Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
8.3.b. Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
8.3.c. Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
8.3.d. Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
DAFTAR PUSTAKA
---------, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Padang: IAIN IB Press, 2000.
------------, Sejarah dan kebudayaan Islam: Imperium Turki Usmani, Jakarta : Kalam Mulia, 1988.
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Perpuatakaan Nasional RI, cet II, 2003.
Al-Abrosy,Muhammad Athiyah.tt, At TarbiyahAl-Islamiyah wa Falsaftuha, Darul Fikr.
Ali, A. Mukti, dkk (Ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta : Departemen Agama RI, 1988.
Al-Razi, Abu Bakar, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif Al-Ghaid, Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978
Ash-Shalabi,Ali.2002, Muhammad,, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniah,terjemahan oleh Samson Rahman.. Jakarta : Pustaka Al Kautsar
Asrori,Hanun.1999, Sejarah Pendidikan Islam. Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu.
Badawi,Abdul,Madjid,al Futuh.1988, Tarikh al-Syiasyi wa al-Fikri .Al;Mansur:Mathabi’ al;Wafa.
Bill Grami,Hamid, Hasan Bil.1989, Konsep Universitas Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana.
Chair, Abdl. Dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. t.t. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve
Dahlan, Ahmad Aziz, Kitab Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’Al-Thurats al-Arabi (ed) Rasa’il Falsafiyah, Beirut: Dar al-Falaq al-Jadidah, 1982
E. Abdul, Aziz Tibrizi, Diktat II Sejarah Kebudayaan Islam, Tangerang, :Pon-pest DaaEl- Qolam
Engneer, Asghar Ali, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Yogyakarta: Insist Bekerja Sama dengan Pustaka Pelajar, 1999.
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern. Jilid II, Bandung: Penerbit Mizan. 2001.
Hamka, Sejarah Umat Islam III, Jakarta : Bulan Bintang, 1981.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, Cet. V, 2005.
Hamka, Sejarah Ummat Islam Jilid III. Jakarta: Bulan Bintang, 1960.
Harun, Maidir dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang: IAIN IB Press, 2001.
Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta : Kota Kembang, 1989.
Holt P.M, dkk(ed) The Cambridge History of Islam, vol.IA, London : Cambridge University Press, 1970.
Http://www.kadjarfamily.org/
Http://www.pesantrenonline.com
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam III, Jakarta: Grafindo, 2000.
Luthfi Jum’ah, Muhammad, Tarikh Falasifah Al-Islam, Mesir, t.tp,1927
Maryam, Siti, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta: Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2007.
Maududi, Abu A’la, Khilafah dan Kerajaan, Bandung : Mizan 1984.
Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang: CV. Wicaksana
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nashr, Sayyed Husein, (edt), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Tej. Mizan, Mizan, Bandung: 2003
Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam :Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti di Timur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997
Razi, Al, Rasa’il Falsafiyah Islam, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982
Ridah, Abu, Rasa’il al-Kindi Al-Falsafiyah, Kairo: t.t, 1950
Salam, Abdus, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, Bandung: Salman ITP, 1983
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009.
Soebantardjo, Sari Sejarah Asia-Australia, Yogyakarta: Bopkri, 1957.
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka setia, 2008.
Su'ud, Abu. Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003
Syahrastaniy, Al, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.t
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1983.
Syarif, M.M. dkk (edt), History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
Thohir, Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Ajid.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
-
PENDAHULUAN
Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir yang diturunkan untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi utusan untuk menyampaikan wahyu Allah SWT, beliau telah melalui beberapa tahapan penggemblengan baik fisik maupun mental. Setelah dianggap mumpuni, akhirnya beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul terakhir.
Setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Muhammad SAW menjalankan misi dakwah. Dimulai dari keluarga dan teman terdekat, keluarga secara umum dan masyarakat luas. Dalam menjalankan misi dakwahnya, Muhammad SAW mendapat dukungan penuh dari keluarga dan sahabat terdekatnya.
Karena kegigihannya, akhirnya Muhammad SAW berhasil mengentas masyarakat yang nyaris tenggelam dalam kejahiliahannya menjadi masyarakat yang beradab. Dalam waktu yang relatif singkat beliau berhasil menyebarkan misi Islam ke seantero jazirah Arab melalui agama Islam. akhirnya Jazirah Arab menjadi barometer perkembangan peradaban dunia.
Melalui makalah ini penulis berusaha menggambarkan keadaan Jazirah Arab sebelum kedatangan Islam, proses kelahiran Muhammad SAW, peristiwa-peristiwa yang dialami sejak kecil hingga dewasa, proses penurunan wahyu, liku-liku dakwah hingga hijrah ke Madinah dan pembentukan Negara Mandinah. Akan tetapi poin-poin tersebut akan disajikan secara singkat.
-
ARAB PRA-ISLAM
2.a. Keadaan Geografis Jazirah Arab
Jazirah ditinjau dari segi bahasa berarti pulau sedangkan Arab berarti gurun atau tanah tandus yang tidak ada air dan tumbuhannya. Sehingga tanah yang di sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah, sebelah timur berbatasan dengan teluk Arab dan Irak Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arab dan di utara berbatasan dengan negara-negara Syam ini disebut Jazirah Arab. Begitu pula penduduk yang tinggal di daerah ini, mereka disebut Orang Arab.101
Jazirah Arab terbagi atas dua bagian102, tengah dan tepi. Bagian tengah terdiri dari pegunungan yang tandus karena jarang turun hujan. Sehingga penduduknya sedikit yang hidup mengembara untuk mencari padang yang ditumbuhi rumput sebagai tempat menggembala ternaknya. Penduduk yang mendiami Jazirah Arab bagian tengah ini disebut Badui. Hewan ternak menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan mereka103
Jazirah Arab bagian tepi bagaikan pita kecil yang melingkari Jazirah tersebut. Di bagian tepi ini hujan relatif teratur, sehingga daerahnya lumayan subur. Oleh karena itu penduduknya tidak mengembara. Mereka mendirikan kota-kota, kerajaan-kerajaan dan sempat membina kebudayaan. Oleh sebab itu mereka disebut "Ahl al-H{ad{ar" (Penduduk Negeri).104
Medan Jazirah Arab sangat berat karena terdiri dari gurun pasir dan pegunungan yang tandus dan di bagian tengah terdapat orang badui yang pemberani dan memiliki solidaritas kesukuan yang kuat. Keadaan yang demikian ini merupakan benteng yang kuat dari invasi negara asing. Sehingga penduduk Jazirah Arab sejak dulu merupakan orang-orang yang bebas merdeka di semua sisi kehidupannya. Meskipun mereka berdampingan dengan dua imperium besar, Romawi dan Persi. Kemudian karena letak geografisnya yang demikian, daerah utara dan selatan Jazirah Arab merupakan tempat lalu-lalangnya bangsa asing. Sehingga daerah tersebut menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, keagamaan dan seni.105
2.b. Komposisi Penduduk
Para ahli sejarah membagi penduduk Jazirah Arab berdasarkan silsilah menjadi tiga golongan, yaitu:
-
Al-Arab al-Ba>idah, yaitu penduduk Jazirah Arab masa lampau yang tidak mungkin bisa dijelaskan secara rinci, seperti: Kaum 'A>d, Thamu>d, dan lain-lain.
-
Al-'Arab al-'A>ribah, yaitu penduduk Jazirah Arab keturunan Ya'rib bin Yashjib bin Qaht{a>n. Golongan ini dikenal dengan sebutan Qaht{a>niyah, mereka berasal dari Yaman.
-
Al-'Arab al-Musta'rabah, yaitu penduduk Jazirah Arab keturunan Nabi Isma>'il AS. Golongan ini biasa disebut Al-'Adna>niyah. Mereka berasal dari Irak.106
-
'Adna>niyyu>n mendiami wilayah utara sementara itu Qaht{a>niyyu>n menguasai wilayah selatan. Akan tetapi kedua golongan ini lama-kelamaan membaur dengan adanya migrasi antara keduanya.107
2.c. Sistem Kekuasaan dan Pemerintahan
Di Jazirah Arab terdapat dua golongan penguasa; Raja yang bermahkota dan Raja yang tak bermahkota. Raja yang bermahkota ini tidak memiliki kekuasaan penuh terhadap penduduk Jazirah Arab, mereka hanya berkuasa di pinggiran Jazirah Arab. Pada hakekatnya yang berkuasa penuh secara mandiri adalah Raja yang tak bermahkota, yaitu para kepala kabilah (clan) dan kepala suku (tribe). Mereka memiliki kekuasaan penuh dan memiliki keistimewaan seperti raja.108 Sedang di daerah H{ija>z yang berkuasa penuh adalah Isma>'il AS dan keturunannya 'Adna>niyyu>n).109 Sementara itu penduduk Jazirah Arab yang ada di pedalaman dan jauh dari kekuasaan para Raja tersebut memiliki kebebasan penuh.110
2.d. Keadaan Politik dan Sosial Budaya
Tiga daerah yang berbatasan dengan daerah asing, masyarakatnya dalam keadaan sangat kacau. Para penguasa tidak memikirkan kesejahteraan raktaynya. Mereka hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Kedaliman terjadi di mana-mana. Mereka tidak bisa mengeluh tapi tidak mampu melawan. Penduduk terbagi menjadi dua; "tuan" dan "hamba". "tuan" -meski orang asing- selalu berlaku sewenang-wenang terhadap "hamba". Sementara itu masyarakat yang ada di pedalaman juga tidak kalah kacau. Sering terjadi pertikaian bahkan pertumpahan darah di antara mereka.111 Sikap ini nampaknya sudah mendarah daging. Dalam masyarakat yang suka berperang, nilai wanita sangat rendah.112 Akibat peperangan yang terus menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam sangat langka.113
2.e. Kepercayaan
Pada mulanya sebagian besar penduduk Jazirah Arab memenuhi seruan dakwah Nabi Isma>'il AS yang mengajak mereka untuk mengikuti agama Ayahnya, yaitu Ibra>him AS. Mereka menyembah Allah SWT dan mengesakannya. Namun dengan berjalannya waktu dan lamanya masa fatrah, mereka mulai mencampur adukkkan antara yang hak dan bathil. Maka masuklah ajaran kemusyrikan dan mereka mulai menyembah berhala. Akhirnya berkembanglah polytheisme.114
Orang yang yang pertama memperkenalkan berhala kepada bangsa Arab adalah 'Amr bin Lu'ai bin Qam'ah. Mula-mula is pergi ke Syam. Di sana dia mengetahui bahwa penduduk Syam banyak yang menyembah berhala. Merasa tertarik dengan berhala yang disembah oleh penduduk Syam, iapun minta satu berhala. Permintaan ini dipenuhi oleh penduduk Syam. Dia diberi satu berhala yang diberi nama hubal.115
Selain itu banyak pula ajaran dan kepercayaan yang menyimpang dari ajaran tauhid yang yang mula-mula mereka peluk, di antaranya adalah:
-
Keputusan ketika mereka hendak melakukan suatu kegiatan seperti bepergian, menikah atau lainnya ditentukan dengan cara undian. Apabila yang keluar "ya" maka dia akan melakukannya. Akan tetapi kalau yang keluar "tidak " maka mereka tidak akan melakukannya.
-
Mereka mempercayai apa yang dikatakan oleh para Peramal nasib dan Ahli Nujum
-
T{iyarah (menganggap akan tertimpa sial). Anggapan ini bermula ketika mereka mendatangi burung atau kijang saat akan melakukan suatu pekerjaan. Ketika burung/kijang yang didatangi lari kearah kanan berarti pertanda baik. Apabila larinya ke sebelah kiri berarti pertanda buruk.116
Meski mereka sudah banyak melakukan penyimpangan, namun sebagian ajaran Nabi Ibra>him AS masih mereka pegang teguh, dantaranya adalah:
-
Pada saat ihram mereka tidak masuk dari rumah melalui pintu belakang.
-
Mereka berkata bahwa orang yang datang dari tanah halal sebaiknya tidak makan makanan yang dibawa dari tanah halal apabila mereka datang untuk melakukan ibadah haji atau 'umrah.
-
Mereka mengaku sebagai keturunan dari Nabi Ibrahim SAW dan yang berhak atas tanah haram.117
Pada saat itu orang-orang yang memeluk agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi juga sudah ada.118
Dostları ilə paylaş: |