Program magister ilmu komunikasi pascasarjana unisba


Komunikasi Dakwah Beberapa Kelompok Umat Islam di Indonesia



Yüklə 333,96 Kb.
səhifə12/14
tarix26.07.2018
ölçüsü333,96 Kb.
#59541
1   ...   6   7   8   9   10   11   12   13   14

Komunikasi Dakwah Beberapa Kelompok Umat Islam di Indonesia

  1. Pendekatan Sosial-Budaya (Kultural)


Pendekatan kultural dalam dakwah telah dilakukan sejak lama di Indonesia. Bahkan, sejak Islam pertama kali masuk ke dalam wilayah Nusantara. Persentuhan para pedagang muslim dengan pribumi melahirkan kedekatan kultur dan dari situlah mereka melakukan pendekatan dan dakwah. Pernikahan, perdagangan, dan kesenian telah menjadi sarana dakwah Islam generasi awal di Nusantara.

Metode ini kemudian berkembang hingga ke masa Wali Songo. Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan. Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi oleh agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.



Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu pusat kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)

Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali. Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria), Ja'far Shadiq (Sunan Kudus)

Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama asli sunda, antara lain kepercayaan “Sunda Wiwitan”.89

Para Wali sendiri memiliki pendekatan yang berbeda dalam berdakwah: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.

Pendekatan Sosial-Budaya (Kultural) dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit.

Dua pendekatan itu memiliki pengaruh yang besar bagi keberlangsungan Islam di Nusantara. Walaupun harus diakui pendekatan kultural lebih diterima oleh masyarakat. Karena sebab itu pula Nahdlatul Ulama (NU) lebih memilih pendekatan kultural dengan mengadopsi beberapa budaya yang berlangsung di masyarakat lalu diubah kontenna dengan konten Islam.

Dua pendekatan itu pula pada awalnya mengalami pertentangan. Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H . Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini.90 Dimana Sunan Kalijogo, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijogo mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Sunan Ampel berpandangan lain : “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah? Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari ada yang menyempurnakannya.

NU sebagai organisasi massa terbesar di Indonesia justru mempertahankan tradisi yang ada, dengan berpedoman pada kaidah “boleh meninggalkan sunnah untuk menjaga ukhuwah”. Pedoman ini kemudian dianalogikan dan dibalik pemahamannya: “boleh melaksanakan yang makruh demi menjaga ukhuwah Islamiyah.91 Akhirnya, beberapa amalan yang telah difatwakan bid’ah dan makruh, tetap dilestarikan demi menjaga kerukunan umat Islam. Ini yang kemudian menjadi sisi negatif dari dakwah kultural. Saat Islam menerima semua budaya yang ada, maka kebudayaan justru diperlakukan sakral seperti sebuah ajaran agama. Bahkan lebih jauh, pendekatan kultural selain akan melahirkan corak Islam Tradisional, juga akan melahirkan Sinkretisme.

Dawkah kultural hari ini juga digalakan oleh beberapa kelompok Islam yang lain, seperti Komunitas Underground Tauhid, Salafi Rodja, Salafi Haraki, Hidayatullah, Muhammadiyah, Persis, dan sebagian Salafi Jihadi. Bedanya, mereka tidak begitu saja menerima budaya masyarakat. Mereka membaur tapi tidak melebur.

Komunitas Underground Tauhid berdakwah melalui musik di kalangan Underground. Mereka membuat syair-syair perlawanan yang dinyanyikan dalam setiap acara yang dilaksanakan. Para tokohnya adalah para tokoh musisi underground seperti Thufail Al-Ghifari, Grup Band Tengkorak, dan Grup Band Purgatory.

Cara dakwah tersebut menimbulkan pro kontra. Karena sebagian umat Islam meyakini keharaman alat musik, atau minimalnya makruh. Maka bagaimana mungkin berdakwah dengan menggunakan sarana yang makruh bahkan haram. Namun, para aktivis Underground Tauhid sendiri tidak banyak menanggapi kelompok yang kontra dengan mereka, karena mereka lebih fokus untuk mengarahkan para anak muda dalam komunitas underground untuk lebih mengenal Islam.

Adapun beberapa organisasi yang telah disebutkan melakukan pendekatan kultural dengan beberapa cara: menggunakan bahasa daerah dalam berdakwah, menggunakan pakaian yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat, hingga ikut dalam beberapa acara kebudayaan yang dinilai tidak bertentangan dengan syari’at. Cara ini dinilai efektif dalam menarik simpati masyarakat muslim dan menerima ide-ide dakwah dengan lebih mudah.



  1. Pendekatan Dakwah dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Dakwah adalah menyeru kepada kebaikan, sedangkan amar ma’ruf adalah menyuruh kepada yang baik dan nahi munkar adalah melarang dari yang munkar, dalil yang biasa digunakan oleh para aktivis dakwah adalah QS. Aali ‘Imraan, 3: 104. Di sana ada tiga kewajiban: dakwah, amar ma’ruf, dan nahi munkar.

Dakwah dan amar ma’ruf biasanya dilakukan melalui ta’lim, tabligh, dan tarbiyah (pembinaan) dalam halaqah atau usrah. Hampir seluruh organisasi Islam melakukan hal ini. Kelompok yang terlihat sangat aktif dalam tabligh adalah Jamaah Tabligh (JT). JT biasanya melakukan safari dakwah dari satu tempat ke tempat yang lain. Selain JT, komunitas Street Dakwah juga melakukannya dengan cukup intens. Mereka memberikan pelajaran Islam di jalan-jalan kepada orang yang sedang berlalu lalang, tukang ojek, tukang becak, para sopir, dan sebagainya.

Adapun tarbiyah dilakukan biasanya oleh para revivalis. Contohnya PKS, Salafi Haraki, dan Salafi Jihadi. Mereka melakukan sistem sel untuk membina sekaligus mengkoordinir anggotanya.

Sedangkan kelompok yang paling intens dalam melakukan nahi munkar adalah Front Pembela Islam (FPI). Bersama beberapa kelompok Salafi Haraki dan Salafi Jihadi mereka biasanya melakukan sweeping dan penutupan tempat-tempat yang dianggap menjadi pusat kemaksiatan. FPI sendiri berbasis massa NU dan JT. Mereka adalah kelompok yang melihat bahwa para penggiat dakwah dan amar ma’ruf sudah terlalu banyak, namun belum ada kelompok yang berani nahi munkar. Akhirnya, Habib Rizieq Syihab mampu mengkoordinir sebagian massa NU dan JT untuk melakukan Nahi Munkar. Sayangnya, FPI kurang intens melakukan pembinaan dan tarbiyah bagi anggotanya. Hal ini mengakibatkan beberapa anggotanya sering lost control karena mereka kurang memahami dasar dan kaidah nahi munkar yang telah digariskan para ulama.



  1. Pendekatan Politik (Struktural)


Dakwah struktural dipopulerkan oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pemikiran ini juga berkembang di Indonesia melalui Moh. Natsir dengan Masyumi-nya. Termasuk beberapa parpol Islam di Indonesia lainnya seperti PSII, PNU, dan sebagainya.

Namun tren ini meredup sejak masa Orde Baru. Pemerintah yang represif membuat gerak para aktivis dakwah struktural dibatasi. Moh. Natsir sendiri kemudian fokus pada dakwah kultural dan amar ma’ruf nahi munkar melalui DDII.

Aktivitas Dakwah Kultural kembali bangkit pasca Reformasi 1998. Beberapa tokoh Islam mendirikan partai Islam untuk mencapai ide-ide Islamis. Di antaranya PAN, PBB, dan PKS. Khusus PKS, partai ini tumbuh dan berkembang di kalangan aktivis dakwah yang mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslimin. Bahkan saat beberapa partai Islam lain telah lebih mengendorkan suaranya untuk menegakkan syari’at Islam, massa PKS tetap menyuarakan itu. Walaupun di kalangan tokoh dan pemimpinnya memang suara syari’at Islam nyaris tidak lagi terdengar.

Aktivitas dakwah struktural identik dengan politik praktis. Namun, kenyataannya tidak demikian. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) misalnya. Mereka sangat menginginkan pemerintahan yang Islami dan sering sekali melakukan aksi demonstrasi menuntut ditegakkannya syari’at Islam. Bahkan mereka juga menyatakan sebagai parpol Islam. Namun mereka menghindari politik praktis karena menurutnya bertentangan dengan Islam. Selama sistem yang menaunginya masih demokrasi, mereka tidak akan masuk ke dalamnya. Dalam pemilu mereka cenderung golput.

Begitu pun dengan Salafi Rodja dan Salafi Haraki. Walaupun basis mereka adalah pndekatan dakwah, namun mereka tetap memberikan dukungan kepada parpol Islam yang turut dalam pemilu. Bahkan, beberapa tokoh mereka terang-terangan menyebutkan salah satu parpol untuk dipilih. Begitu pun dengan pilpres yang akan digelar nanti.

  1. Pendekatan Jihad


Pendekatan Jihad diawali oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir setelah hak-hak politik mereka dirampas. Namun, IM kemudian memilih pendekatan dakwah. Para aktivis IM yang masih berpegang teguh untuk berjihad mendirikan Jamaah Islamiyah Mesir dan Jamaah Jihad Mesir. Pada masa ini, jihad masih bersifat lokal dan terpecah-pecah. Begitu pun di Indonesia yang dimotori oleh DI/TII.

Memasuki 2000-an, konsep jihad global dicanangkan oleh Usamah ibn Ladin. Hal ini membuat beberapa kelompok jihad menghentikan aktivitas kekerasan di wilayah-wilayah non konflik. Namun, sebagian aktivisnya tidak menerima keputusan ini dan justru melakukan berbagai aksi kekerasan yang ditentang oleh para tokoh Salafi Jihadi.

Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan tersebut sebagai akibat dari pemahaman yang buruk terhadap syari’at dan kondisi politik global. As-Suri menyebut mereka sebagai kelompok-kelompok menyimpang. Mereka adalah kelompok Takfiri yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Khawarij.

Adapun kelompok Salafi Jihadi, walaupun mereka masih memegang teguh pemahaman jihadnya, mereka tidak serta merta melakukan aksi-aksi kekerasan. Sebagaimana yang telah disinggung saat menjelaskan Islam Puritan, bahwa Al-Qaidah sendiri telah menetapkan batasan yang ketat agar kelompok Salafi Jihadi, khususnya yang berafiliasi dengan Al-Qaidah untuk fokus mengarahkan tenaganya dalam dakwah di wilayah-wilayah non konflik.

Sedangkan di wilayah-wilayah konflik, seperti Suriah, Afghanistan, Irak, atau Palestina, maka kelompok Salafi Jihadi tidak akan pernah mengambil jalur damai. Mereka berpendapat bahwa jihad secara syar’i bermakna perang, sebagaimana yang dijelaskan oleh Empat Imam Madzhab. Sehingga aktivitas selain perang fisik merupakan persiapan dalam menghadapi perang fisik yang sesungguhnya. Di antara kelompok Salafi Jihadi yang berada di wilayah non konflik seperti Indonesia juga sering mengirimkan beberapa anggotanya ke wilayah konflik untuk bisa mempersiapkan diri secara militer dan mental.

Mereka juga berpegang pada hadits-hadits akhir zaman yang menyebutkan bahwa umat Islam pada akhirnya harus melakukan perang fisik dengan orang-orang kafir. Keyakinan inilah yang membuat mereka selalu melakukan persiapan. Baik itu persiapan material dan non material. Salah satu persiapan mereka adalah dukungan massa, yang dengan meraihnya tentu bukan dengan jalan kekerasan, melainkan dakwah dan amar ma’ruf.



BAB VI

Yüklə 333,96 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   6   7   8   9   10   11   12   13   14




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin