Bab IV hasil penelitian



Yüklə 457,08 Kb.
səhifə8/8
tarix08.01.2019
ölçüsü457,08 Kb.
#91828
1   2   3   4   5   6   7   8

Proses Produksi

Produksi teks berhubungan dengan bagaimana pola dan rutinitas pembentukan berita di meja redaksi. Produksi tersebut meliputi praktik kerja atau rutinitas kerja, dari pencarian bertia, penulisa, editing sampai muncul sebagai tulisan di media. Dalam setiap organisasi media umumnya, mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda-beda, dari proses turun ke lapangan, menulis dan mengedir dari suatu berita (Eriyanto, 2012: 319)

Melihat dari proses produksi berita di tim redaksi HELLO! penentuan narasumber akan dilakukan ketika rapat redaksi berlangsung, lalu diserahkan tugas tersebut kepada reporter yang dipilih. Proses pengumpulan berita akan dilakukan dengan wawancara langsung dengan sang narasumber, hal ini tidak selalu wawancara one on one, karena wawancara dilakukan dengan photoshoot sehingga terkadang wawancara tersebut tidak berkesan pribadi, karena tidak hanya dihadiri oleh sang narasumber saja, namun terkadang ada stylist dan MUA yang turut hadir menyimak, hal ini seperti yang dituturkan oleh Handayani



“itu lagi-lagi kembali ke suasana wawancara ya, gw tuh lebih suka wawancara Heart to Heart tuh sendiri kan, face to face, cuman kan dalam banyak hal nggak mungkin ya. Pastu suka ada yang make up artist lah ada yang fotografer atau apa. Bahkan Mba Angie suka ikut.”

Selain suasana saat wawancara yang berpengaruh, bagaimana proses pengolahan berita tersebut juga berpengaruh. Dalam tim redaksi HELLO! sebuah berita ketika selesai ditulis oleh reporter, kemudian akan di sunting oleh seorang editor ataupun seorang managing editor. Terkadang berdasarkan observasi peneliti, naskah tersebut akan disunting lebih dari dua kali. Pertama seorang editor akan menyunting naskah tersebut dengan mengubah kosakata, struktur kalimat tanpa mencoba untuk merubah intinya, namun kemudian setelah di sunting oleh sang editor, terkadang managing editor akan melakukan pengecekan lagi yang terkadang ia akan mengubah beberapa penggunaan kata-kata. Setelah naskah tersebut dicek oleh sang redaktur pelaksana, dalam kasus ini HELLO! yang majalahnya belum memasuki umur lima tahun, masih harus mengirimkan naskah tersebut pada editor at large atau head editor MRA Printed Media. Bila dilihat sebuah naskah akan lebih terdahulu memasuki tiga gerbang penyaring, hal ini tidak menutup kemungkinan ada perubahan makna yang terjadi terhadap sebuah naskah.

Sebagai seorang pemimpin redaksi, Novita Angie memegang peranan besar dalam majalah HELLO! mulai dari menentukan konten, menentukan tema, hingga menentukan topik dan narasumber yang akan dibahas dalam majalah tersebut. Semenjak resmi menjadi pemimpin redaksi pada November 2013, Novita menuturkan bahwa dirinya tidak mengetahui asal mula adanya rubrik heart to heart, namun ia menjelaskan bahwa rubrik heart to heart dibuat untuk mengangkat profil seorang narasumber dan cerita mengenai perjuangan yang mereka lakukan dalam menghadapi suatu masalah.

.. somehow problem-problem yang kami hadirkan di heart to heart itu permasalahan yang dialami oleh narasumber kita untuk heart to heart itu kan beragam kan seperti yang tadi aku bilang dan aku yakin pasti salah satunya pasti dialamin sama pembaca that’s why harapannya apa, lebih ke supaya if youre having that problem, nih ada satu contoh orang yang bisa keluar dari problem itu, bisa menyelesaikan problem itu.

(wawancara Novita Angie, 19 Mei 2015)

Hal yang sama juga dituturkan oleh Managing editor, Gita Wirasti. Ia menyebutkan bahwa dalam rubrik Heart to Heart tujuan yang ingin ia capai ialah untuk menginspirasi pembaca, ia menuturkan tulisan yang baik ialah tulisan yang dapat memberikan inspirasi dan pembelajaran pada pembacanya.

Dari Heart to Heart kita belajar bahwa hidup itu perjuangan gitu, hidup itu perjuangan terus dari heart to heart juga yang pasti pembaca jadi tahu bahwa semua itu pasti ada hikmahnya”

(Wawancara Gita Wirasti, 21 Mei 2015)

Untuk pemilihan narasumber sendiri, majalah HELLO! mempunyai kriteria yang sangat khusus. Bila melihat target pembaca HELLO! ialah masyarakat kelas AB, maka narasumber yang dipilih oleh tim redaksi juga harus mencerminkan kelas AB tersebut. Syahrina Pahlevi sebagai editor menuturkan bahwa majalah HELLO! mempunyai karakter selebriti yang sangat spesifik. Penentuan narasumber tidak hanya berada di tangan pemimpin redaksi saja, namun merupakan hasil diskusi dari keseluruhan tim redaksi. Novita menyebukan bahwa setiap minggunya akan selalu dilakukan rapat keseluruhan tim redaksi yang bertujuan untuk membahas narasumber, topik, yang akan dibahas untuk materi majalah. Latar belakang Novita yang lama menjadi seorang presenter infotainment membuatnya memahami mengenai artis-artis Indonesia, ia menuturkan bahwa selebriti yang ingin ia angkat ialah seseorang yang benar-benar mempunyai hasil karya dibanding seorang artis yang hanya bersifat sensasional.

Seperti yang dituturkan diatas, HELLO! mempunyai tiga orang reporter yang bertugas untuk menulis rubrik Heart to Heart. Dengan penulisan oleh wartawan yang berbeda-beda maka gaya penulisan pun akan berbeda-beda, penentuan mengenai akan siapa yang meliput suatu wacana juga didiskusikan dalam rapat redaksi, biasanya pembagian tugas akan bersifat pendistribusian, bila seorang reporter dinilai kompeten dalam menulis rubrik tersebut maka ia akan ditunjuk untuk menangani rubrik tersebut. Berdasarkan observasi, adanya pergantian dalam penulisan wacana, jika pemimpin redaksi menilai sang reporter sudah terlalu banyak menulis mengenai suatu rubrik maka kemudian ia akan ditugaskan untuk menulis rubrik lain.

Syahrina Pahlevi sebagai editor, mempunyai jabatan dibawah managing editor namun ia berada di atas feature reporter. Tugas yang dia emban antara lain ialah untuk membantu managing editor, namun ia tetap melakukan penelitian dan membuat artikel juga. Dalam salah satu tulisannya di rubrik Heart to Heart ia menyampaikan tujuannya dalam menulis artikel tersebut

Waktu itu aku pernah mewawancarai Ben Kasyafani, waktu itu statusnya baru seminggu ketok palu resmi cerai. Di media yang diangkat adalah lebih ke gimana Bennya, gimana ininya, yang kita, yang aku mau angkat, yang waktu kita angkat justru gimana Ben menghadapi kehidupan percintaan kedepannya disaat orang masih menanyakan ‘lo gimana nih, lo jadi duda sekarang gimana’ Gw nggak, gw lebih mengangkat gimana kehidupan percintaannya dia kedepan” “Jadi, yang orang lagi penasaran apa, ya kita bisa dapet, kita ulik secara lebih intim”

(Syahrina Pahlevi, wawancara 19 Mei 2015)

Melihat dari lingkungan kerja yang ada,seperti yang dituturkan sebelumnya, keempat narasumber memiliki pandangan yang sama, hal ini kemudian berpengaruh terhadap pemilihan narasumber. Pemilihan narasumber dilakukan bersama-sama dalam rapat redaksi, disitu semua anggota redaksi dapat menyuarakan pendapat dan gagasan yang ia punya, diskusi memang ditujukan untuk mencapai kesepakatan bersama, dari pemimpin redaksi sampai bagian artistic atau anak magang sekalipun pendapat mereka akan dipertimbangkan. Hal ini kemudian dimana mereka menentukan topik yang akan di garap.

Contohnya dalam rubrik heart to heart dan narasumber dengan GKR Hemas, tidak mudah untuk mendapatkan narasumber dengan jabatan seperti dirinya. Topik yang dibahas ialah bertepatan dengan hari Kartini yaitu mengenai emansipasi wanita. Berdasarkan observasi. untuk mendapatkan sang narasumber pun merupakan hal yang sulit, tim redaksi harus mempunyai beberapa alternative bila sang narasumber utama tidak dapat diwawancarai.


  1. Pembahasan Analisi Wacana Pada Level Discourse Practice

Pada level praktik wacana disimpulkan bahwa penentuan topik juga terpengaruhi oleh apa sedang dibicarakan oleh khalayak publik. Dalam rapat redaksi biasanya para tim akan membahas mengenai isu yang memang sedang dibicarakan oleh orang banyak. Salah satu contohnya ialah rubrik Heart to Heart dengan narasumber Ben Kasyafani, seperti yang dituturkan oleh Syahrina ketika ia mewawancarai Ben ialah dua minggu setelah resminya perceraian Ben dengan istrinya, hal ini menunjukkan bahwa topik yang mereka angkat merupakan isu yang memang sedang dibicarakan oleh khalayak publik maupun media lain. Tamburaka (2012 :26) menyebutkan bahwa adanya kemungkinan tindakan penentuan agenda setting karena perhatian meda massa pada sebuah isu yang menyebabkan isu itu diangkat karena nilai pentingnya kepada publik. Jadi, yang menentukan sebuah isu itu penting ialah sang media massa. Hal ini juga mencerminkan apa yang sebelumnya dikatakan oleh Syahrina mengenai pemberitaan Tamara, bahwa tidak ada media yang tahu sebelumnya. Dengan pertumbuhan media yang pesat di Indonesia, banyaknya persaingan antar media untuk mendapatkan sebuah berita, hal tersebut menjadikan salah sau contoh. Hal ini juga pernah terjadi pada 1931 seperti yang dituturkan oleh Tamburaka dalam bukunya Agenda Setting Media Massa.

Kemudian pertanyaan yang muncul ialah, siapa yang menentukan peliputan akan sebuah peristiwa. Hal ini merupakan aktivitas dari intermedia yang berlangsung. Tamburaka menyebutkan bahwa media-media massa memiliki jaringan atau link berita, dimana untuk memenuhi unsur aktualitas dan faktualitas berita mereka saling mengirimkan berita satu sama lain. Hal ini akan menciptakan persepsi di para media sendiri bahwa peristiwa tersebut penting untuk diungkap kepada publik. Walaupun selama observasi tidak ditemukan adanya komunikasi dengan media lain dalam redaksi majalah HELO!, namun hubungan yang ditemukan dalam media cetak HELLO! dengan media yang lain ialah, majalah ini juga melihat media lain sebagai acuan berita apa yang sedang ada di media massa, apa yang kemungkinan menjadi pembicaraan oleh publik, adanya penentuan agenda antara media kepada khalayak publik.



      1. Analisis Wacana Pada Level Sosiokultural

Analisis praktik sosiokultural didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana muncul dalam media. Ruang redaksi atau wartawan oleh Eriyanto digambarkan bukan sebagai sebuah kotak kosong yangs teril, namun adanya faktor-faktor dari luar yang menjadi penentu. Praktik sosiokultural menggambarkan bagimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarkat memaknai dan menyebarkan ideology yang dominan kepada masyarakat.

  1. Situasional

Konteks sosial menunjukan bagaimana suatu teks diproduksi di antara yang diperhatikan adalah aspek situasional yang ada. Teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas, unik, sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain.

Pada penelitian ini aspek situasional sangat berpengaruh terhadap pemilihan topik dan narasumber rubrik Heart to Heart, salah satu contohnya ialah ketika pengangkatan tema emansipasi wanita dengan narasumber GKR Hemas bukan karena topik majalah sedang memgusung tema hari Kartini, namun faktor lain yang mempengaruhi ialah fakta bahwa saat itu khalayak publik sedang membahas mengenai keturunan Raja dari Kerajaan Yogyakarta yang baru. Seperti yang dibahas juga pada akhir wacana rubrik heart to heart edisi April tersebut, anak dari GKR Hemas dan Sri Sultan Hamengku Buwono ke X ialah perempuan semua, disitulah kemudian HELLO! mengangkat mmengenai emansipasi wanita dan sempat menyinggung mengenai siapakah yang akan melanjutkan takhta kerajaan tersebut.

Tidak hanya pada artikel edisi April, pada artikel edisi Mei juga terjadi hal yang sama. Penentuan Reza sebagai seorang narasumber ialah berdasarkan beberapa faktor, bahwa ia muncul kembali pada konser Java Jazz yang diadakan bulan Maret setelah tidak pernah muncul dalam acara musik besar selama enam tahun dan dalam merayakan hari musik Nasional Indonesia. Berdasarkan observasi, pada waktu itu salah satu reporter mengusulkan untuk mewawancarai Reza yang telah sekian lama tidak muncul, dan kemudian Pemimpin Redaksi beserta seluruh tim redaksi langsung tertarik, karena memang kemunculan Reza kembali dinilai sangat dibicarakan oleh publik.

Begitu juga denga tiga artikel lainnya, pemilihan Andien sebagai seorang narasumber ialah dari faktor bahwa ia habis meluncurkan sebuah album baru, Ben sebagai narasumber ialah dikarenakan peresmian statusnya sebagai Duda, dan pemilihan Tamara sebagai seorang narasumber ialah dikarenakan belum pernah ada media yang membahas tentang pernikahan Tamara, belum ada media yang mengetahui hal tersebut. Hal itu seperti yang dituturkan oleh Syahrina Pahlevi “Yang kemarin juga, yang Tamara Geraldine belum ada media yang tahu kenapa dia bercerai. Kita mencoba mengulik tentang itunya”

Dari penjelasan diatas terlihat jelas adanya faktor kedekatan (proximity) dan juga keterkenalan (prominence) dari wacana-wacana tersebut. Hal ini yang menjadi acuan terhadap mengapa peristiwa tersebut diangkat sebagai suatu berita.


  1. Institusional

Level institusional melihat bagaimana pengaruh insititusi organisasi dalam praktik produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dalam diri media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang menentukan proses produksi berita. Faktor institusi yang penting adalah yang berhubungan dengan ekonomi media.

Majalah HELLO! Indonesia merupakan majalah yang mengangkat cerita soft news atau feature mengenai selebriti dan tokoh publik dalam maupun luar negeri. Majalah ini dikelola oleh PT. Media Paramita Pratama yang merupakan anak perusahaan dari MRA Printed Media. Segmentasi pembaca yang ditargetkan oleh majalah HELLO! yaitu perempuan berumur 20 – 45 tahun, kelas AB atau menengah keatas. Area pendistribusian majalah HELLO! meliputi, Jabotabek 67.3&, Bandung 6.1%, Surabaya & Bali 10.8%, Sumatera 7%, dan yang lain-lain 8.8%

Dalam industri modern, khalayak pembaca ditunjukkan dengan data-data seperti olah dan rating. Ukurannya adalah menjadi bacaan sebanyak-banyak orang, karena berpretensi untuk menarik khalayak sebanyak-banyaknya, maka seorang wartawan dituntuk untuk memproduksi berita dengan menciptakan suatu “berita yang baik” yang dibaca dan disukai oleh banyak orang. Tema yang diangkat dipilih, disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan khalayak. Namun dalam praktiknya penentuan narasumber serta topik berada pada kewenangan tim redaksi sendiri, dalam pengamatan tim redaksi akan menginterpretasikan, membuat asumsi akan hal-hal yang mereka kira akan menarik bagi khalayak pembacanya.

Asosiasi Surat Kabar dan dan Percetakan Duni menyebutkan bahwa industri media massa diAsia masih menjanjikan di tengah tren media digital ini.Direktur WAN-IFRA untuk Asia Gilles Demptos dalam sebuah artikel yang dimuat di bisnis.com menyatakan bahwa industri media cetak masih merupakan bisnis yang besar, ia menyebutkan bahwa di Indonesia sirkulasi media cetak masih tumbuh pesat. Pendapatan iklan di Indonesia telah bertambah sebanyak dua kali lipat selama 5 tahun terakhir.

AGB Nielsen melakukan sebuah penelitian yang memberikan hasil bahwa secara keseluruhan, konsumsi media di kota-kota baik di Jawa maupun Luar Jawa menunjukkan bahwa Televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul oleh Internet (33%), Radio (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan Majalah (5%). Namun ketika dilihat lebih lanjut, ternyata terdapat perbedaan yang sangat menarik antara pola konsumsi media di kota-kota di Jawa bila dibandingkan dengan kota-kota di luar Jawa. Konsumsi media Televisi lebih tinggi di luar Jawa (97%), disusul oleh Radio (37%), Internet (32%), Koran (26%), Bioskop (11%), Tabloid (9%) dan Majalah (5%).

Selain itu, penelitian yang dilakukannya pada tahun 2011 menunjukkan dibandingkan laki-laki, lebih banyak perempuan yang menonton di bioskop (54%) dan membaca majalah (52%). Sementara laki-laki cenderung mengkonsumsi Internet (58%) dan surat kabar (67%). Di segmen perempuan, konsumsi media bervariasi di antara berbagai usia. Bioskop dan internet kebanyakan diakses oleh remaja perempuan, televisi cenderung dikonsumsi oleh ibu rumah tangga, sedangkan radio dan media cetak dikonsumsi oleh para perempuan pekerja. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi media cetak lebih lagi majalah masih tinggi dikalangan wanita.



  1. Sosial

Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Fairclough menegaskan bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level sosial, budya masyarakat, misalnya, turut menentukan perkembangan wacana dari media. Dalam aspek sosial hal yang difokuskan ialah mengenai aspek makro seperti, sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan.

Dalam rubrik Heart to Heart terlihat adanya unsur sistem budaya yang mempengaruhi wacana tersebut. Antara lain ialah mengenai pembahasan tentang artikel yang menyinggung mengenai pendidikan dan emansipasi wanita. Kedua artikel tersebut menunjukkan bahwa sistem budaya yang terdapat di Indonesia sangat berpengaruh atas bagaimana sang narasumber, penulis dan khalayak memandang sebuah isu.

Dalam artikel yang mengangkat tema emansipasi wanita dengan narasumber GKR Hemas menjelaskan mengenai budaya patriarki yang terdapat di Indonesia, sang penulis dan narasumber menyetujui bahwa budaya patriarki tersebut masih terlihat kental di Indonesia. Hal ini kemudian tercermin kembali pada artikel yang mengangkat Reza dan Tamara yang menjadi narasumber. Dalam kedua artikel tersebut narasumber sama-sama mempunyai status janda, dan hal yang ditanyakan oleh penulis ialah apakah mereka berdua mempunyai kemungkinan untuk menikah lagi atau tidak.

Selain adanya unsur budaya, unsur politik juga dapat terlihat dalam artikel GKR Hemas, dalam artikel tersebut penulis sempat menyinggung mengenai keputusan takhta akan penerus Sultan Hamengkubuwono X, yang kemudian dituturkan oleh sang narasumber keputusan tersebut berada di tangan sang Sultan, namun kita harus melihat lagi pada fakta bahwa wanita tidak pernah memimpin sebuah Kerajaan di Indonesia. Isu mengenai siapa penerus Sultan dinilai mengandung suatu unsur politik.



  1. Pembahasan Representasi Wacana pada Level Praktik Sosiokultural

Praktik sosiokultural menggambarkan bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam msyarakat memaknai dan menyebarkan ideology dominan kepada masyarakat (Eriyanto 2012: 391). Pada level situasiona hal yang dilihat ialah bagaimana kondisi atau suasana ketika teks tersebut dibuat. Level institusional memandang hubungan wacana terhadap pengaruh ekonomi media yang ada, sedangkan level sosial melihat apakah adanya pengaruh, ekonomi, politik atau budaya dalam teks tersebut.

Pada rubrik heart to heart faktor eksternal mempunyai peranan yang besar akan bagaimana sebuah media menghasilkan suatu wacana. Hal yang mereka perhatikan ialah bagaimana hubungan wacana tersebut dengan khalayak pembacanya, dan aspek budaya juga mempengaruhi pandangan mereka. Berdasarkan observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, para tim redaksi menentukan narasumber melihat aspek apa yang sedang dibicarakan oleh khalayak, mereka akan melihat kondisi masyarakat dan isu apa yang sedang dibahas. Hal ini ditujukan untuk membangun suatu relevansi antara wacana yang dibuat dengan kondisi masyarakat. Aspek budaya juga mempengaruhi sebuah wacana dibentuk, mengapa pembahasan sebuah perceraian selalu ditanyakan pada narasumber yang merupakan seorang orang tua tunggal ? Hal ini berdasarkan keadaan masyarakat Indonesia masih adanya pandangan negative mengenai sebuah perceraian, terlebih lagi bila orang yang disorot ialah dari pihak wanita.

Dalam artikel yang mengangkat topik mengenai emansipasi wanita, penulis mencoba mencerminkan kondisi yang ada di Indonesia, penulis terus menerus memberikan fakta bahwa masih terdapat diskriminasi terhadap wanita, dan bagaimana budaya patriarki yang masih tercermin di Indonesia.


      1. Penerapan Pers Pancasila Melalui Rubrik Heart to Heart

Dari ketiga level analisa tersebut, terlihat bahwa ada beberapa aspek yang mempengaruhi terbentuknya sebuah wacana. Namun tujuan dari analisa wacana itu sendiri menurut Faiclough ialah untuk melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan, melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologys tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Analisa ini didasarkan pada linguistic dan pemikiran sosial dan politik, dan secara diintegrasikan pada perubahan sosial.

Melalui analisa wacana kritis, dilihat bahwa teks cenderung berpihak kepada narasumber, teks dilihat mempunyai kecenderungan untuk meninggikan sang narasumber, hal ini masuk ke dalam kriteria penulisan berita feature yang mengandung human interest. Berita cenderung menonjolkan sang narasumber, disinilah dimana agenda setting tersebut berperan. Agenda setting disini menonjolkan sang narasumber, membuat deskripsi mengenai narasumber yang diperuntukkan untuk sang pembacanya. Penentuan topik sendiri menjadi salah satu contoh pengaplikasian agenda setting itu sendiri, dimana tim redaksi melihat keadaan sosial dan juga melihat apa yang sedang diberitakan oleh media lain, dari situ mereka memberikan kesimpulan bahwa topik A yang akan mereka bahas, dan narasumber ini yang akan mereka pilih.

Dalam kelima artikel tersebut hal yang sama ditemukan bahwa sang penulis menetapkan dirinya sebagai pihak mandiri, seseorang yang berdiri sendiri. Hal ini ditujukannnya dengan bagaimana ia memasukan opininya sendiri yang terkadang berlawanan dengan opini sang narasumber. Hal ini juga terlihat dari penempatan kalimat atau struktur penyusunan kalimat yang ada. Kelima artikel tersebut cenderung memiliki struktur penyusunan kalimat yang sama, hal ini tidak mengherankan melihat ideology yang ditanamkan kepada tim redaksi dan berdasarkan analisa praktik diskursus sang managing editor, editor, dan reporter atau penulis memiliki pandangan atau ideology yang sama.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah adanya unsur Pers Pancasila dalam penulisan rubrik Heart to Heart. Pers pancasila sendiri dideskripsikan sebagai Pers yang bebas, dan berpegang terhadap Kode Etik Jurnalistik yang ada, selain itu ia juga mengacu kepada UUD 1945. Di Indonesia sekarang ini, pers dinilai mempunyai kebebasan yang leluasa bila dibanding-bandingkan dengan jaman dahulu. Pers di Indonesia cenderung bertingkah seperti watch dog pada pemberitaan hard news. Namun, apakah pemberitaan tersebut merefleksikan adanya penerapan pers pancasila, yang dimaksud dengan pers pancasila ialah bahwa sistem pers tersebut tidak hanya berpedoman pada KEJ, namun juga berpedoman pada kelima sila pancasila, atau lebih jelasnya mengacu pada 45 butir pancasila yang terdapat pada TAP MPR no. I/MPR/2003.

Dari kelima artikel tersebut, tercerminkan bahwa artikel tersebut dibuat sesuai dengan apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, dan dalam artikel tersebut, dapat diamati bagaimana sang penulis menempatkan dirinya, sang narasumber dan khalayak pembacanya. Pendeskripsian akan sag narasumber yang dinilai ditinggikan oleh sang penulis melihat bahwa sang narasumber mempunyai level yang berbeda dengan orang lain, hal ini diutarakan dengan penggunaan kata seperti “suaranya yang khas” (dilihat dalam artikel Andien), dan gambaran suasana akan bagaimana sang narasumber dielu-elukan oleh orang-orang (terlihat pada artikel Reza), hal ini menciptakan gambaran bahwa sang narasumber memang mempunyai level yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Hal ini menyimpang dalam beberapa tujuan yang terdapat pada sila kedua. Sila kedua berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dengan penjelasan pada butir kedua yang berbunyi

Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.”

Secara kasat mata memang sang penulis tidak membedakan narasumber dengan khalayak pada umumnya, namun interpretasi yang ada pada teks tersebut menunjukkan adanya perbedaan kedudukan sosial yang ada dalam teks. Penekanan akan status sang narasumber sebagai selebriti ataupun tokoh masyarakat memperlihatkan bahwa sang narasumber mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau berbeda dengan khalayak pada umumnya.

Hal lain kemudian ditemukan ketika membahas artikel emansipasi wanita oleh GKR Hemas, dapat dilihat bahwa penulis dan narasumber mempunyai pendapat yang berbeda. Pada teks tersebut penulis mendeskripsikan pendapatnya dan juga pendapat sang narasumber dengan tujuan sebagai perbandingan. Namun penulis tidak menunjukkan sebuah penyangkalan, hal ini mencerminkan salah satu sila pancasila yang menuturkan harus adanya saling menghormati keputusan satu sama lain dan tidak memksakan kehendak,

Terlihat bahwa dalam penulisan tersebut, adanya niat untuk menyadarkan masyarakat akan sebuah isu, lagi-lagi isu yang memang dialami oleh sang narasumber yang didalam teks tersebut dideskripsikan sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Namun melihat akan penyampaian yang disampaikan penulis, dapat dibilang tidak adanya tulisan yang memicu kebingungan, memicu fitnah, dan membuat kekacauan.

Sedangkan bila berbicara bagaimana sang penulis mendeskripsikan akan penjelasan atau opininya di artikel tersebut, disitulah penulis menaruh seting agenda yang ditujukan untuk memicu opini publik terhadap suatu isu. Pada contohnya ialah mengenai isu pendidikan yang diangkat pada artikel bulan Mei 2015. Dalam artikel tersebut penulis memberikan contoh bahwa sang narasumber merupakan seseorang yang mementingkan pendidikan, disitu sang narasumber memberikan kritik terhadap pendidikan yang berjalan, yang kemudian tidak ditanggapi oleh penulis. Sebuah refkleksi akan bagaimana sang penulis hanya menempatkan dirinya sebagai seorang penyampai pesan. Dari kelima artikel tersebut hal yang paling menonjol yang dituliskan dalam kelima artikel ialah penggambaran positif terhadap sang narasumber. Disini penulis menonjolkan sisi baik atau memperlihatkan istilahnya kebaikan yang datang di kala keburukan. Seperti yang terdapat pada TAP MPR no. I/MPR/2003 pada sila kedua yang dijelaskan pada butir-butirnya, yaitu :



    1. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.

    2. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.

    3. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

    4. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

    5. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

    6. Berani membela kebenaran dan keadilan.

Penulis memberikan sebuah contoh “baik” yang ditanamkan kepada masyarakatnya, sama halnya dengan apa yang dituturkan oleh keempat narasumber yang telah di wawancarai, bahwa tujuan ditulisnya rubrik Heart to Heart ialah agar pembacanya dapat belajar dari sebuah peristiwa. Kelima artikel tersebut memang sudah mencerminkan kelima sila pancasila, namun pengaplikasian kelima sila tersebut dinilai belum maksimal.

Hasil wawancara yang dilakukan untuk penelitian ini membuktikan bahwa dari empat orang narasumber hanya satu yang memahami mengenai konsep pers pancasila. Bahkan ada yang belum pernah mendengar mengenai pers pancasila. Kasiyanto Kasemin (2014) dalam bukunya Sisi Gelap Kebebasan Pers menuturkan bahwa kebebasan pers di Indonesia sudah terlewat batas, ia menyebutkan bahwa seharusnya kita menyadari bahwa sebagai manusia kita memang memiliki kebebasan namun karena kita tidak hidup sendiri kebebasan ini dibatasi oleh kebebasan orang lain, karena bila suatu hal terlalu bebas hal tersebut akan menjadi tidak beraturan. Seperti yang dikutip melalui wawancara dengan editor Syahrina Pahlevi, ia menuturkan “Hemmm… kalau selama di lifestyle nggak tahu, pas di hard news juga nggak. Gw malah baru denger Pers Pancasila, yang gw tau ya kebebasan pers aja. Indonesia memiliki kebebasan pers yang cukup baik dibanding Negara-negara lainnya.”

Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila Pers hanya memahami mengenai kebebasan saja, mereka tidak memahami bahwa kebebasan itu butuh batasan. Kasiyanto Kasemin (2014:11) menyebutkan bahwa dalam praktiknya tidak ada kebebasan yang mutrlak. Semua orang mempunyai hak untuk bebas berkomunikasi namun kebebasan komunikasi itu dibatasi oleh kebebasan komunikasi pula. Kebebasan per situ bukan berarti kebebasan tanpa batas. Kebebasan itu tetap memiliki batas dan bahkan menuntut sebuah tanggung jawab. Batas kebebasan itu adalah nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Di Indonesia hal yang membatasi kebebasan pers ialah peraturan yang sudah ditetapkan dalam UU No. 40 Tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik dan juga ideologi bangsa, Pancasila. Karena selama Indonesia mempunya Pancasila sebagai panutan ideologinya, maka kita harus mematuhi kelima sila pancasila tersebut. Sebuah batasan terkadan diperlukan, hal ini untuk mencegah sesuatu agar tidak sampai lepas kontrol. Perlunya pendekatan mengenai penerapan Pancasila juga sangat dibutuhkan, hal ini untuk mengurangi terjadinya pemberitaan palsu ataupun pemberitaan yang dapat meresahkan masyarakat.




Yüklə 457,08 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin