Terencana, terkoordinasi, teruji, dan terbukti


Gambar : Kepemimpinan dan Komponen Sistem Organisasi



Yüklə 0,6 Mb.
səhifə4/11
tarix08.01.2019
ölçüsü0,6 Mb.
#92761
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11

Gambar : Kepemimpinan dan Komponen Sistem Organisasi

Pada gambar tersebut terlihat bahwa kepemimpinan merupakan pusat sistem organisasi. Hal ini sesuai dengan pemahaman bahwa pemimpin merupakan jantung organisasi. Kepemimpinan merupakan pusat dari setiap interaksi, keputusan, komunikasi dan tindakan dalam organisasi. Kepemimpinan diumpamakan seperti jantung manusia dan sistem sirkulasi yang menentukan hidup manusia. Elemen kunci kepemimpinan meliputi pemimpin-pengikut, pengaruh, orang, perubahan dan tujuan organisasi).



PENGARUH

TUJUAN ORGANISASI

KEPEMIMPINAN

PEMIMPIN-PENGIKUT

ORANG

PERUBAHAN


Gambar : Elemen Utama Definisi Kepemimpinan

Organisasi mepunyai dua klasifikasi pekerja, yakni manajer dan pekerja. Manajer memiliki bawahan dan kewenangan formal untuk menyatakan kepada bawahan mengenai apa yang dikerjakan, sedangkan para pekerja tidak memiliki kedua hal yang dimiliki oleh manajer. Semua manajer memerankan empat fungsi utama, yakni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan. Kepemimpinan merupakan bagian tugas manajer yang menjalankan fungsi kepemimpinan secara efektif. Di sisi lain, ada juga sejumlah orang yang bukan manajer, namun mempunyai pengaruh besar terhadap karyawan. Fenomena inilah yang menyebabkan mengapa Lussier dan Achua (2001) tidak mempertukarkan pemakaian kata manajer dan pemimpin. Kata manajer dipakai untuk menunjukkan orang yang memiliki titel dan kewenangan formal. Sedangkan kata pemimpin dipakai untuk menunjukkan orang yang dianggap sebagai manajer atau bukan manajer. Pemimpin selalu memliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, sebaliknya manajer mungkin saja tidak memiliki kemampuan itu. Pemimpin tidak perlu orang yang memegang sejumlah posisi formal seperti manajer.

Pengembangan organisasi disingkat PO merupakan suatu strategi perbaikan organisasi yang menggunakan prinsip-prinsip dan praktek ilmu keperilakuan untuk meningkatkan efektivitas individu, kelompok dan organisasi. PO diaplikasikan dalam konteks yang luas dan ditetapkan sebagai strategi untuk memfasilitasi perubahan dalam organisasi (French et al, 2000: v). PO mengacu pada organisasi dan pengembangannya.

Menurut Schein (1992), organisasi adalah koordinasi kegiatan sejumlah orang yang direncanakan untuk mencapai maksud atau tujuan umum. Kegiatan ini dilakukan melalui pembagian tugas dan fungsi serta melalui hirarki kewenangan dan tanggung jawab. Organisasi merupakan sistem sosial yang memiliki sejumlah karakteristik. Sedangkan pengembangan adalah aksi atau tindakan, proses, hasil atau pernyataan mengenai sesuatu yang dikembangkan yang juga berarti memajukan, mempromosikan pertumbuhan, mengembangkan kemungkinan dari, mengarah ke masa depan, memperbaiki, atau memperluas sesuatu. Dua elemen penting dari definisi ini adalah pertama, pengembangan dapat diartikan sebagai tindakan, proses atau keadaan akhir. Kedua, pengembangan diartikan sebagai perbaikan sesuatu. Menurut French et al (2000:3), PO merupakan perubahan sistem yang direncanakan untuk lebih memungkinkan organisasi mencapai tujuan dan sasarannya dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Organisasi (di sini) diartikan sebagai sistem sosio-teknikal. PO dicapai dengan cara mengajar anggota organisasi untuk memanajemeni perubahan proses, struktur dan kultur organisasi secara lebih efektif.

Beberapa hal yang dapat diidentifikasi dalam PO yang membedakan dengan pengembangan lainnya menurut para pakar adalah:


  1. PO digunakan untuk seluruh sistem organisasi secara keseluruhan, misalnya untuk seluruh bagian dalam suatu departemen sebagai suatu sistem atau suatu unit sebagai suatu sistem.

  2. PO diterapkan berdasarkan ilmu pengetahuan perilaku, termasuk di dalamnya konsep mikro seperti kepemimpinan, dinamika kelompok dan perencanaan kerja serta konsep makro seperti strategi organisasi, struktur organisasi dan hubungan antara organisasi dengan lingkungannya.

  3. Pembaruan, perubahan dan penyempurnaan yang dikenalkan oleh PO secara normal bukan hanya diterapkan pada perencanaan bisnis, melainkan pula PO merupakan strategi yang adaptif bagi organisasi.

  4. PO merupakan kreasi dan konsekuensi penguatan perubahan itu sendiri.

  5. PO meliputi strategi, struktur dan proses pembaruan serta perubahan dan penyempurnaan.

  6. PO berorientasi untuk menyempurnakan efektivitas organisasi.

French dan rekannya merumuskan sifat dan karaktristik PO yang paling menonjol yaitu:

  1. Lebih menekankan walaupun tidak eksklusif pada proses kelompok dan organisasi dibandingkan dengan isi yang substantif.

  2. Menekankan kerja tim.

  3. Menekankan manajemen kolaboratif dari budaya kerja tim.

  4. Menekankan manajemen yang berbudaya sistem keseluruhan.

  5. Mempergunakan model penelitian kaji tindak (action research).

  6. Mempergunakan ahli-ahli perilaku sebagai agen pembaharuan atau katalisator.

  7. Suatu pemikiran dari usaha perubahan tersebut ditujukan bagi proses-proses yang sedang berlangsung.

Hal yang perlu dipahami dari uraian di atas adalah konsep pengembangan organisasi merupakan isi dan konteks yang mewadahi perubahan struktur organisasi yang berpengaruh terhadap kapabilitas organisasi.

Collin Bainbridge (1996) mengemukakan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam mendesain perubahan terhadap organisasi antara lain pertama, menganalisis situasi secara lebih teliti, faktor atau tekanan apa yang mendorong terjadinya perubahan, apakah faktor internal atau faktor eksternal. Hal ini memerlukan respon dalam bentuk desain yang mencakup proses untuk menanggulangi kendala yang ditimbulkan. Langkah kedua adalah membahas konsep desain tersebut, kemudian menunjukkan bagaimana desain disusun. Upaya ini tidak hanya mencakup cara kerja baru, melainkan pula kemampuan mengidentifikasi setiap segi perubahan yang terjadi di dalamnya. Ketiga, membahas pengembangan desain tersebut dengan mempergunakan kemampuan sistem informasi berbasis teknologi, memodifikasi budaya kerja, mengembangkan keahlian dan teknologi melalui pendekatan yang terintegrasi. Keempat, membahas keahlian dan pendekatan yang dapat mendeteksi proses perubahan. Hal ini mencakup pemanfaatan secara nyata proses perubahan dan kapabilitas pendukungnya yang mencakup pengelolaan program dan komunikasi, sehingga organisasi terhindar dari penyimpangan pola rancangan dan dari program pengembangan ke arah pelaksanaan.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Baindbridge, David A. Nadler dkk (1994) mengemukakan pula pendekatan manajemen perubahan melalui lima tahap, yaitu dimulai dengan mendiagnosis keadaan, baik yang menyangkut kekuatan, kelemahan, ancaman maupun peluang dan keunggulannya. Fokus kegiatan ini adalah pada aspek kepemimpinan, identitas organisasi dan arsitektur organisasi. Kedua, menjelaskan dan membangunan koalisi dengan cara menyeleksi dan mengklarifikasi visi keadaan ke depan, menciptakan agen perubahan dan mengoptimalkan rencana perubahan organisasi serta intervensi yang dilakukan. Ketiga, tindakan yaitu melakukan aktivitas organisasi yang merupakan penyelesaian dari serangkaian isu yang harus dipecahkan melalui tindakan nyata. Keempat, konsolidasi dan perbaikan. Kelima, tindakan untuk mempertahankan (sisi positif dan kemanfaatan) dari perubahan yang telah dilakukan.

Pendekatan manajemen perubahan lainnya yang dapat diadopsi adalah apa yang dikemukakan oleh Lance A. Berger dkk (1994). Kegiatan pertama yang dilakukan menurut Berger dkk adalah mengidentifikasi sumber pemicu perubahan (change trigger), menilai dampak dari pemicu perubahan, menilai kesesuaian organisasi dengan situasi eksternal, memutuskan perubahan yang diambil, menetapkan rencana perubahan dan melakukan penyesuaian dengan elemen-elemen manajemen. Sementara itu, pendekatan manajemen perubahan yang dikemukakan oleh Kotler (1996) dikenal dengan proses delapan tahap yang meliputi tahap: (1) Menetapkan rasa urgensi, (2) membentuk koalisi pengaruh, (3) Mengembangkan visi dan strategi, (4) Mengkomunikasikan visi perubahan, (5) Memberdayakan banyak orang untuk melakukan tindakan, (6) Menghasilkan keuntungan atau kemanfaatan jangka pendek, (7) Mengkonsolidasikan hasil yang dicapai dan menghasilkan lebih banyak perubahan, dan (8) Merencanakan pendekatan baru ke dalam kultur.

Adapun elemen yang dapat diungkit untuk mendukung manajemen perubahan adalah apa yang dikemukakan – misalnya – oleh Robert H. Miles (1997) dan dikembangkan oleh Walton (2000). Elemen yang diungkit menurut Miles adalah: (1) visi, (2) strategi, (3) struktur organisasi (4) infrastruktur, (5) Sumber daya manusia, (6) kompetensi, dan (7) kultur.

Sistem Operasi


Kegiatan organisasi harus disesuaikan dengan faktor perubahan. Oleh karena itu, struktur organisasi yang dirancang dan diharapkan adalah struktur yang adaptif. Menurut Certo dan Peter (dalam Purnomo & Zulkieflimansyah, 1996) setidaknya dua alasan utama mengapa perubahan dalam strategi biasa memerlukan bahkan mengharuskan perubahan dalam struktur organisasi karena: (1) struktur organisasi menjelaskan bagaimana kebijakan akan disusun dan (2) struktur organisasi menjelaskan bagaimana sumberdaya akan dialokasikan. Oleh karena itu, apabila perubahan struktur organisasi dilakukan maka harus dapat digunakan dalam konteks formal dan informal serta dalam bentuk organisasi yang cocok. Struktur organisasi formal adalah struktur organisasi yang mewakili hubungan antara sumber daya yang dirancang oleh pihak manajemen dan biasanya disampaikan dalam bentuk bagan. Sedangkan struktur organisasi informal adalah struktur yang mewakili hubungan sosial berdasarkan persahabatan atau kepentingan bersama di antara anggota organisasi.

Sketeratangan sistem informasi sendiri sebenarnya tidak bergeser yang paling penting adalah n keputusan-keputusan yang efektif. etruktur yang adaptif terlihat dari adanya saling keterkaitan antara proses kerja, pelayanan dan informasi yang bertumpu kepada nilai obyek yang dilayani. Organisasi yang memiliki nilai seperti itu dapat dibangun di atas lima pilar, yakni: (1) Focus pada klien, (2) Keterlibatan penuh, (3) Memiliki ukuran, (4) Dukungan yang sistematik, dan (5) Perbaikan yang kontinyu (Weintraub, 1994).

Sementara itu, mengaitkan seluruh komponen organisasi agar proses operasi dapat berjalan dengan haromoni bukanlah hal yang sederhana. Oleh karena itu, untuk mengaitkan seluruh komponen organisasi agar harmoni memerlukan suatu konsep yang multi-dimensi yang mencakup hal-hal berikut:


  1. Kejelasan visi, misi, nilai dan sasaran yang akan dicapai;

  2. Rangkaian proses penyebaran yang baik dari visi, misi dan nilai untuk membantu percapaian sasaran;

  3. Metode kunci untuk mengukur kemajuan yang dicapai, termasuk proses, hasil dan keputusan klien;

  4. Komitmen seluruh komponen organisasi baik dari atas ke bawah, dari bawah ke atas dan ke samping terhadap apa yang menjadi sasaran kritik, bagaimana sasaran tersebut dicapai dan bagaimana pegawai dilibatkan, dinilai dan dihargai;

  5. Pengakuan dari luar organisasi termasuk dari para klien yang dilayani (Weintraub, 1994).

Oleh karena operasi harus diselaraskan dengan strategi perubahan, maka menurut Gunn (1994) ada delapan langkah yang dapat ditempuh:

  1. Menentukan kerangka referensi perencanaan

  2. Perencanaan

  3. Mendapatkan pengalaman dan komitmen

  4. Mendorong program perbaikan kinerja bersama-sama

  5. Pemahaman terhadap hirarki kebutuhan organisasi

  6. Rasionalisasi rencana perbaikan operasi

  7. Pembuatan rencana yang terkait dengan jelas

  8. Menempatkan orang-orang di belakang program perbaikan operasi.

Sistem Pelatihan


Orang membutuhkan pelatihan agar dapat belajar, berkembang dan meningkat. Tanpa pendidikan dan pelatihan perubahan akan terjadi dengan semborono, bahkan stagnan. Ketika individu, tim atau organisasi berhenti belajar maka ketika itu pula peningkatan kinerja akan terhenti. Pendidikan dan pelatihan memungkinkan orang dapat menyesuaikan usahanya dengan baik melalui penentuan sasaran perubahan.

Menurut Stewart (1997), pelatihan memiliki konstribusi dalam mengelola perubahan. Pertama, menjamin supaya isu dan implikasi pelatihan diterima dan dimengerti oleh para pembuat keputusan organisasi. Kedua, membantu individu, khususnya pimpinan dalam mengembangkan kemampuannya untuk berhadapan dengan perubahan itu sendiri. Ketiga, memberikan kemampuan pada pimpinan untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabnya dalam mengembangkan kemampuan para staf yang dipimpin. Keempat, memberikan kemampuan dan keterampilan dalam menggunakan proses perubahan. Kelima, seringkali perubahan tertentu akan menciptakan kebutuhan akan pengetahuan dan keterampilan baru yang harus tersedia dalam organisasi. Untuk memberikan kemampuan kepada individu supaya dapat bekerja secara efektif, maka pelatihan di sini memberikan konstribusi melalui diagnosis kebutuhan pelatihan dan pelaksanaan strategi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Keenam, fungsi yang tepat dan bermanfaat dari pelatihan dalam mendukung dan memberikan kemampuan pada individu, kelompok dan organisasi untuk secara teratur mengevaluasi kinerjanya dan membuka mata supaya dapat mengamati apa yang terjadi dalam lingkungannya.

Agar program pelatihan menjadi lebih efektif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: (1) Sebelum melatih seseorang terlebih dahulu tentukan bentuk pelatihan yang akan diterapkan kepada setiap orang; (2) Buatlah pelatihan tepat pada waktunya, (3) Laksanakan sebaik mungkin untuk membuat orang merasa cukup senang melakukan pelatihan; (4) Jangan mencela/mengancam, (5) Pelihara pelatihan secara sederhana dan informal; (6) Pilih waktu dan salah satu lokasi yang cocok tanpa mendapat gangguan; (7) Tema pelatihan agar lebih spesifik; (8) Pelihara keseimbangan pelatihan; (9) Lebih empati; (10) Mendorong anggota tim untuk saling melatih tentang perubahan yang dibuat (Galpin, 1996).

Menurut J. E. Ross (dalam Tjiptono dan Diana, 1998) dalam mengembangkan suatu sistem pelatihan akan dihadapkan pada pertanyaan sebagai berikut:



  1. Pelatihan macam apa yang akan dibutuhkan? (Penentuan kebutuhan pelatihan).

  2. Siapa yang harus dilatih? (Peserta pelatihan).

  3. Di mana lokasi pelatihan? (Tempat pelatihan).

  4. Bagaimana cara pemberian pelatihan itu? (materi dan isi pelatihan serta pemberian pelatihan)

  5. Bagaimana cara mengetahui efektivitas pelatihan yang telah dilakukan? (Evaluasi pelatihan).

Sistem Informasi


Dalam lingkungan organisasi yang gradual, informasi merupakan sumber daya yang sangat berharga bagi organisasi. Pemilikan atas informasi yang akurat dan tepat waktu menjadi syarat utama dalam menghasilkan keputusan yang efektif. Oleh karena itu, pengembangan sistem informasi menjadi hal yang amat penting.

Inti pengembangan sistem informasi itu sendiri sebenarnya tidak bergeser dari sebelumnya karena yang paling penting adalah keteraturan pengelolaan informasi sebagai sumberdaya organisasi yang diandalkan untuk meningkatkan kinerja organisasi. Untuk menjembatani maksud tersebut, pengembangan sistem informasi tidak terlepas dari kemampuan teknologi informasi yang dirancang atau digunakan.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa pengembangan kemampuan sistem informasi yang dikembangkan benar-benar merupakan refleksi dari kebutuhan suatu kegiatan sebagai suatu cara yang ditempuh dalam proses desain perubahan (Bainbridge, 1996). Pengembangan sistem informasi ditujukan untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan dalam setiap operasi organisasi serta menentukan bagaimana informasi dikumpulkan, disalurkan, diproses dan disimpan. Sistem yang baru dibangun hendaknya dispesifikasi dan dikembangkan secara bersama dengan komponen lainnya sehingga bermanfaat secara keseluruhan bagi suatu proses perubahan dan juga sesuai dengan orang yang menggunakannya, kemampuannya serta dapat direalisasikan.

Menurut Bainbridege (1996), langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam merancang kemampuan suatu teknologi informasi kaitannya dengan proses perubahan adalah:



  1. Desain, yaitu merancang keseluruhan arsitektur dan aplikasi sistem informasi yang diperlukan;

  2. Definisi, yaitu melakukan perincian kebutuhan untuk proses informasi dan gabungan aplikasi dan database;

  3. Mengembangkan kemampuan yang baru dan cocok dengan program datebase dan aplikasinya;

  4. Membongkar sistem lama, termasuk mengumpulkan data baru yang dibutuhkan, menggabungkan dan memindahkan data sistem informasi yang baru;

  5. Distribusi sistem informasi yang baru ke dalam lingkungan organisasi sebagai bagian dari kemampuan proses yang baru.

Dalam merancang sebuah sistem informasi yang baik tidak dapat dipisahkan dari bagaimana cara penggunaan teknologi. Penggunaan aplikasi komputer dan teknologi tambahan diperlukan untuk mendukung seluruh aktivitas seperti dalam berkomunikasi, jaringan kerja, percetakan, gambar, dan sebagainya.

Pengembangan kemampuan teknologi informasi untuk mendukung sistem informasi organisasi akan tergantung kepada kemampuan para pemimpin dan ahli teknologi dalam merancang dan mengimplementasikan rancangan tersebut. Menurut McKennedy dan Ducan (1995), tantangan pimpinan untuk menformulasi suatu teknologi informasi yang efektif serta membangun suatu kompetensi untuk menemukan dan mengeksploitasi sistem yang dapat meningkatkan kemampuan suatu organisasi, rahasianya terletak pada adanya keterlibatan pemimpin.

Seiring dengan berlangsungnya revolusi informasi maka kehidupan berubah secara pesat menembus sekat dan batas negara. Hal ini membawa konsekuensi pentingnya kesadaran setiap organisasi bahwa perubahan adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Organisasi dengan seluruh anggotanya yang tidak memiliki kesadaran kolektif bisa dipastikan akan ketinggalan, tidak mampu memberikan kepuasan kepada konsumen dan akhirnya akan mati ditinggalkan oleh pelanggannya. transformasi menyiratkan perubahan. Menurut Walton (2000), terdapat dua belas heuristik transformasi organisasi yang dapat dijadikan sebagai refleksi untuk memahami transformasi organisasi pada umumnya dan organisasi akademik pada khususnya. Keduabelas heuristik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Heuristik 1 : Energi Transformasi


Semua transformasi memerlukan stimulus awal untuk menciptakan urgensi perubahan. Stimulus ini muncul ketika pemimpin atau kepala akademik memahami realitas kondisi keunggulan daya saing organisasi akademik. Misalnya, kekurangan dana, studi patok duga, analisis kecenderungan industri pendidikan atau diagnosis kekuatan dan kelemahan organisasi akademik yang memotivasi perubahan. Apapun bentuk stimulusnya harus cukup kuat untuk mempengaruhi kepala akademik dan warga akademik agar mengakui urgensi dan signifikansi melakukan perubahan.

Untuk membangkitkan energi perubahan, kepala akademik perlu melihat dan mensponsori perubahan tersebut. Kepala akademik harus siap membuktikan apa yang dikatakan (walk the talk) dan memerankan model perilaku yang diharapkan. Kepala akademik juga harus aktif mengarahkan proses perubahan, memberi penghargaan kepada orang yang menunjukkan perilaku baru dan mendorong para dosen dan staf untuk melakukan perubahan yang diharapkan.

Keinginan kepala akademik secara personal untuk mendorong refleksi dan perubahan dalam dirinya merupakan motivator dan signal keamanan bagi orang lain. Untuk membangkitkan energi yang diperlukan bagi perubahan maka kepala akademik selaku pemimpin transformasional perlu memahami dinamika perubahan personal baik untuk dirinya sendiri maupun untuk semua orang dalam organisasi.

Heuristik 2 : Fokus Pelanggan


Sebagian besar praktisi organisasi sepakat bahwa kepuasan pelanggan perlu dijadikan sebagai motivasi utama bagi perubahan organisasi (Senge et al, 1999; Tapscott, 1996); Trahant & Koonce, 1997). Bentuk transformasi yang lebih terfokus pada pengendalian biaya atau peningkatan profitabilitas mungkin akan mengalienasi pelanggan dan pada akhirnya mengurangi keuntungan. Berdasarkan kenyataan tersebut Champy & Hammer (1993) mengklaim bahwa fokus pengendalian biaya disamping fokus pelanggan merupakan salah dua penyebab utama kegagalan usaha rekayasa ulang. Dalam tulisan ini pelanggan organisasi akademik meliputi pelanggan internal (para dosen dan staf dan para peserta didik) dan pelanggan eksternal (orang tua peserta didik, dunia usaha dan industri serta masyarakat).

Heuristik 3 : Komitmen Eksekutif


Komitmen kepemimpinan kepala akademik dalam proses perubahan secara umum dianggap mendasar, meskipun inisiatif perubahan yang berasal dari bawahan dan pekerja pada umumnya juga sangat penting. Dalam banyak hal, sejumlah perubahan signifikan mensyaratkan sumber daya yang sesuai dan komitmen kepala akademik untuk menyediakannya secara berkelanjutan. Selain itu, pengaruh dan kekuatan yang dimiliki kepala akademik perlu ditunjukkan sebagai pemimpin program.

Heuristik 4 : Rencana Transformasi yang Komprehensif


Langkah transformasi yang berhasil dapat mengubah sistem organisasi akademik dari kondisi saat ini ke kondisi yang diharapkan yakni akademik efektif atau akademik unggulan. Upaya ini menuntut orkestrasi dan penyelarasan perubahan organisasi akademik dengan cara mendorong kritik dari warga akademik pada umumnya dalam proses tersebut. Implementasinya bukan hanya menuntut keahlian manajemen proyek, melainkan pula keahlian dalam memanajemeni kompleksitas, reaksi emosional, politik dan menanamkan perilaku baru.

Hasil penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa tanpa perhatian terhadap dinamika perubahan maka transformasi yang dilakukan akan gagal dan tersesat ke dalam berbagai jalan yang tidak jelas (Miles, 1997; Senge et al, 1999; Wilbur, 1999). Untuk menjamin perhatian yang cukup besar terhadap dinamika perubahan maka rencana transformasi yang komprehensif perlu ditunjukkan melalui empat tingkatan yang berbeda (Anderson et al, 1995), yakni:



  1. Transformasional: pengembangan dan pemeliharaan visi, strategi, nilai-nilai dan arah yang akan dituju.

  2. Kependidikan: memasangkan keahlian manajemen perubahan, termasuk perubahan model, keahlian, metodologi dan alat-alat untuk mengkoordinir upaya yang kompleks.

  3. Tim: pengembangan kemampuan pemimpin dalam memperkenalkan keahlian ke dalam tim dan membangun tim untuk menangani perubahan secara efektif.

  4. Personal: pelatihan individu untuk menggunakan keahlian baru dan menyelaraskan dengan visi dan strategi.

Sekiranya semua tingkatan tersebut terpenuhi maka tiga proses pendukung diciptakan untuk menumbuhkan satu sama lain, yakni: (1) meningkatkan hasil yang dicapai individu, (2) jaringan kerja orang yang tertarik dan (3) meningkatkan hasil usaha (Senge et al, 1999: 43). Untuk mencapainya ada beberapa elemen kunci yang terlihat dalam implementasi yang berhasil, yakni:

  1. Metode untuk menanamkan visi dan inisiatif dalam organisasi dilakukan dengan cara menyediakan warga akademik: kesempatan mendengar perubahan dan memahami alasannya dan menyediakan peluang umpan balik dan membantu menajamkan implementasi visi serta inisiatif perubahan pada.

  2. Mekanisme untuk mengatasi konflik kepentingan. Proses perubahan harus dapat menghilangkan potensi konflik dan menyediakan arena yang aman dan memuaskan dalam mengatasi konflik. Arena tersebut dapat bersifat formal atau informal melalui tim (Bolman & Deal, 1999; Senge et al, 1994).

  3. Sarana mengatasi umpan-balik dan menyatukannya ke dalam rencana transformasi, inisiatif perubahan atau desain baru organisasi.

  4. Perhatian pada siklus pembelajaran (Senge et al, 1994). Rencana perubahan perlu mengantisipasi revisi, eksperimentasi, trial and error dan menyediakan waktu luang untuk berefleksi.

  5. Sarana untuk menanamkan perubahan dalam budaya organisasi akademik. Perilaku perubahan tidak akan terpatri dalam budaya akademik sekiranya tidak ditanamkan melalui beberapa sarana, seperti penyepadanan sistem ganjaran dan kompensasi atau tujuan kinerja personal.

  6. Akhirnya, rencana transformasi perlu diarahkan melalui rangkaian teori, metode dan alat-alat yang terkoordinasi. Menurut Senge et al (1994), teori tersebut harus didasarkan pada teori-teori perubahan organisasi yang tangguh. Tanpa teori maka pembelajaran tidak akan terjadi.

Heuristik 5 : Infrastuktur Perubahan yang Handal


Perancangan dan implementasi rencana transformasi yang komprehensif memerlukan kecakapan dan infrastruktur. Biasanya infrastruktur perubahan terdiri dari beberapa tim dimana satu sama lain memiliki tanggung jawab dan komposisi yang berbeda untuk mengkoordinir transformasi melalui sarana yang beragam dan terkait dengan berbagai tingkatan.

Kotter (1997) mendukung bahwa perubahan harus diarahkan dengan arahan koalisi yang terdiri dari lima sampai sepuluh orang individu yang terpilih untuk: (a) mengatur kekuasaan, (b) keahlian perusahaan yang berbasis luas, (c) kredibilitas dan (d) kepemimpinan. Namun, jika diperhatikan berbagai dinamika kelompok yang diperlukan bagi perubahan maka hal ini terlihat agak sederhana bagi organisasi besar.



Para pakar seperti Anderson et al (1995), Miles (1997), Jaffe & Scott (1999), Kotnour, Matkovick & Ellison (1999), semuanya merekomendasikan struktur yang mengaitkan tim dan individu. Tim tersebut pada konteks perakademikan secara umum dapat meliputi beberapa variasi berikut:

  1. Panitia pengarah kepala akademik – terdiri dari individu-individu kelas atas yang memegang fungsi utama, yakni memiliki kekuasaan dan kewenangan mengalokasikan sumber daya dan menentukan prioritas.

  2. Dewan perubahan–satu atau lebih individu yang memiliki kecakapan dalam merancang transformasi berskala besar. Individu ini melakukan aktivitas seperti menilai kesediaan melakukan perubahan, mengembangkan seminar bagi eksekutif bersama para staf dan merancang ulang transformasi seperlunya untuk mengakomodasi permasalahan yang muncul.

  3. Tim inisiator perubahan – tim yang secara khusus terfokus untuk menentukan bagaimana cara mengimplementasikan inisiatif dan mendidik organisasi. Tim ini terlihat dalam beberapa bentuk, komposisi dan ukuran.

  4. Tim lintas fungsional dan lintas kegiatan – tim yang menggambarkan kebersamaan individu, karena mungkin berasal dari berbagai komunitas praktis (community of practice). Tujuannya adalah untuk membantu mengatasi isu, mengarahkan perubahan dan mengatasi potensi pertentangan politik.

  5. Tim penasehat – kelompok individu yang berasal dari level organisasi berbeda ini berperan memberikan umpan-balik reguler mengenai kemajuan perubahan.

Heuristik 6 : Komitmen Sumber daya yang Cukup


Pada skala besar transformasi memerlukan aplikasi sumber daya yang besar secara berkelanjutan dalam waktu tertentu. Menurut Senge (1999: 43), perubahan yang dicanangkan memerlukan investasi – waktu, energi dan sumber daya. Suatu kesalahan umum jika meyakini bahwa sumber daya yang dibutuhkan dapat menekan operasi yang berlangsung. Secara pasti sejumlah sumber daya mungkin saja tersedia melalui peningkatan ukuran kinerja, namun organisasi masih perlu mengeluarkan cadangan atau meminjam uang untuk membiaya inisiatif perubahan (Miles, 1997: 21). Agar kredibel maka sumber daya harus tersedia dan terlihat. Miles lebih jauh mengakui, individu yang resisten pada perubahan menyandarkan pemahamannya pada proporsi langsung terhadap besarnya kesenjangan yang dipersepsikan antara tingkat upaya yang diperlukan dengan sumber daya yang tersedia.

Heuristik 7 : Penilaian Kesiapan melakukan Perubahan


Penilaian kesediaan kepala akademik bersama warga akademik melakukan perubahan perlu ditunjukkan sebelum melakukan perubahan. Menurut Jaffe & Scott (1999), Trahant, Burke dan Koonce (1997), penilaian kesediaan melakukan perubahan digunakan sebelum meluncurkan inisiatif perubahan untuk menentukan keluwesan dan hakekat persiapan serta tipe dan jumlah arahan yang diperlukan di sepanjang upaya tersebut. Proses perubahan akan kandas jika kurang kapabilitas dalam sistem (lihat tabel).


Yüklə 0,6 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin