Program magister ilmu komunikasi pascasarjana unisba


CORAK BERAGAMA DAN KOMUNIKASI DAKWAH UMAT ISLAM DI INDONESIA



Yüklə 333,96 Kb.
səhifə11/14
tarix26.07.2018
ölçüsü333,96 Kb.
#59541
1   ...   6   7   8   9   10   11   12   13   14

CORAK BERAGAMA DAN KOMUNIKASI DAKWAH UMAT ISLAM DI INDONESIA




  1. Corak Beragama Umat Islam di Indonesia

  1. Tradisional


Faisal Rizal (2013) menyatakan bahwa Islam Tradisional adalah Islam yang berkembang secara turun-temurun berdasarkan adat-istiadat mengikuti silsilah akar keturunan, seorang anak beragama islam karena orang tuanya beragama islam, sebuah keluarga beragama islam karena kakek-neneknya beragama islam, lingkungan islam karena masyarakatnya beragama islam, negara islam karena warganya mayoritas beragama islam.74

Abudin Nata (dalam Rif’an, 2009) mencirikan Islam Tradisional yaitu antara lain:



  1. Ekslusif.

  2. Kurang dapat membedakan antar hal-hal yang bersifat ajaran dengan yang non ajaran.

  3. Berorientasi kebelakang, bahwa berbagai keputusan hukum yang diambil oleh para ulama dimasa lampau merupakan contoh ideal yang harus diikuti dan tidak mungkin dikalahkan oleh para ulama atau sarjana yang datang belakangan.

  4. Cenderung tekstualis-literalis. Akibatnya mereka meniru segala macam yang dicontohkan Nabi dan ulama masa lampau, tidak mau menggunakan produk-produk teknologi modern.

  5. Cenderung kurang menghargai waktu, misalnya lamanya menempuh studi di pesantren yang tidak dibatasi oleh waktu.

  6. Cenderung bersifat jabariyah dan teosentris, yaitu sikap pasrah, tunduk dan patuh pada Tuhan diiringi dengan keyakinan bahwa segala sesuatu jika Tuhan mengizinkan akan terjadi.

  7. Kurang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

  8. Jumudatau statis, yaitu cenderung tidak mau mengikuti perubahan, tidak mempertanyakan secara kritis apakah yang dipertahankan sudah mampu bersaing dengan kekuatan yang lain.

Ali Rif’an dalam makalahnya mengkaji Nahdlatul Ulama (NU) dan Jama’ah Tabligh (JT) sebagai dua contoh kelompok Islam Tradisional di Indonesia. NU dimasukan ke dalam kelompok Islam Tradisional karena ajaran keagamaan NU tidak membunuh tradisi masyarakat, bahkan tetap memeliharanya, yang dalam bentuknya yang sekarang merupakan asimilasi antara ajaran Islam dan budaya setempat. Selain itu, bagi warga Nahdliyin, ulama merupakan maqam tertinggi karena diyakini sebagai waratsatul anbiya’ (pewaris para Nabi). Ulama tidak saja sebagai panutan bagi masyarakat dalam hal kehidupan keagamaan, tetapi juga diikuti tindak tanduk keduniannya. Untuk sampai ke tingkat itu, selain menguasai kitab-kitab salaf, Al-Quran dan Al-Hadits, harus ada pengakuan dari masyarakat secara luas. Ulama dengan kedudukan seperti itu (waratsatul anbiya’) dipandang bisa mendatangkan barakah. Kedudukan yang demikian tingginya ditandai dengan kepatuhan dan penghormatan anggota masyarakat kepada para kiai NU.75

Apa yang disampaikan Rif’an memang tidak menyimpang dari realita, bahkan NU merupakan contoh konkrit penganut corak Islam Tradisional di Indonesia. Kita lihat bagaimana Islam sudah men-tradisi dan menjadi budaya yang menyatu dalam diri masyarakatnya. Walaupun corak ini memang cenderung eksklusif dan statis, namun paham inilah yang justru sanggup membuat beberapa kelompok orang-orang pedalaman yang jauh dari pesisir dapat menerima Islam. Hal tersebut disebabkan adanya kesamaan antara ajaran Islam Tradisional yang dibawa para sufi dengan sebagian ajaran Hindu-Budha. Corak itulah yang kemudian dipertahankan oleh para Kiai NU hingga kini.

Sedangkan JT dimasukan ke dalam kelompok Islam Tradisional karena pemahaman mereka yang harus menyesuaikan diri dengan kehidupan Nabi dan para Sahabat. Di sisi lain, sama dengan NU, JT menganggap bahwa para guru mereka (para Syaikh) menempati kedudukan yang sangat mulia. Hal ini menyebabkan setiap nasihat dan untaian kata yang keluar dari lisan para Syaikh menjadi fatwa yang harus diikuti dan dijalankan.

Selain itu, mereka juga sangat kental dengan tarekat-tarekat sufi yang membuat mereka lebih memilih aktivitas ibadah dibandingkan aktivitas dunia. Bahkan, mereka tidak segan-segan untuk melakukan perjalanan dakwah dan meninggalkan –sementara- aktivitas keseharian mereka.

Dari sini kita juga bisa menarik kesimpulan bahwa di balik NU dan JT, paham yang mendorong keduanya untuk mengarahkan pada corak Islam Tradisional adalah paham sufi. Paham sufi sendiri sebagaimana telah dijelaskan merupakan “kerahiban” bagi umat Islam. Corak Islam Tradisional memang paling tepat diarahkan kepada para penganut sufi. Hal ini juga dibuktikan dengan munculnya para tokoh modernis di kalangan Nahdliyin dan juga Tablighi yang tidak terlalu terpengaruh dengan ajaran-ajaran tarekat sufiyah.

Dengan kata lain, dalam kelompok Islam Tradisional sendiri masih terbagi-bagi lagi ke dalam sub yang lebih kecil lagi. Ada di antara mereka yang ekstrem seperti kaum sufi ekstrem dan ada di antara mereka yang lebih sedikit membuka diri. Di antara contoh pemahaman kaum Islam Tradisional ekstrem adalah mereka mengharamkan sekola-sekolah umum, TV, pengeras suara, pakaian-pakaian yang mengikuti perkembangan zaman, seperti jas, celana, dan semisalnya.



  1. Modern


Umat Islam Modern adalah lawan atau kebalikan dari Islam Tradisional. Kelompok ini lebih cenderung terbuka dan mengikuti perkembangan zaman. Baik dari sisi pemikiran maupun persentuhan mereka dengan kebudayaan, mereka tidak termasuk orang-orang yang jumud (statis). Corak modernisme dalam kehidupan umat Islam di Indonesia sangat dipengaruhi gerakan revivalismme Islam pada abad ke 19.

Munculnya tokoh-tokoh Pan Islamisme seperti Jamaludin Al-Afghani, yang dibarengi dengan beberapa tokoh yang menginginkan cakrawala umat Islam lebih terbuka, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha banyak memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh nasional.

Kata modern dekat dengan katapembaruan atau tajdid dalam bahasa Arab. Dalam masyarakat Barat modernisasimengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham,adat-istiadat, dan institusi-institusi lama untuk disesuaikan dengan suasana baru yangditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Nasution, 1975: 9).

Gagasan-gagasan pembaruan yang muncul mulai abad ke-19 itu terusberkembang dan mengantarkan kondisi awal abad ke-20 yang dapat dikatakansebagai kesadaran mewujudkan pemikiran-pemikiran yang masih abstrak ke dalambentuk usaha yang konkret. Penyebaran pemikiran dan gagasan baru ini pun sampaike Indonesia. Aktivitas Haji, forum ilmiah, dan surat kabar menjadi perantara yangGagasan-gagasan pembaruan yang muncul mulai abad ke-19 itu terusberkembang dan mengantarkan kondisi awal abad ke-20 yang dapat dikatakansebagai kesadaran mewujudkan pemikiran-pemikiran yang masih abstrak ke dalambentuk usaha yang konkret. Penyebaran pemikiran dan gagasan baru ini pun sampaike Indonesia. Aktivitas Haji, forum ilmiah, dan surat kabar menjadi perantara yangmembawa gagasan tersebut.(Van Bruinessen, 1990: 47).

Dalamkonteks Islam, modernisasi adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukanre-interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah keislamanyang dilakukan oleh pemikir terdahulu untuk disesuaikan denganperkembangan zaman. Artinya, pembaharuan dalam Islam masih menyandarkan pendapat-pendapatnya dari Al-Quran dan Al-Hadits, bukan kemudan merevisi Al-Quran dan Al-Hadits itu sendiri.Islam modernis memiliki pemikiran yangdinamis, progressif dan mengalami penyesuaian dengan ilmu pengetahuan.

Islam modernis timbul di periode sejarah Islam yang disebut modern danmempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. Gerakan Islammodernis timbul dalam rangka menyesuaikan paham-paham keagamaan Islamdengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan.Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharapkan akan dapatmelepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepadakemajuan (Nasution, 1975: 10).

Gerakan Islam modern di Indonesia muncul pada awal abad kedua puluh.Pada tahun 1906 kelompok muda di wilayah Sumatera Barat yang dipelopori olehHaji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, dan Syaikh Daud Rasyidimelakukan protes terhadap struktur kekuasaan adat yang tidak memberikan ruangbagi mereka untuk bergerak. Kelompok yang terdiri dari ulama dan cendekiawan inibermaksud untuk merubah beberapa hal pada ketentuan adat yang tidak sesuai dengansyariat Islam yang mereka pahami. Minangkabau adalah daerah yang mempunyaiperanan penting dalam penyebaran cita-cita pembaruan ke daerah-daerah lain. Didaerah inilah pertama kali muncul tanda-tanda pembaruan (Deliar Noer, 1982: 37).

Berbeda dengankelompok tradisi pada saat itu, golongan pembaru beranggapan bahwa pembaruanIslam ialah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yangdapat mengatasi ruang dan waktu. Golongan pembaru berusaha untukmengembalikan ajaran dasar dengan menghilangkan segala macam tambahan yangdatang kemudian dalam agama (Kemala, 2008: 61).

Kemala juga melanjutkan bahwa Sejak kemunculan kelompok ini, pembicaraan mengenai Islam tidak hanya dipesantren, langgar, dan masjid, melainkan dibawa ke tengah-tengah masyarakatsecara terbuka melalui surat kabar, majalah, serta tabligh di gedung-gedung besar.Islam pun mulai masuk ke pelajaran di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintahBelanda. Melalui organisasi kalangan modern ini Islam menjadi kekuatan sosial yangterorganisir dan bergerak pada tingkat nasional.Beberapa organisasi Islam Modern di Indonesia di antaranya adalah Persis, Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan menyusul kemudian Hidayatullah.

Persis berusaha mengamalkan ajaran Islam dalam segala segi kehidupan danbertujuan menempatkan kaum muslimin pada ajaran akidah dan syariah yang murni berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.Sebagai salah satu organisasi yang mengusung modernisasi dalam pemikiranIslam, Persis memiliki fokus gerakan dalam bidang pendidikan, dakwah, dankemasyarakatan. Ketua umum Persis 1983-1997 A.Latief Muchtar (1998)mengatakanbahwa dalam pembaruan pemikiran Islam harus dibangun diatas hal-hal berikut:



  1. Pembaruan pemikiran merupakan upaya untuk memahami Islam dari kedua sumbernya, Al-Quran dan As-Sunnah, tanpa harus apriori pada khazanahsosial-budaya lokal.

  2. Pembaruan pemikiran dimaksudkan untuk mengaplikasikan ajaran Islamdalam kehidupan masyarakat tanpa mengabaikan realitas sosial-budaya yangada.

  3. Pembaruan pemikiran diarahkan untuk membangun satu peradaban baru yangditegakkan atas dasar sintesis nilai ideal Islam dan nilai-nilai sosial budaya lokal tanpa mengorbankan As-Sunnah yang sudah jelas.

Ciri-ciri gerakan modernis yang muncul pada organisasi Persis adalah idenya mengenai pembaruan pemikiran Islam danmensejahterakan umat melalui konsep baru berdasarkan pembaruan tersebut. Padagerakan modern, ijtihad mudah dilakukan selama tidak melanggar Al-Quran dan As-Sunnah dan bertujuan untuk mensejahterakan umat (Kemala, 2008: 68).

Sedangkan Muhamamadiyah, pada saat pembentukannya memilikiciri yang khas, yakni kaidah-kaidahnya yang mengikuti organisasi modern.Kegiatan Muhammadiyah tidak semata tumbuh dari buah pemikiran pemimpinnya saja. Pengaruh-pengaruh luar juga masuk dalam struktur Muhammadiyah sepertipembentukan Kepanduan yang disebut dengan Hizbul Wathan dan Aisiah. Pengaruhluar yang masuk ke pulau Jawa dianggap sebagai tantangan sekaligus contoh bagipemimpin-pemimpin Muslim tersebut. Pada saat itu banyak misionaris kristen yangmemasuki wilayah Jawa, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para misionarisinilah yang banyak dicontoh oeh Muhammadiyah (Noer, 1982: 91).

Deliar Noer (1982: 91) juga menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam modernis yang mengusungpembaruan dan peningkatan kesejateraan umat Islam melalui pendidikan dankesehatan. Muhammadiyah menginginkan agar umat Islam kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah secara murni tanpa terkontaminasi hal-hal yang bersifat tradisi yangbertentangan dengan ajaran Islam.

Sebagai organisasi yang mengusung pembaruan dalam Islam, Muhammadiyahadalah salah satu gerakan Islam modern yang berkembang hingga saat ini. Dalamperjalanannya, Muhammadiyah memperluas geraknya dalam bidang politik, namuntetap memegang prinsip gerakannya yang berada pada jalur mengupayakankesejahteraan masyarakat Islam. Muhammadiyah adalah salah satu contoh gerakanmodern yang membuka dirinya terhadap perubahan dan berdinamisasi dengan kondisimasyarakat Islam sejak ide awal pembentukannya (Kemala, 2008: 63).

DDII yang merupakan buah dari qaul jadiid Moh. Natsir banyak berkiprah di dunia pendidikan dan dakwah. Setelah menyadari kesulitannya memperjuangkan nilai-nilai Islam melalui sistem pemerintahan, maka Natsir kemudian berusaha mengembangkan ide-idenya melalui DDII. Corak pemikiran Natsir lebih terbuka dibandingkan dengan para tokoh Muhammadiyah dan Persis. Walaupun Natsir sendiri tercatat sebagai anggota Persis, namun DDII memiliki kekhasan, yakni warna transnasional yang cukup kental. Pemikiran para tokoh revivalis seperti Hasan Al-Banna, Sayid Qutb, dan Abul A’la Al-Maududi lebih kental mewarnai DDII. Hal ini pula yang kemudian menjadi jembatan masuknya Ikhwanul Muslimin ke Indonesia.

Adapun Hidayatullah, salah satu kesuksesan terbesarnya adalah program dakwah pedalaman. Setiap tahun para da’i Hidayatullah yang bekerjasama dengan beberapa ormas Islam, termasuk juga DDII –melalui STID Moh. Natsir- selalu dikirimkan ke pelosok-pelosok Nusantara dan wilayah perbatasan. Bila selama ini para modernis banyak bergerak di wilayah perkotaan, maka Hidayatullah berusaha menyebarkan ide dan gagasannya dari Sabang sampai Merauke. Beberapa kisah keberhasilan para da’i Hidayatullah dapat menjadi sumber inspirasi bagi aktivis dakwah yang cukup konsen dalam menjalankan aktivitas dakwahnya.

Beberapa partai politik Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB), juga dapat digolongkan ke dalam Islam Modern. Mereka tidak sekedar berpikir bahwa Islam adalah hanya mengatur urusan ibadah ritual semata. Lebih dari itu, bahwa Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun bila kita telisik lebih jauh lagi, PKS yang merupakan “kepanjangan tangan” Ikhwanul Muslimin juga terlihat warna puritannya.

  1. Puritan


Ading Khawalid (2010) mengatakan bahwa secara etimologis “puritan” berasal dari bahasa Yunani “pure” yang berarti murni.Sedangkan Puritanisme menurut istilah memiliki dua dimensi artian yaitu di lapangan pemikiran dan kepercayaan. Puritanisme di lapangan pemikiran. Misalnya dilapangan ilmu pengetahuan berupa tidak mau menggunakan kata atau ejaan yang mirip dengan perkataan atau ejaan bangsa asing. Dalam lapangan kepercayaan, merupakaan sikap untuk hanya berpegang kepada ajaran yang termuat dalam suatu kitab suci sesuai dengan arti kata. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa puritanisme adalah sebugai gerakan purifikasiatau pemurnian.

Istilah puritan dalam kamus Oxford (2005: 1225) diartikan sekelompok KristenProtestan di Inggris pada abad ke-16 dan ke-17 yang ingin beribadah kepadaTuhan dengan suatu cara yang sederhana. Seorang puritan adalah orang yangmemiliki sikap moral yang sangat patuh dan memikirkan bahwa kesenanganadalah jelek.Kata “puritan” pada awalnya juga merupakan sebuah istilahalternatif “Cathar” dan merupakan sebuah istilah ketidaksetujuan (pejorative)yang digunakan untuk mencirikannya sebagai ekstremis yang sama denganCathari di Perancis. Orang-orang puritan kadang-kadang bekerja sama dengan orang-orang Presbyteria, yang mengembangkan sejumlah usulan untuk “reformasiyang lebih jauh” untuk menjaga gereja Inggris lebih dekat seperti gereja-gerejayang telah direformasi di benua itu.76

Sejarah Islam puritan lebih tepatnya dikatakan dari kaum Wahhabi (Irawan, 2009: 1), dimana dasar-dasar teologi Wahhabi dibangun oleh Muhammad ibn Abd Al-Wahhab yang dikenal sangat fanatik pada abad ke-18. Perlu dipahami bahwa Islam puritan sangat menentang modernitas yang bercorak Barat. Menurut mereka umat muslim wajib kembali kepada Islam yang dipandang murni, sederhana, dan lurus. Paham ini kemudian dilanjutkan oleh gerakan neo-Wahhabi yang lebih dikenal dengan istilah Gerakan Salafiyyah.

Sebagai gerakan dakwah pewaris tradisi wahabiyah, gerakandakwah salafi dikenal sebagai sebuah gerakan dakwah dengan ideology teologi puritan radikal.Ajakan untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi merupakan agenda utama dari dakwahpuritan ini. Selain dikenal sebagai kumpulan muslim puritan radikal, gerakan salafi juga dikenalsebagai gerakan dakwah anti hizbiyyah,77 gerakan yang tidak melibatkan diri dalam wilayah politikpraktis (Wiktorowicz dalam Ahmad Bunyan Wahib, 2011: 1).

Istilah salafi sendiri berasal dari kata “salaf” yang artinya adalah “orang-orang terdahulu”. Maksudnya adalah “para ulama terdahulu dari kalangan para sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in” yang dikenal dengan para salafush shalih (orang-orang terdahulu yang salih). Istilah “salafi” bermakna para pengikut ulama terdahulu dari kalangan para sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dalam memahami dan mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Khususnya yang berkaitan dengan syari’at dan ibadah ritual.

Istilah “salafi” sendiri sudah berkembang sejak abad pertengahan. Para ulama abad pertengahan biasa menggunakan istilah “salaf” untuk menyebutkan para ulama yang hidup hingga kurun tabi’ut tabi’in. Yakni sekitar abad ke 3 Hijriyah. Dikatakan tokoh ulama salaf generasi terakhir adalah Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal. Para ulama kontemporer kemudian memberikan istilah “khalaf” (yang kemudian) bagi para ulama yang hidup setelah kurun Ahmad ibn Hanbal.

Ibn Hajar (dalam Fadly, 2007) mengatakan bahwa Ali Ibn Syuqaiq mendengar Ibn Mubarak berkata ‘Aku tidak mengambil Hadits dari Amru Ibn Tsabit karena dia tidak setuju dengan beberapa salaf’. Juga diriwayatkan oleh Rasyid Ibn Sa’ad dalam bab menaiki kuda liar; salaf dahulu menyukai mengendarai kuda liar betina.78

Istilah salaf kemudian dipopulerkan oleh Ibn Taymiyah dan diteruskan oleh beberapa muridnya, seperti Ibn Qayim Al-Jawziyyah, Adz-Dzahabi, dan Ibn Katsir. Bahkan, Ibn Katsir dalam pembukaan kitab tafsirnya mengatakan bahwa Al-Quran tidak ditafsirkan kecuali dengan empat hal: dengan Al-Quran, dengan Al-Hadits, dengan fatwa para sahabat Nabi, dan dengan fatwa para Tabi’in. Menurutnya, ini adalah kesepakatan para ulama salaf dan khalaf.79

Pada masa Muhammad ibn Abdul Wahab, istilah salaf kembali dipopulerkan. Namun, karena seruan Muhammad ibn Abdul Wahab kurang mendapatkan simpati, orang-ornag yang menentangnya lebih suka menyebut para pengikut Muhammad ibn Abdul Wahab sebagai Wahhabi.

Mereka berpendapat bahwa istilah “salaf” yang didengungkan oleh para pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab hanya merupakan tipuan yang dihembuskan agar umat mau mengikuti ajakan mereka. Wazir Ali, tokoh NU sekaligus pemegang teguh madzhab Asy’ariyah di Indonesia mengatakan bahwa penggunaan sebutan Salafi yang digunakan oleh pengikut Wahhabi, bukanlah sesuatu yang tidak disengaja. Tetapi digunakan untuk mengelabuhi, agar seolah-olah mereka menjadi bagian dari ajaran Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja) sehingga mereka bisa masuk dengan mudah ke dalam kantong-kantong pengikut ajaran Aswaja yang menjadi mayoritas di dunia, khususnya di Indonesia.80

Istilah “salafi” memang menjadi rebutan di kalangan kaum muslimin. Karena hakikatnya, para ulama setelah abad III pun sepakat bahwa pemahaman keislaman harus dikembalikan kepada ulama salaf. Karenanya, beberapa kelompok mengklaim dirinya sebagai salafi dan menuduh yang lainnya bukan.

Penggunaan istilah salafi kemudian kembali mencuat pada kurun 1980-1990-an. Para ulama Wahhabi yang jarang menggunakan istilah salafi dikejutkan oleh beberapa orang yang memiliki banyak pengikut yang menyatakan wajibnya –atau minimal sunnah- menggunakan istilah salafi. Para tokoh tersebut di antaranya Ali Hasan Al-Halabi, Rabi ibn Hadi Al-Madkhali, dan Yahya ibnAli Al-Hajuri. Akhirnya, istilah salafi lebih condong digunakan untuk menyebut para pengikut dari ketiga tokoh tersebut.

Amstrong dalam Irawan (2009: 6) menyatakan bahwa kelompok puritan secara sadar ataupun tidak telah menyebarkan kebengisan, kepicikan, intoleransi, danserangan kepada orang-orang yang berbeda paham atas nama Tuhan, sejatinyamereka memproyeksikan ketakutan dan kebencian mereka pada sebuah ketuhananyang mereka ciptakan atas dasar citra dan kemiripan dengan mereka sendiri, dandengan demikian melekatkan kebencian itu sebagai cap persetujuan mutlak.Namun, Peneliti tidak ingin terjebak pada generalisasi yang dilakukan oleh Amstrong.

Kenyataannya, walaupun memang ada sebagian kaum puritan yang cenderung melakukan aksi-aksi kekerasan, ada juga di antara mereka yang melakukan aksi-aksi yang justru menjauhi kekerasan. Karenanya, Peneliti membagi kaum puritan ini ke dalam beberapa kelompok:



  1. Puritan Ekstrem, yakni mereka yang tegas dan keras menolak segala hal baru yang dianggap bukan bagian dari agama. Sikap mereka cenderung diikuti dengan gaya dakwah yang frontal dan mendukung aksi kekerasan. Pemikiran kelompok inilah yang melahirkan kelompok-kelompok terorisme dan takfiri. Termasuk dalam kelompok ini juga Salafi Madkhali dan Salafi Hajuri. Mereka terkenal keras dalam menyikapi hal-hal yang tidak sepemahaman. Bedanya dengan kelompok takfiri, kelompok ini tidak mencari jalan kekerasan dalam mencapai tujuannya dan cenderung apolitis.

  2. Puritan Moderat, yakni mereka yang melakukan purifikasi ajaran agama dan tegas dalam menolak hal-hal baru, namun lebih fleksibel dibandingkan yang pertama. Bahkan, mereka pun mulai untuk masuk ke dalam kelompok Tradisional dan Modern untuk menyebarkan ide dan gagasannya. Kelompok seperti ini di antaranya Salafi Haraki dan Salafi Rodja. Termasuk di dalamnya gerakan neo-Wahhabi yang digagas para ulama Hanabilah di Arab Saudi.

  3. Puritan Revivalis, yakni kelompok puritan yang sangat politis. Mereka berkeinginan untuk mengembalikan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di antara kelompok ini adalah Ikhwanul Muslimin, Salafi Jihadi, dan Hizbut Tahrir. Walaupun ketiga kelompok tersebut juga masih dapat dipisahkan lagi. Ketiganya memiliki corak puritanisme dalam permasalahan isu politik. Pemahaman mereka sama: bahwa kekuasaan tertinggi ada pada Allah semata. Namun, Salafi Jihadi sangat bercorak puritan dari sisi akidah, fikih, hingga budaya kesehariannya. Sedangkan Ikhwanul Muslimin puritan dalam akidah dan moderat dalam amal ibadah (fikih). Adapun Hizbut Tahrir justru cenderung Modern-Liberal dalam permasalahan akidah dan fikih.

Peneliti tidak memasukan Salafi Jihadi, termasuk Al-Qaidah dan organisasi-organisasi semisalnya ke dalam Puritan Ekstrem. Karena Al-Qaidah sendiri memiliki pandangan yang berbeda dengan beberapa kelompok ekstrem, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Mush’ab As-Suri (2009). Apalagi, bila kita melihat beberapa dokumen resmi Al-Qaidah, yang bocor setelah penyerangan Amerika ke Abottabad yang menyebabkan kematian Usamah ibn Ladin.

Dokumen yang kemudian dikenal dengan nama Letter from Abottabad itu memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai kekhawatiran Usamah ibn Ladin mengenai beberapa kelompok ekstrem yang selalu mengatasnamakan Al-Qaidah dalam aksi-aksinya. Padahal, Usamah sendiri telah memberikan peringatan melalui beberapa tokohnya untuk kembali memperhatikan berbagai aksi yang membahayakan kaum muslimin. Athiyatullah Al-Libiy, salah satu tokoh Al-Qaidah merekam sebuah video yang bertajuk “Kewajiban Menjaga Kehormatan dan Darah Kaum Muslimin.”81 Secara garis besar, video itu menyeru agar para aktivis jihad untuk tidak melakukan berbagai aksi kekerasan di wilayah-wilayah non konflik serta berhati-hati untuk melakukan aksi-aksi jihad. Menurut Al-Libiy, lebih baik Al-Qaidah hancur daripada harus menumpahkan darah seorang muslim tanpa hak.

Dalam permasalahan takfir atau memvonis kafir-murtad terhadap orang yang mengaku muslim, Al-Qaidah juga berulangkali memberikan peringatan agar tidak bermudah-mudah dalam memvonis. Abu Yahya Al-Libiy, salah seorang ideolog Al-Qaidah menulis kitab Nazharat fi Al-Ijma’ Al-Qath’i, yang membantah pemikiran Abdul Qadir Abdul Aziz (Dr. Fadl), seorang tokoh Jama’ah Jihad di Mesir, yang dinilai ghulluw (ekstrem) dalam masalah menjatuhkan vonis murtad-kafir.

Ideolog Salafi Jihadi yang lain, Abu Qatadah Al-Falasthiniy juga menulis kitab Ju’natul Muthiibiin yang membantah pemikiran-pemikiran takfiri. Sedangkan Abu Muhammad Al-Maqdisi menulis kitab yang berisi kaidah-kaidah yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan vonis kafir. Karena menurut beliau, permasalahan vonis kafir (takfir) adalah permasalahan yang besar dan berat yang tidak bisa dilakukan serampangan begitu saja.82

Lebih jauh, Ayman Al-Zhawahiriy, pengganti Usamah ibn Ladin, pada akhir 2013 merilis sebuah himbauan yang bertajuk Petunjuk Umum Pelaksanaan Jihad. Himbauan tersebut berisi hal-hal yang harus diperhatikan oleh kalangan Jihadi, khususnya mereka yang berafiliasi kepada Al-Qaidah. Di antaranya ia menyatakan dalam poin ke 3:

Tidak melakukan konfrontasi fisik dengan pemerintah kecuali terpaksa, seperti misalkan pemerintah setempat merupakan representasi dari kepentingan Amerika, sebagaimana yang terjadi di Afghanistan, atau mereka memang mewakili Amerika dalam memerangi mujahidin sebagaimana yang terjadi di Somalia dan Jazirah Arab, atau mereka menolak keberadaan mujahidin sebagaimana yang terjadi di Maroko, Syam, dan Irak.

Akan tetapi kalau bisa hendaknya menghindari konfrontasi langsung dengan mereka sebisa mungkin, kalau seandainya keadaan memaksa maka kita harus tunjukkan bahwa peperangan yang kita lakukan adalah salah satu bagian dari pembelaan kita terhadap umat islam dalam menghadang penjajah salibis.83
Juga pernyataan Al-Zhawahiri dalam poin ke 4:

Tidak melakukan peperangan dengan kelompok-kelompok sesat semisal Rafidhah, Ismailiyah, Ahmadiyah, dan Sufi selama mereka tidak memerangi Ahlussunnah. Apabila mereka memerangi Ahlussunnah, maka yang perlawanan hendaknya hanya ditujukan kepada pihak yang terlibat saja, serta memberikan penjelasan bahwa kita sekedar membela diri. Dan sebisa mungkin menghindari anggota kelompok yang tidak terlibat dalam konfrontasi, dibarengi dengan membongkar kebatilan dan penyelewengan mereka dalam bidang akidah dan akhlak.

Bahkan Al-Zhawahiri melanjutkan dalam poin ke 5-10:


  1. Menghindari konflik dengan penganut agama Kristen, Sikh, dan Hindu yang berada di negara kaum muslimin, kalau mereka melakukan tindak kekerasan maka cukup dilawan seperlunya saja, dengan disertai penjelasan bahwa kita tidak ingin memulai konflik dengan mereka, sebab kita sedang sibuk melawan biang kekafiran internasional, selain itu kita sangat menginginkan hidup berdampingan dengan mereka dengan damai, tentram, dan penuh toleransi jika kelak berdiri Negara Islam sebentar lagi, insyaallah.

  2. Lebih luas lagi, hendaknya menghindari peperangan, konflik, atau serangan terhadap siapapun yang tidak menodongkan senjata kepada kita atau menjadi pendukungnya, serta fokus dalam melawan asosiasi salibis internasional yang secara otomatis juga kepada agen-agen mereka di sana.

  3. Menghindari pembunuhan dan perang saudara, bahkan sekalipun mereka adalah saudara dari orang yang memerangi kita sekalipun kalau memang bisa.

  4. Menghindari dari melukai umat Islam dengan bom bunuh diri, pembunuhan, penculikan, merusak harta, atau aset-aset mereka.

  5. Tidak menargetkan musuh yang berada di tempat-tempat umum semisal masjid, pasar, atau gedung-gedung pertemuan yang menjadi tempat tumpah ruang antara muslim dengan nonmuslim, atau siapa saja yang tidak memerangi kita.

  6. Berusaha sebisa mungkin untuk menghormati para ulama, dan membela kehormatan mereka, sebab mereka adalah pewaris nabi dan pemimpin umat, hal tersebut semakin wajib apabila ulama tersebut secara terang-terangan menyuarakan kebenaran dan rela berkorban demi kebenaran, perlawanan kita terhadap para ulama jahat (su’) cukup hanya dengan menampilkan kebatilan mereka saja, dan menyebarluaskan berbagai dalil yang meyakinkan kepada para pengikut mereka, dan jangan sampai di perangi atau di bunuh kecuali jika mereka terlibat dalam aktivitas memerangi umat islam dan para mujahidin.84

Apa yang dipaparkan Al-Zhawahiri tersebut memberikan penjelasan kepada kita bahwa terdapat perbedaan yang fundamental antara Salafi Jihad dengan aliran-aliran menyimpang dari kalangan Takfiri. Di antaranya adalah permasalahan menjatuhkan vonis murtad-kafir, permasalahan aksi-aksi jihad, dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan kondisi politik global.

Dalam hal ini, ISIS dapat mewakili gerakan Takfiri. Mereka bahkan menyatakan Al-Qaidah telah menyimpang dan terlalu lunak. Maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Salafi Jihadi dan kelompok Takfiri tidak berada pada wadah yang sama.



  1. Liberal


Al-Jawi (2009) menyatakan bahwa pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti "bebas dari batasan" (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.85

Liberalisme adalah gerakan politik mencakup pandangan kuno dan modern yang menjamin kebebasan individual dan kepemilikan privat sebagai tujuan dari pemerintahan. Cirinya melindungi hak untuk bertentangan dari dalil/pengajaran agama atau menetapkan kewenangan dalam masalah politik atau agama. Dalam pembahasan ini, liberalisme terkadang kontras dengan konservatisme. Karena liberalisme memfokuskan kepada kemampuan individual dalam membentuk struktur masyarakat, maka hampir selalu bertentangan dengan totaliterisme dan ideologi kolektif (sosialis), khususnya komunisme.86

Husaini dan Hidayat (2006:1-2) menyatakan bahwa ngkapan "Islam liberal" (liberal Islam) mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalamperistilahan (a contradictio m terms). 'Islam' itu sendiri, secara lughawi, bermakna "pasrah", tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi, di samping Islam tunduk kepada Allah, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadahan kepada manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan, Islam itu "bebas" dan "tidak bebas". Konsep yang akan sulit ditemukan titik temunya dengan Liberalisme.

Kemunculan istilah Islam Liberal ini, menurut Luthfie (dalam Husaini dan Hidayat, 2006: 2-3), mulai dipopulerkan tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesat -terutama di Indonesia-tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan "utama" komunitas atau Jaringan Islam Liberal (JIL), Nurcholish Madjid. Meski Nurcholish sendiri mengakutidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam Liberal.Selanjutnya Luthfie menjelaskan tentang agenda-agenda Islam Liberal. Menurutnya, paling tidak, ada empat agenda utama yang menjadi payung bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaru dan intelektual muslim selama ini. Yakni, agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi.

Agenda-agenda tersebut kemudian dikaji dan dibuat selaras dengan ajaran Islam. Yakni ajaran Islam yang mereka pahami sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Inilah perbedaan antara Islam Modernis dengan Islam Liberal. Bila Islam Modernis menggunakan sarana dan pra sarana yang ada untuk mengkaji Islam lebih jauh dan mengamalkannya secara utuh, Islam Liberal justru menggunakan sarana dan pra sarana yang ada untuk “menggugat Islam”, dalam hal ini mengatasnamakan “kontekstual Al-Quran dan Al-Hadits”. Walaupun kenyataannya mereka justru lebih banyak menentangnya dibandingkan menafsirkannya.

Misalnya permasalahan kerudung dan jilbab. Dalam Al-Quran, wanita muslimah memiliki kewajiban mengenakan kerudung yang menjulur hingga dada serta menundukkan pandangan (QS. An-Nuur, 24: 30-31). Juga mengenakan pakaian luar (jilbab) yang diulurkan ke seluruh tubuh mereka (QS. Al-Ahzaab, 36: 56). Para pemikir liberal kemudian menyatakan bahwa kerudung dan jilbab adalah produk budaya bukan syari’at. Bahkan kemudian mereka menyatakan yang dimaksud menutup aurat dan berjilbab kembali kepada makna ‘urf (adat istiadat setempat). Akhirnya, menurut pandangan mereka, mengenakan pakaian biasa tanpa kerudung dan jilbab sudah menutup aurat bila adat istiadat pada tempat tersebut menganggap semua itu masih santun.

Contoh lainnya adalah permasalahan harta waris. Saat Al-Quran menegaskan pembagian waris adalah satu bagian bagi dua bagian bagi anak laki-laki dan satu bagian bagi anak perempuan, maka kaum Liberal menafsirkannya secara sosio-historis dengan menggunakan pendekatan hermeunetika. Akhirnya mereka berkesimpulan bahwa pembagian harta waris sesuai dengan kondisi anak-anak yang ada.

Beberapa pendapat mereka dalam “menafsirkan” syari’at yang dinilai terlalu bebas, membuat MUI bersuara. Melalui penjelasan dari Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan MUI menyatakan bahwa Sepilis (Sekularis, Pluralis, dan Liberalis) merupakan paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.87 Di antara penjelasan mengapa MUI mengeluarkan fatwa tentang Sepilis adalah: Poin ke-2. Sekularisme dan Liberalisme Agama yang telah membelokkanajaran Islam sedemikian rupa telah menimbulkan keraguan umatterhadap akidah dan sya’riat Islam; seperti pemikiran tentangrelativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukumAllah (sya’riat) serta menggantikannya dengan hukum-hukumhasil pemikiran akal semata. Penafsiran agama secara bebasdan tanpa kaidah penuntun ini telah melahirkan pula fahamIbahiyah (menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan denganetika dan agama serta dampak lainnya. Berdasarkan realitas ini,MUI memandang perlu bersikap tegas terhadap berkembangnyapemikiran sekuler dan liberal di Indonesia. Untuk itu, MUImengeluarkan fatwa tentang sekularisme dan liberalisme agama.

Relativisme agama yang dimaksudkan MUI adalah menganggap semua agama benar. Padahal, dalam Al-Quran dijelaskan bahwa satu-satunya agama yang diridhai Allah hanyalah Islam. Ini seharusnya menjadi salah satu keyakinan yang tidak tergoyahkan bagi seorang muslim. Paham ibahiyah yang disebabkan metode penafsiran agama dengan bebas memang akan selalu cenderung disesuaikan dengan hawa nafsu. Bila manusia berhak menafsirkan agamanya sesuai dengan kehendaknya, maka jelas tidak ada rambu-rambu lagi yang bisa mengatur kehidupan umat beragama.

Para pemikir Liberal hari ini bernaung di bawah Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Foundation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web, alamatnya www.islamlib.com.88 Beberapa tokoh Islam Liberal yang kini aktif memberikan gagasan dan ide liberal di antaranya: Ulil Absar Abdalla, M.Lufthi Asy-Saukani, Siti Musdah Mulia, Sumanto Al-Qurthuby, dan Zuhairi Misrawi.




  1. Yüklə 333,96 Kb.

    Dostları ilə paylaş:
1   ...   6   7   8   9   10   11   12   13   14




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin