Eksistensi pasukan as



Yüklə 3,86 Mb.
səhifə1/30
tarix27.12.2018
ölçüsü3,86 Mb.
#87683
  1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   30

Menabur Jihad Menuai Teror : Bom Bali, Marriot dan Kuningan dalam Timbangan Syariat dan Maslahat

Kata Pengantar Penulis



إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له.

وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102).

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَتَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا(1).

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا(71).

أما بعد :

فإن أصدق الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.

اللهم رب جبريل وميكائيل وإسرافيل، فاطر السماوات والأرض، عالم الغيب والشهادة، أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون، اهدنا لما اختلف فيه من الحق بإذنك، إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيم.


" Media massa dan elektronik," kata Charles Kimball, Guru Besar Studi Islam di Universitas Wake Forest," Cenderung tertarik pada peristiwa yang paling dramatis dan sensasional."

Lain lagi dengan penulis Amerika yang kesohor, Alex Haley (1921-1992). Menurutnya," Hystory is written by the winners."



L' histoire se repete, kata orang Perancis. Sejarah berulang dalam pola yang serupa dan dalam waktu yang berbeda.

Ketiga kutipan ini, boleh dikatakan sangat tepat untuk menggambarkan hingar bingar dunia modern yang sejak beberapa tahun terakhir, dibakar oleh demam "perang global melawan terorisme."

Bermula dari "tragedi kemanusiaan" penuh berkah (lho ?) 11 September 2001 M yang nun jauh di sana, berlanjut ke pelosok Legian, Bali, dan akhirnya nyantol di tengah kota metropolitan, Jakarta.

Bom Bali, Bom Marriot dan Bom Kuningan bagi bangsa ini, dan juga bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara, boleh jadi lebih berkesan dari serangan WTC dan Pentagon yang merubah peta ekonomi, politik dan militer dunia tersebut. Bukan karena kerugian materi dan non-materi ketiga pemboman tersebut lebih besar. Bukan karena ketiga tragedi tersebut memberi alasan pembenar kepada badan intelijen di lingkungan POLRI maupun TNI untuk kembali memperagakan pelanggaran HAM, kebebasan dan tindakan represif kepada rakyat sendiri. Pun, bukan karena ketiga kasus tersebut menewaskan beberapa warga sipil pribumi, alias bangsa Melayu.

Jadi ? Lantas ?

Itu tadi. Ketiga kutipan di atas. Perpaduan antara kepentingan politik rezim penguasa dan bisnis industri media massa-elektronik, telah menjadi bukti paling kasat mata atas terjadinya pengulangan sejarah dalam ketiga kasus tersebut, dan tentu saja kasus-kasus kemanusiaan lainnya.

Seluruh media massa dan elektronik, pasca ketiga kasus bom di tanah air tersebut, seia sekata ramai-ramai memberitakan : Kutuk dengan keras…basmi sampai tak berbekas…usut sampai tuntas !!! Terakhir, mari rayakan kenaikan oplah dan tiras !!! Jangan tanyakan lagi unsur obyektifitas, validitas data, both side dan kode etik jurnalistik lainnya !

Lain lagi dengan rezim penguasa. Semua jajaran dan lembaga, sibuk menonjolkan perannya. Departemen Politik dan Keamanan, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pariwisata, Badan Intelijen, POLRI dan TNI ramai-ramai mengeluarkan jurusnya demi menangguk laba dan simpati internasional.

Komentar para tokoh masyarakat, agama, pemerintahan, organisasi massa dan politik, LSM dan bahkan rakyat jelata, sudah diulas tuntas oleh media massa dan elektronik.

Langkah-langkah nyata rezim penguasa untuk membasmi apa yang dituding sebagai "jaringan terorisme global" pun telah disaksikan oleh seluruh umat manusia di jagat ini.

Namun, sebagaimana dinyatakan oleh berbagai pihak, berbagai penyelesaian kasus "terorisme" tersebut sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan sebenarnya. Berbagai pihak yang terlibat dalam perang melawan "terorisme" tersebut, hanya sekedar memanfaatkan suasana untuk meraih kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan. Akar dan inti persoalan sendiri dilupakan dan diabaikan. Definisi terorisme yang tak jelas, pelanggaran HAM dan kebebasan dalam upaya pemberantasan "teroris" dan sejumlah kejahatan "luar biasa" lainnya dari pihak "the winners", justru dilegalkan lewat undang-undang.

Ada kisah menarik dari rangkaian pengungkapan kasus pemboman di tiga stasiun kereta api bawah tanah London, beberapa waktu lalu. Sebagaimana disebutkan oleh radio BBC, saat para pemuka agama Islam di Inggris menyatakan kepada PM Tony Blair bahwa para pelaku pemboman berada di luar Islam (kafir ?), memahami Islam secara salah dan seterusnya, justru banyak kalangan di Inggris sendiri memandang sebelah mata pernyataan para pemuka agama Islam tersebut. Menurut mereka," Ah, itu kan pandangan para tokoh tua, belum tentu mewakili pandangan kawula muda."

BBC juga melaporkan bahwa banyak kalangan di Barat berkomentar," Setiap kali Barat memerangi umat Islam, tak satupun umat Islam yang membuka Injil dan mencari tahu apa itu Nasrani. Namun setiap kali Islam memerangi Barat, bangsa Barat bergegas membuka Al-Qur'an dan mencari tahu apa sebenarnya Islam itu."

Buku yang hadir di tangan para pembaca ini, adalah sebuah pengamatan dan kajian segelintir kalangan yang boleh jadi oleh sebagian pihak dianggap sebagai "kaum Islam fundamentalis, radikal, anti liberal, anti pluralisme" atau bahkan simpatisan "teroris."

Apapun komentar berbagai pihak, yang jelas buku ini mencoba ikut memberi sumbangsih "pencerahan" atas ketiga tragedi bom di Indonesia tersebut, dari sudut pandang yang lain dari mainstream opini publik yang digalang oleh media massa-elektronik dan rezim penguasa "the winners". Meminjam istilah radio BBC, buku ini mencoba mengkaji permasalahan "terorisme" dalam ketiga pemboman di Indonesia (bom Bali, bom JW Marriot dan bom gedung Kedubes dengan perspektif "kawula muda" yang sedang mencari "identitas diri", dan cenderung meninggalkan "kaum tua."

Buku ini mencoba untuk menjawab beberapa komentar dan pertanyaan seputar "terorisme" dalam ketiga kasus pemboman dalam negeri ini, disajikan dalam beberapa bagian :



Bagian Pertama. Membahas akar masalah yang diduga melatar belakangi kasus-kasus tersebut.

Bagian Kedua. Membahas tinjauan hukum Islam terhadap kasus-kasus tersebut.

Bagian Ketiga. Membahas status kelompok "pro-teroris" dan "anti-teroris" menurut tinjauan hukum Islam.

Bagian keempat. Menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan erat dengan motif dan hasil berbagai kasus tersebut.

Bagian Kelima. Sebuah epilog berisi berbagai himbauan dan nasehat.

Penulis bersyukur kepada Allah Ta'ala atas segala limpahan hidayah, rahmat dan 'inayah-Nya sehingga buku ini bisa hadir di hadapan para pembaca budiman. Selanjutnya, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah banyak membantu penulisan buku ini, semoga Allah Ta'ala membalas kebaikan mereka. Penulis yakin sepenuhnya bahwa tulisan ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Koreksian, saran dan kritik yang membangun dari segenap pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kemanfaatan buku ini.

Akhir kata, Penulis berharap semoga buku ini menjadi jembatan komunikasi yang baik dan efektif, untuk membangun sikap saling memahami antara "generasi muda" dan "generasi tua", "kaum fundamentalis" dan "kaum moderat-liberal". Penulis berdoa, semoga tulisan ini hadir murni dalam rangka mencari ridha Allah Ta'ala, diterima sebagai amal shalih di sisi-Nya, bermanfaat bagi diri Penulis pribadi dan sesama umat Islam. Amien.
وصلى الله على محمد النبي الأمي، وعلى آله وصحبه وسلّم.

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Sulaiman Ibnu Walid Damanhuri

18 Jumadil Akhirah 1426 H



Bagian Pertama :
Merunut Akar Masalah Bom Bali, Marriot dan Kuningan


[1]

Pasukan Koalisi Salib di Jazirah Arab,

Menjajah Jantung Dunia Islam1

Eksistensi pasukan AS di Jazirah Arab (istilah mereka, kawasan Timur Tengah) saat ini bukan-lah sebuah reaksi atas sebuah permasalahan tertentu, misalnya invasi Iraq ke Kuwait (1191 M), tragedi WTC (11 September 2001 M), atau menjatuhkan rezim diktator Saddam Husain, semata. Eksistensi pasukan AS di Jazirah Arab adalah sebuah strategi matang yang tidak bisa digugat lagi, sudah dirancang sejak beberapa dekade sebelumnya. Untuk mempertahankan eksistensinya di Jazirah Arab, AS siap memerangi seluruh negara kawasan tersebut. Bahkan, siap memerangi negara-negara Eropa sekutunya, jika mereka menghalangi kepentingan AS di kawasan ini.

Jazirah Arab adalah kunci untuk menguasai dunia. Siapa mengendalikan kawasan ini, ia akan menjadi pemimpin dunia. Negara-negara salib telah mengetahui urgensi jantung dunia Islam ini sejak sebelum ditemukannya minyak bumi di kawasan ini. Sejak lama, kawasan ini telah menjadi jantung rute transportasi dinamis dunia, dan titik pertemuan dari berbagai benua.

Sejak empat abad terdahulu, mereka telah berusaha menguasainya, mengingat urgensinya dari aspek keagamaan dan geografis. Portugal, kemudian Perancis dan terakhir Inggris telah berusaha menaklukkannya. Inggrislah yang beruntung dan berhasil menjadi penguasa penuh kawasan ini. Dengan ditemukannya minyak bumi di kawasan ini, Inggris menjadi negara penjajah terbesar dan terkuat di dunia pada masa itu.

Pasca perang dunia kedua, 1366 H / 1947 M, Inggris mulai melemah, merugi dan satu-persatu wilayah jajahannya memerdekakan diri. Meski demikian, Inggris tetap mempertahankan eksistensinya di kawasan ini. Bersamaan dengan melemahnya Inggris, AS sebagai sekutu Inggris mulai muncul sebagai pesaing yang bernafsu memainkan perannya di kawasan ini. AS benar-benar menggantikan posisi Inggris di Jazirah Arab, setelah Inggris pada tahun 1969 M (1389 H) mengumumkan penarikan mundur militernya sebagai akibat dari perang Arab-Israel tahun 1967 M (1387 H) dan penutupan terusan Suez pasca perang tersebut.

Mantan presiden AS, Richard M. Nixon dalam memoarnya menulis :



" Untuk pertama kalinya, eksistensi militer AS secara besar-besaran di kawasan ini terjadi pada pertengahan 1367 H / 1948 M, melalui Truman Doctrine2, yang memberi mandat pembentukan divisi pasukan khusus keenam, yang semula mengendalikan armada AL AS Keenam. Segera setelah keluarnya mandat itu, pesawat-pesawat tempur AS mulai mempergunakan pangkalan-pangkalan Libya, Turki dan Arab Saudi melalui perjanjian peminjaman dan penyewaan. Presiden Rosevelt telah memasukkan kerajaan Arab Saudi ke dalam undang-undang ini, sebagai bukti itikad baik AS kepada kerajaan Arab Saudi."

Urgensi Kawasan Jazirah Arab Bagi AS Pada Masa Tersebut
Urgensi kawasan Jazirah Arab bagi AS pada masa tersebut, bisa dirunut dari statemen para pengambil kebijakan di kalangan pemerintahan AS saat itu.

  • James Rosetal, Mentri Pertahanan AS pada tahun 1945 M (1364 H) mengatakan," Selama 25 tahun mendatang, AS akan menghadapi penurunan drastis cadangan minyak bumi. Karena minyak bumi dan hasil olahannya merupakan inti kemampuan menerjuni peperangan modern, saya melihat persoalan ini merupakan salah satu problem terbesar pemerintah AS. Bagi saya, tidak penting perusahaan AS mana yang akan menanam investasi bagi proyek eksplorasi minyak Arab. Namun, saya sangat yakin bahwa perusahaan tersebut haruslah perusahaan AS."

  • Pada saat AS menerjuni perang Dunia Kedua 1941 M / 1360 H dipihak pasukan sekutu, urgensi kawasan Jazirah Arab semakin besar bagi AS. Saat itu, Mentri Luar Negeri AS, Hal, menyatakan," Kebutuhan Departemen Maritim dan Departemen Perang AS terhadap minyak bumi Arab Saudi semakin meningkat. Belum lagi ditambah dengan kebutuhan kepentingan udara AS terhadap bumi Saudi."

  • Dewan perwira AS pada tahun 1943 M / 1362 H memandang, pasokan minyak bumi AS untuk pasukan AS di medan pertempuran tidak mencukupi. Krisis ini menuntut pengadaan sumber-sumber baru, dengan syarat letaknya dekat dengan posisi armada AL AS. Untuk tujuan ini, dibangunlah kilang pengolahan minyak di Ras Tanurah (Arab Saudi) tahun 1945 M / 1364 H. Inilah faktor yang mendorong pembangunan pangkalan militer pertama AS di Dhahran, Arab Saudi pada tahun 1943 M / 1362 H. Pembangunannya baru selesai pada tahun 1946 M /1365 H. Kerajaan Saudi memperbaharui perjanjian kesepakatan pembangunan pangkalan ini untuk masa lima tahun selanjutnya, tahun 1951 M /1370 H. Departemen Luar Negeri AS pada tahun 1945 M /1364 H menyebutkan," Kerajaan Arab Saudi adalah sumber yang memadai bagi kekuatan strategis dan merupakan salah satu hadiah material terbesar dalam sejarah dunia." Pujian Deplu AS ini bukan karena Kerajaan Arab Saudi merupakan negara berperadaban maju, atau kuat militernya, melainkan karena letak geografisnya di perairan Teluk dan Laut Merah. Juga, ini yang terpenting, memiliki cadangan minyak bumi terbesar di dunia. Diperkirakan, kandungan minyak bumi di Arab Saudi sebesar 165 milyar barel.

  • Urgensi inilah yang mendorong presiden AS, Franklin D. Rosevelt pada tahun 1943 M / 1362 H melangsungkan kesepakatan peminjaman pangkalan militer tersebut secara langsung dengan Kerajaan Saudi, tanpa melalui perantaraan Inggris. Saat itu, Rosevelt mengumumkan," Penjagaan terhadap pemerintahan Saudi menjadi tanggung jawab AS." Pengakuan ini tentu saja didorong oleh kebutuhan AS terhadap Kerajaan Saudi, dan negara-negara di kawasan ini yang mempunyai kekayaan minyak luar biasa besar. AS sendiri mengakui kemerdekaan Arab Saudi pada bulan Muharam 1350 H / 1931 M. Arab Saudi bukan satu-satunya negara di kawasan ini. Namun, jelas Saudi adalah negara yang mempunyai kandungan minyak bumi terbesar di kawasan ini, bahkan di dunia. Negara-negara Teluk memproduksi 62 % produksi minyak bumi dunia, dan di kawasan Teluk terdapat minimal 370 milyar barel cadangan minyak bumi dunia, atau setara dengan 2/3 cadangan minyak bumi dunia.

  • Hal ini pula yang mendorong mantan presiden AS, Richard Nixon untuk menulis dalam memoarnya." Sekarang, siapa yang menguasai apa yang ada di Teluk Arab dan Timur Tengah, berarti telah memegang kunci untuk menguasai dunia."

  • Mantan presiden Jimmy Carter menulis." Seandainya Tuhan menjauhkan sedikit saja minyak bumi Arab ke arah Barat, tentulah persoalan kita lebih mudah." Maksudnya, ke arah Israel, sekutu utama AS di kawasan Teluk.

Dari pernyataan para presiden AS ini, jelaslah bahwa persoalan hidup dan mati AS serta bangsa-bangsa Barat amat tergantung kepada kekayaan alam dan keamanan kawasan ini. Problem mereka tidak akan selesai, hanya dengan tergulingnya rezim Saddam Husain. Dan ini membuktikan, tujuan invasi militer pasokan koalisi pimpinan AS ke Iraq tahun 2003 M yang lalu, bukan semata untuk menggulingkan rezim Saddam Husain.

Urgensi Kawasan Jazirah Arab bagi Eropa
Kawasan Jazirah Arab bukan hanya menjadi kunci hidup matinya AS. Namun juga menjadi kunci penting bagi sekutu-sekutu AS, negara-negara NATO dan Eropa pada umumnya.

Pada awal tahun 60-an, presiden Perancis Jendral Charles de Gaulle mengajukan proposal pembentukan "dewan administrasi" untuk menyelesaikan konflik pemerintahan di luar Eropa. Namun presiden AS kala itu, Dwight Eisenhower menolak mentah-mentah usulan tersebut. Eishenhower berpendapat, yang dibutuhkan untuk menghadapi kondisi baru di kawasan minyak (Jazirah Arab) bukanlah lobi-lobi politik yang memakan waktu lama, melainkan langkah-langkah antisipasi untuk mengambil keputusan secara cepat.

Meski mendapat penentangan dari kepala negara anggota NATO terkuat, desakan anggota-anggota NATO untuk membentuk "dewan administrasi" ini semakin besar seiring semakin pentingnya peran minyak bumi bagi kehidupan ekonomi Eropa. Desakan ini mencapai puncaknya pasca perang Arab-Israel Oktober 1973 M. Dalam pertemuan mentri-mentri luar negeri negara-negara anggota NATO di Kanada di awal tahun 1974 M / 1394 H dicapai kesepakatan, bahwa perhatian NATO akan diperluas mencakup kawasan di luar negara-negara angota NATO.

Pasca invasi Soviet ke Afghanistan tahun 1979 M /1399 H, NATO menegaskan bahwa ancaman utama terhadap Barat bukan lagi berada di Eropa, melainkan di kawasan-kawasan penting minyak bumi dan jalur transportasinya.

Setelah adanya penegasan ini, terjadi diskusi seru di kalangan anggota NATO perihal pembentukan pasukan invasi kilat. Untuk mengamankan kepentingan minyak negara-negara NATO saat terjadi krisis di Jazirah Arab, negara-negara NATO harus membentuk pasukan gabungan yang bisa digerakkan untuk melakukan invasi militer secara kilat.

Tiada pilihan lain bagi NATO, selain komando pasukan gabungan NATO di Eropa, yang merupakan komando bersama di bawah kendali tujuh negara besar anggota NATO ; Belgia, Kanada, Jerman Barat, Italia, Luxemburng, Inggris dan AS. Kekuatan pasukan ini sebesar satu divisi. Pasukan ini telah dibentuk sejak 1961 M / 1380 H untuk memperkuat pasukan NATO di sebelah utara dan selatan kawasan anggota NATO. Pelopor seruan pengefektifan pasukan ini adalah Jendral Belgia, Robert Clour. Ia mengusulkan, pasukan ini direorganisasi, diperkuat dan diberi wewenang dengan skala internasional, termasuk menaungi wewenang di kawasan penghasil minyak bumi.

Perang Arab-Israel bulan Oktober 1973 M meninggalkan krisis minyak yang mencekik industri dan perekonomian AS serta Eropa. Dalam perang tersebut, AS dan Eropa begitu jelas berada di belakang Israel. Sebagai balasan atas kejahatan AS tersebut, negara-negara Arab memboikot penjualan minyak bumi kepada AS dan Eropa.

Dihadapkan kepada krisis minyak yang bisa meruntuhkan ekonominya, negara-negara NATO hanya mempunyai dua opsi :

(a)- Usulan untuk memperluas wilayah kerja NATO, sehingga meliputi seluruh kawasan Arab. Usulan ini akhirnya ditolak, karena beberapa pertimbangan. Yang terpenting adalah alasan bahwa NATO adalah sebuah pakta pertahanan, sama sekali tidak mengizinkan operasi ofensif di luar kawasan NATO, yaitu Eropa dan Amerika Utara. Mungkin saat ini (2005 M), kesepakatan ini telah berubah, mengingat pertemuan Puncak NATO pasca kemenangan atas Serbia di awal tahun 1999 M / 1420 H, telah merubah kesepakatan. Mereka menyetujui campur tangan NATO di kawasan manapun, tanpa perlu meminta persetujuan Dewan Keamanan PBB. Hanya saja, campur tangan NATO di kawasan penghasil minyak mendapat penentangan serius dari AS, si penguasa kawasan minyak Arab.

(b)- Membentuk pasukan invasi koalisi Barat untuk mendapat legitimasi internasional. Untuk melewati hambatan-hambatan politis, pasukan ini tidak berada dibawah nama NATO, dan untuk itu bisa diikut sertakan negara-negara lain seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, Filiphina dan negara-negara lain. Usulan ini mendapat sambutan hangat. NATO pun segera bekerja melaksanakan program ini demi mengamankan kepentingan Barat di kawasan Jazirah. Atau dengan kata lain, Penjajahan Baru Terhadap Kawasan Jazirah Arab.

Dan inilah yang terjadi. Dengan mengatas namakan perang melawan terorisme, menegakkan demokrasi dan kebebasan, pasukan koalisi salibis-zionis-paganis internasional pimpinan AS ini melancarkan invasi militer ke Iraq, tahun 2003 M lalu.

AS Menjegal Eropa, Mengumumkan Penjajahan Teluk Dengan Mengumumkan Prinsip AS
Saat NATO sedang menyusun pasukan invasi koalisi, AS membuat langkah baru untuk menghalangi sekutu-sekutunya dari kalangan negara NATO untuk ikut menikmati kepentingan minyak di kawasan Jazirah. Joseph Sisco, asisten mentri luar negeri AS pada tahun 1974 M / 1393 H, mengumumkan penjegalan langkah NATO dengan mengatakan," Kawasan Teluk adalah kawasan milik AS. Di kawasan itu terdapat kepentingan politik, ekonomi dan strategis yang sangat amat penting."

Pada saat yang sama, wakil mentri pertahanan AS, James Nouis, menegaskan kepentingan dan tujuan AS. Ia mengatakan :

" Sesungguhnya AS perlu :


  1. Mengurung kekuatan militer Soviet untuk tidak keluar dari batas-batas teritorialnya saat ini.

  2. Meneruskan langkah penguasaan minyak bumi Teluk.

  3. Meneruskan kebebasan kapal dan pesawat AS ke dan dari kawasan Teluk."

Joseph Sisco menegaskan, pengamanan kepentingan minyak bumi AS di kawasan Teluk diraih dengan tiga unsur :

  1. Meneruskan kemampuan impor minyak bumi.

  2. Dengan harga miring alias murah.

  3. Dengan jumlah cukup, untuk memenuhi kebutuhan AS yang terus bertambah, dan kebutuhan negara-negara Eropa dan Asia yang menjadi sekutu AS.

Program pengamanan minyak bumi AS ini merupakan tugas terbesar militer AS di kawasan Teluk. AS sedang mencurahkan usaha besar untuk hal ini, dan AS siap menghadapi dan melakukan tindakan apapun demi mengamankan kepentingan minyak bumi di kawasan teluk.

AS Siap Memerangi Negara-Negara Pengekspor Minyak, Jika Mereka Tidak Tunduk Kepada Aturan AS
Jika negara-negara Arab hanya mengekspor minyak buminya kepada AS semata, apakah AS akan ridha kepada mereka ? Tentu tidak. Masih ada syarat lain ; dengan harga murah dan jumlah yang cukup. Jika negara-negara Arab menurunkan produksi minyak buminya, otomatis harga akan naik dan itu akan memukul perekonomian AS. Jika hal ini terjadi, AS siap melakukan tindakan apapun, termasuk invasi militer. Jelaslah bahwa syarat-syarat pengamanan minyak bumi ala AS ini tak lain adalah PENJAJAHAN dari kekuatan asing terhadap kedaulatan negara-negara penghasil minyak bumi di kawasan Jazirah Arab.

Henry Kissinger, mentri luar negeri AS saat itu, di awal tahun 1975 M / 1395 H mengatakan," Sekalipun langkah militer AS apapun di Teluk membawa dampak yang berbahaya, namun saya tidak bisa menjamin tidak akan terjadi kondisi-kondisi yang menyebabkan kami mempergunakan kekuatan militer kami. Sesungguhnya penggunaan kekuatan militer saat terjadi perselisihan tentang harga minyak adalah satu persoalan, dan usaha mencekik dunia industri adalah persoalan lain pula."

Penegasan ini menunjukkan AS akan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, termasuk invasi militer, untuk menghajar negara-negara penghasil minyak jika mereka tidak menuruti harga dan jumlah minyak bumi yang didiktekan oleh AS. Ini sekali lagi menegaskan bahwa tujuan invasi AS ke Iraq (dan kawasan Jazirah) bukanlah untuk menggulingkan rezim Saddam semata. Saddam hanyalah batu loncatan kecil, setelah itu akan disusul dengan tindakan-tindakan penjajahan berikutnya.

Penegasan mentri luar negeri AS ini bukan satu-satunya penegasan kesiapan AS untuk melakukan invasi militer. Penegasan yang lebih jelas, juga dikeluarkan oleh departemen pertahanan AS (Pentagon) dan Dewan Keamanan Nasional AS pada tahun 1973 M /1393 H. Kedua lembaga penting AS ini membuat sebuah program bertajuk "Dhahran, Opsi Keempat". Inti program ini adalah persiapan AS untuk melancarkan invasi militer ke sumur-sumur eksplorasi minyak bumi Arab Saudi manakala timbul krisis minyak kembali. Program ini secara khusus membidik sumur minyak Al-Ghawar, sumur minyak bumi Arab Saudi yang dipandang sebagai sumur minyak terbesar di dunia.

Untuk menjalankan program ini, telah disiapkan sembilan batalion infantri yang akan diangkut lewat udara, dari North Carolina, AS menuju Teluk melalui pangkalan udara Hesrim, Israel. Kini, pasukan ini tidak perlu berangkat dari North Carolina. Ia cukup berangkat dari Iraq, Kuwait atau Qatar untuk melakukan penguasaan atas ladang-ladang minyak di Dhahran, setelah sebelumnya warga negara AS di daerah itu dipindahkan ke kawasan lain.

Setelah itu, pasukan akan bergerak untuk menguasai ladang minyak Al-Ghawar dan As-Safaniyah di tengah padang pasir, setelah didahului oleh penguasaan kapal-kapal minyak di pelabuhan dan depot-depot minyak di Ras Tanurah. Kekuatan pasukan ini akan ditambah dengan satu batalion infantri untuk menguasai kawasan tersebut.

Pentagon dan Dewan Keamanan Nasional AS menyebutkan, langkah ini jauh lebih mudah dari sebuah operasi kecil sekalipun di Vietnam atau Kuba. Penyebabnya, kawasan ini bukan kawasan padat penduduk, berada di tengah gurun pasir yang kosong dari pepohonan atau perbukitan, sehingga memudahkan pergerakan pasukan tanpa hambatan sama sekali.

Dalam pembukaan program tersebut ditulis alasan pembenaran invasi ini," Tiada pilihan lain bagi kita, keruntuhan ekonomi atau menginvasi Saudi di saat muncul tanda-tanda pencekikan ekonomi."

Alasan ini menjawab tanda tanya besar seputar alasan AS melakukan invasi ke Iraq. Padahal invasi tersebut tidak mempunyai alasan kuat. Bukankah Dewan Atom PBB telah melaporkan tidak ditemukan senjata kimia dan biologis pemusnah masa di Iraq ? Invasi pasukan koalisi AS ini juga ditentang oleh PBB dan dunia internasional. Namun apa daya, AS-lah yang mendikte PBB.

Setelah rezim Saddam terguling, dan AS berhasil mendirikan pemerintahan baru pro AS, loyalitas Iraq akan diuji. Jika ia tidak mampu memenuhi kepentingan minyak AS (jumlah cukup dengan harga murah), AS akan menengok negara tetangga yang bisa diinvasi ; Saudi, Qatar atau Kuwait.

Pilihan invasi ke Saudi ini bukan pilihan final yang tidak bisa diformat ulang. Dalam rapat Kongres setahun peringatan 11 September, program ini diajukan ulang dengan format sedikit dirubah. Saudi akan diinvasi, dibagi menjadi tiga bagian, dengan bagian Timur sebagai negara minyak demokrasi yang indipenden, dibawah wewenang dan pengamanan AS langsung. Beberapa format lain juga diajukan, namun tidak keluar dari program inti invasi ke ladang-ladang minyak Saudi.

Inilah salah satu alasan ekonomi keberadaan militer AS di kawasan Teluk. Alasan-alasan ekonomi lainnya tentu masih banyak, namun kita cukupkan dengan satu alasan ini.



Yüklə 3,86 Mb.

Dostları ilə paylaş:
  1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   30




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin