Pusaka Madinah



Yüklə 5,93 Mb.
səhifə19/92
tarix27.10.2017
ölçüsü5,93 Mb.
#16453
1   ...   15   16   17   18   19   20   21   22   ...   92

Al-Hujuraat: 3

Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Hujuraat: 3)

Apakah maksud ayat ini? Maksudnya, bahwa mereka yang bersuara rendah di hadapan gurunya, berbicara dengan orang secara lemah lembut, dia tidak mengganggu orang lain, disebutkan oleh Allah bahwa mereka itu diuji hatinya. Kalau diuji, maka kemungkinannya hanya dua, yaitu lulus dan tidak lulus. Pada ayat di atas juga disebutkan, bahwa Allah menguji hati-hati mereka dengan ketaqwaan. Maksudnya, Allah memberikan ujian kepada mereka, apakah mereka itu taat kepada Al-Qur’an atau tidak.

Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa ada seseorang datang ke rumah Rasulullah dengan berteriak-teriak. Tujuan orang itu adalah untuk bertemu dengan Rasulullah. Ketika bertemu dengan Abu Bakar, ia tidak mau berbicara dengan Abu Bakar. Begitu juga ketika bertemu dengan Umar, Utsman, dan Ali. Dalam riwayat lain juga dikatakan, bahwa Umar mengusir orang itu, karena caranya untuk bertemu dengan Rasulullah itu salah. Barangkali dalam kehidupan kita juga begitu. Misalkan ingin bertemu dengan seseorang, tapi karena waktunya tidak tepat, maka akhirnya tidak dapat bertemu.

Disebutkan pada ayat di atas, bahwa mereka yang tidak mengganggu itu, maka akan mendapatkan ampunan dan pahala yang sangat besar dari Allah. Jadi, kalau kita ingin mendapatkan ampunan dan pahala yang besar dari Allah, maka alangkah baiknya kita jalankan akhlak ini. Dan insya Allah dalam kehidupan dengan sesama manusia, maka kita akan selalu hidup dalam kedamaian, dalam bertetangga misalkan. Bukan hanya damai dengan sesama manusia, tetapi juga damai dengan Allah, karena Allah akan memberikan ampunan kepada kita dan memberikan pahala yang besar.



Al-Hujurat: 4

Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. (Q.S. Al-Hujuraat: 4)

Menurut riwayatnya, ada orang yang memanggil Nabi dengan suara yang keras. Digambarkan bahwa mereka itu tidak berakal. Dalam hal ini bukan berarti mereka itu orang bodoh, melainkan adalah orang-orang yang pintar, apalagi mereka mengajak Rasulullah untuk berdialog. Dalam riwayat ini disebutkan, bahwa Rasulullah tidak keluar, karena mereka itu datang dengan cara yang kasar.

Pada ayat ini disebutkan, bahwa mereka itu berteriak-teriak dari belakang rumah, walaupun sebenarnya mereka datang dari depan rumah. Hal ini dikarenakan pekerjaan seperti mereka ini hina, sehingga disebut di dalam Al-Qur’an sebagai “min waraa-il hujuraat” yang berarti di belakang rumah. Mestinya jika mereka datang dari depan, maka seharusnya dikatakan sebagai “amamal hujuraat“. Dalam ayat ini, Allah ingin menunjukkan kehinaan perbuatan yang seperti itu.

aksaruhum la ya’qilun“, ada ulama tafsir mengatakan “banyak di antara mereka”. Jadi, orang-orang yang memanggil Rasulullah itu banyak. Dan di antara yang banyak itu, persentasenya lebih banyak yang dianggap tidak berakal.

la ya’qilun” diartikan sebagai “tidak berakal”. Ada juga yang menganggap bahwa orang tidak berakal itu adalah orang gila. Ada juga yang menggangap bahwa tidak berakal itu adalah bodoh ataupun jahil. Jika ada yang mengatakan “jahiliyah“, berarti “kaum yang bodoh”, walaupun sebenarnya mereka itu pintar. Tapi karena tidak mau percaya kepada Allah, maka disebutlah sebagai “jahiliyah“.

Al-Hujurat: 5

Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Hujuraat: 5)

wa law” artinya “sekiranya”. “law” itu menggambarkan “tidak”. “wa law annahum shabaruw” berarti “sekiranya mereka itu bersabar”. Maksudnya, “sekiranya mereka itu bersabar” adalah karena mereka itu tidak bersabar, sampai keluar Rasulullah kepada mereka, “la kaanaa khayrallahum” yaitu “akan baik bagi mereka”. Mereka itu datang untuk meminta dibebaskannya tawanan-tawanan mereka. Ada beberapa permintaan dari mereka sehingga mereka mendatangi Rasulullah. Karena caranya seperti itu, dikatakan bahwa sehingga Rasulullah kembali keluar kepada mereka. Apa yang mereka dapat? Dikatakan kemudian bahwa akan baik bagi mereka. Tapi kenyataannya tidak, karena Rasulullah tidak keluar, sehingga semua permintaannya tidak dipenuhi. Seandainya mereka datang dengan cara yang baik, mungkin ada dari permintaan mereka itu yang dipenuhi oleh Rasulullah.



Law annahum shabaruw: mereka sabar. Sabar yang seperti apa? Hattaa takhruja ilayhim, yaitu sehingga Rasulullah itu keluar. Karena Rasulullah itu pasti keluar. Kapan Rasulullah keluar dari rumah? Biasanya, Rasulullah keluar di waktu shubuh. Setelah Shalat Shubuh, Rasulullah kembali ke rumahnya. Sesudah sarapan pagi, maka beliau keluar lagi, ke masjid untuk menjelaskan tentang ajaran agama atau keluar ke tempat-tempat tertentu. Ketika Zhuhur, Rasulullah ke masjid lagi, setelah itu kembali ke rumah. Keluar lagi pada waktu sore untuk shalat Ashar ke masjid, setelah itu kembali ke rumah. Ketika akan Maghrib, pergi lagi ke masjid Maghrib hingga Isya’.

Di dalam riwayat disebutkan, biasanya Rasulullah itu pada umumnya tidak kembali ke rumah antara Maghrib dan Isya’. Walaupun ada ahli sejarah mengatakan, bahwa biasa juga Rasulullah kembali ke rumah antara Maghrib dan Isya’. Dalam hal ini, terutama pada saat-saat turun wahyu. Jika turun wahyu, Rasulullah tidak kembali ke rumahnya. Tapi jika tidak ada wahyu turun, Rasulullah kembali ke rumahnya. Pada umumnya ahli sejarah mengatakan, bahwa Rasulullah tidak kembali ke rumahnya antara Maghrib dan Isya’, karena ada dua hal yang dilakukan Rasulullah. Pertama, mengajarkan Al-Qur’an. Kedua, membacakan Al-Qur’an itu dalam waktu shalat. Karena itu, ada hadits yang ditolak oleh sebagian ulama, bahwa Rasulullah itu selalu membacakan ayat pendek pada waktu Shalat Maghrib. Ada juga pendapat lain yang mengatakan, bahwa Rasulullah itu setiap waktu shalat yang dijaharkan yaitu Maghrib, Isya’, dan Shubuh, maka Rasulullah membacakan ayat-ayat yang turun pada waktu itu. Jika turun 10 ayat, maka dibacakannya 10 ayat itu. Turun 20 ayat, maka dibacakannya 20 ayat tersebut. Sehingga para sahabat bisa menghafalnya, kemudian menuliskannya di pelepah kurma, batu-batu, ataupun kulit domba.

Jadi, kitapun demikian halnya jika mau bertemu dengan sesorang. Biarlah kita bersabar untuk menunggu orang tersebut. Karena itu, dianjurkan kita dalam berusaha harus bersabar. Ada pepatah Arab mengatakan, “Sesuatu pekerjaan yang baik itu perlu kesabaran.” Karena itu Allah mengatakan, “Dahulukanlah (minta tolonglah) agar kita sabar.”

wallahu ghafururrahim … : sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kepada siapa Allah itu Maha Pengampun? Yaitu kepada orang yang sabar (innallaha ma’ash-shabirin). Tidak dikatakan bahwa Allah itu bersama orang yang pintar ataupun kaya, melainkan bersama orang yang sabar. Jadi kalau kita sabar, maka Allah akan mengampuni dan menyayangi kita. Mudah-mudahan kita tergolong sebagai orang-orang yang sabar.

Kesimpulan

Pertama, mari kita jangan mengandai-andai, jangan mengkhayal, dan jangan minta kepada peramal.

Kedua, jangan mengganggu pewaris nabi, jangan mengganggu orang lain, jangan mengangkat suara keras jika ada yang mau diminta, jangan membuat ulah sehingga orang lain tidak merasa senang kepada kita.

Ketiga, bagi mereka yang rendah suaranya, menjaga suaranya, menjaga sikapnya, menjaga tingkah lakunya di hadapan orang lain, mereka itu akan diberi ampun oleh Allah. Sedangkan mereka yang mengangkat suaranya di hadapan Nabi, atau di hadapan pewaris Nabi, ataupun kepada siapa saja, maka akan hilang pahala perbuatannya.

Keempat, orang diuji, yaitu mereka yang mau menjaga suaranya sehingga lemah lembut selalu, tidak keras.

Janganlah memanggil Nabi seperti kita memanggil orang lain selain Nabi. Bacalah selalu shalawat kepada Nabi, dan hargailah Nabi sebagai seorang yang termulia di antara seluruh manusia.

Kelima, bagi mereka yang diuji oleh Allah SWT, maka mereka akan mendapatkan pahala yang besar.

Keenam, mereka yang memanggil di luar kebiasaan dan di luar aturan, mereka itu digambarkan sebagai orang yang tak berakal, sebagai orang gila atau orang bodoh.

Ketujuh, jika mereka sabar, pasti akan mendapatkan keuntungan di dunia, dan mendapatkan ampunan dan kasih sayang dari Allah SWT.

Inilah bagian dari ajaran akhlak yang digambarkan dalam ayat-ayat ini.


KAJIAN TAFSIR SURAH AL-FURQAN (25): 63-77
Pada Surah Al-Furqan ayat 63-77 menggambarkan, bahwa ada sebelas sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Menurut Allah, orang-orang beriman yang memiliki sebelas sifat tersebut memperoleh gelar ibadurrahman, yaitu hamba-hamba Allah yang akan mendapatkan rahmat yang paling besar di sisi Allah SWT. Rahmat-rahmat Allah yang paling besar tersebut yaitu kedudukan atau derajat-derajat yang paling tinggi yang diperoleh oleh mereka di surga kelak.

Orang-orang yang beriman itu harus melaksanakan seluruh kewajiban yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka. Apabila mereka melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut, maka mereka akan mendapatkan siksaan yang amat pedih dari Allah SWT. Sebaliknya, apabila mereka menunaikan kewajiban-kewajiban yang diberikan tersebut, maka mereka akan mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Sifat-sifat yang dikemukakan di sini adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman setelah menunaikan berbagai kewajiban yang diwajibkan kepada mereka. Seperti yang termaktub pada Surah al-Furqaan ayat 63-77, sebelas sifat yang dimaksud tersebut adalah:

Pertama, sifat tawadhu’.

Tawadhu’ adalah lawan dari sifat takabbur. Tawadhu’ adalah sifat yang selalu merendah, merupakan sifat yang sangat disukai oleh Allah. Jika orang yang memiliki sifat ini adalah orang yang sangat disukai oleh Allah, maka orang yang memiliki sifat takabbur adalah orang yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Di dalam suatu hadits disebutkan, jika ada seseorang yang di dalam dirinya terdapat sifat sombong walaupun hanya sebesar biji zarrah (biji sawi), maka Allah akan mengharamkan surga baginya.

Takabbur adalah orang yang menganggap dirinya besar, padahal dia tidak besar. Orang yang mengaku memiliki banyak hal, tapi sebenarnya ia tidak memiliki apa-apa. Padahal kata Allah, bahwa apa yang mereka miliki itu tidak ada maknanya sedikitpun. Karena itulah, mereka menambahkan sifat di dalam dirinya dengan apa yang tidak mereka miliki. Untuk menjadikan diri kita tawadhu’ adalah dengan berpandangan bahwa apa yang kita miliki tidak ada arti apa-apa dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Allah SWT.

Sifat sombong adalah sifat yang merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada setiap manusia. Tidak ada seorangpun yang tidak memiliki sifat sombong. Hanya saja, ada orang yang membiarkan kesombongannya menjadi subur, dan ada juga yang bisa menahan kesombongannya, sehingga kesombongannya tidak pernah muncul.

Firman Allah pada Surah Al-Furqaan ayat 63:



Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (Q.S. Al-Furqaan: 63)

Pada ayat tersebut dengan jelas menyebutkan, bahwa ‘ibaadurrahman itu adalah mereka yang berjalan di muka bumi ini dalam keadaan tawadhu’, dalam keadaan tunduk, dalam keadaan merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang sangat kecil, tak mempunyai kekayaan apapun, tak memiliki ilmu apapun, walaupun orang lain memandang bahwa dirinya adalah orang yang berilmu, orang yang kaya, ataupun orang yang memegang jabatan tinggi.

Pertanyaannya, mampukah kita bersikap tawadhu’? Harus diingat, bahwa sikap takabbur itu akan muncul kapanpun dan di manapun. Jika kita tidak berhati-hati, maka sikap tersebut akan menjadi subur, akan berkembang dengan sendirinya karena kondisi dan keadaan di mana kita hidup. Karena itulah, menurut Rasulullah, sombong terhadap orang yang sombong itu adalah sebuah kebajikan sedekah. Mengapa? Karena kalau kita menahan kesombongan seseorang, sebenarnya kita mendekatkan orang tersebut kepada surga. Karena, jika ada kesombongan di dalam hati seseorang, maka diharamkan kepadanya untuk mendapatkan surga. Jika kita sombong terhadap orang yang sombong sehingga orang tersebut menjadi tidak sombong, maka sebenarnya kita telah menjauhkannya dari neraka dan mendekatkannya kepada surga.

Kedua, selalu mengucapkan ucapan-ucapan yang baik (al-kalamuth thayyib).

Maksudnya adalah, bahwa orang tersebut senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, walaupun orang lain selalu mengejeknya dengan kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan. Artinya, bahwa ‘ibaadurrahman adalah orang-orang yang senantiasa mengeluarkan ucapan-ucapan yang baik, senantiasa bersikap dengan sikap yang baik, senantiasa menimbulkan kebajikan-kebajiikan walaupun di tengah orang-orang yang tidak mau berbuat kebajikan kepadanya.

Biasanya, jika mendengar ada orang yang mengejek kita, maka kita akan membalasnya dengan ucapan-ucapan yang lebih kasar dibandingkan orang yang mengejek kita tersebut. Kalau ada yang memaki kita, maka kita akan membalasnya lebih dari satu kali makian. Jika ada orang yang berbuat jahat kepada kita sebanyak sekali, maka kita akan membalasnya lebih dari sekali. Itulah fitrah manusia.

Dalam ayat ini disebutkan, bahwa jika ada orang-orang yang bodoh yang menyapa dia, kalau ada orang-orang yang mengejek dia dengan kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan baginya, maka dia akan menyampaikan kalimat-kalimat yang baik kepada orang yang mengejeknya itu. Tapi secara fitri, hal ini tak mudah untuk dilakukan. Malahan sebaliknya, seringkali perbuatan kebajikan dibalas dengan kejahatan (air susu dibalas dengan air tuba).

Rasulullah menyatakan, bahwa orang yang paling baik akhlaknya adalah orang-orang yang apabila diputuskan hubungan silaturahmi, maka ia tidak akan memutuskan hubungan tersebut. Misalkan: ada orang yang tidak mau datang ke rumah kita, tapi kita tetap mendatangi rumah orang tersebut. Hal ini tak mudah untuk dilakukan, karena biasanya jika ada orang yang tidak mau datang ke rumah kita, maka kita akan semakin menjauhi orang tersebut.

Rasulullah juga menyatakan, bahwa orang yang paling baik akhlaknya adalah orang yang suka memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadanya.



Ketiga, yaitu orang beriman yang suka tahajjud di malam hari.

Firman Allah pada Al-Furqaan ayat 64:



Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (Q.S. Al-Furqaan: 64)

Bangun di malam hari setelah tidur, untuk kemudian melakukan shalat tahajjud bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tetapi apabila kita membiasakan diri, maka secara otomatis pada saatnya kita akan terbangun, sehingga hal seperti ini mudah saja untuk dilakukan. Mengapa tahajjud ini penting? Karena jika ibadah dilakukan di tempat yang sepi, maka konsentrasi kita akan lebih terpusat, dibandingkan ibadah di tengah keramaian.

Menurut pandangan para ulama, shalat tahajjud merupakan shalat sunnat muakkad, yaitu shalat sunnat yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah. Shalat sunnat tahajjud biasa dilakukan paling tidak dua raka’at, umumnya dilakukan delapan raka’at, ditambah dengan witir tiga raka’at. Begitu besar pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang senantiasa melaksanakan shalat tahajjud, karena tidak banyak orang yang mampu melakukan shalat tahajjud itu pada setiap malamnya.

Keempat, yaitu merasa takut akan siksa Allah SWT.

Firman Allah pada Al-Furqan ayat 65-66:

(65) Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal“.

(66) Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (Q.S. Al-Furqaan: 65-66)

Orang yang senantiasa takut terhadap azab Allah, maka akan menyebabkannya selalu mematuhi dan mentaati perintah-perintah Allah dan senantiasa meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an digambarkan, bahwa di saat menghadapi sakaratul maut, maka bagi mereka yang belum memiliki persiapan menghadapi alam kubur dan alam akhirat itu lalu meminta kepada Allah untuk menunda kematiannya, karena mereka belum banyak melakukan ibadah kepada Allah. Lalu Allah menjawab, “Apabila ajal mendatangi seseorang, maka ajal tersebut tak bisa diundur dan tidak juga bisa dipercepat.”

Jika kita selalu mengingat akan azab Allah, maka pada saat itulah keinginan kita akan muncul untuk melakukan ibadah kepada-Nya. Patut diingat, bahwa azab yang kita terima tak pernah ada habisnya. Dimulai pada saat kita menjalani sakaratul maut, kemudian berlanjut ketika berada di dalam kubur. Kemudian terus berlanjut hingga ketika dibangkitkan dan dikumpulkan di padang mahsyar. Menurut riwayat, bahwa di padang mahsyar nanti matahari itu sejengkal di atas kepala, dan manusia pada saat itu kondisinya berbeda-beda. Ada yang selalu merasa dingin dan sejuk, walaupun matahari berada di atas kepalanya. Ada juga yang merasa badannya terbakar, karena dibakar oleh matahari.

Pendeknya, ketika di padang mahsyar, maka manusia sudah merasakan alam atau suasana yang berbeda sesuai dengan amal kebajikannya. Bagi yang mendapatkan siksaan, maka siksaan tersebut akan terus berlanjut. Ketika berada di dalam neraka, siksaan tersebut takkan pernah ada habisnya. Setelah kulitnya terbakar oleh api neraka, kemudian kulit tersebut diganti lagi dengan yang baru. Setelah itu dibakar lagi, kemudian diganti lagi, dan begitu seterusnya tak pernah berhenti.

Seorang muslim yang baik yang akan mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat nanti adalah mereka yang senantiasa ada di dalam dirinya itu rasa takut terhadap siksaan Allah SWT. Dan karena rasa takut akan siksaan Allah itulah, maka kita akan menjadi orang yang senantiasa patuh terhadap perintah-Nya.



Kelima, yaitu sederhana (moderat) di dalam berinfaq.

Firman Allah pada Al-Furqan ayat 67:



Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Q.S. Al-Furqan: 67)

Pada ayat di atas dengan jelas menyebutkan, apabila manusia atau orang yang beriman yang ingin membelanjakan sesuatu, maka ketika membelanjakan tersebut dia tidak boleh terlalu boros, dan juga tidak boleh terlalu kikir.

Di dalam ayat lain Allah menyebutkan:

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (Q.S. Al-Israa’: 26)

Jadi, tidak boleh ada sikap boros, dan tidak boleh juga kikir, melainkan berada di tengah-tengah (moderat). Kalau kita berbelanja, maka belanjalah sesuai dengan keperluan. Kalau bersedekah, jangan sampai memberikan sedekah terlalu banyak. Hanya karena bangga dengan pahala bersedekah sehingga kita bersedekah terlalu banyak, sedangkan kita lupa akan kebutuhan kita sendiri.

Allah juga mengingatkan, bahwa orang-orang yang bersifat boros itu adalah saudara-saudaranya syaitan, seperti yang termaktub pada Surah Al-Israa’ ayat 27 berikut ini:

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S. Al-Israa’: 27)

Tetapi jangan juga karena mengingat akan kebutuhan kita, lalu kita tidak mau mengeluarkan apa yang kita miliki, hingga zakat sekalipun tidak mau dikeluarkan. Itulah orang yang kikir sebenarnya. Dalam hal ini, kita harus bersikap moderat, tidak kikir dan tidak juga boros, namun berada di antara keduanya (moderat).

Pada Surah Al-Israa’ ayat 29 juga disebutkan:

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Q.S. Al-Israa’: 29)

Jadi, jangan juga kita membelanjakan sesuatu sampai habis, dan jangan pula kita enggan membelanjakan apa yang ada pada diri kita. Hal ini tak mudah dilaksanakan, karena pada umumnya manusia itu bersifat konsumtif. Sifat konsumtif yang tak bisa ditahan yang kemudian menjadi-jadi, itulah yang disebut pemborosan. Tapi kalau menahannya juga menjadi-jadi, itulah yang dinamakan kikir. Di dalam hadits Nabi juga disebutkan, bahwa: “Urusan yang terbaik adalah urusan yang di tengah-tengah.”



Keenam, menjauhkan diri dari sifat syirik.

(68) Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya).

(69) (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.

(70) kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(71) Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.

(Q.S. Al-Furqan: 68-71)

Syirik itu pada hakikatnya adalah sifat yang senantiasa menyekutukan Allah. Seseorang yang menganggap bahwa selain Allah itu ada tuhan yang lain lagi, maka dapat dikategorikan sebagai syirik. Kalau seseorang melakukan penyembahan terhadap Allah, tapi dalam suasana yang lain dia juga melakukan penyembahan terhadap yang selain Allah, maka itu juga dapat disebut sebagai syirik. Menurut ulama, syirik yang seperti ini dinamakan syirik akbar (syirik besar). Syirik akbar adalah syirik yang berupa menyekutukan Allah SWT dengan sembahan atau penyembahan yang selain dari Allah.

Kemudian ada juga yang dinamakan syirik asghar (syirik kecil). Menurut para ulama, syirik asghar salah satunya adalah riya’. Mengapa? Karena ketika beribadah, yang ia harapkan bukanlah keridhaan Allah, tetapi karena sesuatu yang selain dari Allah. Ibadah yang dilakukannya bukanlah diniatkan untuk Allah, tetapi karena yang selain Allah. Kalau ada seseorang yang melakukan shalat bukan karena Allah, tetapi karena yang lain, maka inilah yang disebut sebagai syirik asghar.

Berkaitan dengan syirik akbar, di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan, bahwa mereka yang syirik itu apabila mati, maka dosa karena syiriknya tersebut tidak akan diampuni oleh Allah SWT. Dosa tersebut takkan pernah diampunkan oleh Allah, jika saat ia meninggal dunia tak pernah memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa syiriknya itu. Karena itu, banyak sekali hal-hal yang menjauhkan seseorang dari surga, salah satu di antaranya adalah syirik.

Di dalam Al-Qur’an disebutkan:



Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Q.S. An-Nisaa: 48)

Ketujuh, menjauhkan diri dari melakukan perbuatan membunuh yang diharamkan oleh Allah SWT.

Seperti yang termaktub pada Surah Al-Furqan ayat 68, bahwa selain syirik, melakukan pembunuhan terhadap orang lain juga merupakan perbuatan dosa besar. Berkaitan dengan ini, ada juga orang yang melakukan pembunuhan, tetapi pembunuhan itu atas perintah hukum. Pembunuhan jenis ini tidak dikategorikan sebagai pembunuhan yang dilarang oleh Allah. Misalnya, ada seseorang yang melakukan pembunuhan terhadap orang lain, lalu dia itu diadili oleh hakim, dan hakim memutuskan bahwa dia akan juga dibunuh dengan hukum qishash. Maka mereka yang melakukan eksekusi hukuman mati terhadap orang yang dikenai hukum qishash tersebut tidaklah dikategorikan dalam rangka membunuh sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT, karena eksekusi hukuman mati tersebut berdasarkan perintah hukum.

Dalam kaitan dengan hukum qishash ini, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang berlaku. Misalnya: dalam sebuah negara, jika negara memutuskan berdasarkan keputusan pengadilan bahwa si A akan dihukum qishash, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan yang dilarang oleh Allah. Tetapi jika ada sekelompok orang di dalam sebuah negara yang mereka (orang-orang itu) memberlakukan hukuman qishash kepada seseorang tanpa adanya keputusan pengadilan yang sah, maka hal ini dikategorikan bukanlah pelaksanaan hukuman qishash yang sesuai dengan tuntunan syari’ah. Karena itu, bagi mereka yang memberlakukan pembunuhan seperti ini, maka mereka telah melakukan pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh.

Berkaitan dengan ini, Allah mengingatkan, bahwa barangsiapa yang membunuh seseorang, maka seolah-olah dia itu telah membunuh semua manusia, seperti termaktub pada ayat berikut ini:



Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (Q.S. Al-Maidah: 32)

Yüklə 5,93 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   15   16   17   18   19   20   21   22   ...   92




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin