Program magister ilmu komunikasi pascasarjana unisba



Yüklə 333,96 Kb.
səhifə5/14
tarix26.07.2018
ölçüsü333,96 Kb.
#59541
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   14

Komunikasi Dakwah


Menurut Toto Tasmara (dalam Ilyas: 2012) komunikasi dakwah adalah suatu bentuk komunikasi yang khas dimana seseorang komunikator menyampaikan pesan-pesan yang bersumber atau sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, dengan tujuan agar orang lain dapat berbuat amal saleh sesuai dengan pesan-pesan yang disampaikan.

Masing-masing gerakan atau organisasi Islam memiliki pendekatan dan karakteristik yang berbeda dalam menjalankan aktivitas dakwahnya. Menurut As-Suri(2009), pendekatan dakwah gerakan Islam terbagi menjadi empat aliran: non-politik, politik, jihadi, dan aliran-aliran yang menyimpang. Sedangkan Kuntowijoyo pernah mengeluarkan istilah Islam Kultural dan Islam Struktural untuk membedakan pendekatan dakwah gerakan Islam di Indonesia.

Apa yang disebutkan oleh As-Suri sebagai gerakan non-politik, praktiknya terbagi dua: mereka yang melakukan pendekatan sosial-budaya (Islam kultural menurut bahasa Kuntowijoyo) serta mereka yang melakukan pendekatan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar (sebagaimana yang dilakukan oleh Salafi, Sufi, Jamaah Tabligh, dan FPI). Sedangkan apa yang disebutkan oleh As-Suri sebagai aliran politik adalah mereka yang oleh Kuntowijoyo disebut melakukan pendekatan dakwah struktural. Dari sini, Peneliti menyimpulkan bahwa komunikasi dakwah umat Islam di Indonesia terbagi ke dalam empat aliran: pendekatan sosial-budaya (kultural), pendekatan tarbiyah dan dakwah, pendekatan politik, dan pendekatan jihad.

Adapun yang disebutkan oleh As-Suri sebagai aliran-aliran yang menyimpang, maksudnya adalah mereka yang terpengaruh paham Khawarij. Mereka menganggap diri mereka sedang berjihad namun kenyataannya justru sedang menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Aliran ini tidak akan dibahas secara terpisah mengingat aliran ini banyak bernaung di bawah label “salafi jihadi”. Sehingga aliran tersebut akan digabungkan dengan kelompok yang menggunakan pendekatan jihad. Namun, Peneliti akan berusaha untuk memberikan klasifikasi dan identifikasi yang terang agar kita tidak terjebak pada generalisasi yang menyatakan bahwa seluruh aliran jihad adalah menyimpang.


BAB III

MADZHAB-MADZHAB DALAM ISLAMYANG MEMPENGARUHI KONDISI UMAT ISLAM DI INDONESIA




  1. Madzhab-Madzhab Aqidah (Firqah)

  1. Ahlul Hadits/ Ahlul Atsar


Ditinjau dari sudut pandang bahasa, ahlul hadits atau ahlul atsar artinya orang yang memegang teguh hadits Nabi atau atsar para Sahabat.18 Golongan ini berpendapat bahwa keselamatan hanya akan diraih dengan berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah dan keyakinan para Sahabatnya, baik dalam permasalahan akidah, ibadah, atau akhlak.

Ulama yang mengangkat dan disebut-sebut sebagai orang yang paling berjasa dalam menyebarkan istilah ini adalah Ibn Taymiyah. Dalam Majmu’ Fatawa (3/347) ia mengatakan,

Manusia yang lebih berhak menjadi golongan yang selamat adalah Ahlul Hadits dan As-Sunnah. Mereka tidak memiliki panutan yang diikuti kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka manusia yang paling mengetahui perkataannya dan perbuatan Nabi. Mereka manusia yang paling membedakan antara hadits yang shohih dan yang lemah. Para imam hadits adalah ulama’ yang faqih, mereka adalah manusia yang paling memahami makna hadits dan mengikutinya dengan keyakinan, perbuatan, kecintaan dan loyalitas kepada siapa yang loyalitas terhadap As-Sunnah. Mereka memusuhi siapa yang memusuhi As-Sunnah, yaitu orang-orang yang menolak nash-nash yang bersifat global yang datang dari Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka bukanlah orang yang mengambil perkataan, lalu menjadikannya sebagai dasar agama dan keyakinan mereka, walaupun tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasul, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang menjadikan seluruh apa yang dibawa Rasul dari Al-Quran dan As-Sunnah sebagai dasar yang mereka yakini dan jadikan sandaran.

Ciri khas pemahaman Ahlul Hadits adalah mengikuti pemahaman para sahabat Nabi dalam menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah, serta tidak menafsirkan kata-kata yang memang tidak ditafsirkan oleh pada Sahabat atau Tabi’in. Misalnya, kata “yadullah” tangan Allah atau “wajhullah” wajah Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah, golongan Ahlul Hadits menetapkan semua itu bagi Allah dengan meyakini bahwa semua itu sesuai dengan kesucian dan ketinggian Allah, serta tidak sama dengan makhluk-Nya. Hal ini disebabkan, para sahabat ataupun para ulama setelahnya tidak menafsirkan kalimat tersebut, melainkan mereka mendiamkannya dan meneyerahkan hakikat maknanya kepada Allah saja.

Sebelum Ibn Taymiyah, ulama yang berperan menyebarkan pemahaman ini adalah Ahmad ibn Hanbal, pendiri madzhab Hanbali dan puteranya Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal. Ia yang kemudian menuliskan fatwa-fatwa ayahnya dan menyebarkannya. Para ulama Ahlul Hadits selalu menyandarkan keyakinannya kepada para ulama terdahulu (ulama salaf). Karenanya, mereka juga dikenal dengan nama madzhab salaf. Dari kalangan madzhab Syafi’i, mereka menyandarkan pendapatnya kepada Abul Hasan Al-Karji, Abu Hamid Al-Isfirayini, dan Abu Ishaq Asy-Syirazi. Dari kalangan madzhab Hanafi, mereka menyandarkan pendapatkan kepada Abu Ja’far Ath-Thahawi, yang merangkum keyakinan Ahlul Hadits dalam kitabnya yang dikenal dengan nama “Aqidah Thahawiyah”, dan Ibn Abil ‘Izz Al-Hanafi, yang kemudian memberikan penjelasan kitab Aqidah Thahawiyah.

Adapun dari kalangan madzhab Maliki, para ulama yang dijadikan sandaran di antaranya Ibn Abdil Barr Al-Maliki dan Ibn Khuwaiz Mindaz. Lebih dari itu, golongan Ahlul Hadits berpendapat bahwa inilah keyakinan yang dianut oleh keseluruhan para sahabat dan para ulama setelahnya dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Fudhail ibn Iyadh, Malik ibn Anas (pendiri madzhab Maliki), dan Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i (pendiri madzhab Syafi’i).

Tokoh-tokoh kemudian yang menganut keyakinan Ahlul Hadits selain Ibn Taymiyah di antaranya IbnQayimAl-Jawziyah, dan Muhammad ibn Abdul Wahab. Pada masa dakwah Muhammad ibn Abdul Wahab, orang-orang yang berpandangan negatif terhadap paham ini menyebut madzhab Ahlul Hadits sebagai Wahhabi, yang dinisbatkan kepada Muhammad ibn Abdul Wahab. Istilah Wahhabi sendiri merupakan celaan yang ditujukan kepada Muhammad ibn Abdul Wahab dan para pengikutnya. Hal ini disebabkan cara-cara mereka yang dianggap frontal terhadap pelaku TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat).19Paham ini kemudian menyebar di wilayah Hijaz dan disebarkan oleh para ulama Hanabilah kontemporer seperti Abdullah ibn Abdul Aziz ibn Bazz, Muhammad ibn Shalih Al-Utsaymin, dan Nashiruddin Al-Albani.

Paham Ahlul Hadits disebut-sebut telah masuk ke Indonesia pada masa Imam Bondjol, dimana ia adalah orang yang cukup keras dan tegas dalam menolak paham-paham di luar Islam. Baik berasal dari kebudayaan setempat atau ajaran agama lain. Namun, semua itu butuh Penelitian ulang mengingat belum ada catatan sejarah yang detail mengenai hal ini.

Paham Ahlul Hadits sendiri mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan banyaknya para pelajar dari Indonesia yang menuntut ilmu ke wilayah Arab, khususnya di Makkah dan Madinah. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintahan Saudi Arabia secara resmi menganut paham Ahlul Hadits dalam masalah akidah dan madzhab Hanabilah dalam masalah fikih.

Selain itu, berdirinya beberapa lembaga pendidikan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) atau beberapa Ma’had yang disokong oleh pemerintahan dan para ulama Saudi semakin memperluas penyebaran madzhab Ahlul Hadits. Bahkan beberapa tahun terakhir, lembaga pendidikan, organisasi, atau yayasan yang mengikuti paham ini semakin banyak bermunculan. Sebut saja misalnya Yayasan Al-Huda di Bogor, yang menginisiasi berdirinya Harakah Sunniyah untuk Masyarakah Islam (HASMI), atau Yayasan Al-Sofwa di Jakarta yang telah lama bekerjasama dengan Saudi Arabia dalam rangka pertukaran pelajar dan mengisiasi masuknya para ulama Timur Tengah untuk memberikan ta’lim di Indonesia. Di luar Jawa ada Yayasan Fathul Mu’in di Makassar yang menginisiasi berdirinya Wahdah Islamiyah (WI), Ma’had As-Sunnah di Makassar, Yayasan AnshorusAs-Sunnah di Batam, dan masih banyak lagi yayasan, ma’had, atau organisasi berbasis madzhab Ahlul Hadits yang tersebar di seluruh Nusantara.



  1. Asy’ariyah


Mereka adalah pengikut Abul Hasan Ali ibn Isma’il Al-Asy’ari (wafat th. 324 H). Sebelumnya ia menganut pemahaman Mu’tazilah selama 40 tahun, kemudian berpindah kepada paham Ibn Kullab yang menetapkan sebagian sifat-sifat Allah dan mentakwil sebagian yang lain. Setelah itu menjelang akhir hayatnya ia kembali kepada pemahaman Salaf (Ahlul Hadits) dan menulis kitab Al-Ibanah dan Maqalaatul Islamiyyin. Pada kedua kitab tersebut disebutkanbahwa ia mengikuti pendapat Ahmad ibn Hanbal, dan pendapatnya mengikuti semua pendapat Ahmad. Namun, para pengikutnya mengambil pemahaman Abul Hasan yang masih menganut paham Ibn Kullab dan menisbatkan pemahaman tersebut kepadanya, sehingga mereka menamakan diri dengan Al-Asyaa’irah atau Al-Asy’ariyah (Al-Syahrastani, 1992: I/ 81).

Para pengikut Asy’ariyah sendiri meragukan kebenaran kitab Al-Ibanah. Mereka berpendapat bahwa buku tersebut telah mengalami perubahan dari para kelompok Ahlul Hadits (yang lebih sering disebut Wahhabi oleh mereka)dan dipalsukan atas nama Abul Hasan Al-Asy’ari.20 Namun pendapat tersebut dibantah oleh para pengikut Ahlul Hadits.21 Jadi, pengikut Asy’ariyah berpendapat bahwa Abul Hasan tidak pernah mengikuti paham Ahlul Hadits, sebagaimana yang disebutkan oleh para pengikut Muhammad ibn Abdul Wahab. Bahkan, mereka menyatakan bahwa paham ulama salaf bukanlah sebagaimana yang diyakini oleh golongan Ahlul Hadits, melainkan apa yang diyakini oleh Asy’ariyah.

Di antara paham Asy’ariyah yang membedakan antara mereka dengan Ahlul Hadits adalah dalam permasalahan nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Bila Ahlul Hadits menerima kata-kata seperti “yadullah” atau “wajhullah”, maka Asy’ariyah memilih untuk mentakwil maknanya (mengalihkan maknanya) kepada sesuatu yang dianggap lebih sesuai dengan kebesaran dan kesucian Allah. Maka, mereka menafsirkan “yadullah” sebagai “kekuatan” dan “wajhullah” sebagai Dzat Allah. Hal ini disebabkan kehati-hatian mereka agar tidak terjebak pada menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.22

Organisasi Islam di Indonesia yang resmi menganut madzhab Asy’ariyah dalam masalah akidah adalah Nahdlatul Ulama (NU).23 NU mengakui bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah bukanlah madzhab Ahlul Hadits yang disebarkan oleh Ibn Taymiyah atau Muhammad ibn Abdul Wahab (mereka menyebutnya Wahhabi). Menurut NU, madzhab akidah yang layak mendapatkan gelar Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah madzhab Asy’ariyah. Karenanya, secara resmi NU menganut madzhab Asy’ariyah, yang dikombinasikan dengan Maturidiyah24 dalam masalah akidah, mengikuti salah satu Tarekat Sufiyah dalam permasalahan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dan mengikuti salah satu dari empat madzhab yang diakui ulama Sunni: Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah dalam permasalahan fikih. Dalam praktiknya, masyarakat Nahdliyin (sebutan bagi para pengikut NU) lebih memilih madzhab Syafi’iyah dalam masalah fikih.

Selain NU, hampir sebagian besar organisasi dan gerakan Islam di Indonesia berbasis pada madzhab Asy’ariyah-Maturidiyah dalam masalah akidah. Persis dan Muhammadiyah misalnya. Walaupun kedua ormas tersebut memiliki perbedaan gaya beragama dengan NU, namun dari sisi pemahaman akidah mereka memiliki kesamaan dengan NU. Namun, karena Persis dan Muhammadiyah cenderung lebih terbuka dengan madzhab yang lain, maka pengaruh-pengaruh Ahlul Hadits -dengan mengkaji kitab-kitab Ibn Taymiyah atau Muhammad ibn Abdul Wahab- dan Mu’tazilah -yang menjadikan landasan ilmu logika mereka- juga mudah masuk.

Selain itu, secara organisatoris tidak ada ketentuan dari kedua ormas tersebut bahwa kader-kadernya harus menuntut ilmu di tempat tertentu, sehingga beberapa kader mereka yang menuntut ilmu di Timur Tengah membawa warna baru saat kembali ke tanah air. Hal ini berbeda dengan NU yang cenderung tertutup dalam permasalahan pemikiran. Bahkan, kebanyakan kader NU benar-benar harus memilah dan memilih tempat mana yang benar-benar layak untuk dijadikan tempat menuntut ilmu. Sampai saat ini Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Al-Ahgaf di Yaman menjadi pilihan utama para kader NU. Kedua universitas tersebut dianggap relatif “aman” untuk menjaga akidah Asy’ariyah. Khusus Universitas Al-Ahgaf, mereka memang secara resmi menganut akidah Asy’ariyah.

Walaupun demikian, belakangan generasi muda NU justru sangat dipengaruhi oleh Mu’tazilah, terbukti bahwa di antara mereka bergabung dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Hal ini merupakan akibat dari banyaknya kader NU yang juga mulai membuka diri dengan pemikiran Barat, baik dengan menuntut ilmu di Barat atau mengkaji pemikiran-pemikiran mereka. Akhirnya sebagian di antara mereka ada yang lebih memprioritaskan akal dibandingkan wahyu.

Beberapa organisasi Islam yang lain, seperti Darul Islam (DI) dan Al-Irsyad Al-Islamiyah juga berbasis madzhab Asy’ariyah dalam masalah akidah. Namun, dalam perkembangannya ada sebagian tokoh mereka yang sangat terpengaruh madzhab Ahlul Hadits yang kemudian berusaha mengubah warna organisasi tersebut. Usaha itu tidak sepenuhnya berhasil. Akibatnya terjadi perpecahan atau pemisahan diri, seperti yang dilakukan oleh Abdullah Sunkar dan Abu Bakr Ba’asyir saat memisahkan diri dari DI dan membentuk Jamaah Islamiyah (JI) pada awal 1990-an. Sedangkan Al-Irsyad hari ini terpecah menjadi dua kubu, kubu Asy’ariyah yang cenderung tradisional dan kubu Ahlul Hadits yang cenderung modern.



  1. Khawarij


Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibn Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jamaah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja” berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.25

Khawarij adalah golongan politik yang menolak sikap Ali ibn Abi Thalib dalam menerima paham penyelesaian sengketa antara Ali sebagai Khalifah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang menuntut Khalifah.Meskipun mereka semula adalah pengikut Ali, tetapi akibat politik penolakan mereka atas sikap Ali dalam paham itu.

Mereka lalu keluar dari kelompok Ali dan membentuk golongan sendiri yang dikenal golongan Khawarij. Golongan ini disebut juga dengan nama Haruriyah, karena mereka berjumlah 12.000 orang itu memisahkan diri dari Ali menetapkan pimpinan baru disuatu kampung yang bernama Harura yang terletak didekat kota Kufah, Irak. Dalam pertempuran dengan pasukan Ali,Khawarij mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seorang Khariji bernama Abd AlRahman Ibn Muljam dapat membunuh Ali.26

Berkenaan dengan keyakinan orang-orang Khawarij, Harun Nasution27 mengidentifikasi beberapa ciri yang dapat dikategorikan sebagai aliran Khawarij atau minimal terpengaruh pemikiran Khawarij, yaitu:



  1. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.

  2. Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan.

  3. Orang-orang islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali pada Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang seperti mereka pahami dan amalkan.

  4. Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri.

  5. Mereka bersifat fanatik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk tujuan mereka.

Saat ini sepertinya sulit menemukan golongan yang murni menganut madzhab Khawarij dalam masalah akidah. Namun, golongan yang terpengaruh madzhab ini sangat banyak. Awal perkembangan golongan ini dalam dunia gerakan kontemporer bermula di Mesir pada sekitar tahun 1960-1970. Saat penguasa Mesir semakin represif, para aktivis Islam, yang sebagian besarnya merupakan anggota Ikwhanul Muslimin mengalami penyiksaan, pemenjaraan, dan kekerasan lainnya. Efeknya, sebagian di antara mereka ada yang bekerjasama dengan pemerintah Mesir dan dilabeli pengkhianat oleh aktivis yang lain. Sedangkan sebagian lainnya justru semakin kuat memegang teguh keyakinannya, bahkan mengarah kepada sikap ekstrem dalam beragama dan beraktivitas.

Beredarnya buku-buku akidah dan jihad pada saat itu merupakan berkah tersendiri bagi gerakan Islam. Sayangnya, buku-buku tersebut kemudian banyak dikaji oleh mereka yang memiliki kecenderungan ekstrem dalam beragama, sekaligus tidak memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.Sehingga sangat berpotensi memunculkan distorsi pemahaman. Saat itulah kemudian muncul gerakan yang disebut sebagai “Jamaah Hijrah wat Takfir (JHT).”

JHT sendiri kebanyakan merupakan mantan aktivis Ikhwanul Muslimin, bahkan salah satu tokohnya Syukri Mustafa merupakan anggota aktif IM yang kemudian dikeluarkan karena memiliki paham yang berbeda dengan IM. Ciri khas JHT adalah mengkafirkan pemerintahan yang zhalim dan mengkafirkan orang-orang yang tidak berada di golongan mereka. Khususnya orang-orang yang tidak mau ikut serta dalam memerangi pemerintahan. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk membunuh orang-orang yang telah divonis murtad-kafir tadi.

Pemikiran ini terus berkembang hingga kini. Di Indonesia, pemikiran ini menyebar di kalangan aktivis DI dan organisasi turunannya, seperti Jamaah Muslimin (Hizbullah), Khilafatul Muslimin (Khilmus), dan NII KW-IX Al Zaytun. Pemikiran ini juga mempengaruhi organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang sebelumnya bernama Islam Jamaah dan Lemkari.

Belakangan, paham ini mulai menyurut pada ormas-ormas yang telah disebutkan. Mereka mulai melunak dalam menghadapi orang-orang yang berada di luar kelompoknya. Namun, paham ini kemudian menyebar di kalangan aktivis SalafiJihadi. Tokoh yang memiliki andil dalam penyebaran paham ini adalah Aman Abdurrahman, yang disebut-sebut memimpin Tanzhim Tawhid wal Jihad dan Halawi Makmun. Dua tokoh ini dikenal sangat keras terhadap pemerintahan RI dan orang-orang yang tidak memusuhi pemerintahan RI. Bahkan mudah sekali mengeluarkan vonis murtad-kafir kepada orang-orang yang berlawanan pendapat dengan mereka.

Penyebaran paham tersebut sangat meresahkan aktivis Islam, karena di antara akibat dari paham tersebut adalah mudahnya mereka menumpahkan darah kaum muslimin. Bagi orang-orang yang tidak mengidentifikasi golongan ini dengan baik, maka biasanya ia akan terjebak dalam menyamaratakan gerakan SalafiJihadi atau menyamaratakan golongan yang berbasis pada pemikiran Ahlul Hadits (Wahhabi) sebagai kelompok Takfiri.28 Lebih jauh, orang-orang awam akan menyamaratakan seluruh aktivis Islam sebagai orang yang keras dan haus darah.



  1. Murji`ah


Nama Murji`ah diambil dari kata irja atau arja`a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja`a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja`a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji`ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.

Aliran Murji`ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran Khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim dihadapan Allah, karena hanya Allah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula seorang mukmin yang melakukan dosa besar. Mereka masih dianggap mukmin di kalangan Murji`ah.


Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji`ah adalah:

  1. Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tidak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal dan sulit diterima kalangan Sunni secara umum, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam merupakan satu kesatuan.

  2. Selama meyakini dua kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tidakdivonis murtad. Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak menjatuhkannya di akhirat.29

Dalam perkembangannya, Murji`ah juga mengalami perpecahan dan perbedaan pendapat internal. Karenanya kemudian terjadi pemilahan yang dikenal dengan istilah Murji`ah fuqaha atau Murji`ah Sunnah, Murji`ah moderat, dan Murji`ah ekstrem.

Pemikiran Murji`ah Ekstrem dianggap telah keluar dari Islam karena penyimpangan mereka terlalu jauh. Bahkan hingga terjadi penolakan mereka terhadap ayat-ayat Al Qur`an. Sedangkan Murji`ah Moderat masih diakui sebagai bagian dari kaum muslimin namun tidak dimasukan sebagai bagian dari kaum Sunni.

Murji`ahSunnah atau disebut juga Murji`ah Fuqaha merupakan pemikiran Murji`ah yang paling pesat berkembang. Murji`ah ini masih dianggap bagian dari Sunni. Salah satu tokohnya, Abu Hanifah juga dikenal sebagai ulama besar di kalangan Sunni. Akibatnya, para ulama Sunni baik dari kalangan Ahlul Hadits maupun Asy’ariyah-Maturidiyah banyak dipengaruhi oleh pemahaman Murji`ahAs-Sunnah.

Menurut Abu Mush’ab As-Suri (2009: 44), doktrin Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan ulama penguasa, yaitu saat sistem monarki lahir dan sistem khilafah lenyap. Di sini, terjadi pemisahan antara penguasa dan Al-Quran.Akidah ini secara ringkas bisa digambarkan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan pernyataan dengan lisan saja. Para penganut doktrin ini tidak memasukkan amal dari bagian makna iman.

Pemahaman ini sangat mendukung keberadaan para penguasa yang zhalim, karena mereka berpendapat bahwa kezhaliman tersebut tidak akan membahayakan keimanan seseorang. Artinya, sezhalim apapun seseorang,masih dianggap seorang muslim mukmin. Padahal para ulama Sunni sepakat bahwa ada amalan-amalan tertentu yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran dan mengakibatkan murtad.

Adapun pada masa kini, beberapa golongan yang terpengaruh pemikiran Murji`ah adalah sebagian kelompok SalafiKonvensional, yakni mereka yang berafiliasi kepada Ali Hasan Al-Halabi (Markaz Al-Albani, Yordania) dan Rabi ibn Hadi Al-Madkhali (Ulama Madinah yang pindah ke Yaman). Dua aliran Salafi ini telah mendapatkan teguran yang keras dari Lajnah Daimah Saudi Arabia.30 Bahkan Lajnah telah mengeluarkan fatwa khusus yang menyatakan bahwa Al-Halabi dan Al-Madkhali memang terpengaruh pemikiran Murji`ah.31

Selain dua aliran Salafi yang telah disebutkan, paham Murji`ah juga mempengaruhi akidah dan keyakinan Taqiyudin An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir. Dalam masalah iman, An-Nabhani(2003: 30-32) menyatakan bahwa amal apapun tidak akan memengaruhi keimanan seseorang. Ia juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan iman adalah tashdiqul jazim (keyakinan yang kuat), adapun amalan bukan termasuk bagian dari keimanan itu sendiri.

  1. Mu’tazilah


Aliran Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis Islam (‘aqlaniy), di samping Maturidiyah Samarkand. Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan dan khalifah Hisyam Ibn Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil ibn Atha’.

Kemunculan Mu’tazilah diawali dari sebuah majlis ta’lim Al-Hasan Al-Bashri, dimana dalam satu kesempatan ada seseorang yang bertanya kepada Al-Hasan mengenai kondisi Ali ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah, serta kaitannya dengan hukum pelaku dosa besar. Hal ini ditanyakan karena pada saat itu telah berkembang aliran Khawarij dan Murji`ah yang saling bertolak belakang.

Belum sempat Al-Hasan menjawab, tiba-tiba Washil ibn Atha menjawab bahwa bahwa muslim yang melakukan dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, atau yang dikenal dengan istilah “fii manzilah bayna manzilatain”. Sedangkan Al-Hasan sendiri berpendapat bahwa seorang muslim pelaku dosa besar masih mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Yakni keluar dari majlis Al-Hasan dan keluar dari perselisihan Khawarij dan Murji`ah.

Dalam perkembangannya, para pengikut Mu’tazilah lebih mengedepankan akal sebagai sumber hukum. Akibatnya, mereka juga disebut sebagai aqlaniy (pemuja akal) oleh orang-orang yang bersebrangan dengan mereka. Doktrin merekalah yang kemudian melahirkan berbagai fenomena keilmuan karena keberanian mereka untuk mengikuti cara pandang filsafat dalam beragama, sehingga muncullah istilah akidah filsafat.

Pandangan ini banyak dikecam oleh para ulama Sunni, baik dari kalangan Ahlul Hadits maupun Asy’ariyah karena dianggap mengesampingkan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber utama yang disepakati para sahabat. Selain itu, perkembangan Mu’tazilah memang melahirkan paham-paham baru yang tidak dikenal oleh kaum muslimin generasi pertama, bahkan sampai pada titik menolak ayat-ayat Al-Quran dan As-Sunnah yang dianggap bertentangan dengan akal. Hal ini dianggap penyimpangan dan penyelewengan dari jalan yang lurus.32

Pengaruh Mu’tazilah di Indonesia terasa sekali sejak kelahiran tokoh-tokoh modernis, seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholis Madjid (Cak Nur). Pemikiran mereka yang mengedepankan akal dan rasio terus berkembang hingga munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang digagas oleh Ulil Abshar Abdalla.

Kelahiran JIL memberikan guncangan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat muslim Indonesia yang tidak terbiasa mengutamakan akal dibandingkan wahyu. Apalagi, basis akidah mayoritas masyarakat muslim di Indonesia adalah Asy’ariyah-Maturidiyah dan Ahlul Hadits, dimana mereka –walaupun menerima penggunaan akal dan rasio- tetap mendahulukan nalar wahyu bila ditemukan “pertentangan” antara dalil dengan akal. Sedangkan JIL justru berusaha menafsirkan dalil yang disesuaikan dengan akal. Lebih jauh, mereka berusaha menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan konteks sosio-kultural, sehingga mereka berpendapat semua perintah dalam Al-Quran dan As-Sunnah bermakna kontekstual-substantif bukan tekstual-dogmatis.

Pemikiran ini banyak menuai kritik karena dianggap kontroversial dan tidak sesuai dengan apa yang telah dipegang oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Mereka juga dianggap telah melanggar ijma’ (konsensus) umat Islam yang telah ditetapkan sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Bila kita melihat kiprah JIL, memang mereka seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversional, bahkan mereka menjadi inisiator lahirnya paham pluralisme yang telah dilarang oleh MUI.

Selain JIL, Hizbut Tahrir (HT) juga dianggap terpengaruh pemikiran Mu’tazilah. Minimal dari sisi pendalilan akal yang cukup diutamakan dalam menghasilkan keputusan-keputusan hukum dan dalam permasalahan iman terhadap takdir dan permasalahan hadits ahad. Salah satu ulama Ahlul Hadits, Nashiruddin Al-Albani bahkan menyebut bahwa HT adalah Neo-Mu’tazilah (Mu’tazilah Gaya Baru).33

  1. Syi’ah


Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna pembela dan pengikut seseorang. Selain itu, juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat, Syi’ah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali ibn Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal ia.

Syi’ah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman ibn ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan masa-masa awal kekhalifahan Utsman, umat islam bersatu dan tidak mengalami perselisihan. Pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana. Muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun berpecah-belah.

Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan Syi’ah akan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para pengikutnya.

Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.



  1. Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka.

  2. Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah ibn Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri

  3. Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar.

Dalam perkembangannya,Syi’ah terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghullat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya. Dari kelima sekte tersebut, Rafidhah merupakan sekte yang paling besar pengikutnya dan paling pesat perkembangannya hingga kini. Terutama setelah berdirinya Negara Syi’ah Iran.34

Di antara ciri khas dari Syi’ah Rafidhah adalah pendapatnya bahwa kecintaan terhadap Ali berbanding lurus dengan kebencian terhadap Mu’awiyah. Secara lebih umum, kecintaan terhadap keluarga Nabi (Ahlul Bait) berbanding lurus dengan kebencian terhadap para Sahabat Nabi. Hal ini kemudian membuat mereka menyebut golongannya sebagai madzhab Ahlul Bait.

Selain itu, Syi’ah juga mengutamakan Imamah dan Walayah (kepemimpinan dan kekuasaan) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran pokok mereka. Mereka berpendapat wajibnya hidup secara berjamaah di bawah satu Imam.35

Perkembangan Syi’ah di Indonesia diyakini terjadi sejak pertama kali masuknya Islam di Nusantara. Namun, hal tersebut tidak bertahan lama karena setelah runtuhnya Dinasti Fathimiyah di Mesir dan digantikan oleh Dinasti Ayyubi (pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi), kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara kemudian lebih memilih madzhab akidah Dinasti Ayyubi, yakni As’ariyah-Maturidiyah dan meninggalkan keyakinan Syi’ah mereka, kecuali sebagian kecil masyarakatnya saja.

Keyakinan Syi’ah kembali berkembang di Indonesia pasca Revolusi Iran. Revolusi ini membuka mata dunia Islam, termasuk kaum muslimin di Indonesia. Bahkan sejak tahun 1980-an kemudian banyak para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Qum, Iran. Dari sinilah kemudian lahir cendikiawan Syi’ah di Indonesia.

Dalam perkembangannya, Syi’ah di Indonesia dimotori oleh dua organisasi besar, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), tokohnya adalah Jalaludin Rahmat dan Ahlul Bait Indonesia (ABI), tokohnya adalah Hasan Alaydrus dan Umar Shahab. Kedua ormas tersebut mengadopsi dan menganut madzhab Syi’ah 12 Imam (Imamiyah/ Rafidhah) dalam masalah akidah dan madzhab Ja’fari dalam masalah fikih. Basis gerakan Syi’ah di Indonesia ada di kota Bandung, Jakarta, dan Makassar.



  1. Sufiyah


Tasawuf (تَصَوُّف) diidentikkan dengan sikap totalitas dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Sufi (selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim) (صُوْفِيٌّ), dan jamaknya adalah Sufiyyah (صُوْفِيَّةٌ). Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia, hingga akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ ).36

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.”37

Inti ajaran tasawuf adalah tazkiyatun nafs (kebersihan jiwa). Namun, mereka kemudian mencari thariqah38 tertentu berdasarkan pada pengalaman dan bertumpu pada perasaan (dzauq). Perbedaan dalam thariqah itulah yang kemudian melahirkan beberapa kelompok tasawuf. Dalam istilah kaum muslimin di Indonesia dikenal dengan tarekat-tarekat tasawuf.

Abul Faraj Ibn Al-Jawzi dalam Kitab Talbis Iblis mengupas tuntas gaya beragama kaum sufi. Menurutnya, di antara thariqah yang lahir dari pengalaman dan dzauq itu ada yang masih sesuai dengan As-Sunnah dan ada yang sudah melampaui batas. Menurutnya, para ulama sufi-Sunni dari kalangan para Sahabat dan Tabi’in tidak mengambil thariqah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Proses tazkiyatun nafs berjalan alami sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

Namun kemudian, seiring berjalannya waktu, lahirlah thariqah-thariqah yang menurutnya tidak lagi sesuai dengan As-Sunnah, seperti menyambung puasa setiap hari (puasa wishal), meninggalkan makanan-makanan tertentu karena dianggap terlalu mewah, bahkan hingga meninggalkan dunia secara keseluruhan. Apalagi, dalam perkembangan selanjutnya muncul thariqah yang menurut Abul Faraj berasal dari jebakan setan, karena bertentangan dengan As-Sunnah, seperti menari-nari dan bernyanyi.39 Bahkan, selanjutnya memunculkan beberapa paham baru dalam aqidah seperti hullul atau dalam tradisi jawa dikenal dengan “manunggal ing kawula gusti”.

Tradisi sufi di Indonesia sudah berkembang sejak lama, bahkan sejak pertama kali Islam hadir di Nusantara. Namun, sufi ekstrem sendiri muncul pada masa Wali Songo, dimana salah seorang ulama yang bernama Syeikh Siti Jenar kemudian mengadopsi pemikiran Al Hallaj dengan konsep hullul-nya. Dalam riwayat disebutkan bahwa Siti Jenar sendiri akhirnya dihukum mati atas kesepakatan Wali Songo.

Berbagai aliran tasawuf di Indonesia hingga kini masih tumbuh subur. Sebagian warga Nahdliyin yang berakidah Asy’ariyah dan bermadzhab fikih Syafi’iyah memiliki pendapat bahwa mereka harus memilih salah satu thariqah sufiyah untuk mendapatkan kebersihan jiwa.

Sebenarnya tarekat merupakan jaringan yang sangat kokoh dan luas di dalam lingkup NU, malah boleh dibilang jaringan ini lebih kokoh dan lebih luas dari pesantren, tetapi tarekat lebih merakyat, lebih egaliter, lebih mengakar dan lebih kokoh. Hanya yang kita harapkan ke depan, lebih meningkatkan lagi kepedulian terhadap upaya sosial disamping ngurusi dhikir, wirid dan spiritualitas. Kesejahteraan warga tarekat juga penting. tidak mengesampingkan ketrampilan dan ilmu pengetahuan.Dalam Nahdlatul Ulama, aliran tarekat tergabung dalam badan otonom Jam’iyyah Ahlut Tarekat Al Mu’tabarah an Nahdliyyah.40

Tarekat-tarekat itu sendiri bermacam-macam, ada masih sesuai dengan As-Sunnah ada juga di antaranya yang sudah tercampur dengan ajaran-ajaran di luar Islam, seperti Hindu dan Budha. Sebagian di antaranya juga bercampur dengan kebudayaan setempat dan melahirkan Sinkretisme Islam-Jawa (Kejawen) atau Islam-Sunda (Sunda Wiwitan).


  1. Yüklə 333,96 Kb.

    Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   14




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin