keadaan di mana kita memegangi sebuah kondisi atau ketentuan yang sudah disampaikan oleh Allah bahwa ketentuan tersebut sudah kadaluwarsa dan tidak bisa lagi dijadikan pegangan. Di dalam bahasa Fiqh hal ini disebut sebagai ayat-ayat yang mansukhah, yaitu ayat-ayat yang dianulir. Oleh karena itulah, kita perlu menyibak pengertian nasakh dan mansukh tersebut.
Nasakh dan Mansukh
Secara umum dari sisi etimologi, bahwa nasakh berarti mengangkat atau menghilangkan, di samping juga ada pengertian nasakh yang berarti menyalin (nasakh tu kitab = saya menyalin kitab). Tapi secara umum, terutama berkaitan dengan permasalahan ini, nasakh berarti mengubah, mengangkat, atau mengganti ketentuan yang ada. Sehingga, nasakh di dalam persepsi kajian Ilmu Fiqh adalah mengganti hukum-hukum yang sudah ada dengan hukum baru yang datang setelah itu. Karena itu, untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini, maka harus diketahui mana ayat-ayat yang dianulir dan mana ayat-ayat yang ditetapkan untuk menggantikan posisi ayat yang pertama. Dalam hal ini, persyaratan yang menggantikan itu harus yang datang kemudian. Karena itulah, juga harus diketahui kapan ayat tersebut turun.
Pada prinsipnya, nyaris menjadi suatu kesepakatan seluruh Umat Islam sejak zaman Rasulullah hingga kini, bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang sudah kadaluwarsa (mansukh). Dalam hal ini, kecuali satu orang yang tidak menyetujui, yaitu Abu Muslim Al-Isfahani. Beliau ini menentang habis-habisan terjadinya nasakh dan mansukh di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya, kalau ada suatu ayat, kemudian ayat tersebut dinyatakan kadaluwarsa, berarti ada hukum Allah yang memang tidak layak pakai. Dan Allah sangat mustahil menentukan sebuah ketentuan yang tidak layak pakai.
Seberapapun hujjah dalil yang disampaikan Abu Muslim Al-Isfahani, tetapi realita menjelaskan kepada kita, bahwa banyak ayat-ayat yang masa berlakunya sudah tidak lagi ditetapkan sebagai hukum Islam sejak Rasulullah masih ada. Nasakh dan mansukh ini bukanlah persoalan logika, bukan hasil dari pemikiran manusia, bukan pula hasil pemikiran sahabat, bahkan juga bukan hasil pemikiran Rasulullah, tetapi memang Allah lah yang menyampaikan bahwa suatu ayat tersebut hanya sampai ketika itulah berlakunya, kemudian diganti dengan ayat yang lain.
Persoalannya adalah, apakah gunanya nasakh dan mansukh ini? Apakah Allah itu sama dengan manusia, yang Dia tidak mengerti bahwa sekarang ini kondisinya begini, nantinya ketika kondisi tersebut berbeda, maka peraturan tersebut akan diganti? Padahal semua yang terjadi ini, bahkan sebelum alam ini terjadi, Allah sudah menentukan, bahwa nanti akan begini, dan nantinya lagi akan begini. Lantas mengapa Allah menentukan, seolah-olah Allah tidak mengetahui akan terjadi perubahan nantinya? Hal ini tentunya persoalan yang layak untuk kita cari jawabannya.
Hikmah terjadinya Nasakh dan Mansukh
Pada prinsipnya, hikmah atau manfaat dari terjadinya nasakh dan mansukh adalah justru semakin mengukuhkan kebesaran Allah dalam banyak hal, yaitu:
Yang pertama, mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
Yang kedua, dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan “arhamurrahimin“, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa saja yang berhati sayang. Mengapa? Karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.
Dua poin ini layak untuk kita potret, kemudian kita tancapkan sedalam-dalamnya pada akidah kita. Sementara itu, untuk lebih memperkuat keimanan kita, juga terdapat hikmah lain dari keberadaan nasakh dan mansukh ini. Bahwasanya wajar bahwa sesuatu yang “makhluk” itu adalah “al-hadits“, yang itu berbeda dari “al-khaliq” yang adalah “al-qadim“. Sebab persepsi yang diajarkan kepada kita, bahwa Al-Khaliq yang sifatnya qadim artinya tidak akan pernah mengalami perubahan. Al-Qidam (Dia yang tak pernah ada awalnya), wal-abad (dan dia takkan pernah berakhir, takkan pernah terjadi perubahan), yang hal ini mulai dari dulu hingga sampai kapanpun tanpa diketahui awal dan akhirnya, itulah Allah. Berbeda dengan kita, yang asalnya tidak ada, kemudian ada, dan kemudian tidak ada lagi, yang ini semuanya melalui proses.
Di sinilah letak luar biasanya Allah dalam menentukan hukum ini, yaitu disesuaikan dengan kondisi manusia yang menjadi obyek hukum itu sendiri. Ketika seseorang berusia remaja, maka tentunya hukum yang diberlakukan kepadanya berbeda dengan ketika dia masih anak-anak. Untuk itulah, Allah menyesuaikan dengan hal tersebut. Hal ini bukan berarti Allah tidak mampu. Karena jika Allah menginginkan untuk menciptakan sesuatu maka Dia tidak akan repot-repot. Di dalam banyak ayat disebutkan, misalkan di ujung Surat Yasin:
Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (Q.S. Yaasin: 82)
Jangankan hitungan hari, jam, menit, ataupun detik, Allah tak memerlukan semua hitungan itu. Langsung Dia berkata maka akan langsung terjadilah apa yang diinginkan-Nya itu. Tetapi realita memberitahukan, bahwa Allah menciptakan bumi dan planet-planet ini melalui proses. Ada yang dikatakan enam hari, ada yang lebih dari itu. Hal ini berarti, bahwa Allah ingin menunjukkan kepada manusia, bahwasanya sesuatu itu harus berproses, walaupun Allah mampu melakukan tanpa melalui proses tersebut. Dalam hal ini, termasuk juga ketika Allah menciptakan suatu hukum yang termaktub di dalam Al-Qur’an.
Patut diingat, bahwa hukum yang membumi kepada manusia (hukum yang merakyat) adalah hukum yang komunikatif dengan rakyat yang diatur oleh hukum tersebut. Sedangkan hukum yang tidak merakyat, maka dapat dipastikan bahwa hukum tersebut tak akan pernah terealisasi dengan baik. Hukum yang baik adalah hukum yang secara kondisional menyesuaikan dan sesuai dengan kondisi yang diterapi hukum tersebut. Allah dalam hal ini mencontohkan hal-hal seperti berikut, bahwa perbedaan-perbedaan waktu yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan ini. Kondisi di zaman sekarang tidak pernah sama dengan kondisi di zaman Rasulullah, sehingga memerlukan hal-hal yang baru. Inilah hikmah dari adanya perubahan-perubahan hukum sesuai dengan perubahan kondisi dan perubahan waktu. Karena itulah, nasakh dan mansukh merupakan bagian dari kebijakan Allah SWT yang layak untuk kita syukuri.
Kategori Nasakh
Secara umum, nasakh di dalam Al-Qur’an ada tiga kategori. Pertama, yaitu nasakh di mana ayatnya diubah dan hukumnya juga diubah. Maksudnya, secara tekstual ayat tersebut diganti, dan hukumnya juga diganti. Kedua, ayatnya diganti, tetapi hukumnya masih tetap berlaku. Ketiga, ayatnya masih ada di dalam Al-Qur’an, tetapi hukumnya kemudian dinyatakan sudah kadaluwarsa. Jenis ketiga ini yang paling banyak di dalam Al-Qur’an.
Contoh untuk kategori pertama (nasakh dalam sisi tekstual/ayatnya, sedangkan hukumnya masih berlaku), yaitu:
Menurut suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa ada satu ayat di Surah Al-Ahzab yang menyatakan, jika ada orang berzina, sedangkan orang tersebut sudah atau pernah menikah, maka orang tersebut harus dirajam. Ayat ini kemudian diangkat oleh Allah dan dihapus keberadaannya, sehingga tekstualnya menjadi tidak ada tapi hukumnya masih tetap berlaku. Mengapa bisa demikian? Karena diganti oleh ayat lain pada Surat An-Nuur ayat 2, yaitu:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nuur: 2)
Maksud ayat ini (An-Nuur: 2) adalah, bahwa jika ada yang berzina, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak 100 kali. Ini di antara hukum-hukum yang realitas terjadi, sehingga terlalu sulit untuk mengingkari adanya nasakh dan mansukh di dalam ayat tersebut. Ayatnya sudah tidak ada, tetapi hukumnya masih tetap diberlakukan oleh Rasulullah, bahkan hingga akhir zaman nanti.
Untuk kategori kedua, yaitu yang lafaz dan hukumnya dua-duanya dicabut. Contohnya adalah sebagai berikut:
Sayyidatuna Aisyah menyatakan, bahwa Rasulullah pernah mendiktekan ayat Al-Qur’an kepada mereka ketika itu, bahwa orang yang menyusui dan disusui akan mempunyai hubungan nasab sebagaimana ibu dan anak kandung minimal sepuluh kali. Tetapi ternyata ayat ini dicabut oleh Allah, termasuk juga hukumnya. Sebagai gantinya, sekali saja menyusui sepanjang itu sudah mengenyangkan, maka sudah dianggap memiliki hubungan nasab. Yang jelas hukum yang sepuluh kali itu dicabut.
Untuk kategori ketiga, yaitu hukumnya dinasakh sedangkan lafaznya tetap ada. Dan ini yang paling banyak terjadi di dalam ayat-ayat yang dinasakh itu. Contohnya adalah Al-Baqarah ayat 180:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah: 180)
Ayat ini menyatakan, bahwa ketika mendekati kematian, maka kita harus membuat wasiat. Ternyata kemudian ayat ini dianulir oleh Allah, kemudian hukumnya diganti sebagaimana pada An-Nisaa ayat 11-12 disebutkan:
Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisaa: 11)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari`at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisaa: 12)
An-Nisaa ayat 11-12 berbicara tentang pembagian warisan, tidak ada lagi kewajiban untuk berwasiat. Ketika meninggalkan dunia ini, maka harta-harta tesebut harus dibagi sesuai dengan ketentuan ayat 11-12 Surat An-Nisaa ini.
TAFSIR AL-HUJURAT AYAT 1 – 5
Al-Hujuraat: 1
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Hujuraat: 1)
Sebagian besar ayat yang dimulai dengan “Yaa ayyuhalladziyna aamanuw” adalah Madaniyah, yaitu ayat yang diturunkan di Madinah. Ayat ini menyangkut keadaan dan kehidupan Rasulullah dan tata cara menghadapi Rasulullah.
Surah ini disebut Al-Hujuraat, asal katanya adalah “hujrah” yang berarti kamar. Yang dimaksud dengan “kamar” ini adalah rumah-rumah Rasulullah yang begitu kecil, hingga disebut “hujrah“. Rumah Rasulullah itu kecil, berada di samping Masjid Nabawi. Sekarang malahan sudah masuk ke dalam lingkungan Masjid Nabawi, yaitu berada di depan Raudhah.
Menurut sebagian ulama tafsir, bahwa pada umumnya perintah yang didahului dengan “Yaa ayyuhalladziyna aamanuw” merupakan perintah yang wajib. Karena dalam Al-Qur’an ada kata-kata fi’il ‘amar, tapi bukan berarti wajib, melainkan berarti sunnah. Misalkan:
Maka bersembahyanglah kamu pada Hari Raya Idul Adha itu, dan berkurbanlah. (Q.S. Al-Kautsar: 2)
Perintah berkurban pada ayat tersebut adalah perintah berupa fi’il ‘amar, tetapi diterangkan bahwa hal itu adalah sunnah muakkad, bukanlah sesuatu yang wajib. Namun bila dikatakan “Yaa ayyuhalladziyna aamanuw“, maka hal itu menunjukkan suatu perintah yang wajib.
Selanjutnya pada ayat di atas (Al-Hujuraat: 1) terdapat kata “tuqaddimuw” yang berarti mendahului. Sehingga, “laa tuqaddimuw” berarti jangan mendahului. Di dalam kitab tafsir disebutkan, “Jangan mendahului mengambil keputusan sebelum adanya keputusan Allah dan Rasul-Nya.” Jadi, jika sudah ada keputusan Allah dan Rasul-nya, maka tidak menjadi persoalan. Ayat ini menyangkut keadaan ketika Rasululullah masih hidup. Pada masa itu, terkadang ada sahabat yang mengambil keputusan sebelum ditetapkan oleh Rasulullah atau sebelum diturunkannya ayat kepada Rasulullah.
“bayna yadayillaah” menurut ulama tafsir maksudnya adalah “ayat-ayat Al-Qur’an”. “wa rasulihi” maksudnya adalah apa yang diterangkan oleh Rasul-Nya, dalam pengertian ini adalah penafsiran Al-Qur’an dan hadits-hadits yang ada.
Apakah ayat ini sudah tidak berlaku lagi sekarang? Rasulullah sudah wafat dan Al-Qur’an sudah lengkap. Jadi, apa yang dimaksud dengan “jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya” pada ayat ini?
Menurut sebagian ulama tafsir, maksud dari ayat ini adalah melarang untuk berandai-andai. Misalkan: seandainya saya menteri, seandainya saya kaya, dan sebagainya. Dan juga jangan mengkhayalkan diri kita pada sesuatu yang tidak mungkin. Juga jangan menetapkan sesuatu yang belum terjadi. Boleh saja misalkan seperti prakiraan (ramalan) cuaca yang ada landasan ilmiahnya. Tapi jika suatu ramalan yang tidak ada landasan ilmiahnya, maka sangat dilarang oleh Allah.
Imam Al-Ghazali pernah bertanya kepada muridnya, “Siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok?”
Salah seorang muridnya menjawab, “Yang akan terjadi besok ialah matahari akan terbit dari sebelah timur.”
Imam Ghazali lalu berkata, “Tidak benar. Siapapun tak ada yang tahu bahwa besok matahari masih akan terbit.”
Lalu Imam Ghazali juga mengatakan, “Tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali satu, bahwa kematian itu adalah pasti.”
Jadi, janganlah takut dengan kematian. Karena itu, jika ditanya tentang kematian, maka orang sufi akan berkata, bahwa kematian itu adalah sesuatu yang biasa saja.
Kemudian ayat ini diakhiri dengan menyebutkan sifat Allah, yaitu “sami’un ‘alim” (Maha Mendengar dan Maha Megetahui). Mengapa ayat ini diakhiri dengan “sami’un ‘alim“? Maksudnya, agar manusia mengetahui, jika ia mengkhayal, biasanya khayalan itu berasal dari dalam dirinya sendiri. Karena berasal dari dalam dirinya sendiri, maka dianggap tidak ada yang mengetahui khayalan tersebut selain dirinya. Di sinilah Allah mengingatkan, bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Al-Hujuraat: 2
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (Q.S. Al-Hujuraat: 2)
“…laa tarfa’uw aswaatakum fawqa shawtinnabiy …“, artinya bahwa: jangan mengangkat suaramu lebih tinggi (lebih keras) dari suara Nabi. Bagaimanakah maksud ayat ini, sedangkan kini Nabi sudah tidak ada?
Ada orientalis yang mengatakan, bahwa ada ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang tidak bisa diberlakukan lagi. Ia (orientalis) itu tidak memahami, bahwa ayat itu tujuannya bukan hanya untuk umat di zaman Nabi, tapi berlaku di sepanjang zaman.
Maksud pertama dari ayat di atas adalah, bahwa jangan mengeraskan suara kita jika sedang berziarah ke makam Nabi, termasuk juga untuk tidak menangis di makam Nabi.
Diriwayatkan, bahwa ketika Sayyidina Umar menjadi khalifah, ada orang di sekitar kuburan Rasulullah sedang bercengkerama dengan suara keras. Sayyidina Umar kemudian bertanya kepada orang itu, “Kamu dari mana?”
Dijawab oleh orang itu, “Dari luar kota.”
Lalu Sayyidina Umar berkata kepada orang itu, “Tidakkah kamu mengetahui, bahwa Al-Qur’an mengingatkan kita untuk jangan mengangkat suara lebih tinggi (lebih keras) dari suara Nabi?”
Orang itu kemudian terdiam dan berhenti berbicara, setelah itu keluar dari masjid setelah memberi salam kepada Rasulullah.
Diriwayatkan pula, bahwa Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar itu biasanya ketika berbicara dengan Nabi, maka suaranya lebih keras dari suara Nabi. Kemudian turun ayat ini, hingga semua orang ketika itu menjadi ketakutan. Setelah turunnya ayat ini, maka Sayyidina Umar jika berbicara kepada Nabi tidak lagi seperti biasanya. Karena takut bersuara keras, maka jika Sayyidina Umar sedang berbicara kepada Nabi, kadang-kadang Nabi mengangkat tangannya untuk mendengar suara Sayyidina Umar.
Maksud kedua yaitu, jangan mengangkat suara lebih keras jika ulama sedang berceramah. Ulama adalah pewaris Nabi. Sehingga mengganggu ulama yang sedang berceramah berarti sama saja dengan mengganggu Nabi. Bahkan jangan berbisik sekalipun atau bersikap yang itu dapat mengganggu.
Maksud ketiga yaitu, jangan mengangkat suaramu lebih tinggi dari suara orang yang lebih tua dari kamu. Di sini digambarkan, bahwa Rasulullah itu lebih tua, atau pemimpin, atau orang yang dituakan dan dihormati, maka jangan mengangkat suara lebih keras daripada orang-orang yang dihormati.
“… wa la tajharu lahu bil qawli qajahri ba’dhikum liba’dhin …“, artinya: jangan memanggil Nabi seperti kamu memanggil sesamamu.
Sebenarnya Nabi tidak mau dikultuskan. Karena itu, ada seorang sahabat yang memberitahukan kepada Nabi, “Ya Rasulullah, kami ini memberi salam kepada sesama kami, bahkan kepada pembantu kami dengan kalimat: Assalamu’alaikum. Apakah kepada engkau juga diucapkan: Assalamu’alaikum?”
Rasulullah lalu berkata, “Tidak ada bedanya. Aku adalah makhluk Tuhan, aku adalah manusia yang mempunyai jiwa, orang lain pun sama denganku.”
Bedanya, jika kepada Nabi diucapkan shalawat, sedangkan kepada yang lain kita tidak mengucapkan shalawat. Jangankan manusia, Allah pun mengucapkan shalawat kepada Nabi.
Allah mengingatkan kita, bahwa janganlah memanggil nama Nabi seperti kita memanggil nama orang lain, misalkan hanya menyebut “Muhammad”. Jika ditujukan kepada Rasulullah, maka bisa kita panggil dengan “Sayyidina Muhammad”, atau “Nabiyullah Muhammad shallallahu alayhi wa sallam”. Mengenai hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama: ada yang mengatakan harus ada kata “Sayyidina”, namun ada juga yang mengatakan tidak perlu kata “Sayyidina”. Tapi yang jelas, jangan disamakan antara Muhammad yang lain dengan Nabi Muhammad SAW.
Ada dua keuntungan jika kita mengucapkan hal tersebut. Pertama, kita mendapat pahala, karena hal tersebut diperintahkan oleh Allah. Kedua, jika kita mendoakan Nabi, maka doa tersebut akan terpantul kepada kita.
Menurut suatu riwayat disebutkan, bahwa ada seorang sahabat yang suaranya itu keras. Setelah turunnya ayat ini, maka ia menjadi takut, dan kemudian menjauh dari Nabi. Pada suatu ketika Nabi bertanya, manakah sahabat tersebut. Sahabat yang lain mengatakan, bahwa sahabat yang dimaksud oleh Nabi itu takut karena suaranya keras. Nabi pun menjelaskan, bahwa bukan hal itu yang dimaksud. Suara keras yang dimaksud adalah “mengganggu”.
Jadi, apapun yang kita lakukan jika itu kemudian mengganggu orang lain, maka hal tersebut akan menghapus amal kita, dan itu biasanya tidak kita sadari. Dalam hal ini bukan hanya kepada Nabi, tetapi kepada siapa saja. Bahkan bukan hanya terhadap orang yang dituakan, kepada anak kecil sekalipun jika perbuatan kita itu mengganggu, maka akan terhapuslah amal kita.
Apakah yang dimaksudkan dengan terhapusnya amal perbuatan? Yang dimaksud di sini adalah pahalanya. Dalam hal ini, ketika shalat sekalipun. Sebagian ulama mengatakan, bahwa jika shalat itu menganggu orang lain, maka pahala shalat itu tidak ia peroleh, melainkan hanya kewajiban shalatnyalah yang telah ia penuhi.
Dostları ilə paylaş: |