Diktat kuliah



Yüklə 0,7 Mb.
səhifə4/15
tarix26.07.2018
ölçüsü0,7 Mb.
#59536
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   15

Sinonim

Kata sinonim berasal dari sin yang berarti ‘sama’ atau ‘serupa’ dan onim atau onuma yang berarti ‘nama’. Kata sinonim kemudian diartikan sebagai kata-kata yang sama atau hampir sama maknanya. Suatu kata bersinonim dengan kata lainnya apabila dalam kalimat yang sama kata-kata itu dapat saling menggantikan. Kata benar dan betul adalah bersinonim. Dalam kalimat yang sama, kedua kata itu dapat saling menggantikan.

Contoh:


  1. Jawaban Ani kali ini benar

  2. Jawaban Ani kali ini betul

Namun demikian, kata benar dan betul tidak selalu bersinonim. Dalam kalimat-kalimat tertentu kedua kata itu tidak dapat saling menggantikan.

Contoh:


  1. Kebenaran harus kita tegakkan di mana saja.

  2. Kebetulan harus kita tegakkan di mana saja.(?)

Kata kebenaran dalam kalimat di atas tidak bisa diganti dengan kata kebetulan. Hal ini karena kebenaran dan kebetulan memiliki arti yang tidak sama. Keduanya tidak lagi bersinonim.

Kasus yang hampir sama terjadi pada kata melihat dan menengok. Kedua kata tersebut dapat saling menggantikan dalam kalimat Kami menengok Adi yang sedang sakit di rumahnya. Namun demikian, kedua kata itu menjadi tidak lagi saling menggantikan dalam kalimat Di jalan kami melihat tabrakan. Kata melihat tidak bisa diganti dengan kata menengok.

Kedua kasus di atas cukup untuk dijadikan kesimpulan bahwa tidak ada kata yang betul-betul sama maknanya. Dalam kalimat tertentu dapat saja kata-kata itu bersinonim, tapi dalam kalimat-kalimat lainnya belum tentu bisa.

Contoh kata-kata yang bersinonim



agar, supaya isu, gosip, desas-desus, kabar angin

agung, besar, mulia, luhur, akbar jagat, bumi, dunia, alam

ahli, pakar, mahir, ulung jamban, kakus

badai, topan kandidat, bakal, calon

bagan, skema, denah, kerangka kangen, rindu

    1. Kata-kata Bernuansa

Kata-kata yang semula bermakna sama, namun kemudian menjadi berbeda, antara lain, disebabkan oleh makna konotatif yang terkandung dalam kata-kata itu. perhatikan misalnya kata pegawai, buruh, dan karyawan. Secara umum ketiga kata itu bersinonim. Kata-kata itu dapat saling menggantikan dalam suatu konteks kalimat. Namun demikian, “kebersamaan” antara ketiga kata itu tidak selalu terjadi karena masing-masing memiliki makna konotatif yang tidak sama. Dengan kata lain, ketiga kata itu memiliki nuansa makna yang berbeda. Perhatikan kalimat-kalimat berikut!

  1. Para pegawai negeri diharapkan dapat bekerja dengan rajin dan berdisiplin.

  2. Buruh-buruh pabrik sudah dua hari melakukan mogok kerja.

  3. Para karyawan PT Semen Gresik beramai-ramai menuntut kenaikan upah.

Secara denotatif, ketiga kata di atas memiliki makna yang sama, yakni ‘pekerja’. Namun demikian, secara konotatif, kata-kata tersebut memiliki nuansa masing-masing. Kata pegawai memiliki citra orang yang berpakaian sapari yang setiap hari keluar-masuk kantor pemerintah. Kata tersebut bernuansa hampir sama dengan kata karyawan yang sama-sama bercitra pekerja kantoran. Hanya saja kata karyawan lebih identik dengan orang yang bekerja di perusahaan swasta. Lain halnya dengan buruh, kata ini identik dengan orang yang melakukan pekerjaan kasar.

Contoh kata-kata yang bernuansa



Budak, pengikut, kaki tangan, antek guru, dosen, instruktur

Gubuk, flat, apartemen mati, meninggal, wafat, mangkat

Jongos, pembantu, asisten warung, toko, pasar, supermarket

    1. Kata-kata yang Berkonotasi Sopan dan Tidak Sopan

Pengetahuan tentang kata-kata bersinonim penting artinya bagi ketepatan dalam penggunaannya. Masalahnya, seperti yang dicontohkan di atas, tidak setiap kata yang bersinonim selalu dapat saling menggantikan. Perhatikan pasangan-pasangan kata di bawah ini!

Istri = bini

Meninggal = mati

Hamil = bunting

Asisten = pembantu

Gaji = upah

Walaupun kelima pasangan kata di atas bersinonim, kita tidak dapat menggunakannya dengan sekehendak hati. Adalah tidak sopan kedengarannya apabila kita katakan Pak Lurah mati atau Pejabat itu mendapat upah besar. Agar menjadi sopan kata mati dan upah pada masing-masing kalimat itu harus diganti dengan kata meninggal dan gaji.

Demi suksesnya pergaulan, pemilihan kata yang sopan sangatlah penting. Sebab, ternyata apabila kita cermati, dalam kata-kata yang bersinonim itu, ada kata yang sopan dan ada pula yang dianggap tidak sopan. Berat benar, misalnya, lidah kita untuk mengucapkan kata mati kepada seorang yang dihormati ataupun mengatakan bunting kepada istri seorang ulama atau pejabat. Berat rasanya lidah untuk mengucapkan kata tahi karena konotasi yang dimiliki kata itu adalah kesan jorok, jijik, dan kotor. Kata itu sering kita ganti dengan kata lain yang berkonotasi sopan, misalnya kotoran, atau tinja. Demikian halnya kata berak yang diganti dengan buang air besar, kencing dengan buang air kecil, dan sebagainya. Dalam ilmu kebahasaan, upaya untuk menghaluskan atau mempersopan suatu kata, disebut eufemisme

Contoh kata sopan dan tidak sopan

Sopan Tidak/kurang sopan

Anda kamu

Kurang cerdas bodoh

Melahirkan beranak

Tunanetra buta

Tunakarya pengangguran




    1. Kata-kata yang berkonotasi baik dan kurang baik

Pemakaian suatu kata tidak lepas dari tafsiran pemakai ataupun pendengarnya. Penafsiran-penafsiran tersebut dapat dipengaruhi latar belakang budaya, agama, status sosial, dan sebagainya. Pemakaian kata babi, misalnya. Kata ini ditafsirkan sebagai sesuatu yang kurang baik (najis, haram) oleh umat Islam. Babi berkonotasi buruk daripada kata lainnya yang sejenis. Sementara itu, bagi umat Hindu, kata sapi memiliki konotasi baik (suci) dibandingkan dengan kata unta, misalnya.

Dalam masyarakat perkotaan, kata bibi telah mengalami pergeseran. Yang semula bermakna ”adik ibu”, kemudian bergeser menjadi “pembantu”. Kata bibi memiliki konotasi kurang baik. Oleh karena itu, masyarakat kota cenderung menyapa adik ibu bukan dengan kata bibi, melainkan kata yang lebih baik dari kata itu, yakni tante.

Pemakaian suatu kata umumnya tidak bisa dilepaskan dari peluang munculnya konotasi baik-buruk. Oleh karena itu, kita dituntut untuk lebih cermat dalam pemakaiannya. Kecermatan itu tidak hanya terhadap kaidah struktur ataupun ejaan, melainkan pula pada makna yang dikandungnya. Walaupun maknanya hampir sama, hendaknya kita tidak mengucapkan pembantu dosen, tetapi yang baik adalah asisten dosen. Kata pembantu dan asisten memiliki konotasi yang berbeda.


    1. Antonim

Antonim berasal dari anti atau ant yang berarti ‘lawan’ dan onuma yang berarti ‘nama’. Antonim kemudian diartikan sebagai kata-kata yang berbeda atau berlawanan maknanya. Siang-malam, hidup-mati, dan pulang-pergi, merupakan contoh-contoh pasangan kata yang berantonim. Makna yang dikandungnya berbeda atau saling berlawanan.

Ketiga pasangan kata di atas merupakan salah satu dari sekian jenis antonim yang dikenal dalam bahasa Indonesia. Jenis-jenis antonim yang lebih lengkapnya adalah sebagai berikut.



Antonim kembar, merupakan antonim yang melibatkan pertentangan antara dua kata. Cirinya, penyangkalan terhadap salah satunya berarti penegasan terhadap pasangannya. Contoh: hidup-mati, bila dikatakan tidak hidup berarti mati, dan bila dikatakan tidak mati berarti hidup. Jantan-betina, bila dikatakan bukan jantan berarti betina, dan bila dikatakan bukan betina berarti jantan.

Antonim majemuk, merupakan antonim yang melibatkan pertentangan antara banyak kata. Antonim ini bertalian terutama dengan anggota-anggota (hiponim) dari suatu jenis kelas, seperti jenis tumbuhan, jenis hewan, jenis logam, jenis warna. Ciri utamanya, penyangkalan terhadap salah satunya berarti penegasan terhadap anggota-anggota yang lain. Contohnya, bila dikatakan baju itu tidak hijau, maka dalam kalimat tersebut tercakup pengertian baju itu hitam, baju itu putih, dan sebagainya.

Antonim gradual, yaitu pertentangan dua kata dengan melibatkan beberapa tingkatan antara. Cirinya, penyangkalan terhadap yang satu tidak mencakup penegasan terhadap yang lain. Misalnya, bila dikatakan rumah itu sederhana (RS) tidak berarti rumah itu mewah atau megah, bisa jadi rumah itu sangat sederhana (RSS).

Antonim relasional, adalah pertentangan antara dua buah kata yang kehadirannya saling berhubungan. Kehadiran salah satunya menyebabkan kehadiran kata yang lain. Contohnya: suami-istri, penjual-pembeli, adik-kakak, guru-murid, dan sejenisnya. Bila seseorang dikatakan suami berarti ia sudah beristri dan ia tidak bisa dikatakan seorang suami bila tidak punya istri.

Antonim hierarkis, adalah pertentangan yang terjadi antara kata-kata yang maknanya berada dalam posisi bertingkat. Jenis antonim ini sebenarnya hampir sama dengan antonim majemuk, namun di sini terdapat criteria tambahan, yakni tingkat. Misalnya: millimeter, sentimeter, desimeter, meter, dan seterusnya; atau Januari, Februari, Maret, dan seterusnya.

Contoh kata-kata yang berantonim



Adem; panas, gerah eksklusif; inklusif

Adil; berat sebelah, sewenang-wenang gelap; terang, cerah

Aktif; pasif, statis, lamban gemuk; kurus, kerempeng

Badung; saleh, penurut, patuh genap; kurang, ganjil

bangga; kecewa hilang; muncul, ada

    1. Homonim

Homonim berasal dari bahasa Yunani, homos dan onuma. Kata tersebut masing-masing berarti ‘sejenis’ atau ‘sama’ dan ‘nama’. Dalam ilmu bahasa, istilah tersebut diartikan sebagai kata-kata yang bentuk dan cara pelafalannya sama, tetapi memiliki makna yang berbeda. Contohnya, kata genting dan jarak.

  • Genting

    1. Karena perang, kota itu tampak sangat genting (genting = gawat).

    2. Kakak sedang memperbaiki genting yang bocor (genting = atap).

  • jarak

(1)Ayah sedang menanam pohon jarak di belakang rumah (jarak = pohon)

(2)Jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh (jarak = ukuran).

Dalam kamus, kata-kata berhomonim biasanya ditandai oleh urutan angka Romawi. Contohnya sebagai berikut.

Karang I = batukarang, sejenis batu kapur di laut

Karang II = karangan bunga, susunan atau ikatan

Karang III = karangan ilmiah, karya tulis

Karang IV = pekarangan rumah, halaman

Karang V = karang keputraan, tempat kediaman

Di samping itu, dikenal pula istilah homograf dan homofon. Homograf adalah kata yang tulisannya sama tetapi pelafalan dan maknanya berbeda. Contohnya sebagai berikut.



  1. seri I = berseri-seri, gembira

seri II = bermain seri, seimbang

  1. teras I = pejabat teras, inti

teras II = teras rumah, bagian halaman

  1. apel I = makan apel, buah

apel II = apel bendera, upacara

apel III = kencan

homofon adalah kata yang cara pelafalannya sama, tetapi penulisan dan maknanya berbeda. Contohnya sebagai berikut.

  1. Kol I = sayur kol, tanaman

Kol II = naik colt, kendaraan

  1. Bang I = Bang Ahmad, kakak

Bang II = bunga bank, lembaga penyimpanan uang

Secara lebih jelas, perbedaan homonim, homograf, dan homofon, digambarkan dalam tabel berikut.



Hubungan Kata

Pelafalan

Penulisan

Makna

      1. homonim

      2. homograf

      3. homofon

Sama

Berbeda


Sama

Sama

Sama


Berbeda

Berbeda

Berbeda


Berbeda




    1. Polisemi

Polisemi berasal dari kata poly dan sema, yang masing-masing berarti ‘banyak’ dan ‘tanda’. Jadi, polisemi berarti suatu kata yang memiliki banyak makna. Dalam bahasa Indonesia, dijumpai kata-kata yang menanggung beban makna yang begitu banyak. Contohnya adalah kata kepala.

Makna dasar kepala adalah bagian tubuh di atas leher, tempat otak dan pusat jaringan saraf. Kepala merupakan bagian badan yang sangat penting dibandingkan dengan beberapa bagian anggota badan manusia lainnya. Selain berarti bagian tubuh yang penting itu, kepala digunakan dalam konteks pemakaian lainnya. Inilah beberapa di antaranya.



  1. Bagian benda sebelah atas atau bagian depan, contoh: kepala tongkat dan kepala surat.

  2. Pemimpin atau ketua, contoh: kepala kantor, kepala pasukan, dan kepada daerah.

  3. Sebagai kiasan atau ungkapan, contoh; kepala udang, kepala dua, dan besar kepala.

Pemakaian kata kepala pada ketiga konteks pemakaian tersebut tidaklah menimbulkan makna yang sama sekali baru. Makna-makna tersebut masih memiliki satu kesamaan. Makna kepala dalam hal ini merupakan ‘bagian yang memiliki kedudukan yang sangat penting’.

Perhatikan contoh-contoh kata berpolisemi lainnya dalam kalimat-kalimat berikut!



  1. a. Aldi jatuh dari bangku.

b. Rupanya ia jatuh hati pada jejaka itu.

c. Usaha paman sedang jatuh sekarang.



  1. a. Kakek dibawa ke dokter karena sakit.

b. Bangsa ini sedang sakit.

c. Deni sakit hati karena dikhianati teman dekatnya.



  1. a. Direncanakan Ibu akan naik pesawat malam ini.

b. Diharapkan Ibu tidak lama lagi dapat naik pangkat.

c. Baim adalah artis cilik yang sedang naik daun.



  1. a. Bunga mawar itu harum baunya.

b. Pinjaman uang di koperasi Kampus kami dikenakan bunga 1 % sebulan.

  1. a. Setiap bulan ia menerima gaji sebagai karyawan perusahaan.

b. Bulan adalah benda langit yang mengitari bumi dalam orbit yang pasti.

      1. Morfologi

Morfologi (atau tatabentuk; Inggr. Morphologi, dulu juga morphemics) adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. 25 Bagian tatabahasa yang membicarakan bentuk kata disebut morfologi. Pengertian tentang bentuk belum jelas bila kita belum mengetahui lebih lanjut tentang wujudnya dan apa yang akan menjadi ciri-cirinya.

Semua arus-ujaran yang sampai ke telinga kita terdengan sebagai suatu rangkaian kesatuan. Bila kita berusaha memotong-motong suatu arus ujaran yang sederhana seperti:

/ p e k e r j a a n m e r e k a m e m u a s k a n /

Maka potongan-potongan (segmen) yang akan kita dapat, yaitu potongan-potongan yang merupakan kesatuan yang langsung membina kalimat itu adalah: pekerjaan, mereka dan memuaskan. Unsur mereka di satu pihak tidak dapat dipecahkan lagi, sedang unsur pekerjaan dan memuaskan masih dapat dipecahkan lagi menjadi: kerja dan pe-an, serta puas dan me-kan. Unsur-unsur kerja dan puas dapat pula dengan langsung membina kalimat seperti tampak dalam contoh berikut:



          1. kerja itu belum selesai

          2. saya belum puas

Sebaliknya unsur-unsur pe-an dan me-kan tidak bisa langsung membina sebuah kalimat. Unsur-unsur ini juga tidak bisa berdiri sendiri, selalu harus diikatkan kepada unsur-unsur lain seperti puas, kerja dan lain-lain. Untuk ikut serta dalam membina sebuah kalimat, unsur-unsur pe-an dan me-kan pertama-tama harus digabungkan dengan unsur puas dan kerja.

Kedua unsur itu baik kerja dan puas, maupun pe-an dan me-kan mempunyai suatu fungsi yang sama ialah membentuk kata. Unsur pembentuk itu, baik yang bebas (kerja dan puas) maupun yang terikat (pe-an dan me-kan) dalam tatabahasa disebut: morfem (dari kata morphe = bentuk, akhiran –ema = yang mengandung arti). Jadi dalam bahasa Indonesia kita dapati dua macam morfem yaitu:



1. Morfem dasar atau morfem bebas, seperti: kerja, puas, bapa, kayu, rumah, tidur, bangun, sakit, pendek, dan lain-lain.

        1. Morfem terikat, seperti: pe-, -an, pe-an, ter-, ber-, me-, dan lain-lain.

Dalam Tatabahasa-tatabahasa Indonesia morfem dasar atau morfem bebas itu disebut kata dasar, sedangkan morfem terikat disebut imbuhan.

Dalam merealisasi morfem-morfem itu, pada suatu ketika kita sampai kepada suatu kenyataan bahwa morfem-morfem itu dapat juga mengalami variasi atau perubahan bentuk. Misalnya morfem ber- dalam bahasa Indonesia dalam realisasinya dapat mengambil bermacam-macam bentuk:



Ber- be- bel-

Berlayar bekerja belajar

Bersatu berambut

Berdiri beruang dan lain-lain

Perubahan bentuk ber- menjadi be- atau bel- disebabkan oleh lingkungan yang dimasukinya. Bila ber- memasuki lingkungan kata yang mengandung fonem /r/ dalam suku kata pertama, maka fonem /r/ dalam morfem ber- itu ditanggalkan. Dalam suatu kesempatan unsur /r/ itu berubah menjadi /l/. Bentuk-bentuk variasi dari pada morfem itu disebut alomorf.

Dalam morfologi atau Ilmu Bentuk Kata dibicarakan bagaimana hubungan antara morfem dengan morfem, antara morfem dengan alomorf, serta bagaimana pula menggabungkan morfem-morfem itu untuk membentuk kata.

Morfem terikat dalam bahasa Indonesia dapat dibagi lagi atas empat macam berdasarkan tempat terikatnya pada sebuah morfem dasar:


        1. Prefiks (=awalan): per-, me-, ter-, di-, dan lain-lain.

Awalan-awalan baru:

TAK: Bentuk ini dipakai untuk mengimbangi istilah-istilah asing yang memakai prefiks asing a-. Gunanya untuk menidakkan suatu hal. Kata-kata asosial, amoral, asimetri, apatis, diimbangi dengan: taksosial, taksadar, takorganik, takinsyaf, dan sebagainya.



  • PURBA: prefiks ini disejajarkan dengan awalan-awalan asing ANTE: antedate, antedelivium. Dalam terminology baru kita mendapat kata-kata: purbatanggal, purbakala, purbasangka.

  • PRATI: Kata-kata asing yang mengandung prefiks anti atau contra diimbangi dengan prati (diambil dari bahasa Sansekerta): pratirasa (antipati), pratijangkit (antiseptis), pratikunjung dan sebagainya.

  • SWA: Swa yang mengandung arti sendiri, dipakai untuk menggantikan prefiks asing auto: swadidik (autodidak), swakuasa (autokrasi), swariwayat (autobiografi); demikian pula dibentuk kata-kata lain seperti: swapraja, swasembada, swasta, swadaya, dan sebagainya.

  • DWI: Prefiks dwi senilai dengan bi- dalam bahasa-bahasa asing: dwiwarna, dwiroda, dwiminggu, dwipihak, dwikora, dwipurwa, dan sebagainya.

Catatan: Di samping prefiks dwi-, kita temukan juga prefiks dengan kata-kata bilangan lain seperti: tri, catur dan panca, untuk menunjukkan kesatuan yang terdiri dari tiga, empat dan lima orang atau hal, misalnya: trikora, trirangkai, caturtunggal, pancatunggal, pancaindra, pancadharma, pancasila dan sebagainya.

  • ANTAR: senilai dengan inter dalam bahasa asing: antartempat (=interlokal), antarnegara, antarsekolah, antarplanet, antarhubungan (interelasi), dan sebagainya.

  • PRA: Untuk menggantikan awalan-awalan asing:pre-, prae-; pratinjau (preview), prasejarah (prehistorie), prasangka, prakarsa, prakarya, prasaran, prarasa, prasetya, pramuka, dan sebagainya.

  • SERBA: dipakai sebagai awalan degnan arti semua: serbabaru, serba-putih, serba-guna, serba-salah, dan sebagainya;

  • ANU: Prefiks ini mengandung arti sesudah: anumerta (posthumous = sesudah mati).

  • TUNA: Prefiks ini dipakai dengan arti kehilangan sesuatu, ketiadaan sesuatu: tunakarya, tuna-susila, tuna-netra, tuna-tertib, tunawisma, tunasosial, dan sebagainya.

  • ULANG: Untuk menyatakan bahwa sesuatu dibuat kembali dipergunakan prefiks ulang. Prefiks ulang sejajar atau senilai dengan prefiks re-, misalnya: ulang-cetak (=reprint), ulang-buat, ulang-susun, dan sebagainya.

  • MAHA: Prefiks ini mengandung arti besar, dan diambil dari bahasa Sansekerta. Kata-kata yang mengandung prefiks maha yang sering dijumpai dalam bahasa Indonesia adalah: mahakuasa, mahaadil, mahamulia, mahaguru, mahasiswa, mahaputera, dan sebagainya.26

  1. INFIKS (=sisipan): -el-, -er-, -em-.

  2. SUFIKS (=akhiran): -an, -kan, -i.

  3. KONFIKS : gabungan dari dua atau lebih dari ketiga macam morfem di atas yang bersama-sama membentuk suatu kesatuan arti.

Morfem terikat dapat dibeda-bedakan lagi menurut fungsinya, ada yang berfungsi untuk membentuk kata kerja, ada yang bertugas untuk membentuk kata benda, ada pula yang digunakan untuk membentuk kata sifat. Pembagian yang kompleks adalah pembagian yang didasarkan atas arti yang didukungnya. Tetapi arti yang didukungnya itu pun belum mutlak, masih merupakan suatu kemungkinan, arti yang tepat harus selalu ditinjau dari suatu konteks.

Suatu morfem bebas sudah merupakan kata. Sebaliknya, konsep tentang kata tidak saja meliputi morfem bebas, tetapi juga meliputi semua bentuk gabungan antara morfem terikat dengan morfem bebas, atau morfem dasar dengan morfem dasar. Berarti konsep kata, atau tegasnya kata berdasarkan bentuknya dapat kita bagi atas:



  1. Kata dasar.

  2. Kata berimbuhan, yang dapat dibagi lagi atas:

    1. Kata yang berawalan (ber-prefiks).

    2. Kata yang bersisipan (ber-infiks).

    3. Kata yang berakhiran (ber-sufiks).

    4. Kata yang berkonfiks.

  3. Kata ulang.

  4. Kata majemuk.

Baik kata dasar maupun kata-kata jadian (kata berimbuhan, kata berulang, dan kata majemuk), walaupun di satu pihak terdapat perbedaan dalam morfologinya tetapi di pihak lain ada kesamaan dalam fungsi dan dalam arti. Fungsi dari segala macam bentuk kata ini adalah secara langsung dapat membina kalimat. Sedangkan dalam bidang arti tiap-tiapnya mengandung suatu ide yang tertentu. Ide yang terkandung dalam kata kerja lain dari pada ide yang ditimbulkan oleh kata pekerjaan, dan keduanya lain dari pada ide yang terkandung dalam kata bekerja, mengerjakan, dan dikerjakan. Masing-masing mewakili ide yang berlainan.

Nasalisasi adalah proses merubah atau memberi nasal pada fonem-fonem. Dalam menasalkan suatu fonem, orang tidak berbuat sesuka hati tetapi harus mengikuti kaidah-kaidah yang tertentu. Setiap fonem yang dinasalkan haruslah mengambil nasal yang homorgan. Artinya nasal yang mempunyai articulator dan titik artikulasi yang sama seperti fonem yang dinasalkan itu.

Jadi: p dan b harus mengambil nasal m (karena sama-sama bilabial).

t dan d harus mengambil nasal n (karena sama-sama dental).

k dan g harus mengambil nasal ng (karena sama-sama velar) dan sebagainya.

Dalam proses nasalisasi itu tampak pula bahwa: b, d, g, j, tidak pernah hilang bila mengalami nasalisasi, sedangkan p, t, k, s, hilang atau luluh. Hal ini terjadi karena b, d, g, itu adalah konsonan bersuara, sama seperti konsonan-konsonan nasal itu. jadi tidak perlu diadakan penyesuaian lagi, karena sifat fonem itu sama (bersuara). Sebaliknya p, t, k, s, adalah konsonan yang tak bersuara yang harus disesuaikan dengan fonem nasal yang bersuara. Dalam penyesuaian ini konsonan-konsonan yang tak bersuara itu mengalami peluluhan. Kecuali itu fonem-fonem /r/, /y/, /l/, /w/ tampaknya tidak mendapat nasal, misalnya: merajai, meyakinkan, mewarnai, melakukan, dan sebagainya. Namun prinsip, yang kita ambil adalah pembentukan dengan prefiks me- harus melalui proses nasalisasi, maka kata-kata yang fonem awalnya adalah r, y, l, w, juga harus mengalami proses nasalisasi. Nasalisasi semacam ini dikenal dengan istilah zero (=tidak ada).

Ada persoalan lain yang timbul dalam nasalisasi. Mengapa kadang-kadang kita mendapat bentuk-bentuk kembar seperti: menertawakan dan mentertawakan?

Untuk menjawab persoalan di atas, baiklah kita melihat bentuk-bentuk seperti: mempertahankan, memperbaiki, mempersatukan dan sebagainya. Fonem /p/ di sini tidak diluluhkan, walaupun /p/ adalah konsonan tak bersuara. Sebaliknya bentuk-bentuk seperti mengeluarkan, mengemukakan, mengetengahkan mengalami peluluhan pada fonem awalnya: /k/. Selanjutnya kata-kata asing seperti: sabot, koordinir, dan lain-lain tetap mempertahankan konsonan awalnya walaupun konsonan itu tak bersuara.

Jawaban dari semua persoalan di atas ialah pada prinsipnya peluluhan berlaku pada kata-kata dasar, bukan pada afiks (imbuhan). Kata tertawa oleh sebagian orang dianggap atau dirasakan sebagai terdiri dari prefiks ter- dan kata dasar tawa. Sebab itu dibentuklah kata jadian menertawakan. Sebagian lagi menganggap tertawa adalah kata dasar sebab itu fonem /t/ diluluhkan sehingga terdapat bentuk menertawakan. Kata keluar juga dirasakan sebagai satu kata dasar, sebab itu dibentuk kata turunan: mengeluarkan. Sedangkan bentuk-bentuk seperti mengetengahkan, mengemukakan dibentuk secara analogi mengikuti bentuk mengeluarkan.

Sebaliknya kata-kata asing yang terasa masih asing, tetap mempertahankan konsonan-konsonan tak bersuara untuk menjaga jangan sampai menimbulkan salah paham.

Ringkasnya nasalisasi harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:


  1. Nasalisasi berlanggung atas dasar homorgan.

  2. Dalam nasalisasi konsonan bersuara tak luluh, konsonan tak bersuara diluluhkan.

  3. Nasalisasi hanya berlangsung pada kata-kata dasar, atau yang dianggap kata dasar.

  4. Fonem-fonem y, r, l, dan w dianggap mengalami proses nasalisasi juga tetapi nasalisasi yang zero (=tidak ada).27

  5. Yüklə 0,7 Mb.

    Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   15




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin