Pusaka Madinah



Yüklə 5,93 Mb.
səhifə46/92
tarix27.10.2017
ölçüsü5,93 Mb.
#16453
1   ...   42   43   44   45   46   47   48   49   ...   92

JAWABAN

1. Tidak mungkin. Karena itu menyalahi firman-Nya dalam QS As-Syuro:11


2. Naqli: QS As-Syuro:11. Aqli: karena yang namanya sama itu harus sama dalam fisik dan substansi. Dan itu mustahil seperti kata Ar-Razi (المثلان هما : اللذان يقوم كل واحد منهما مقام الآخر في حقيقته وماهيته ) . فلا يسمى مثلا حقا إلا المماثل في الحقيقة والماهية وأجزائها ولوازمها دون العوارض)
3. Apabila sama. Lihat poin 2.
_______________________

DOSA BESAR MASA LALU APAKAH DIAMPUNI?

Assalamu’alaikum wr. Wb

Kepada Yth, Alim Ulama pengurus Ponpes Al Khoirot


Saya seorang muslim, dan pernah menjalani hubungan beda agama dengan wanita kristen, awalnya hubungan kami berjalan baik dan bahagia...namun waktu kami mengutarakan niat kami untuk menikah kepada orang tua kami masing2 kami mendapat halangan, dari pihak wanita meminta saya untuk bersedia pindah kristen, setelah kami resmi menikah terserah saya mau kembali islam atau tetap kristen, dari pihak keluarga saya meminta jika saya tetap bersikeras ingin menikah secara kristen, saya harus memutuskan hubungan persaudaraan dengan keluarga saya...terus terang saya dilema...kami pernah mencoba dengan cara hamil diluar nikah, namun kami urungkan karena saya tak tega jika kami tetap tak bersatu dan anak kami lahir tanpa keluarga lengkap ... dan akhirnya saya memilih keluarga saya dan terlebih juga karena saya takut murka Allah SWT karena murtad ... sekarang kami terpisah, dan itu membekas dalam ingatan saya. Sampai saya seperti tidak mempunyai semangat hidup lagi...hingga saya sempat menyalahkan Allah SWT atas takdir yang kami terima ....

Pertanyaan saya :

1. Apakah dosa kami dimasa lalu bisa termaafkan, karena kami pernah melakukan hubungan badan....? Apa yang harus saya lakukan untuk menebus dosa kami berdua?
2. Perlukah saya memberikan sejumlah “mahar” kepada dia karna hubungan badan kami selayaknya suami kepada istri ?
3. Diperbolehkan kah saya mendoakan pasangan saya yang non-muslim ?
4. Adakah amalan/do’a untuk menghilangkan penyesalan dan gelisah dlm pikiran saya ?
5. Apakah yang harus saya lakukan agar tidak berputus asa dari rahmat Allah SWT dan bersedih berlarut2 selain Sholat dan Dzikir?

Cukup sekian pertanyaan saya, mohon bantuannya dari para Ahli, jujur saja ilmu agama saya juga sebatas syariat , tanpa mengerti Fiqih dll... semoga dari forum ini saya dapat menemukan titik cerah...dan semoga Allah SWT membalas dengan rizki yang barokah....amin Allahumma amin ....



JAWABAN

1. InsyaAllah diampuni apabila melakukan taubat nasuha. Lihat: http://www.alkhoirot.net/2012/09/taubat-nasuha.html


2. Tidak perlu. Zina adalah perbuatan dosa besar sehingga tidak ada "transaksi" apapun yang dibenarkan oleh syariat.
3. Kalau dia masih hidup boleh terutama supaya masuk Islam. Kalau sudah mati tidak boleh. Lihat: http://www.alkhoirot.net/2013/06/mendoakan-orang-tua-kafir-yang-meninggal.html
4. Ada. Bacalah istighfar yang banyak. Rajin shalat 5 waktu dan tahajud di dini hari.
5. Banyak beramal. Terutama amal yang bermanfaat bagi orang lain. Bantulah orang lain dengan kemampuan yang dimiliki tidak harus berupa harta. Bisa juga dengan memberi pelatihan dan pekerjaan pada yang membutuhkan. Niatkan semua itu untuk ibadah pada Allah dan menebus dosa-dosa Anda.

_______________________

KONFLIK DENGAN ISTRI SOAL LOKASI MEMBANGUN RUMAH

Assalamualaikum wr wb

Kepada yth
Pengasuh ponpes Alkoirot Di tempat.

Dengan hormat,


Ada masalah sedikit dalam rumah tangga saya tetapi masalah itu membuat aku jadi beban, saya sdh keluarga kurang lbh 4 tahun memiliki anak 1. Istri saya sebagai ibu rumah tangga dan saya kerjanya di luar kota.
Permasalahanya begini pak ustadz, istri saya sangat pengen sekali memiliki rumah sendiri tetapi bukan di daerah kampung halaman saya padahal tidak begitu jauh jarak antara rumah saya dengan istri saya tidak sampai 30 menit. Saya anak terakhir apabila saya tinggal di daerah istri saya harus beli tanah dan buat rumah, smntra kalo di tempat saya, saya sudah memiliki tanah tinggal mendirikan bangunan ibaratnya. Istri tetap tidak mau ikut sama saya dan meminta untuk pisahan saja,
1. apakah saya salah untuk mengajak istri saya ke daerah saya
2. apakah saya harus nuruti si istri pak ustad, berat rasa hati utk pisah kasihan sama anak saya nanti.
Mohon untuk penjelasanya dan hadist atau ayat yang mengatur undang-undang tersebut.
Demikian saya kirim email kepada bapak, atas perhatian dan balasan email ini sangat saya nanti. Terimakasih sebelumnya.

Wa'alaikumsalam wr wb



JAWABAN

1. Tidak salah. Malah sebenarnya istri berkewajiban untuk taat pada suaminya.


2. Kalau memang keputusan istri harga mati, maka kalau masih sayang pada istri anda terpaksa harus mengalah. Namun, cobalah lakukan negosiasi dengan istri. Bujuklah dia dengan sabar. Kalau tidak mempan cobalah melalui pihak ketiga siapa tahu dia bersedia mengikuti kemauan Anda. Kalau tetap tidak mau, dan anda tetap ingin bersama istri, maka tidak ada jalan lain untuk mengikuti saran istri.

Namun demikian, kalau dilihat dari ancaman istri yang meminta pisah, anda perlu sedikit curiga apakah dia ada pria lain di hatinya. Kalau ternyata ada, maka anda harus tegas mengambil keputusan. Kalau penolakan itu murni karena faktor ketidaksukaan dia tinggal di daerah anda, maka tak ada salahnya mengikuti kemauan dia.


_______________________

HUKUM PERCAYA RAMALAN

Assalamualaikum ustadz,,,


1. Apa hukumnya membaca artikel ramalan didalam hati ??? Dan kadang saya merasa gembira dengan ramalan tersebut, seperti misal negri ini diramalkan akan makmur suatu hari nanti...

2. Kalau saya bicara atau menganggap didalam hati bahwa ramalan tersebut sesuai dengan hidup saya,,apakah saya berdosa walaupun saya tidak membicarakannya ?? Apakah kegembiraan atas ramalan juga haram ?

3. Saya minta pendapat ustadz tentang amalan "ILMU ROMBAK JASAD" ilmu ini diamalkan setiap habis sholat sambil berpuasa selama 9 hari...doa yg dibaca adalah salah satu ayat al-qur'an,,,,kegunaan ilmu/amalan ini adalah memperbaiki/merubah anggota tubuh sesuai keinginan sipengamalnya, seperti 'hidung tambah mancung' atau 'badan tambah gemuk'......apakah amalan ini termasuk merubah ciptaan Allah ustadz
???
Mohon pencerahaannya Ustadz terima kasih

JAWABAN

1. Membaca ramalan, sebagaimana membaca secara umum, itu boleh. Tapi mempercayainya haram. Apabila setiap membaca akan membuat anda percaya, maka membacanya pun haram. Tentang ketidakbenaran ramalan lihat QS An-Naml:65; Al-A'raf:88; Al-Jinn 26 & 27 dan larangan mempercayai ramalan secara tegas disebut Nabi dalam hadits sahih riwayat Muslim من أتى عرافا فسأله عن شئ لم تقبل له صلاة أربعين ليلة (Barangsiapa yang datang pada tukang ramal dan menanyakan sesuatu maka shalatnya tidak diterima 40 malam).

2. Percaya itu letaknya dalam hati. Bukan soal dibicarakan atau tidak.
3. Amalan seperti itu biasanya bekerja sama dengan jin atau memakai bantuan jin. Sebaiknya Anda hindari. Dan kalau perubahan fisik betul-betul terjadi, maka ia termasuk merubah ciptaan Allah.

_______________________

SHALAT TAHAJUD APAKAH HARUS TIDUR LEBIH DULU

Assalaamu'alaikum yaa ustadz... Alhamdulillah saya masih diberi kesempatan nikmat bertanya. Saya mau nanya nih pak ustadz. Kalau saya mau mendirikan shalat tahajud, apakah HARUS saya tidur dahulu sebelum melaksanakannya? Karena saya banyak mendengar anggapan yang mengharuskan tidur dahulu sebelum tahajud, Bagaiman jika saya misalnya, sedang tidak bisa tidur pada malam itu? Syukron katsiiran yaa ustadz

Wassalaamu'alaikum

JAWABAN

Iya harus tidur dulu. Kalau tidak tidur namanya shalat malam saja. Bukan shalat tahajud. Lihat: http://www.alkhoirot.net/2011/12/shalat-tahajud.html


_______________________

TASYAHUD AWAL SHALAWAT PADA NABI DAN KELUARGA NABI

Assalamualaikum Wr . Wb Ustad

Saya mau bertanya,


1. ada yang bilang tasyahud awal sampai salam ke atas nabi,tapi ada juga yang bilang sampai sholawat kepada ahli nabi juga...kira2 yang mana yang benar ya ustad????
2. saya tarawih 20 rakaat dan setiap dua rakaat salam, yang saya mau tanyakan bacaan tasyahud ketika setiap dua rakaat salam sampai sholawat atas nabi atau sampai habis innaka hamidummajid?
karena ada yang bilang rakaat terakhir sampai habis,,tapi kalau di tengah2 cukup sampai sholawat....
3. Untuk bacaan doa iftitah apa setiap takbir di baca atau di awal saja...

Mohon pencerahannya ya ustad...

terima kasih
Wassalamualaikum Wr.Wb

JAWABAN

1. Yang wajib adalah tasyahud awal cukup tasyahud tanpa shalawat. Sedang tasyahud kedua harus ada shalawat pada Nabi. Shalawat pada ahli (keluarga) Nabi hukumnya sunnah seperti disebut dalam kitab Al-Adzkar Iman Nawawi sbb: اعلم أن الصلاة على النبيّ صلى اللّه عليه وسلم واجبة عند الشافعي رحمه اللّه بعد التشهّد الأخير، فلو تركها فيه لم تصحّ صلاته، ولا تجب الصلاة على آل النبيّ صلى اللّه عليه وسلم فيه على المذهب الصحيح المشهور، لكن تستحبُّ‏.‏ وقال بعض أصحابنا‏:‏ تجب. Lebih detail lihat: http://www.fatihsyuhud.org/2013/02/qunut-rukuk-tasyahud-tahiyat.html#12

2. Cukup sampai shalawat. Selebihnya sunnah.
3. Kalau memungkinkan sunnah dibaca.

_______________________


HAID LEBIH 13 HARI

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Ustadz, saya mau tanya.


Saya adalah ibu 1 anak dan saat ini saya menggunakan KB IUD / spiral. tapi ustadz, semenjak saya menggunakan KB spiral, siklus menstruasi saya jadi kacau. Dulu, sebelum saya memakai KB, durasi sy haid paling lama 7 hari, paling cepat 6 hari. Namun, begitu saya menggunakan KB, pertama kali saya haid setelah nifas lama nya 3 minggu ustadz, setelah itu 2 minggu, kadang bisa lebih dari itu.

Yang mau saya tanyakan, apakah saya masih dihitung haid setelah 10 hari? mengingat dulu sebelum memaki KB durasi haid saya hanya 6-7 hari.


Mohon penjelasannya ustadz, krn saat ini saya ragu untuk menjalankan puasa krn permasalahan tersebut. Mohon penjelasannya ustadz.
Terimakasih..
Wassalamualaikum

JAWABAN

Masa maksimal haid adalah 15 hari. Jadi, selama itu dihitung masa haid. Dan karena itu tidak boleh berpuasa. Setelah lewat 15 hari, maka Anda harus bersesuci dan wajib shalat fardhu dan puasa Ramadan. Lihat: www.alkhoirot.net/2012/04/wanita-haid.html

Kalau ternyata setelah lewat 15 hari tetap ada darah yang keluar, maka hukumnya bukan darah haid tapi darah istihadah. Lihat: www.alkhoirot.net/2012/04/wanita-istihadlah.html

MEMPERTEGAS KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

Kedudukan Perempuan dalam Islam

Oleh: Aang Kunaepi, MA*

 Muqaddimah

Seiring dengan pesatnya gerakan feminisme, muncul wacana adanya gugatan terhadap hukum-hukum agama, terutama hukum Islam. Hukum Islam oleh kaum feminis dipandang sebagai salah satu basis yang menjadi akar pandangan diskriminatif terhadap perempuan. Gugatan tersebut pada gilirannya dialami juga oleh al-Qur’ân sebagai sumber hukum tertinggi dari hukum Islam. Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan perempuan telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak perempuan Islam.[1] Dikesankan bahwa perempuan-perempuan muslimah yang menjaga kehormatan dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah perempuan-perempuan pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Sehingga teropinikan perempuan muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar perempuan bisa maju, harus direposisi ke ruang publik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa modern dewasa ini.[2]

Karena gencarnya arus feminisme tersebut, para pemikir muslim kontemporer kemudian menelaah kembali hukum Islam. Dari penelaahan tersebut akhirnya tersimpulkan bahwa yang salah bukanlah al-Qur’ânnya, akan tetapi penafsiran atasnya lah yang keliru. Mereka pun lalu berusaha untuk menafsirkan ulang ayat-ayat al-Qur’ân yang berkaitan dengan perempuan. Dari situlah kemudian muncul berbagai macam produk penafsiran baru yang sangat beragam. Produk-produk tafsir baru ini memang rata-rata sangat emansipatoris, humanis dan populis. Namun sayangnya, penafsiran yang mereka lakukan sering kali tidak ditopang oleh metode dan kaidah penafsiran yang benar sebagaimana yang telah disepakati para ulama. Atau dengan bahasa yang lebih ekstrem, mereka seringkali menyeret maksud al-Qur’ân dari maksudnya yang sebenarnya hanya demi tujuan agar al-Qur’ân bisa tampil populer di era emansipasi ini dan tidak terkesan ketinggalan jaman.[3]

            Akibatnya, bagaimana sebenarnya al-Qur’ân berbicara tentang kedudukan perempuan pun menjadi  kabur. Oleh karena itulah maka perlu kiranya menggali kembali dari ayat-ayat al-Qur’ân yang berbicara tentang perempuan tanpa melupakan kondisi yang ada saat ini dengan mempertimbangkan secara seimbang dan proporsional tiga hal yang sangat penting dalam penafsiran, yaitu teks, konteks (kondisi sosio-kultural pada saat turunnya al-Qur’ân dan masa kini) serta kontekstualisasi.[4]

            Al-Qur’ân sendiri sebenarnya sangat banyak dalam membicarakan perempuan. Perempuan dalam al-Qur’ân diekspresikan dengan kata al-Nisa’, al-Zaujah, al-Umm, al-Bint, al-Untsâ, kata sifat yang disandarkan pada bentuk mu’annats dan berbagai kata ganti (pronoun) yang menunjuk jenis kelamin perempuan. Khusus mengenai kata al-Nisâ, kata ini adalah bentuk jamak dan kata al-Mar’ah yang dalam al-Qur’ân berarti manusia yang berjenis kelamin perempuan (QS al-Nisâ’ [4]: 7) dan istri-istri (QS al-Baqarah [2]: 222). Kata al-Nisâ’ dengan berbagai bentuknya disebutkan dalam al-Qur’ân sebanyak 59 kali. Sehingga jelaslah bahwa al-Qur’ân sebenarnya sangat peduli dengan makhluk bernama perempuan ini. [5] Lalu bagaimana sebenarnya al-Qur’ân berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam konteks saat ini?

 

Asal Kejadian Perempuan

Berbicara tentang kedudukan perempuan dalam al-Qur’ân, perlu terlebih dulu mengetahui asal kejadian makhluk bernama perempuan dan hikmah dibalik itu menurut pandangan al-Qur’ân. Hal ini menjadi penting karena penafsiran yang salah atasnya biasanya menjadi pemicu awal anggapan yang rendah terhadap perempuan.

Ayat yang berbicara tentang awal kejadian/penciptaan perempuan adalah firman Allâh dalam surat al-Nisâ’ ayat 1:

Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama) dan darinya Allâh menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allâh memperkembangkan lelaki dan perempuan yang banyak.” (QS al-Ni’â’ [4]: 1)

Tokoh tafsir bi al-Ra’yi, yaitu Imam Zamakhsyari mengartikan kata “nafs” dengan Adam.[6] Begitu juga tokoh tafsir bi al-Ma’tsur, yaitu Ibnu Katsîr dan al-Qurthubi. Para pakar tafsir lain yang mengartikan kata nafs dengan Adam di antaranya adalah Jalaluddin al-Suyuthi, Ibn ‘Abbas, al-Biqa’i, Abu Al-Su’ud, al-Baidhawiy, dan lain-lain.[7] Memang banyak sekali para mufassirin klasik yang berpendapat demikian sehingga tidaklah berlebihan kiranya apabila al-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi’ah (abad 6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.[8] Bahkan lebih tegas lagi, al-Razy berani mengatakan, seluruh orang Islam sepakat bahwa yang dimaksud oleh kata nafs di sini adalah Adam.

Tentunya pernyataan al-Tabarsi dan al-Razi tersebut adalah berdasarkan pengamatan mereka terhadap ulama tafsir yang hidup sebelum, atau paling tidak sezaman dengan masing-masing keduanya. Meskipun banyak juga mufassir modern yang masih mengikuti pendapat ulama klasik, seperti Wahbah al-Zuhailiy, Muhammad ‘Ali Al-Shabuniy, dan Sa’id Hawwa, namun penilaian keduanya tidak relevan lagi apabila kita berlakukan saat ini, karena ternyata banyak juga para pemikir Islam modern yang tidak berpendapat seperti itu.[9]

Al-Thabaththabâ’i dalam tafsirnya menulis, “Perempuan (Hawa) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung faham sementara mufassir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam.” Begitu juga pendapat Rasyid Ridho dalam tafsir al-Manarnya dan rekannya al-Qasimi. Mereka mengartikan kata nafs tidak sebagai Adam, tapi mengartikannya dengan jenis. Artinya, Adam dan Hawa diciptakan dari jenis yang sama, bukannya Hawa diciptakan dari Adam.[10]

Ide penafsiran kata nafs dengan Adam menurut Rasyid Ridho adalah akibat adanya pengaruh dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang mengatakan bahwa ketika Adam tertidur lelap, maka diambil oleh Allâh sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging, maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam tersebut, dibuat Tuhan seorang perempuan. Selanjutnya dia mengatakan, seandainya tidak tercantum kisah kejadian perempuan dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang Muslim.[11]

Pendapat penciptaan perempuan dari tulang rusuk ada agaknya bersumber dari sebuah hadits Nabi,

Saling berpesanlah untuk berbuat baik pada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.”(HR. Tirmidzi dll.).

Ulama-ulama klasik memahami hadits tersebut secara harfiah sehingga timbul pemahaman seperti itu. Sedangkan para ulama kontemporer banyak yang memahami secara metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan hadits tersebut. Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits tesebut berisi peringatan untuk kaum laki-laki agar senantiasa bersikap hati-hati, bijaksana dan tidak kasar dalam menghadapi perempuan karena mereka mempunyai sifat, karakter dan kecenderungan yang tidak sama dengan laki-laki. Kaum laki-laki tidak akan mampu merubah karakter dan sifat bawaan perempuan yang kadang membuat mereka kesal, atau bahkan emosional tersebut. Kalaupun mereka berusaha, maka akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Sebenarnya dalam masalah ini lebih cenderung pada pendapat jumhur ulama. Alasannya adalah, Rasyid Ridho tidak bisa membuktikan secara empiris pengaruh Perjanjian Lama terhadap penafsiran para ulama klasik. Pernyataan Rasyid Ridho bahwa penafsiran terciptanya perempuan dari diri Adam merupakan pengaruh dari “Israiliyyat” (Perjanjian Lama) adalah baru sebatas hipotesa. Pada kenyataannya, tidak satu pun kitab tafsir yang berpendapat demikian menjelaskan bahwa pengartian yang seperti itu bersumber pada cerita ahli kitab atau Perjanjian Lama. Sehingga kalau ternyata sama, menurut hemat penulis, persamaan itu adalah merupakan suatu kebetulan saja.

Seandainya pun dugaan adanya pengaruh Isarailiyyat memang ternyata benar, hal itu tidak menjadi masalah dan tidak menyebabkan penafsiran tersebut tidak layak diikuti. Dalam Ilmu Tafsir, Israiliyyat dibenarkan untuk diadopsi selama tidak bertentangan dengan nash-nash al-Qur’ân dan Sunnah. Pada kenyataannya tak ada satu pun ayat al-Qur’ân yang bertentangan dengan pemahaman terciptanya perempuan dari Adam, justru ada hadits yang mendukungnya apabila dilihat dzôhiril lafdzi-nya.      Perempuan memang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Namun yang perlu ditekankan adalah, jangan sampai penafsiran tersebut mempunyai implikasi anggapan rendah terhadap makhluk bernama perempuan. Karena yang berkembang selama ini, pandangan tersebut seringkali dijadikan legitimasi pandangan minus terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki perempuan tidak pernah ada dan dia diciptakan adalah semata-mata untuk melayani laki-laki.

Faidah diciptakannya perempuan pertama (Hawa) dari laki-laki (Adam) adalah untuk menunjukkan kekuasaan Allâh yang mampu menciptakan sesuatu yang hidup dari yang hidup dengan tanpa melalui proses reproduksi sebagaimana Dia mampu menciptakan sesuatu yang hidup dari benda mati. Dengan demikian, Adam diciptakan dari debu, Isa dari perempuan tanpa laki-laki, sedangkan Hawa diciptakan dari laki-laki tanpa perempuan. Allâh berkuasa atas segala sesuatu.

Adapun hikmah dari disebutkannya hal itu dalam surat al-Nisâ’ ayat 1 adalah agar manusia merasa mempunyai persamaan satu sama lain. Manusia berasal dari nasab yang satu, bapak yang satu, yaitu Adam, sehingga sudah seharusnyalah mereka hidup bersaudara, saling tolong-menolong dan mengasihi, bukannya berseteru dan menindas satu sama lain.

Dengan demikian, anggapan rendah terhadap perempuan yang didasarkan pada al-Nisâ’ ayat 1 adalah tidak tepat sama sekali. Diciptakannya perempuan dan laki-laki sama sekali tidak bisa dijadikan legitimasi lebih tingginya derajat kemanusiaan laki-laki atas perempuan, karena al-Qur’ân berkali-kali menegaskan persamaan laki-laki dan perempuan. Dalam surat Ali’Imrân ayat 195 Allâh berfirman, “Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain.”

Maksudnya adalah, laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, begitu juga perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, tak ada kelebihan satu sama lain dalam penilaian iman dan amalnya. Bahkan keduanya akan selalu saling membutuhkan, terutama dalam proses reproduksi untuk mempertahankan eksistensinya mereka. Atas dasar persamaan keduanya dalam kapasitasnya sebagai hamba Allâh itulah Tuhan menegaskan: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik dari laki-laki maupun permpuan).” (QS Ali’Imrân [3]: 195).

Maksud dari ayat-ayat semacam ini tidak lain adalah untuk mengikis habis anggapan bahwa kaum pria adalah superior dan kaum perempuan inferior. Islam memandang kedua jenis kelamin ini dalam posisi yang seimbang karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama derajat kemanusiaannya. Tidak ada kelebihan satu dibanding yang lainnya disebabkan oleh suku, ras, golongan, agama dan jenis kelamin mereka.

Menurut Islam, nilai kemuliaan manusia semata-mata hanya terletak pada ketaqwaannya, sebagaimana firman Allâh, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dai lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa.” (QS al-Hujurât [49]: 13).

Kedudukan Perempuan Sebelum Islam

Panjang sudah zaman yang dilalui umat manusia yang berdiam di bumi Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ ini. Sekian waktu mereka lalui dalam memakmurkan bumi karena Allâh memang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi-Nya. Dia Yang Maha Tinggi berfirman kepada para malaikat-Nya sebagaimana diabadikan dalam Tanzil-Nya yang mulia:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً

Ingatlah ketika Rabbmu berkata kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS Al-Baqarah [2]: 30).

Manusia pun membangun kehidupan dan peradaban mereka, generasi demi generasi, silih berganti. Namun sejarah mencatat sisi gelap perlakuan mereka terhadap makhluk Allâh yang bernama perempuan. Kesewenang-wenangan dan penindasan mewarnai hari-hari kaum perempuan dalam kegelapan alam jahiliyyah, baik di kalangan bangsa Arab maupun di kalangan ‘ajam (non Arab). Perlakuan jahat dan ketidaksukaan orang-orang jahiliyyah terhadap perempuan ini diabadikan dalam Al-Qur’ânul:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS al-Nahl [16]: 58-59).

وَإِذَا الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

Dan apabila anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh?” (QS al-Takwîr [81]: 8-9)

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullâhu menyatakan bahwa anak perempuan itu dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyyah karena mereka tidak suka dengan anak perempuan. Apabila anak perempuan itu selamat dari tindakan tersebut dan tetap hidup maka ia hidup dalam keadaan dihinakan, ditindas dan didzalimi, tidak diberikan hak waris walaupun si perempuan sangat butuh karena fakirnya. Bahkan justru ia menjadi salah satu benda warisan bagi anak laki-laki suaminya apabila suaminya meninggal dunia. Dan seorang pria dalam adat jahiliyyah berhak menikahi berapa pun perempuan yang diinginkannya tanpa ada batasan dan tanpa memerhatikan hak-hak para istrinya.[12]

Ini kenyataan di kalangan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah, kenyataan buruk yang sama juga terdapat pada bangs-bangsa lain. Kita tengok perlakuan bangsa Yunani dan Romawi yang dulunya dikatakan telah memiliki “peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan perempuan tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Perempuan di sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberi hak waris.[13]

Bagi bangsa Yahudi, perempuan adalah makhluk terlaknat karena sebabnyalah Nabi Adam melanggar larangan Allâh hingga dikeluarkan dari surga. Sebagian golongan Yahudi menganggap ayah si perempuan berhak memperjualbelikan putrinya. Perempuan juga dihinakan oleh para pemeluk agama Nasrani. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk membahas masalah perempuan; apakah perempuan itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir mereka menyatakan perempuan itu tidak memiliki ruh yang selamat dari azab neraka Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa.[14] Dalam tradisi Yahudi perempuan dianggap sebagai sumber laknat, karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Anehnya, anggapan semacam ini masih banyak orang yang mempercayainya dengan berujar, walaupun terusirnya manusia dari surga adalah takdir, akan tetapi seandainya tidak ada Hawa (perempuan) yang menyebabkan Adam makan buah khuldi, niscaya manusia sampai saat ini tetap berada di surga. Di Hindustan, perempuan dianggap jelek, sepadan dengan kematian, neraka, racun dan api. Bila seorang suami meninggal dan jenazahnya diperabukan maka si istri yang jelas-jelas masih hidup harus ikut dibakar bersama jenazah suaminya.[15]

Anggapan ini jelas sangat keliru, karena menurut al-Qur’ân, godaan Iblis tidak hanya ditujukan pada perempuan (Hawa) yang kemudian menyebabkan laki-laki (Adam) tergelincir bersamanya. Akan tetapi godaan dan rayuan Iblis itu ditujukan pada keduanya. Hal ini bisa kita lihat misalnya dalm firman Allâh: “Maka Setan membisikkan pikiran jahat pada keduanya.” (QS al-A’râf [7]: 20).

Juga firman Allâh, “Janganlah kalian (Adam dan Hawa) dekati pohon ini” (QS al-Baqarah [2]: 35). Dan di ayat yang lain, “Lalu keduanya digelincirkan oleh Setan dari surga itu.”(QS Al-Baqarah [2]: 36).

Ayat-ayat al-Qur’ân yang membicarakan kisah ini tidak ada yang menggunakan kata ganti perempuan kedua tunggal, akan tetapi menggunakan kata ganti (dhamir) tatsniyyah yang berarti menunjuk pada Adam dan Hawa sekaligus, bukan hanya Hawa. Bahkan, dalam ayat yang bercerita tentang kisah ini dengan bentuk kata ganti tunggal, maka ayat tersebut justru menunjuk pada kaum laki-laki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti firman Allâh: “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tak pernah punah?” (QS Thâha [20]: 20).

Redaksi ayat-ayat Al-Qur’ân yang seperti itu tadi jelas sangat bertentangan dengan anggapan perempuan sebagai sumber petaka. Karena menurut Al-Qur’ân, keduanya sama-sama digoda oleh syaitan, sama-sama tergelincir dan bersama-sama mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Sekali lagi, walaupun  anggapan seperti ini masih dipercayai banyak orang, termasuk orang-orang Islam sendiri, anggapan tersebut adalah merupakan upaya untuk mendiskreditkan perempuan dan sangat bertentangan dengan nash-nash al-Qur’ân. Al-Qur’ân tidak pernah menganggapnya sebagai sumber bencana dan petaka, namun justru berusaha meluruskan pandangan keliru yang terkait dengan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.[16]


Yüklə 5,93 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   42   43   44   45   46   47   48   49   ...   92




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin