Jenazah Imam Al-Kâzhim as. Dicampakkan di Atas Jembatan
Setelah ritual persaksian itu usai, As-Sindî meletakkan jenazah Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang mulia di atas jembatan Rashâfah sehingga orang-orang yang berlalu-lalang di situ, baik yang berasal dari daerah dekat maupun jauh, menyaksikan jenazah itu. Wajah Imam Al-Kâzhim as. yang mulia tidak ditutupi sehelai kain pun. Tujuan penguasa zalim dengan itu semua adalah untuk mempermalukan dan merusak kehormatan Imam Al-Kâzhim as., menghinakan Syi'ah, dan merendahkan kehormatan mereka.
Tapi usaha Hârûn Ar-Rasyîd pasti gagal. Ia adalah imam yang dikenang masa dan makamnya adalah makam yang terindah dari sekian makam para wali Allah yang saleh. Makam ini senantiasa diliputi curahan rahmat Ilahi. Kaum muslimin tak henti-henti menziarahinya.
Kini, lihatlah Hârûn. Ia tidak memiliki bekas sedikit pun untuk diingat dan juga tidak mempunyai kuburan untuk diziarahi. Ia dikuburkan bersama keluarganya di dalam kegelapan abadi. Kelak Allah swt. akan mengadakan perhitungan atas segala kezaliman dan kedurjanaannya dengan perhitungan yang sangat sulit.
Penguasa tiran ini tidak cukup memperlakukan Imam Al-Kâzhim as. sampai di situ. Ia semakin jauh dalam jurang kesesatan dan kejahatan. Ia menyuruh budak-budaknya agar menggiring jenazah Imam Al-Kâzhim as. di jalan-jalan raya Baghdad sambil berteriak: "Inilah Mûsâ bin Ja'far yangdiakui oleh para pengikutnya tidak akan mati. Lihatlah, kini ia telah menjadi mayat." Di samping itu, mereka juga meneriakkan yel-yel yang sangat keji. Sebagai ganti dari slogan "Imam Mûsâ as. adalah orang baik putra orang baik", mereka malah mengatakan sebaliknya. Sulaiman bin Abu Ja'far Al-Manshûr segera bangkit untuk mengurus jenazah Imam Al-Kâzhim as. Para pembantunya segera merampas jenazah Imam Al-Kâzhim as. dari tangan bala tentara Hârûn seraya berteriak dengan suara lantang: "Barang siapa yang ingin menghadiri tasyyî' jenazah orang baik putra orang baik, Mûsâ bin Ja'far ini, maka segera hadilah."
Mendengar seruan itu, masyarakat dari berbagai tingkatan keluar untuk mengiringi jenazah Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. sehingga kota Baghdad tidak pernah menyaksikan acara tasyyî' jenazah seagung itu. Jalan-jalan raya dipenuhi dengan arak-arakan yang mengulang-ulang ungkapan kesedihan dan duka nestapa yang mendalam atas syahadah imam yang agung ini. Sulaiman bin Abu Ja'far berada di bagian depan barisan bersama seluruh aparat yang berkuasa.
Jenazah Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke pemakaman Quraisy. Di sana mereka menggali kuburan untuk Imam Al-Kâzhim as. Sulaiman menurunkan jenazahnya di tempat persinggahannya yang terakhir. Kemudian Sulaiman menguburnya bersama seluruh karakteristik terpuji, kelembutan, ilmu pengetahuan, kemuliaan, dan teladan yang luhur.
Salam sejatera untuknya ketika ia dilahirkan, ketika ia meneguk cawan syahadah, dan ketika ia dibangkitkan hidup kembali.
Catatan Kaki:
Al-Fiqh Al-Islami, Madkhal li Dirâsah Nizhâm Al-Mu'âmalah, hal. 160.
Nuzhah An-Nâzhir fî Tanbîh Al-Khâthir, hal. 45.
Al-Manâqib, jilid 3, hal. 429.
QS. Al-Anfâl [8]:72.
QS. Al-An'âm [6]:85-85.
QS. Ali 'Imrân [3]:61.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 261-265.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 138.
Al-Irsyâd, hal. 272.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 11, hal. 265.
UshûlAl-Kâfî, jilid 2, hal. 134.
'Umdah Ath-Thâlib, hal. 185.
Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 28; Kanz Al-Lughah, hal. 766.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal 161-162.
Wafayât Al-A'yân, jilid 4, hal. 93; Kanz Al-Lughah : 766
Târîkh Abil Fidâ', jilid 2, hal. 12
Al-Anwâr Al-Bahiyyah, hal. 93.
Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 28-29; Kasyf Al-Ghummah, hal. 247.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 157.
Al-Fushûl Al-Muhimmah, hal. 22.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 275-259.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 17, 196.
Al-Manâqib, jilid 2, hal. 395.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 465.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 466.
Al-Manâqib, jilid 2, hal. 279.
Kasyf Al-Gummah fî Ma'rifah Al-A'immah, jilid 3, hal. 25.
'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, jilid 1, hal. 98-99.
Al-Manâqib, jilid 2, hal. 370.
Maqâtil At-Thâlibiyyîn, hal. 503-504.
Bihâr Al-Anwâr, jilid 11, hal. 30.
Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 522.
IMAM ALI AR-RIDHA
Imam Ar-Ridhâ as. adalah secercah nur Ilahi dan sebersit rahmat Allah (yang maha luas). Ia adalah imam kedelapan dari para imam maksum as. yang telah dibersihkan oleh Allah swt. dari segala jenis kekotoran dan menyucikan mereka sesuci-sucinya.
Khalifah Ma'mûn pernah bertanya kepada Abdullah bin Mathar, salah seorang tokoh pemikiran dan sastra kala itu, tentang mereka sembari berkata: "Apa pendapatmu tentang Ahlul Bait?"
Abdullah menjawab dengan ungkapan: "Apa yang dapat kukatakan tentang sebuah keluarga yang telah dicetak dengan air risalah dan disirami dengan mata air wahyu! Apakah terhembus dari tubuh mereka selain minyak misik petunjuk dan wanginya ketakwaan?"
Ucapan ini dapat mempengaruhi naluri dan hati kecil Ma'mûn, sedangkan Imam Ar-Ridhâ as. sedang berada di situ pada waktu itu. Akhirnya, Ma'mûn memerintahkan supaya mulut Abdullah dihiasai dengan mutiara.
Sesungguhnya seluruh nilai yang agung dan karakter yang tinggi telah terjelmakan dalam diri imam yang agung ini. Ia adalah salah satu kekayaan agama Islam dalam setiap tingkah laku, kerendahan hati, dan ketidakpeduliannya terhadap kegermelapan dunia, kecuali yang berhubungan dengan masalah kebenaran dan hak.
Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi sejarah hidup Imam Ar-Ridhâ as. secara ringkas.
Pertumbuhan
Imam Ar-Ridhâ as. tumbuh berkembang di dalam sebuah rumah Islam yang paling mulia. Rumah ini adalah pusat turunnya wahyu; sebuah rumah yang Allah mengizinkan nama-Nya disebut di dalamnya. Rumah itu adalah rumah Imam Mûsâ bin Ja'far as., sosok figur yang memiliki keserupaan dengan Isa bin Maryam as. dalam ketakwaan dan wara'. Dengan demikian, rumah ini adalah salah satu pusat ibadah dan ketaatan kepada Allah swt., sebagaimana rumah ini juga adalah sebuah tempat penyebaran ilmu pengetahuan di tengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah ini juga, ribuan ulama, fuqaha, dan sastrawan berhasil menamatkan pelajaran mereka.
Di dalam rumah yang agung itulah Imam Ar-Ridhâ as. tumbuh berkembang dan mempelajari etika ayah dan keluarganya yang telah diciptakan untuk mengemban keutamaan, ketakwaan, dan keimanan kepada Allah swt.
Perangai dan Perilaku
Perangai dan perilaku Imam Ar-Ridhâ as. memiliki keistimewaan khusus. Ia tegar dalam memegang kebenaran dan menentang kezaliman. Ia sering memerintah Khalifah Ma'mûn Al-Abbâsî untuk bertakwa kepada Allah dan mengkritik seluruh tindakannya yang tidak sesuai dengan agama. Dengan tindakannya ini, Ma'mûn marah besar dan bertindak untuk membunuh Imam Ar-Ridhâ as. Seandainya Imam Ar-Ridhâ mau bertoleransi dengan Ma'mûn dan tidak menentang seluruh politiknya, sebagaimana orang-orang dekat Ma'mûn lainnya yang mengiakan setiap dosa dan kejahatan yang dilakukan oleh Ma'mûn, niscaya Imam Ar-Ridhâ akan memiliki posisi yang paling dekat dengannya. Alangkah cepatnya Ma'mûn meminumkan racun kepadanya sehingga ia cepat meninggalkan kita.
Akhlak yang Tinggi
Imam Ar-Ridhâ as. adalah figur terindah untuk akhlak yang mulia dan tata krama yang tinggi. Di antara manifestasi ketinggian akhlaknya ini adalah ketika ia duduk di samping sebuah hidangan makanan, ia juga mendudukkan seluruh budak-sampai-sampai pemelihara kuda dan penjaga pintu-di samping hidangan makanan itu.
Ibrahim bin Al-Abbâs berkata: "Aku pernah mendengar Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ berkata, 'Aku bersumpah untuk membebaskan budak, dan aku tidak pernah bersumpah untuk membebaskan budak kecuali aku pasti membebaskan seorang budak. Sungguh aku akan membebaskan seluruh budakku jika aku merasa diriku lebih baik dari budak ini-beliau menunjuk salah seorang budaknya yang hitam legam. Aku tidak memiliki kemuliaan lantaran hanya kekerabatanku dengan Rasulullah saw. kecuali jika aku berbuat sebuah amal saleh. Dengan amal saleh tersebut aku merasa memiliki keutamaan.'
Salah seorang yang hadir lantas berkata, 'Demi Allah, Anda adalah sebaik-baik manusia ....'
Ia menimpali ucapannya sembari berkata, 'Jangan engkau merasa khawatir, hai sahabatku. Orang yang lebih baik dariku adalah orang yang paling bertakwa dan lebih taat kepada Allah 'Azza Wajalla. Demi Allah, ayat ini belum dinasakh, 'Dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berkabilah-kabilah supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.' (QS. Al-Hujurât [49]:13)"
Dalam ketinggian akhlak dan etika ini, Imam Ar-Ridhâ as. telah mewarisi kakeknya, rasul teragung saw., yang memiliki keutamaan atas seluruh nabi yang lain dengan akhlaknya yang tinggi.
Kezuhudan
Tidak berbeda dengan nenek moyangnya yang senantiasa zuhud terhadap harta dunia ini, Imam Ar-Ridhâ as. juga selalu memalingkan diri dari segala kemewahan dan kegemerlapan dunia ini. Kakeknya, Amirul Mukminin as., telah menceraikan dunia ini sebanyak tiga kali sehingga ia tidak berhak merujuknya lagi.
Muhammad bin 'Abbâd pernah meriwayatkan tentang kezuhudan Imam Ar-Ridhâ as. Ia berkata: "Pada saat musim panas, Ar-Ridhâ duduk di atas pelepah kurma dan pada saat musim dingin, ia duduk di atas kain kasar. Pakaiannya terbuat dari kain yang kasar dan ia menghias diri dengan pakaian tersebut jika ia keluar untuk menjumpai masyarakat."
Kezuhudan terhadap harta dunia adalah salah satu sifat dan karakter jiwa Imam Ar-Ridhâ as. yang paling menonjol. Para perawi hadis dan ahli sejarah sepakat bahwa ketika menduduki posisi sebagai putra mahkota kerajaan, ia tidak pernah mengenakan satu pun kemegahan kerajaan yang ada. Tidak hanya itu, ia tidak pernah memberi nilai sedikit pun terhadap kemegahan tersebut dan juga tidak pernah memiliki keinginan terhadap protokol resmi kerajaan. Ia sangat membenci pengagungan yang biasa dilakukan oleh masyarakat terhadap raja-raja mereka. Pernah diriwayatkan bahwa ia berkata: "Para pengawal yang berjalan di belakang seseorang adalah fitnah baginya dan kehinaan bagi mereka."
Keluasan Ilmu Pengetahuan
Imam Ar-Ridhâ as. adalah figur yang paling 'alim pada masa ia hidup, paling utama, dan paling tahu terhadap seluruh jenis ilmu pengetahuan, seperti ilmu Fiqih, Filsafat, Ulumul Qur'an, Medis, dan lain sebagainya. Al-Hirawî bercerita tentang keluasan ilmu pengetahuannya seraya berkata: "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih 'alim daripada Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ, dan tidak ada orang 'alim pun yang pernah melihatnya kecuali ia akan bersaksi seperti kesaksianku. Khalifah Ma'mûn pernah mengundang beberapa ulama agama-agama lain (selain Islam), para fuqaha, dan ahli ilmu Kalam dalam beberapa majelis pertemuannya. Ia berhasil mengungguli mereka semua sehingga tidak tersisa seorang pun dari mereka kecuali mengakui keutamaannya, sedangkan ia sendiri mengakui kelemahan dirinya. Aku pernah mendengar ia berkata, 'Pada suatu hari, aku sedang duduk di Rawdhah, dan juga banyak ulama Madinah yang duduk di situ. Jika salah seorang dari mereka diminta untuk memecahkan sebuah masalah, mereka semua menunjuk ke arahku. Akhirnya, mereka mengirimkan masalah tersebut kepadaku dan aku memecahkannya.'"
Ibrahim bin Abbâs pernah berkata: "Aku tidak pernah melihat Ar-Ridhâ ditanya tentang suatu masalah kecuali ia pasti bisa menjawab. Dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih 'alim daripadanya dari sejak zaman awal hingga pada masa ia hidup. Khalifah Ma'mûn selalu mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu, dan ia menjawabnya."
Ma'mûn pernah berkata: "Aku tidak pernah mengetahui ada seseorang di atas bumi ini yang lebih utama dari orang ini-yaitu Imam Ar-Ridha."
Perdebatan dan dialog Imam Ar-Ridhâ as. dengan para ulama di Bashrah, Khurasan, dan Madinah membuktikan keluasan ilmu pengetahunnya. Para ulama dunia yang telah diundang oleh Ma'mûn untuk mengujinya juga mengakui keutamaan itu. Tidak pernah ada utusan ilmiah yang mengadakan pertemuan dengannya kecuali mereka mengakui keutamaannya. Realita ini memaksa Ma'mûn untuk mengurungnya dari mata masyarakat supaya mereka tidak terfitnah.
Mutiara Wejangan
Banyak sekali mutiara hikmah, tata krama, wasiat, dan nasihat yang telah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. dan sangat bermanfaat bagi umat manusia. Semua itu membuktikan bahwa ia adalah seorang guru besar untuk dunia Islam pada masa ia hidup. Ia telah mengerahkan segala upayanya untuk menyucikan dan mendidik muslimin dengan mutiara-mutiara hikmah yang ia miliki. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian dari mutiara-mutiara hikmah berharga ini.
Keutamaan Akal
Akal adalah kenikmatan paling utama yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada umat manusia. Dengan akal ini, Dia telah membedakannya dari binatang. Dalam sebagian hadis, Imam Ar-Ridhâ as. pernah mengisyaratkan masalah akal ini:
1. Ia berkata: "Sahabat setiap orang adalah akalnya, dan musuhnya adalah kebodohannya."
Alangkah indahnya mutiara hikmah ini. Akal adalah sahabat terbesar yang dapat menjaga, memelihara, dan menyelematkannya dari seluruh ujian dunia. Musuh manusia yang paling besar adalah kebodohan yang akan menjerumuskannya ke dalam jurang kesengsaraan dunia yang sangat dalam.
2. Ia berkata: "Akal yang paling utama adalah pengenalan manusia terhadap dirinya."
Jika manusia mengetahui bagaimana dirinya dibentuk dan juga bagaimana akan berakhir, niscaya ia telah mendapatkan kebaikan yang banyak. Pengetahuan ini akan menjauhkannya dari keinginan-keinginan yang jahat dan mendorongnya untuk memiliki keinginan-keinginan yang baik. Begitu juga, pengetahuan ini akan menunjukkan jalan baginya untuk mengenal Penciptanya Yang Maha Agung. Dalam sebuah hadis ditegaskan: "Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia telah mengenal Tuhannya."
Koreksi Diri
Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Barang siapa mengoreksi diri, niscaya ia pasti beruntung, dan barang siapa lalai terhadap dirinya, pasti ia telah merugi."
Jika seseorang bersedia mengoreksi dirinya tentang kebaikan dan keburukan yang telah dilakukannya, maka tindakan ini menunjukkan ketinggian jiwa dan kemenangan yang dapat membuahkan keuntungan dan kebaikan. Hal ini karena ia dapat mencegah dirinya untuk melakukan keburukan dan menumbuhkan kebaikan. Sedangkan orang yang lalai untuk mengoreksi dirinya, maka jiwa yang terlalaikan ini akan menjerumuskannya ke dalam jurang keburukan yang sangat dalam.
Kemuliaan Sebuah Usaha
Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Sesungguhnya pahala orang yang mencari rezeki untuk menjamin kebutuhan hidup keluarganya adalah lebih agung daripada pahala mujahid di jalan Allah."
Berusaha dan bekerja untuk menghidupi keluarga adalah sebuah jihad di jalan Allah, sebuah kemuliaan yang dapat diperoleh oleh orang yang sedang bekerja, dan keagungan yang menjadi kebanggaannya.
Manusia Terbaik
Imam Ar-Ridhâ as. pernah ditanya tentang hamba terbaik. Ia menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang berbahagia apabila berbuat kebaikan, memohon ampunan apabila berbuat keburukan, bersyukur jika diberi, bersabar apabila ditimpa musibah, dan memaafkan apabila sedang dilanda amarah."
Sungguh, orang yang memiliki sifat dan karakter-karakter tersebut adalah orang yang paling utama dan paling mulia yang telah berhasil menggapai puncak kesempurnaan dan keutamaan.
Wasiat dan Nasihat
1. Imam Ar-Ridhâ as. pernah berwasiat kepada Ibrahim bin Abi Mahmûd seraya berkata: "Ayahku pernah memberitahukan kepadaku dari nenek moyangnya bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Barang siapa mendengarkan ucapan seorang pembicara, sungguh ia telah menyembahnya. Jika pembicara itu berasal dari sisi Allah, maka ia telah menyembah Allah, dan apabila ia berasal dari sisi Iblis, sungguh ia telah menyembah Iblis ... Hai putra Abi Mahmûd, jika masyarakat menempuh jalan kanan dan jalan kiri, maka tetaplah kamu berpegang teguh kepada agama kami. Karena, barang siapa tetap berpegang teguh kepada kami, niscaya kami akan selalu bersamanya, dan barang siapa berpisah dari kami, maka kami juga akan berpisah darinya. Sesungguhnya tindakan paling sepele yang dapat mengeluarkan seseorang dari lingkaran keimanan adalah ia mengatakan bahwa kerikil ini adalah sebutir biji kurma, lalu ia meyakini ucapannya itu dan membebaskan diri dari orang yang menentang pendapatnya. Hai putra Abi Mahmûd, jagalah apa yang telah kukatakan kepadamu ini, karena aku telah mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat untukmu dalam ucapan ini."
Wasiat ini dipenuhi oleh perintah untuk mengikuti jejak Ahlul Bait as. dan menempuh jalan sirah mereka. Karena, hal ini adalah keselamatan dan keamanan dari segala kebinasaan, serta kemenangan dengan menggapai rida Allah swt.
2. Persamaan antara orang kaya dan orang miskin.
Imam Ar-Ridhâ as. berwasiat kepada para sahabatnya untuk menyamaratakan antara orang kaya dan orang miskin dalam mengucapkan salam kepada mereka. Ia pernah berkata: "Barang siapa berjumpa dengan seorang fakir yang muslim, lalu ia mengucapkan salam kepadanya dengan cara yang berbeda dengan salamnya kepada orang kaya, maka ia akan berjumpa dengan Allah 'Azza Wajalla sedangkan Dia dalam keadaan murka terhadapnya."
3. Tersenyum ketika berjumpa dengan seorang mukmin.
Imam Ar-Ridhâ as. berwasiat kepada para sahabat untuk menemui seorang mukmin dengan wajah yang penuh senyum dan tidak menghadapinya dengan raut wajah mengkerut. Ia berkata: "Barang siapa menemui saudara seimannya dengan wajah tersenyum, Allah akan menulis satu kebaikan baginya, dan barang siapa telah ditulis sebuah kebaikan oleh Allah baginya, maka Dia tidak akan menyiksanya."
Ini semua adalah akhlak dan budi pekerti tinggi yang selalu diwasiatkan oleh para imam maksum as. kepada para sahabat mereka sehingga mereka menjadi panutan yang baik bagi seluruh masyarakat.
4. Wasiat umum.
Imam Ar-Ridhâ as. pernah berwasiat kepada para sahabat dan masyarakat secara umum dengan wasiat berikut ini:
Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah berkenaan dengan seluruh nikmat-Nya yang telah dicurahkan atas kalian. Janganlah kamu menyingkirkan kenikmatan itu dari diri kalian dengan bermaksiat kepada-Nya. Ketahuilah, kalian semua tidak akan pernah bersyukur kepada Allah dengan sesuatu-setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan pengakuan atas hak-hak para wali Allah dari kalangan keluarga Muhammad saw.-yang lebih dicintai daripada menolong saudara-saudaramu seiman dalam urusan dunia mereka. Semua ini adalah jembatan bagi kalian untuk menuju surga-surga Tuhan mereka. Sesungguhnya orang yang telah melakukan demikian, niscaya ia termasuk hamba-hamba Allah yang istimewa."
Wasiat ini dipenuhi oleh anjuran kepada kita untuk bertakwa kepada Allah swt., membantu saudara-saudara seiman, dan mencurahkan segala kebajikan kepada mereka.
Mutiara Hikmah
Banyak sekali ucapan-ucapan pendek yang telah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. dan dipenuhi oleh mutiara-mutiara hikmah yang sangat berharga. Antara lain:
a. Ia berkata: "Barang siapa mempersiapkan dirinya untuk berkhidmat kepada seorang penguasa yang zalim, lalu ia ditimpa malapetaka, maka ia tidak akan diberi pahala karena itu dan juga tidak akan dianugerahi kesabaran untuk memikulnya."
b. Ia berkata: "Mencintai sesama manusia adalah setengah akal."
c. Ia berkata: "Akan datang sebuah masa di mana keselamatan pada masa itu tersembunyi dalam sepuluh bagian: sembilan bagian terdapat dalam menjauhi masyarakat dan satu bagian lagi terdapat dalam berdiam diri tidak berbicara."
d. Ia berkata: "Orang yang kikir tidak pernah memiliki ketenangan, orang yang iri hati tidak akan pernah merasakan kenyamanan, orang yang selalu bosan tidak pernah memiliki kesetiaan, dan pembohong tidak pernah memiliki harga diri."
e. Ia berkata: "Barang siapa membereskan urusan seorang mukmin, Allah akan membereskan urusannya pada hari kiamat kelak."
f. Ia berkata: "Seorang mukmin adalah saudara sekandung mukmin yang lain. Terlaknat, terlaknat orang yang menuduh saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang menipu saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang tidak menasihati saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang menutup diri dari saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang menggunjing sudaranya!"
Pengetahuan Imam Ar-Ridhâ atas Semua Bahasa
Imam Ar-Ridhâ as. mengetahui semua bahasa. Abu Ismail As-Sindî bercerita: "Di India, aku pernah mendengar bahwa Allah memiliki seorang hujah di negeri Arab. Aku melakukan perjalanan untuk mencarinya. Masyarakat setempat menyuruhku untuk menjumpai Imam Ar-Ridhâ as. Aku pun pergi menjumpainya. Aku mengucapkan salam kepadanya dengan menggunakan bahasa Sind, dan ia menjawab salamku dengan bahasa yang sama. Aku berkata kepadanya, 'Aku pernah mendengar bahwa Allah memiliki seorang hujah di negeri Arab. Aku mengadakan perjalanan ini untuk mencarinya.' Ia menjawab, 'Hujah itu adalah saya.' Kemudian ia berkata kepadaku, 'Tanyakanlah apa yang kau inginkan.' Aku pun bertanya banyak masalah kepadanya dan ia menjawab seluruh pertanyaanku dengan menggunakan bahasaku."
Abu Shalt Al-Hirawî pernah berkata: "Imam Ar-Ridhâ as. berbicara dengan masyarakat dunia dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing. Aku pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ia menjawab, 'Hai Abu Shalt, saya adalah hujah Allah untuk seluruh makhluk-Nya, dan Dia tidak pernah mengutus seorang hujah atas sebuah kaum, sedangkan ia tidak mengetahui bahasa mereka. Apakah kamu tidak pernah mendengar Amirul Mukminin as. berkata, 'Kami diberi anugerah Fashl Al-Khithâb? Bukankah Fashl Al-Khithâb itu adalah pengetahuan atas seluruh bahasa?'"
Yâsir Al-Khâdim pernah bercerita: "Di rumahnya, Abul Hasan Ar-Ridhâ as. memiliki (budak-budak) yang berasal dari daerah Shaqâlibah dan Romawi. Ia memiliki hubungan yang akrab sekali dengan mereka. Ia pernah mendengar mereka berbicara dengan bahasa kaum Shaqâlibah dan Romawi untuk meminta sesuatu, dan ia memberikannya kepada mereka."
Syaikh Muhammad bin Hasan Al-Hurr pernah melantunkan realita ini dalam sebuah bait syairnya berikut ini:
Pengetahuannya terhadap seluruh bahasa, adalah mukjizat dan kekuasaan Ilahi yang paling cerlang.
Fitnah dan Peristiwa
Imam Ar-Ridhâ as. sering memberitahukan kejadian sebuah fitnah dan peristiwa sebelum semua itu terjadi. Dan setelah itu, semua peristiwa dan fitnah itu sungguh terjadi. Realita ini menguatkan keyakinan mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahkan kelebihan ilmu kepada para imam Ahlul Bait as. sebagaimana Dia pernah menganugerahkan hal itu kepada para nabi dan rasul-Nya. Di antara berita tersebut adalah, bahwa Ma'mûn akan membunuh saudaranya sendiri, Amîn bin Zubaidah. Ia mengutarakan hal ini dengan melantunkan syair berikut ini:
Sungguh kedengkian setelah kedengkian akan menguasai dirimu dan mengeluarkan penyakit yang selama ini terpendam.
Dan tidak lama masa berselang, Ma'mûn pun membunuh saudaranya, Amîn.
Di antara peristiwa-peristiwa yang telah diberitahukan oleh Imam Ar-Ridhâ as. sebelum terjadi adalah peristiwa pemberontakan Muhammad bin Imam Ash-Shâdiq as. Ketika Muhammad mengadakan pemberontakan terhadap Ma'mûn, ia mencercanya seraya berkata: "Hai pamanku, janganlah engkau membohongkan ayah dan saudaramu-yaitu Imam Al-Kâzhim. Sesungguhnya tindakanmu ini tidak akan berlangsung sempurna."
Muhammad tidak menggubris nasihat Imam Ar-Ridhâ dan keluar dengan memproklamirkan pemberontakannya terhadap Ma'mûn. Tidak lama berselang, bala tentara Ma'mûn yang dipimpin oleh Al-Jalûdî berhasil mengalahkan mereka. Muhammad memohon suaka politik dan Al-Jalûdî pun memberikan jaminan keamanan kepadanya. Al-Jalûdî naik ke atas mimbar seraya berseru: "Urusan ini akan diserahkan kepada Ma'mûn sepenuhnya."
Juga di antara peristiwa-peristiwa yang telah diberitahukan oleh Imam Ar-Ridhâ as. sebelum terjadi adalah musibah besar yang akan menimpa kaum Barâmikah. Pada suatu hari, Yahyâ Al-Barmakî pernah melewati Imam Ar-Ridhâ sedangkan Imam Ar-Ridhâ menutupi wajahnya dengan sehelai sapu tangan supaya tidak terkena debu. Imam Ar-Ridhâ berkata: "Miskin mereka itu. Mereka tidak tahu apa yang akan menimpa mereka pada tahun ini ...." Kemudian, ia melanjutkan ucapannya: "Dan ada satu hal lagi yang lebih mengherankan dari hal ini. Aku dan Hârûn adalah seperti dua jari ini." Ia merapatkan jari telunjuk kepada jari tengahnya.
Peristiwa yang telah diprediksikan oleh Imam Ar-Ridhâ as. itu pun terjadi. Tidak lama berselang, Hârûn Ar-Rasyîd menimpakan musibah dan bencana yang besar atas kaum Barâmikah. Begitu juga, Hârûn Ar-Rasyîd mati di Khurasan dan Imam Ar-Ridhâ as. dikuburkan berdekatan dengannya.
Ini adalah sebagian peristiwa yang telah diberitakan oleh Imam Ar-Ridhâ as. sebelum terjadi. Kami telah menyebutkan banyak contoh tentang masalah ini dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.
Dostları ilə paylaş: |