Kedelapan, menjauhkan diri dari perbuatan berzina.
Seperti yang termaktub pada Surah Al-Furqan ayat 68, bahwa selain syirik dan membunuh, melakukan perzinahan juga merupakan perbuatan dosa besar. Karena itu, bagi pelakunya akan diberikan siksaan yang berlipat ganda oleh Allah di akhirat nanti, seperti yang termaktub pada Surah Al-Furqaan ayat 69: (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.
Tetapi pada Surah Al-Furqaan ayat 70 dan 71 memberikan kabar gembira kepada kita: [70] kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [71] Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (Q.S. Al-Furqan: 70-71)
Yang dimaksud pada ayat tersebut, jika sudah pernah terjadi hal-hal yang seperti itu (syirik, pembunuhan, dan zina), maka Allah membukakan pintu taubat, lalu bertaubatlah kepada Allah. Tapi pernyataan ini jangan dipelintir. Kalau begitu syirik dulu, baru kemudian bertaubat, karena Allah pasti akan mengampuni. Kalau begitu membunuh dulu, nantikan Allah akan membukakan pintu taubat. Kalau begitu berzinah dulu, nanti malam shalat lail kemudian berdo’a, minta ampun dan bertaubat, maka Allah akan mengampuni. Tentunya bukan ini sebenarnya yang dimaksud.
Itulah sebabnya, bagi manusia yang bersalah, apabila dia bertaubat, maka kesalahannya itu akan dihapuskan oleh Allah SWT. Setelah dosa dan kesalahannya dihapuskan oleh Allah SWT, maka kalau bertaubat lagi, maka akan ada tumpukan pahala dari taubatnya yang akan diberikan oleh Allah. Jika ia bertaubat lagi, sedangkan dosanya sudah tidak ada lagi, maka pahala bertaubatnya akan ditambahkan lagi oleh Allah SWT. Karena itulah, tindakan bertaubat dan beristighfar itu tidak hanya dilakukan setelah kita melakukan perbuatan-perbuatan dosa, tetapi kalau memungkinkan di sepanjang kehidupan kita selalulah kita bertaubat.
Perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang menurut Rasulullah, bahwa orang yang berzina itu tidak layak kalau diundang untuk menghadiri sebuah majelis. Ini merupakan siksaan sosial.
Kesembilan, menjauhkan diri dari bersaksi palsu.
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Q.S. Al-Furqaan: 72)
Saksi palsu bisa muncul kapan saja. Hal ini biasanya terjadi apabila dengan menjadi saksi palsu itu maka akan mendapatkan keuntungan. Sekarang ini banyak sekali terjadi orang yang memberikan kesaksian palsu. Misalkan: sebenarnya kasus tersebut seharusnya dimenangkan oleh pihak A, tapi hakim kemudian memberikan kemenangan kepada pihak B, karena semua saksi memberatkan pihak A. Dalam hal ini, mereka yang menjadi saksi palsu itu sudah melakukan dosa besar. Menjadi saksi palsu itu membahayakan kemaslahatan di dalam masyarakat.
Kesepuluh, senang menerima nasehat yang baik.
Dikatakan oleh Al-Qur’an:
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (Q.S. Al-Furqaan: 73)
Jadi, orang yang termasuk kategori orang beriman yang mendapat gelar ‘ibaadurrahman itu adalah orang yang senantiasa menerima nasehat-nasehat yang baik yang diberikan oleh orang lain, orang yang senantiasa mendapatkan pengajaran dan pelajaran dari orang-orang yang memberikan pelajaran-pelajaran yang baik. Termasuk di dalam hal ini adalah orang yang senang mencari ilmu adalah orang yang senang menerima nasehat.
Kesebelas, senantiasa berdo’a dan bermunajjat kepada Allah.
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Furqaan: 74)
Bukan hanya berdoa untuk dirinya, juga berdoa untuk keluarganya, untuk anak cucunya agar menjadi orang-orang yang baik dan orang-orang yang shaleh di belakang hari. Orang-orang yang seperti ini dikatakan oleh Al-Qur’an adalah orang-orang yang akan mendapatkan ganjaran yang paling tinggi di surga nanti yang akan diberikan oleh Allah SWT, seperti termaktub pada Surah Al-Furqaan ayat 75-77:
(75) Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya,
(76) mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.
(77) Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): “Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)”.
(Q.S. Al-Furqaan: 75-77)
Kesebelas hal ini bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tetapi marilah kita melatih diri dan membiasakan untuk memiliki kesebelas sifat dan sikap ini, seperti yang diungkapkan Al-Qur’an pada Surah Al-Furqan ayat 63-77 ini.
PEMBINAAN KARAKTER
Pembinaan karakter kini memang menjadi suatu yang krisis. Hampir setiap orang sulit sekali untuk mempertahankan karakter aslinya. Pada umumnya banyak di antara kita begitu gampang berubah. Sedikit saja mendapat pengaruh dari luar, maka faktor internalnya menjadi berubah. Ini adalah hal yang sangat memprihatinkan. Jika sudah seperti ini, kiranya menjadi sulit untuk menyebarkan suatu kebaikan jika kita sendiri tidak memiliki pendirian yang tangguh.
Ada beberapa hal yang menyebabkan karakter seseorang itu menjadi gampang berubah, walaupun misalkan ibadah orang tersebut sangat baik, hubungan dengan sesama manusia juga baik, tetapi sering kali orang tersebut merasakan dirinya sangat lemah. Orang itu merasakan bahwa dirinya sangat lemah (tidak kuat) menghadapi suatu perubahan. Jika situasi sosial berubah, maka dirinya juga menjadi terpengaruh akan perubahan tersebut. Bahkan, perubahan cuaca pun kadang ikut mempengaruhi orang tersebut.
Ada lima karakter yang pada umumnya sering mempengaruhi pandangan hidup manusia, yaitu: karena rasa bersalah, rasa dendam, rasa takut, materi, dan pengakuan diri.
Pertama, seseorang berubah karena rasa bersalahnya (terpengaruh oleh rasa bersalahnya).
Ciri-cirinya adalah: jika ia telah melakukan dosa, apalagi dosa yang dilakukannya itu adalah dosa besar, maka ia seperti dikejar dan dihantui oleh perasaan bersalahnya. Perasaan berdosa ini biasanya membuat seseorang dalam bertindak menjadi sangat kaku, bahkan hidupnya cenderung pasrah, tidak ada semangat, dan tidak ada kreativitas.
Jangan pernah memandang enteng dosa, karena dosa bisa membuat seseorang itu menjadi tidak produktif, tidak kreatif, jalan pikirannya buntu, dan kehilangan semangat hidup. Karena itu, semua perbuatan dosa dilarang oleh Allah. Dosa itu bisa dipahami melalui pikiran, melalui kata hati, dan melalui firman Tuhan dan hadits Rasulullah. Walaupun kita tidak pernah membaca Al-Qur’an atau Hadits sekalipun, tetapi kita tetap bisa tahu bahwa apa yang kita lakukan itu bertentangan dengan nilai kebenaran. Misalkan perbuatan zina, mencuri, ataupun membunuh, tanpa kita membaca ayat Al-Qur’an pun, kita bisa mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak benar. Sehingga, jika perbuatan dosa tersebut kita lakukan, maka pasti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita. Perasaan bersalah ini tak mungkin akan hilang jika tanpa adanya penyadaran diri (taubat). Dosa tidak akan membuat seseorang itu produktif di dalam perjalanan hidupnya.
Kedua, seseorang berubah karena rasa dendamnya. Rasa dendamnya itu mempengaruhinya dalam setiap mengampil keputusan ataupun kesimpulan.
Orang seperti ini ciri-cirinya adalah nekat. Ia selalu melihat objek yang didendaminya itu seperti iblis. Dia pernah sakit hati terhadap sesuatu, karena itu ia dendam. Terhadap orang yang didendaminya itu, kiranya tak ada positifnya sekalipun. Maka kehidupan yang dilaluinya selalu penuh dengan benci, marah, dan dendam. Orang seperti ini takkan pernah bisa produktif. Jika ada orang yang bekerja karena dimotivasi oleh dendam, yakinlah maka rekan kerjanya akan gerah, apalagi malaikat.
Jangan pernah kita didikte atau mengambil suatu keputusan karena dimotivasi oleh perasaan dendam. Dendam ini dilarang oleh Allah, karena dendam itulah nantinya yang akan membakar energi orang tersebut. Ia akan loyo, akan jatuh sakit, dan juga akan hilang segala-galanya. Mengapa? Karena dendam di dalam dirinya itulah yang membuat orang tersebut tidak bisa berbuat apa-apa.
Bagi orang yang menyimpan rasa dendam yang sangat mendalam, maka segala yang dilakukannya sehari-hari selalu tidak enak, seakan-akan setiap saat selalu penuh dengan wajah orang yang didendaminya itu. Bahkan mungkin ketika ia tidur dan bermimpi. Bahayanya, jika seseorang yang mengambil kesimpulan dan keputusan karena dimotivasi oleh dendam, maka kesimpulan dan keputusan yang dihasilkan tersebut akan sangat riskan.
Orang seperti ini biasanya agresif, dan menganggap orang yang didendaminya itu seperti setan. Ia anarkis dan destruktif. Jika konstruktif adalah bersifat permanen dan positif, maka destruktif lebih cenderung goyah dan meruntuhkan (menghancurkan). Karena itu, jangan pernah kita didikte di dalam mengambil suatu keputusan dengan perasaan dendam. Akibatnya bukan hanya kita yang merasakannya, bahkan keluarga dan orang yang ada di sekitar kita akan merasakan dampaknya.
Ketiga, dipengaruhi oleh rasa takut. Apapun keputusannya, selalu dipengaruhi oleh rasa takutnya.
Orang seperti ini biasanya penakut, misalkan takut terhadap hujan lebat sehingga badannya akan bergetar, bukan karena kedinginan, tetapi karena takut. Mendengar halilintar ia menjadi takut. Mendengarkan orang berteriak saja, maka jantungnya akan berdebar-debar. Orang seperti ini biasanya pernah mengalami trauma, dan traumanya itu tidak terselesaikan. Sehingga di dalam bertindak, ia akan selalu dipengaruhi oleh rasa takutnya itu. Orang seperti ini cenderung menjadi statis, tidak mau mengambil resiko, yang akhirnya orang ini menjadi kerdil. Orang seperti ini juga biasanya sering keliru dalam mengambil suatu tindakan. Jika kita terlalu didikte oleh perasaan takut, maka kita tidak bisa berbuat secara normal.
Keempat, terpengaruh karena materi atau kedudukan atau pangkatnya.
Orang seperti ini biasanya kelihatan egois. Sepertinya hanya dialah yang paling hebat. Tindakan-tindakan seperti ini cenderung juga menimbulkan kerugian terhadap dirinya sendiri, bahkan juga terhadap orang lain. Karena itu, jika kita mendapakan rezeki dari Allah, baik itu berupa materi (harta) atau dalam bentuk jabatan (kedudukan), maka jangan sampai materi dan jabatan tersebut membuat kita terpengaruh dalam mengambil suatu tindakan.
Ciri-ciri orang yang seperti ini, yaitu tidak ada lagi orang yang mampu mengerem pembicaraannya. Juga terlihat di dalam perbuatannya, seakan-akan dialah yang paling hebat. Selain itu juga dalam bentuk kebijakan, misalkan bahwa kebijakannya itu selalu diarahkan pada dirinya sendiri. Orang seperti ini cenderung tidak demokratis. Orang seperti ini biasanya menempuh kehidupan yang serba gampang, tidak ingin repot, dan kurang hati-hati. Mengapa? Karena kekuasaan ada di tangannya, yang ini bisa merugikan dirinya dan juga orang lain.
Kelima, terpengaruh karena pengakuan atas dirinya sendiri (aktualisasi diri).
Karena ingin mengaktualisasi dirinya tersebut di dalam masyarakat, sehingga ia tak pernah mempedulikan seberapa besarpun pengorbanan yang telah dan akan ia berikan, demi popularitas, yang penting dirinya terkenal.
Kelima karakter ini tidak sejalan dengan tuntunan di dalam Agama Islam. Misalkan orang yang bekerja dengan penuh rasa berdosa, maka ia akan seperti orang yang linglung, tidak pernah fokus, tak pernah ada semangat di dalam bekerja, karena ada kerusakan di dalam sistem batinnya. Karena itu, kita dilarang untuk melakukan perbuatan dosa. Semakin banyak dosa yang kita lakukan, maka kita akan semakin tidak fokus, karena ada kerusakan di dalam sistem batin kita. Sebaliknya, jika tidak ada salah yang kita lakukan, sekalipun pangkat kita rendah, sekalipun kita rakyat biasa, tetapi tetap ada keberanian pada diri kita. Bagi orang yang tidak pernah bersalah, ia berani karena ia benar, dan ia takut karena ia salah.
Begitu juga dengan rasa takut. Rasa takut itu pasti akan mengganggu kehidupan seseorang. Ada saatnya kita takut dan ada saatnya kita berani. Kapankah kita takut? Di dalam Bahasa Arab, jika “khasya” adalah takut kepada Allah, sedangkan “khawfun” adalah takut kepada makhluk Allah. Seseorang itu lebih tepat untuk khasya dibandingkan khawfun. Ketakutan kita kepada Allah itu harus lebih dominan dibandingkan ketakutan kita kepada hantu atau syaitan. Ketakutan kita kepada Allah itu harus lebih dominan dibandingkan ketakutan akan terbongkarnya aib kita di dalam masyarakat. Ketika ada aib pada diri kita, kita lebih takut aib tersebut diketahui oleh orang lain dibandingkan kita takut kepada Allah.
Selain lima karakter tersebut di atas, maka ada karakter yang keenam, yaitu orang yang dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan. Inilah yang kita harapkan. Sehingga nilai keagamaan tersebut akan mewarnai kehidupan kita.
Jadi ada lima hal yang jangan sampai menjangkiti diri kita seperti tersebut di atas, yaitu rasa bersalah, dendam, takut, materi, dan aktualisasi diri yang berlebihan. Untuk mengobatinya adalah dengan cara kita harus kembali kepada Agama Islam sebagai pandangan hidup kita (way of life).
MENJADI ORANG TUA BAGI ANAK USIA 14 – 21 TAHUN
Anak adalah rahasia kesuksesan kita, yaitu jika kita betul-betul sudah menyiapkan anak kita, sehingga tauhid dan akidah si anak menjadi lurus.
Ada sebuah cerita tentang seorang pemuda yang akan dihukum mati. Pemuda ini memohon satu permintaan, yaitu sebelum dia dihukum mati, dia memohon dapat mencium ibunya, dan permohonan itu dikabulkan. Setelah dia mencium ibunya, maka ia kembali lagi ke tempat hukuman mati tersebut. Beberapa saat kemudian, pemuda ini memohon lagi untuk mendapatkan kesempatan satu kali lagi, yaitu untuk mencium lidah ibunya. Maka pemuda itu diberikan izin kembali, dan kemudian dia mencium lidah ibunya, dan dalam waktu yang begitu cepat, pemuda ini menggigit lidah ibunya sampai putus. Na’uzubillahi min zalik.
Apakah gerangan yang menjadi alasan bagi sang pemuda hingga tega menggigit lidah ibunya tersebut? Mungkin dapat dikatakan ini adalah anak ahli neraka. Sudah mau dihukum mati karena keburukan akhlaknya, masih saja melakukan keburukan yang lain.
Hendaklah kita belajar dari apa yang terjadi di alam ini. Semua fenomena ini diberikan kepada kita untuk kemudian menjadi pemikiran kita, dan juga menjadi dorongan hidayah bagi kita.
Pemuda tersebut mengatakan, “Belajarlah dari apa yang aku lakukan, wahai para Ibu. Selama aku tumbuh menjadi remaja, ibuku tidak meluruskanku.”
Dari cerita ini, dapatlah kita ambil hikmahnya, yaitu sesungguhnya anak-anak pada dasarnya menyukai kelurusan.
Dari hasil sebuah penelitian yang sudah cukup lawas dan bisa menjadi suatu acuan bagi kita, yaitu bagaimana anak-anak kita digoda oleh sebuah ghazwul fiqr, yaitu penjajahan pola pikir yang luar biasa di usia 14 – 21 tahun. Karena pada usia ini, ia sudah membangun dunianya sendiri. Ia sudah tidak hidup di dunia anak-anak yang masih lengket dengan ibunya. Ia sudah mau meluncur bagai anak panah yang melesat, dan dia berkata, “Aku mau melakukan apa yang ingin aku lakukan.” Dia sudah membangun dunianya sendiri.
Salah satu hal yang menjadi konsentrasi dan kepedulian kita yang utama adalah bagaimana tarbiyah jinsiyah (pendidikan seksualitas)-nya kita lakukan, yang hari ini kita ditantang betul untuk menjadi Ayah dan Ibu. Apakah kita mau menjadi orang tua yang sukses lahir dan batin, atau kita sukses lahir saja. Kalau kita mencari akhirat, sudah pasti dunia akan mengikuti kita. Tapi jika hanya mencari dunia, sudah pasti akhirat meninggalkan kita.
Menurut penelitian tersebut (pada tahun 1987), tempat jima’ (senggama) remaja yang hamil, mereka melakukannya di sekolah 28%, di taman 4,9%, di mobil 4%, di hotel 11,2%, di tempat parkir 2,78%, dan yang tertinggi dilakukan adalah di rumah yaitu 83% lebih.
Jadi dari data penelitian ini (tahun 1987), sudah begitu parahnya kehidupan anak-anak kita, sedangkan waktu itu siaran televisi di Indonesia masih begitu sedikitnya (hanya satu, yaitu TVRI). Kemudian pada tahun-tahun berikutnya barulah bermunculan stasiun-stasiun televisi swasta dengan ghazwal fiqr (penjajahan pola pikir)-nya, yang dipasok terus menerus kepada anak-anak kita, sehingga mereka meyakini, bahwa yang mereka lihat itu adalah suatu hal yang benar. Bukankah dua kemampuan utama yang diberikan kepada setiap bayi adalah pendengaran dan penglihatan. Sayyid Qutb mengatakan, bahwa dari pendengaran dan penglihatan inilah masuknya berbagai macam faham dan ideologi.
Jadi, hal ini memiliki korelasi dengan kenyataan, bahwa anak-anak kita di usia 18 tahun adalah yang terbanyak mengunjungi pelacuran. Mengapa? Ternyata barulah kita ketahui, bahwa Indonesia (dan ini di Jawa Timur) merupakan lokalisasi pelacuran yang paling besar di Asia Tenggara, yaitu dengan jumlah PSK-nya pada tahun 1987 yaitu sebanyak 7.500 orang. Itu baru di salah satu tempat. Kini belum dilakukan lagi penelitian serupa, tapi sekarang sudah bisa disinyalir (dengan jangka waktu sebelas tahun dari tahun 1987 hingga sekarang), apalagi dengan perkembangan teknologi kini yang sudah begitu laju melesatnya, yang di satu sisi teknologi tersebut memberikan dampak positif, namun di sisi lainnya juga membawa dampak negatif.
Anak adalah amanat dari Allah. Apakah kita mau memiliki generasi yang hebat? Semuanya tergantung dari kita semua.
Seorang ahli mengatakan, bahwa yang nomor satu atau paling fundamental (mendasar) dari hubungan kita dengan anak kita yang berumur 14 – 21 tahun adalah cuma dua agendanya, yaitu harus kita tinggalkan cara kita yang dulu yang disebut concrete movement menjadi hidden movement. Kalau kita masih menggunakan cara concrete movement, maka dijamin anak kita tidak akan terlalu senang dilakukan seperti itu. Hidden movement adalah memberikan contoh, yaitu bagaimana kita sebagai orang tua memberikan contoh yang baik kepada anak kita secara perlahan-lahan, yang di dalamnya terdapat perhatian yang begitu spesial kepada anak kita.
Ada beberapa poin yang harus kita siapkan untuk bergaul dengan sukses kepada anak kita:
Pertama-tama, kita lihat dulu tiga citraan, apakah kita dapat mengkonfirmasi citraan anak kita itu terhadap dirinya sendiri. Gambaran dia terhadap dirinya yang kita bangun selama ini dari 0 sampai 14 tahun itu sesuai tidak dengan citraan dia yang ada di luar? Gambaran dia yang kita bangun itu apakah lebih baik atau lebih buruk dari citraan dia terhadap yang dipasok oleh luar. Misalnya dalam hal pacaran. Apakah gambaran dia itu bahwa dirinya memang wajar dan sepatutnya untuk punya pacar? Apakah dia seperti itu? Dia berurusan dengan gambaran kita. Apakah kita setuju dengan pacaran? Dan apakah dia membawakan dirinya ke luar seperti itu juga? Ini menjadi pertanyaan kita. Apakah dia setuju dan yakin bahwa ujian akhir nasional itu merupakan tolok ukur kecerdasannya? Apakah dunia luar memang memasok pikiran seperti itu? Dan bagaimana kita menganggap ujian akhir nasional itu untuk dia?
Secara gampangnya, lagi-lagi konsep diri yang kita bangun dalam hubungan keseharian kita kepada anak kita itu akan membawa sikap-sikap dia di masyarakat ataupun di dalam rumah, dan akan membawa kepada dia satu sikap yang lahir berupa keyakinan diri untuk dia membawakan misi hidupnya sebagai hamba Allah kelak yang akan menjadi manusia dewasa. Ini dilakukan menjelang dia dewasa (sekitar usia 14, 15, 16 tahun).
Apa yang harus kita lakukan sebagai konsekuensi dari citraan-citraan (jati diri) anak kita?
Yang pertama, kita memberikan pemahaman (menemani dia untuk memahami dirinya sendiri), bahwa dia (jiwa, fisik, dan ruhaninya) itu berubah. Kita menemani dan memahami dia, sehingga kita tidak complain dan tidak bingung. Kalau kita sudah memahami anak kita, berarti komunikasi kita dengan anak kita itu dapat dikatakan jernih, tidak ada kesal yang berlebihan, dan juga tidak ada marah. Sehingga kita dapat melihat sikapnya, apakah dia itu bengal, frustasi, dan sebagainya. Pada usia 14 – 21 tahun ini kita percaya bahwa dia sudah membangun dunianya sendiri, yang dunianya itu berbeda sama sekali dengan dunia kita.
Yang kedua, kita mempersiapkan si anak agar dirinya siap menjadi anggota sosial dari masyarakat. Kita mencoba untuk menerjunkan dia menjadi salah satu anggota masyarakat yang mengerti bahwa dia memang hidup di antara masyarakat.
Yang ketiga, kita mempersiapkan anak kita untuk menjadi wirausahawan. Dalam hal ini, tidak harus kita mempersiapkannya menjadi pebisnis. Tapi dengan cara ini, bagaimana kita mempersiapkan anak kita untuk menjadi manusia yang mandiri.
Yang keempat, kita memanggil anak-anak kita dengan panggilan calon ayah ataupun calon ibu. Dalam hal ini, sebenarnya kita mempersiapkan anak kita itu untuk menjadi suami ataupun istri yang baik yang tidak akan menyusahkan istri atau suaminya nanti. Ini penting, karena memang kelak anak-anak kita akan menjadi orang tua seperti kita, yang nantinya mereka akan menurunkan generasi-generasi penerus bangsa ini. Yang harus ditanamkan untuk mempersiapkan mereka menjadi suami atau istri yang baik itu antara lain: Pertama, agar mereka menjaga pandangannya. Kedua, tidak ikhtilaf (tidak bercampur baur) antara laki-laki dengan perempuan. Ketiga, jangan bersentuh kulit laki-laki dengan perempuan.
Dan yang harus selalu diingat, bahwa dari sekarang kita juga harus mempersiapkan anak-anak kita untuk menjadi mujahid-mujahid. Jangan sampai umat Islam seperti yang disabdakan oleh Rasulullah, yaitu: “banyak, tetapi seperti buih”. Karena itu, marilah kita tanamkan kepada anak-anak kita agar memiliki kesadaran untuk membangun agama, bangsa dan negara ini.
HIKMAH DI BALIK PENCIPTAAN SYAITAN
Ketika Allah akan menciptakan khalifah di bumi (yaitu manusia), maka para malaikat protes kepada Allah. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 30 disebutkan:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Khalifah artinya adalah “pengganti dari yang tidak ada”. Oleh karena itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq disebut sebagai “Khalifah Rasul”, karena menggantikan posisi Rasulullah SAW setelah Rasulullah wafat. Umar bin Khattab juga disebut sebagai “khalifah”, karena menggantikan posisi Abu Bakar Ash-Shiddiq. Karena itu, jangan sekali-kali kita menyebut “Khalifah Allah”. Al-Qur’an ataupun Hadits tak pernah menyebutkan “Khalifah Allah”. Khalifah Allah berarti pengganti Allah. Kalau begitu Allah ke mana kalau digantikan. Al-Qur’an hanya menyebutkan: “Aku (Tuhan) akan membuat pengganti di bumi”.
Menurut para ahli tafsir, berdasarkan riwayat dari Abdullah ibnu Abbas, memang sebelum diciptakannya makhluk yang bernama manusia, bahwa dunia pernah didiami oleh makhluk yang bernama “Banul Jan”. Makhluk itu berbuat kerusakan, yang kemudian Allah akan menciptakan penggantinya lagi.
Dari persepsi pemahaman malaikat sepeti disebutkan pada ayat di atas, malaikat sepertinya “protes”. Malaikat mengatakan, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Allah kemudian mengatakan, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita “bertanya” kepada Allah. Mengapa kita sudah taat, tapi masih diberi musibah dan bencana?
Jadi, apa sebenarnya hikmah di balik Allah menciptakan syaitan?”
Ada 3 (tiga) kategori makhluk. Yang pertama disebut “malaikat”, yang kedua disebut “manusia”, dan yang ketiga disebut “Jin”. Ketiga-tiganya ini memiliki karakter yang berbeda.
Malaikat diciptakan oleh Allah hanya memiliki sifat untuk selalu taat kepada Allah. Allah menerangkan karakter malaikat ini, bahwa malaikat tidak pernah durhaka kepada Allah dan selalu mengerjalan apa yang diperintahkan.
Manusia ada yang taat kepada Allah, dan juga ada yang tidak taat kepada Allah. Yang taat disebut mu’min, yang tidak taat disebut kafir.
Jin memiliki watak seperti manusia, yaitu ada yang taat dan juga ada yang tidak taat.
Pertanyaannya, di mana syaitan?
Secara bahasa, “syaitan” berarti adalah sesuatu yang tidak mau mengikuti aturan. Dalam istilah, “syaitan” adalah makhluk Allah yang tidak mau taat terhadap perintah-perintah Allah, baik dia itu berupa jin, maupun berupa manusia.
“Malak” (jama’nya malaikat) berarti memiliki watak yang taat. “Jin” artinya tutup, karena tidak terlihat. “Manusia” atau “Insan” terambil dari kata “nisiyan”, yang artinya lupa.
Al-Qur’an menegaskan:
Wa kazalika ja’alna liqulli nabiyyin ‘aduwwan syayaatiinal insi wal jin.
“Dan demikianlah setiap Nabi kami ciptakan musuh-musuh berupa syaitan yang terdiri dari manusia dan jin.”
Jadi semakin jelaslah, bahwa syaitan itu dapat berupa manusia, dan dapat juga berupa jin. Sedangkan “iblis” yang kita kenal selama ini, artinya sama dengan arti “syaitan”, yaitu makhluk yang tidak taat kepada Allah. Iblis bukan nama, melainkan sebutan untuk sifat seorang jin yang tidak taat terhadap perintah Allah. Nama sebenarnya dari iblis tersebut adalah “Haris”. Iblis itu sifatnya, nama dirinya adalah “Haris” yang berarti “penjaga”. Mengapa disebut “Haris”? Konon karena mendapat tugas untuk menjaga surga. Ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam, maka semua malaikat kemudian sujud. Jin yang bernama “Haris” yang kemudian dikenal sebagai “Iblis” kemudian tidak mau taat.
Setelah itu, Iblis kemudian terkutuk dan tidak boleh tinggal di surga. Iblis kemudian meminta kepada Allah agar tidak dimatikan sampai waktu kiamat. Permintaan atau doa iblis itu ternyata dikabulkan oleh Allah.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah Iblis adalah makhluk yang percaya kepada Allah? Mungkin dapat dikatakan, bahwa Iblis itu memang percaya kepada Allah. Dan kalau “percaya” itu diterjemahkan dengan kata “mu’min”, maka dapatlah dikatakan bahwa Iblis itu mu’min.
Allah bertanya kepada Iblis, “Mengapa kamu tidak mau sujud kepada Adam ketika kamu Aku perintahkan?”
Iblis pun menjawab, “Saya lebih hebat dari Adam. Engkau menciptakan aku dari api, sedangkan Engkau menciptakan Adam dari tanah.”
Menurut Iblis, bahwa api itu lebih baik dari tanah. Makanya kemudian Iblis mengganggap bahwa ia tidak pantas untu tunduk kepada makhluk yang terbuat dari tanah.
Watak dari api adalah selalu meninggi dan selalu ke atas. Ini menunjukkan bahwa api merupakan watak sombong. Karena itu, watak Iblis adalah sombong. Dari kesombongannya itulah yang kemudian menyebabkan ketidak-taatan.
Berbeda dengan tanah, bahwa di manapun tanah umumnya selalu diposisikan pada bagian yang paling bawah. Jadi, watak tanah itu antara lain adalah merendahkan diri dan tidak arogan. Watak tanah yang kedua, bahwa biarpun dilemparkan kotoran, maka tanah akan selalu memberikan yang terbaik, menghasilkan buah-buahan yang lezat, dan sebagainya. Karena itu, manusia seharusnya mempunyai watak tanah ini.
Seperti disebutkan di atas, bahwa Iblis itu percaya kepada Allah. Tapi, percaya kepada Allah namun tidak taat kepada Allah, maka hal tersebut tidak akan berarti apa-apa. Yang menyelamatkan manusia nantinya adalah percaya dan taat kepada Allah.
Selanjutnya, bahwa doa (permintaan) iblis ternyata dikabulkan oleh Allah. Dalam Al-Qur’an dikisahkan permintaan iblis ini:
Rabbi ‘anzirni ila yaumi yub’atsu.
“Wahai Tuhanku, berilah kami masa tangguh jangan Kamu matikan, sampai manusia nanti dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat!”
Permintaan iblis ini memang dikabulkan, tapi tidak pas seratus persen. iblis meminta kepada Allah agar tidak dimatikan sampai manusia dibangkitkan dari kubur, yang berarti hari kiamat. Padahal, sesudah manusia dibangkitkan dari kubur, maka tidak ada lagi kematian. Yang ada adalah hidup kekal selama-lamanya.
Maka, Allah mengabulkan doa iblis tidak persis iblis diberi umur panjang sampai pada hari manusia dibangkitkan, tapi hanya sampai pada waktu yang ditentukan. Jadi, iblis diberi “kelebihan” untuk tidak mati, yang kelebihan inilah kemudian digunakan iblis untuk merayu dan menggoda manusia. Pengalaman iblis dalam menggoda manusia sejak zaman Nabi Adam hingga hari yang ditentukan tersebut sungguh luar biasa. Jangankan orang biasa, Nabi saja bisa tergoda.
Kalau begitu, apa hikmahnya Allah menciptakan iblis (syaitan) ini? Karena ternyata, syaitan ini di dunia membuat kemungkaran dan kemaksiatan. Menurut manusia, alangkah lebih baiknya misalkan jika syaitan itu tidak diciptakan, sehingga dunia ini akan baik semuanya. Seandainya tidak ada iblis, mungkin kejahatan tidak akan pernah ada di dunia ini.
Hikmah penciptaan syaitan antara lain:
Pertama, bahwa seandainya tidak ada Syaitan, maka tidaklah dapat diketahui manakah manusia yang baik dengan yang tidak baik. Karena tanpa adanya syaitan, maka tidak ada kriteria antara baik dengan tidak baik.
Lebih bagus mana antara malaikat dengan manusia? Ada pendapat yang mengatakan, bahwa manusia lebih bagus daripada malaikat. Karena manusia ketika taat kepada Allah, maka ketaatannya itu terjadi setelah ia melawan syaitan. Ketika manusia taat, hal ini dilalui setelah manusia berhasil melumpuhkan syaitan. Sedangkan malaikat ketika taat kepada Allah, tidak berperang melawan syaitan. Ketaatan malaikat karena wataknya memang taat. Karena itu di kalangan malaikat, mungkin tidak ada istilah malaikat yang baik dengan yang tidak baik.
Manusia mempunyai karakter untuk tidak puas dengan pemberian yang ada. Manusia memiliki kreatifitas untuk berusaha. Ketika usahanya itu berhasil dan mendapatkan hasil yang maksimal, maka di situlah manusia merasa puas. Karena itu, manusia tak ingin seperti orang yang berada di dalam penjara, yang selalu terkekang kebebasannya.
Kedua, seandainya Allah tidak menciptakan syaitan dan kemudian Allah akan memasukkan manusia ke dalam surga, maka kriteria apa yang digunakan oleh Allah untuk menentukan bahwa yang ini mendapat tingkatan surga yang tinggi, sedangkan yang lainnya mendapatkan tingkatan surga yang rendah. Tentunya kriteria tersebut tidak ada, yang akhirnya semuanya mendapat tingkatan surga yang sama. Padahal amal yang dilakukan manusia berbeda-beda. Ada yang amal ibadahnya tinggi, dan ada juga yang amal ibadahnya rendah. Lantas di mana keadilan Tuhan jika manusia dengan amal ibadah yang berbeda-beda, tapi dimasukkan ke dalam tingkatan surga yang sama? Inilah hikmah diciptakannya syaitan, maka manusia kemudian bervariasi dalam menjalankan amal ibadahnya. Di sinilah letak keadilan Tuhan.
Bahwa dalam mewujudkan keadilan Tuhan terhadap manusia, tanpa adanya syaitan, maka manusia tidak akan mendapatkan godaan. Apabila Tuhan kemudian memberikan surga kepada manusia dan surga itu sama, maka di sinilah tidak ada keadilan Tuhan, sedangkan amal ibadah masing-masing manusia berbeda-beda.
Ketiga, bahwa manusia memiliki ketidak-puasan hanya untuk menerima. Ketidak-puasan itu diwujudkan dalam bentuk tinggi rendahnya amal dan ketaatan manusia setelah manusia melakukan perlawanan terhadap syaitan.
Dostları ilə paylaş: |